Laporan Kasus
Pneumothorax
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior Pada Bagian/SMF Pulmonologi Fakultas Kedokteran Unsyiah/
RSUD dr. ZainoelAbidin Banda Aceh
Disusun oleh:
ARIKA ANGGRAINI 1607101030188
Pembimbing:
dr. Maimunah, Sp.P(K)
BAGIAN/ SMF PULMONOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH 2017
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tugas laporan kasus yang berjudul “Pneumothorax”. Shalawat dan salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membimbing umat manusia dari alam kegelapan ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Penyusunan laporan kasus ini disusun sebagai salah satu tugas dalam menjalani Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian/SMF Ilmu Pulmonologi RSUD dr. Zainoel Abidin Fakultas Kedokteran Unsyiah Banda Aceh.
Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada dr.
Maimunah, Sp.P (K) yang telah bersedia meluangkan waktu membimbing penulis dalam penulisan kasus ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada para sahabat dan rekan-rekan yang telah memberikan dorongan moril dan materil sehingga tugas ini dapat selesai.
Akhir kata penulis berharap semoga laporan kasus ini dapat menjadi sumbangan pemikiran dan memberikan manfaat bagi semua pihak khususnya bidang kedokteran dan berguna bagi para pembaca dalam mempelajari dan mengembangkan ilmu kedokteran pada umumnya dan ilmu penyakit dalam pada khususnya. Semoga Allah SWT selalu memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua, Amin.
Banda Aceh, Mei 2017
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL...i
KATA PENGANTAR...ii
DAFTAR ISI...iii
DAFTAR TABEL...iv
BAB I PENDAHULUAN...1
BAB II LAPORAN KASUS...3
2.1 Identitas Pasien...3
2.2 Anamnesis...3
2.3 Pemeriksaan Tanda Vital...4
2.4 Pemeriksaan Fisik...4
2.5 Pemeriksaan Penunjang...6
2.6 Diagnosa Banding...8
2.7 Diagnosa...8
2.8 Tatalaksana...8
2.9 Planning...9
2.10 Prognosis...9
BAB III TINJAUAN PUSTAKA...11
3.1 Definisi...11
3.2 Epidimiologi...11
3.3 Etiologi...12
3.4 Klasifikasi...12
3.5 Patogenesis...14
3.6 Pneumothorax dan TB Paru...15
3.7 Manifestasi Klinis...16
3.8 Diagnosis dan Diagnosis Banding...16
3.9 Pemeriksaan Fisik...17
3.10 Pemeriksaan Penunjang...18
3.11 Tatalaksana...19
3.12 Pengobatan Tambahan...20
3.13 Prognosis...20
BAB IV ANALISA KASUS...21
BAB V KESIMPULAN...24
DAFTAR PUSTAKA...25
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Hasil pemeriksaan laboratorium darah...6 Tabel 2. Follow up pasien harian...9
BAB I PENDAHULUAN
Paru-paru merupakan unsur elastis yang akan mengempis seperti balon dan mengeluarkan semua udaranya melalui trakea bila tidak ada kekuatan untuk mempertahankan pengembangannya. Paru-paru sebenarnya mengapung dalam rongga toraks, dikelilingi oleh suatu lapisan tipis cairan pleura yang menjadi pelumas bagi gerakan paru-paru di dalam rongga. Jadi pada keadaan normal rongga pleura berisi sedikit cairan dengan tekanan negatif yang ringan.(1)
Pneumotoraks adalah keadaan terdapatnya udara atau gas dalam rongga pleura. Pada keadaan normal rongga pleura tidak berisi udara, supaya paru-paru leluasa mengembang terhadap rongga dada. Pnumotoraks dapat terjadi spontan atau traumatik. Pneumotoraks spontan dibagi menjadi primer dan sekunder. (2)
Primer jika penyebab tidak diketahui, sedangkan sekunder jika terdapat latar belakang penyakit paru sebelumnya. Pneumotoraks traumatik dibagi dua yaitu yang iatrogenik dan bukan iatrogenik.(2)
Insidensi pneumotoraks sulit diketahui karena episodenya banyak dan tidak diketahui. Perbandingan pria dan wanita 5:1. Pneumotoraks spontan primer sering dijumpai pada individu sehat, tanpa riwayat paru sebelumnya., dan lebih sering pada pria dengan usia dekade 3 dan 4. Salah satu penelitian menyebutkan sekitar 81% kasus pneumotoraks spontan primer berusia kurang dari 45 tahun.
Pada laporan kasus ini akan dibahas terutama tentang pneumotoraks spontan sekunder yang terjadi pada pasien tuberkulosis.
Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh Mycobacteria. Pada manusia kebanyakan yang menginfeksi adalah Mycobacterium tuberculosis. Biasanya tuberkulosis menyerang paru, namun dapat juga menyerang Central Nervus System, sistem limfatikus, sistem urinaria, sistem pencernaan, tulang, sendi dan lainnya.
Karena penyakit TB bersifat kronis dan resistensi kuman terhadap obat cukup tinggi, maka tidak jarang menimbulkan komplikasi. Salah satu komplikasi yang bisa ditimbulkan adalah pneumotoraks. Di mana pnumotoraks yang terjadi adalah pneumotoraks spontan sekunder.
Seaton dkk. Melaporkan bahwa pasien tuberkulosis aktif mengalami komplikasi pneumotoraks sekitar 1,4% dan jika terdapat kavitas paru, komplikasi
meningkat lebih dari 90%.
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
Nama : Ny. NS
Umur : 43 tahun
Alamat : Ujong Kalak, kec. Johan Pahlawan, Aceh Barat
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : Islam
Status : Menikah
CM : 1-12-97-46
Tanggal Masuk : 18 Mei 2017 Tanggal Pemeriksaan : 20 Mei 2017 2.2 Anamnesis
Keluhan Utama : Sesak napas
Keluhan Tambahan : Batuk, nyeri dada kanan Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD dengan keluhan sesak napas. Sesak dirasakan sejak 5 hari SMRS. Sesak timbul tiba-tiba, tidak dipengaruhi oleh aktivitas, cuaca maupun makanan dan tidak disertai suara mengi. Nyeri dada kanan juga dikeluhkan pasien, nyeri dada memberat saat pasien batuk. Pasien juga mengeluhkan batuk sejak 8 bulan yang lalu. Batuk berdahak dengan dahak berwarna putih kekuningan dan mudah dikeluarkan. Riwayat batuk darah 2 bulan yang lalu. Demam juga dikeluhkan oleh pasien sejak 2 bulan yang lalu, demam hilang timbul dan dirasakan memberat saat malam hari. Selain demam, pasien mengeluhkan keringat saat malam hari. Terdapat riwayat penurunan berat badan dan penurunan nafsu makan. BAK dan BAB pasien normal tidak ada keluhan.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah menderita keluhan yang sama sebelumnya, alergi &
asma tidak ada. Riwayat Diabetes Melitus sejak 3 bulan dan Hipertensi.
Riwayat Penggunaan Obat - Insulin
- Pengobatan TB Paru (-)
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga pasien yang menderita penyakit yang sama.
Riwayat asma, hipertensi, diabetes mellitus dan alergi obat disangkal.
2.3 Pemeriksaan Tanda Vital
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 140/90 mmHg
Frekuensi nadi : 110 kali/menit
Frekuensi nafas : 24 kali/menit, regular
Suhu : 36,7° C
2.4 Pemeriksaan Fisik
Kulit : sawo matang, ikterik (-), sianosis (-), edema (-),
Kepala : rambut hitam, distribusi merata, sukar dicabut
Wajah : simetris, edema (-), deformitas (-)
Mata : anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), sekret (-/-), refleks cahaya langsung (+/+), refleks cahaya tidak langsung (+/+)
Telinga : kesan normotia, sekret (-/-), serumen (-/-)
Hidung : sekret (-/-), cavum nasi hiperemis (-), napas cuping hidung (-)
Mulut : Sianosis (-), tremor (-), hiperemis (-), tonsil hiperemis (-/-), T1 – T1.
Leher : retraksi suprasternal (-), pembesaran KGB axila (-) retroauricula (-) suprasternal (-), kaku kuduk (-).
Thorak anterior
Pemeriksaan
Fisik Paru Thorax Dekstra Thorax Sinistra
Inspeksi Statis : Normochest
Dinamis : Simetris saat statis dinamis, pernapasan abdomino thoracal, retraksi interkostal (-/-), jejas (-)
Palpasi
Atas Fremitus taktil: melemah Fremitus taktil: normal Tengah Fremitus taktil: melemah Fremitus taktil: normal
Bawah Fremitus taktil: melemah Fremitus taktil: normal Perkusi
Atas Hipersonor Sonor
Tengah Hipersonor Sonor
Bawah Hipersonor Sonor
Auskultasi
Atas vesikuler (+), rhonki (-), wheezing
(-) vesikuler (+), rhonki (-), wheezing (-) Tengah vesikuler (+), rhonki (-), wheezing
(-) vesikuler (+), rhonki (+), wheezing (-)
Bawah vesikuler (+), rhonki (-), wheezing
(-) vesikuler (+), rhonki (+), wheezing (-)
Thoraks posterior
Pemeriksaan
Fisik Paru Thorax Dekstra Thorax Sinistra
Inspeksi Statis : Normochest
Dinamis : Simetris, pernapasan thoraco abdominal, retraksi interkostal (-/-), jejas (-)
Palpasi
Atas Fremitus taktil: melemah Fremitus taktil: normal Tengah Fremitus taktil: melemah Fremitus taktil: normal Bawah Fremitus taktil: melemah Fremitus taktil: normal
Jantung
Auskultasi : BJ I > BJ II, regular (+) bising (-)
Abdomen
Inspeksi : simetris, distensi (-)
Palpasi : soepel, organomegali (-), nyeri tekan (-) epigastric Perkusi : timpani, shifting dullness (-), undulasi (-)
Auskultasi : Peristaltik (+) normal
Ekstremitas :
Ekstremitas superior: sianosis (-/-), edema (-/-), pucat (-/-), akral dingin (-/-), CRT <2”
Ekstremitas inferior: sianosis (-/-), edema (-/-), pucat (-/-), akral dingin (-/-), CRT <2”
2.5 Pemeriksaan Penunjang a) Laboratorium Darah
Pemriksaan dilakukan pada tanggal 18 Mei 2017 Tabel 1. Hasil pemeriksaan laboratorium darah
JENIS PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN SATUAN HEMATOLOGI
Darah Rutin
Hemoglobin 10,8 12,0-15,0 g/dL
Hematokrit 32 37-47 %
Eritrosit 4,4 4,2-5,4 106/mm3
Leukosit 6,7 4,5-10,5 103/mm3
Trombosit 523 150-450 103/mm3
MCV 74 80-100 fL
MCH 25 27-31 pg
MCHC 33 32-36 %
RDW 14,4 11,5-14,5 %
MPV 9,3 7,2-11,1 fL
Hitung Jenis:
Eosinofil 0 0-6 %
Basofil 0 0-2 %
Netrofil Batang 0 2-6 %
Netrofil Segmen 90 50-70 %
Limfosit 6 20-40 %
Monosit 4 2-8 %
KIMIA KLINIK DIABETES
Glukosa Darah Sewaktu 390 < 200 Mg/dL
GINJAL-HIPERTENSI
Ureum 104 13-43 mg/dL
Kreatinin 0,6 0,51-0,95 mg/dL
ELEKTROLIT - Serum
Natrium (Na) 137 132-146 mmol/L
Kalium (K) 4,1 3,7-5,4 mmol/L
Klorida (Cl) 102 98-106 mmol/L
b) Foto Thorax 18 Mei 2017
20 Mei 2017
Foto thorax 18 Mei 2017
Kekerasan foto cukup Tulang tidak fraktur, tidak
deformitas Soft tissue normal, tidak
emfisematous Tampak area hiperlusen pada hemithorax kanan,
paru kanan kolaps.
Sudut costopherinicus kiri dan kanan tajam
Kesan:
Pneumothorax dextra
Foto thorax 20 Mei 2017 Kekerasan foto cukup Tulang tidak fraktur, tidak
deformitas Soft tissue normal, tidak
emfisematous
Tampak infiltrat serta kolaps di paru kanan
Sudut costopherinicus kiri dan kanan tajam
Tampak area luscent tanpa jaringan paru di hemithorax
dextra
Tampak WSD di hemithorax dextra
Kesan:
Pneumothorax dextra serta kolaps paru dextra
24 Mei 2017
29 Mei 2017
Foto thorax 24 Mei 2017 Cor: besar dan bentuk normal,
kesan terdorong ke kiri Pulmo: tidak tampak infiltrat,
tampak collaps paru kanan Sudut costopherinicus kiri dan
Foto thorax 29 Mei 2017 Cor: besar dan bentuk normal Pulmo: tampak infiltrat di paru
kiri
Tampak area luscent tanpa jaringan paru di hemithorax
kanan
Sudut costopherinicus kiri dan kanan tajam
Tampak emfisema subcutis di hemithorax kanan Terpasang WSD di hemithorax
kanan Kesan:
Pneumothorax dextra Emfisema subkutis di regio
hemithorax kanan
c) USG Thorax 20 Mei 2017
d) Sputum BTA 3X SPS Pada tanggal 22 Mei 2017 Hasil pemeriksaan BTA:
- Sewaktu: +3 - Pagi : +3 - Sewaktu: +3
e) Genexpert
Pada tanggal 22 Mei 2017
Hasil pemeriksaan menunjukkan terdapat bakteri M. Tuberculosis yang tinggi.
2.6 Diagnosa Banding
1) Pneumothorax spontan sekunder ec dd:
-TB Paru
Foto thorax 20 Mei 2017
Kesimpulan: Pnuemothorax dextra
-Pneumonia 2.7 Diagnosa
Pneumothorax spontan sekunder ec. TB Paru 2.8 Tatalaksana
O2 2 LPM nasal kanul (K/P)
IVFD Ringer Laktat 10 gtt/i
Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
Inj. Ranitidine 1 amp/12 jam
Codein 3x1
Paracetamol 3x500mg
Vectrin 3x1
Curcuma 3x1 2.9 Planning
USG thorax
Pemasangan WSD
Sputum BTA 3 x SPS
Genexpert
Periksa darah, KGD puasa, KGD sewaktu, HbA1c, fungsi hati, kolesterol
Konsul IPD
2.10 Prognosis
Prognosis pasien dengan pneumothorax spontan sekunder ialah dubia ad bonam.
Follow Up Harian
Tabel 2. Follow up pasien harian
Tanggal/har
i rawatan Catatan Instruksi
Jumat 19/05/2017 H1
S/ Batuk(+), sesak napas(+), nyeri dada kanan
O/ VS: TD : 110/80 mmHg HR : 96 x/menit
RR : 24 x/menit T : 36,0 C Paru
I: Simetris statis/dinamis (+/+)
Th/
O2 2 LPM nasal kanul (K/P) IVFD RL 10 gtt/menit Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam Inj. Ranitidine 1 amp/12 jam Inj. Ketorolac 1 amp/8 jam Codein 3x1
Paracetamol 3x500mg
P: Sf kanan = Sf kiri P: sonor/sonor A: Ves (-/+), Rh (-/+), Wh (-/-)
Ass/
Pneumothorax spontan sekunder e.c dd TB paru
Pneumonia Pneumonia DM tipe II
Curcuma 3x1 Planning:
- USG thorax
- Pemasangan WSD
- Sputum BTA 3x SPS
- Gene Expert
- Periksa darah: KGDP, KGDS, HbA1c, fungsi hati, kolesterol
- Konsul IPD Sabtu
20/05/2017 H2
S/ Batuk sesekali, sesak (-), demam, lemas
O/ VS: TD : 90/70 mmHg HR : 87 x/menit
RR : 20 x/menit T : 36,5 C Paru
I: Simetris statis/dinamis (+/+) P: Sf ka = Sf ki
P: sonor/sonor A: Ves (-/+), Rh (-/+), Wh (-/-)
Ass/
- Pneumothorax spontan sekunder e.c dd
1. TB paru 2. Pneumonia - Pneumonia - DM tipe II
Th/
O2 2 LPM nasal kanul (K/P)
IVFD RL 10 gtt/menit
Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
Inj. Ranitidine 1 amp/12 jam
Inj. Ketorolac 1 amp/8 jam
Codein 3x1
Paracetamol 3x500mg
Curcuma 3x1 Planning:
- Sputum BTA 3x SPS - Gene Expert
- Susul hasil pemeriksaan darah
- Foto thorax ulang
Minggu 21/05/2017 H3
S/ batuk sesekali, sesak (-), demam, lemas
O/ VS:
TD : 90/60 mmHg HR : 82 x/menit RR : 19 x/menit T : 36,2 C Paru
I: Simetris statis/dinamis (+/+) P: Sf ka = Sf ki
P: sonor/sonor A: Ves (-/+), Rh (-/-), Wh (-/-)
Terpasang WSD di hemithorax kanan dengan buble (+), undulasi (+)
Ass/
- Pneumothorax spontan sekunder e.c dd
1. TB paru 2. Pneumonia - Pneumonia - DM tipe II
Th/
O2 2 LPM nasal kanul (K/P)
IVFD RL 10 gtt/menit
Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
Inj. Ranitidine 1 amp/12 jam
Inj. Ketorolac 1 amp/8 jam
Codein 3x1
Paracetamol 3x500mg
Curcuma 3x1 Planning:
- Sputum BTA 3x SPS - Gene Expert
- Susul hasil pemeriksaan darah
- Foto thorax ulang
Senin 22/05/2017 H4
S/ nyeri di tempat pemasangan WSD O/ VS:
TD : 90/70 mmHg HR : 82 x/menit
Th/
Diet DM 1600kkal
O2 2 LPM nasal kanul (K/P)
IVFD RL 20 gtt/i
RR : 22 x/menit T : 36,7 C Paru
I: Simetris statis/dinamis(+/+) P: Sf ka = Sf ki
P: sonor/sonor
A: Ves (melemah/+), Rh (-/-) (-/+) (-/-), Wh (-/-)
Terpasang WSD di hemithorax kanan buble (+)
Ass/
- Pneumothorax spontan sekunder e.c dd
1. TB paru 2. Pneumonia - Pneumonia - DM tipe II
Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
Inj. Ranitidine 1 amp/12 jam
Vectrin 3x1
Codein 3x1
Paracetamol 3x500mg
Curcuma 3x1 Planning:
- Respirometer
- Evaluasi WSD/ 24 jam - Sputum BTA 3x SPS - Gene expert
- Kultur Mo gram K/R - Susul hasil foto thorax
ulang
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Pneumothoraks adalah keadaan dimana terdapatnya udara bebas dalam cavum pleura, maka akan menimbulkan penekanan terhadap paru-paru sehingga paru-paru tidak mengembang dengan maksimal(1).
Pneumotoraks adalah suatu keadaan terdapatnya udara atau gas di dalam pleura yang menyebabkan kolapsnya paru yang terkena(1).
3.2 Epidemiologi
Didapatkan dari literatur lain Pneumothorax lebih sering terjadi pada penderita dewasa yang berumur sekitar 40 tahun. Laki-laki lebih sering daripada wanita. Pneumothorax sering dijumpai pada musim penyakit batuk. (2)
Di RSUD Dr. Soetomo, kurang lebih 55% kasus pneumothorax disebabkan oleh penyakit dasar seperti tuberculosis paru aktif, tuberculosis paru disertai fibrosis atau emfisema lokal, bronkitis kronis, dan emfisema. Selain karena penyakit tersebut, pneumothorax pada wanita sering terjadi berulang.
Kematian akibat pneumothorax sekitar 12%.(2) 3.3 Etiologi
Etiologi trauma thorax kebanyakan diakibatkan oleh kecelakaan lalu lintas yang umumnya berupa trauma tumpul. Trauma tajam terutama disebakan oleh tikaman dan tembakan. Trauma pada bagian ini juga sering disertai dengan cedera pada tempat lain misalnya abdomen, kepala, dan ekstremitas sehingga merupakan cedera majemuk. Tersering disebabkan oleh ruptur spontan pleura visceralis yang menimbulkan kebocoran udara ke rongga thorax. Pneumothorax dapat terjadi berulang kali. Udara dalam kavum pleura ini dapat ditimbulkan oleh(2), (3):
a. Robeknya pleura visceralis sehingga saat inspirasi udara yang berasal dari alveolus akan memasuki kavum pleura. Pneumothorax jenis ini disebut sebagai closed pneumothorax. Apabila kebocoran pleura visceralis berfungsi sebagai katup, maka udara yang masuk saat inspirasi tak akan dapat keluar dari kavum pleura pada saat ekspirasi. Akibatnya, udara semakin lama semakin banyak sehingga mendorong mediastinum kearah kontralateral dan menyebabkan terjadinya tension pneumothorax.
b. Robeknya dinding dada dan pleura parietalis sehingga terdapat hubungan antara kavum pleura dengan dunia luar. Apabila lubang yang terjadi lebih besar dari 2/3 diameter trakea, maka udara cenderung lebih melewati lubang tersebut disbanding traktus respiratorius yang seharusnya.
Sehingga udara dari luar masuk ke kavum pleura lewat lubang tadi dan menyebabkan kolaps pada paru ipsi lateral. Saat ekspirasi, tekanan rongga dada meningkat, akibatnya udara dari kavum pleura keluar melalui lubang
tersebut, kondisi ini disebut sebagai open pneumothorax.
3.4 Klasifikasi
1. Pneumotoraks spontan(3)
a. Pneumotoraks spontan primer
Umumnya disebabkan oleh pecahnya suatu bleb subpleura yang biasanya terdapat di daerah apeks paru. Faktor resiko utama adalah merokok. Pada beberapa kasus faktor herediter juga memegang peranan, umumnya penderita berpostur tinggi dan kurus.
Pneumotoraks spontan primer terjadi karena robeknya suatu kantong udara dekat pleura viseralis. Penelitian secara patologis membuktikan bahwa pasien pneumotoraks spontan yang parunya direseksi tampak adanya satu atau dua ruang berisi udara dalam bentuk bulla yang dibatasi pleura fibrotik yang menebal, sebagian oleh jaringan fibrosa paru sendiri sebagian lagi oleh jaringan paru emphiematous.
Proses terbentuknya bulla belum diketahui, banyak pendapat menyatakan terjadinya kerusakan bagian apeks paru berhubungan dengan iskemia atau peningkatan distensi pada alveoli di daerah apeks patu akibat tekanan pleura yang lebih negatif.
Pecahnya alveoli berhubungan dengan obstruksi check-valvepada saluran nafas kecil sehingga timbul distensi tuang udara bagian distalnya.
b. Pneumothoraks spontan sekunder
Terjadi sebagai komplikasi penyakit paru dasarnya (underlying lung disease). Beberapa penyakit yang sering menjadi penyebab pneumothoraks antara lain PPOK tipe emfisema dan tuberkulosis paru.
Pneumotoraks Spontan Sekunder terjadi karena pecahnya bulla viseralis dan sering berhubungan dengan penyakit paru yang mendahului.
Patogenesis pneumotoraks Spontan Sekunder multifaktorial, umumnya terjadi akibat komplikasi PPOK, tuberkulosis, asma, penyakit paru infiltratif lain (pneumonia supuratif, pneumocystis Carinii).
Pneumotoraks spontan Sekunder umumnya lebih berat daripada
pneumotoraks spontan primer, karena pada pneumotoraks spontan sekunder terdapat penyakit paru yang sebelumnya mendahuluinya.
2. Pneumothoraks Traumatika(3)
Terjadi sebagai akibat trauma, baik trauma tumpul maupun trauma tajam di dinding dada.
3. Pneumothoraks Iatrogenik(3)
Terjadi sebagai akibat tindakan medis yang dilakukan, misalnya akibat punksi pleura, biopsy pleura, trans thoracal biopsy, dll
3.5 Pathogenesis
Secara garis besar kesemua jenis pneumothorax mempunyai dasar patofisiologi yang hampir sama(1).
Pneumothorax spontan terjadi karena lemahnya dinding alveolus dan pleura visceralis. Apabila dinding alveolus dan pleura visceralis yang lemah ini pecah, maka aka nada fistel yang menyebabkan udara masuk ke cavum pleura.
Mekanismenya pada saat inpirasi rongga dada mengembang, disertai pengembangan cavum pleura yang kemudian menyebabkan paru dipaksa ikut mengembang seperti balon yang dihisap. Pengembangan paru menyebabkan tekanan intraaveolar menjadi negatif sehingga udara luar masuk. Pada pneumothorax spontan, paru-paru kolaps, udara inspirasi bocor masuk ke cavum pleura sehingga tekanan intrapleura tidak negatif. Pada saat ekspirasi mediastinal ke sisi yang sehat. Pada saat ekspirasi mediastinal kembali lagi ke posisi semula.
Proses yang terjadi ini dikenal dengan mediastinal flutter(3), (4).
Pneumothorax ini terjadi biasanya pada satu sisi, sehingga respirasi paru sisi sebaliknya masih bisa menerima udara secara maksimal dan bekerja dengan sempurna(3).
Terjadinya hipereksansi cavum pleura tanpa disertai gejala pre-shock atau shock dikenal dengan simple pneumothorax. Berkumpulnya udara pada cavum pleura dengan tidak adanya hubungan dengan lingkungan luar dikenal dengan closed pneumothorax. Pada saat ekspirasi, udara juga tidak dipompakan balik secara maksimal karena elastic recoil dari kerja alveoli tidak bekerja sempurna.
Akibatnya bilamana proses ini semakin berlanjut, hipereksansi cavum pleura pada
saat inspirasi menekan mediastinal ke sisi yang sehat dan saat ekspirasi udara terjebak pada paru dan cavum pleura karena luka yang bersifat katup tertutup terjadilah penekanan vena cava, shunting udara ke paru yang sehat, dan obstruksi jalan napas. Akibatnya dapat timbullah gejala pre-shock atau shock oleh karena penekanan vena cava. Kejadian ini dikenal dengan tension pneumothorax(1), (4).
Pada open pneumothorax terdapat hubungan antara cavum pleura dengan lingkungan luar. Open pneumothorax dikarenakan trauma penetrasi. Perlukaan dapat inkomplit (sebatas pleura parietalis) atau komplit (pleura parietalis dan visceralis). Bilamana terjadi open pneumothorax inkomplit pada saat inspirasi udara luar akan masuk kedalam kavum pleura. Akibatnya paru tidak dapat mengembang karena tekanan intrapleural tidak negatif. Efeknya akan terjadi hiperekspansi cavum pleura yang menekan mediastinal ke sisi paru yang sehat.
Saat ekspirasi mediastinal bergerser kemediastinal yang sehat. Terjadilah mediastinal flutter. Bilamana open pneumothorax komplit maka saat inspirasi dapat terjadi hiperekspansi cavum pleura mendesak mediastinal kearah yang sehat dan saat ekspirasi udara terjebak pada cavum pleura dan paru karena luka yang bersifat katup tertutup. Selanjutnya terjadilah penekanan vena cava, shunting udara ke paru yang sehat, dan obstruksi jalan nafas. Akibatnya dapat timbulah gejala pre-shock atau shock oleh karena penekanan vena cava, yang dapat menyebabkan tension pneumothorax(1), (3).
3.6 Pneumothorax dan TB Paru
Pneumothorax yang terjadi pada penderita TB adalah suatu komplikasi.
Keadaan ini terdapat pada proses pneumothorax sekunder dimana terjadi ruptur pada lesi paru yang terletak dekat permukaan pleura sehingga udara inspirasi memperoleh akses ke rongga pleura. Lesi pleura ini juga dapat terjadi pada penyakit emfisema, abses paru, karsinoma dan banyak proses lainnya. Berbeda dengan pneumothorax spontan primer, pada pneumothorax spontan sekunder keadaan penderita tampak serius dan kadang-kadang mengancam kehidupan karena adanya penyakit paru yang mendasarinya. Pneumothorax spontan sekunder terjadi oleh karena pecahnya bleb yang berada di subpleura viseralis dan sering ditemukan di daerah apeks lobus superior dan inferior. Terbentuknya bleb akibat
perembesan udara melalui alveoli yang dindingnya ruptur kemudian melalui jaringan interstisial ke lapisan jaringan ikat yang berada di subpleura viseralis.
Sebab pecahnya dinding alveolus ini belum diketahui dengan pasti, diduga ada dua faktor yaitu penyakir paru dan peningkatan tekana intraalveolar akibat batuk.
Alveoli disanggah oleh kapiler yang mempunyai dinding lemah dan mudah robek, apabila alveoli tersebut melebar dan tekanan di dalam alveolli meningkat maka udara masuk dengan mudah menuju ke jaringan peribronkovaskular. Gerakan napas yang kuat, infeksi, dan obstruksi endobronkial merupakan beberapa faktor peripitasi yang memudahkan terjadinya robekan, selanjutnya udara yang terbebas dari alveoli dapat mengoyak jaringan fibrotik peribronkovaskular. Robekan pleura kearah yang berlawanan dengan hilus akan menimbulkan pneumothorax sedangkan robekan yang mengarah ke hilus dapat menimbulkan pneumomediastinum.
3.7 Manifestasi Klinis
Berdasarkan anamnesis, gejala dan keluhan yang sering muncul pada pasien pneumothorax adalah (3), (4), (5) :
1. Sesak napas, didapatkan pada hampir 80-100% pasien. Seringkali sesak dirasakan mendadak dan makin lama makin berat. Penderita bernapas tersengal, pendek-pendek, dengan mulut terbuka.
2. Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien. Nyeri dirasakan tajam pada sisi yang sakit, terasa berat, tertekan dan terasa lebih nyeri pada gerak pernapasan.
3. Batuk-batuk, yang didapatkan pada 25-35% pasien.
4. Denyut jantung meningkat.
5. Kulit mungkin tampak sianosis karena kadar oksigen darah yang kurang.
6. Tidak menunjukkan gejala (silent) yang terdapat pada 5-10% pasien, biasanya pada jenis pneumotoraks spontan primer.
Berat ringannya keadaan penderita tergantung pada tipe pneumotoraks tersebut, (3):
1. Pneumotoraks tertutup atau terbuka, sering tidak berat
2. Pneumotoraks ventil dengan tekanan positif tinggi, sering dirasakan lebih berat
3. Berat ringannya pneumotoraks tergantung juga pada keadaan paru yang lain serta ada tidaknya jalan napas.
4. Nadi cepat dan pengisian masih cukup baik bila sesak masih ringan, tetapi bila penderita mengalami sesak napas berat, nadi menjadi cepat dan kecil disebabkan pengisian yang kurang.
3.8 Diagnosis dan Diagnosis Banding - Miokardium infark akut(5) :
Napas yang pendek dan sakit dada, namun sakit dada pada MI biasanya spesifik seperti di hancurkan, sentral dan menyebar ke daerah rahang, tangan kiri atau perut. Namun pasien dengan MI bisa juga superinfeksi dengan penyakit paru.
- Emphysema(5) :
Kehilangan fungsi jaringan paru dan digantikan dengan rongga berudara yang juga menyebabkan nafas yang pendek-pendek berkurangnya asupan udara dan meningkatnya resonansi pada pemeriksaan. Emphysema merupakan penyakit kronik, bedanya emphysema difus sedangkan pneumothorax local, anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto rontgen harus dilakukan dan dinilai teliti sehingga dapat didapatkan hasil yang akurat
3.9 Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik toraks didapatkan (6),(7): 1. Inspeksi :
a. Dapat terjadi pencembungan pada sisi yang sakit (hiperekspansi dinding dada)
b. Pada waktu respirasi, bagian yang sakit gerakannya tertinggal c. Trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat
2. Palpasi :
a. Pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat normal atau melebar b. Iktus jantung terdorong ke sisi toraks yang sehat
c. Fremitus suara melemah atau menghilang pada sisi yang sakit 3. Perkusi :
a. Suara ketok pada sisi sakit, hipersonor sampai timpani dan tidak menggetar.
b. Batas jantung terdorong ke arah toraks yang sehat, apabila tekanan intrapleura tinggi.
4. Auskultasi :
a.Pada bagian yang sakit, suara napas melemah sampai menghilang, suara vokal melemah dan tidak menggetar serta bronkofoni negatif.
3.10 Pemeriksaan Penunjang 1. Foto Rontgen
Gambaran radiologis yang tampak pada foto röntgen kasus pneumotoraks antara lain (6):
a. Bagian pneumotoraks akan tampak lusen, rata dan paru yang kolaps akan tampak garis yang merupakan tepi paru. Kadang-kadang paru yang kolaps tidak membentuk garis, akan tetapi berbentuk lobuler sesuai dengan lobus paru.
b. Paru yang mengalami kolaps hanya tampak seperti massa radio opaque yang berada di daerah hilus. Keadaan ini menunjukkan kolaps paru yang luas sekali. Besar kolaps paru tidak selalu berkaitan dengan berat ringan sesak napas yang dikeluhkan.
c. Jantung dan trakea mungkin terdorong ke sisi yang sehat, spatium intercostals melebar, diafragma mendatar dan tertekan ke bawah.
Apabila ada pendorongan jantung atau trakea ke arah paru yang sehat, kemungkinan besar telah terjadi pneumotoraks ventil dengan tekanan intra pleura yang tinggi.
d. Pada pneumotoraks perlu diperhatikan kemungkinan terjadi keadaan sebagai berikut (3):
1) Pneumomediastinum, terdapat ruang atau celah hitam pada tepi jantung, mulai dari basis sampai ke apeks. Hal ini terjadi apabila
pecahnya fistel mengarah mendekati hilus, sehingga udara yang dihasilkan akan terjebak di mediastinum.
2) Emfisema subkutan, dapat diketahui bila ada rongga hitam dibawah kulit. Hal ini biasanya merupakan kelanjutan dari pneumomediastinum. Udara yang tadinya terjebak di mediastinum lambat laun akan bergerak menuju daerah yang lebih tinggi, yaitu daerah leher. Di sekitar leher terdapat banyak jaringan ikat yang mudah ditembus oleh udara, sehingga bila jumlah udara yang terjebak cukup banyak maka dapat mendesak jaringan ikat tersebut, bahkan sampai ke daerah dada depan dan belakang.
3) Bila disertai adanya cairan di dalam rongga pleura, maka akan tampak permukaan cairan sebagai garis datar di atas diafragma 2. Analisa Gas Darah
Analisis gas darah arteri dapat memberikan gambaran hipoksemi meskipun pada kebanyakan pasien sering tidak diperlukan. Pada pasien dengan gagal napas yang berat secara signifikan meningkatkan mortalitas sebesar 10%.
3. CT-scan thorax
CT-scan toraks lebih spesifik untuk membedakan antara emfisema bullosa dengan pneumotoraks, batas antara udara dengan cairan intra dan ekstrapulmoner dan untuk membedakan antara pneumotoraks spontan primer dan sekunder.
3.11 Tatalaksana
Tujuan utama penatalaksanaan pneumotoraks adalah untuk mengeluarkan udara dari rongga pleura dan menurunkan kecenderungan untuk kambuh lagi.
Primary survey dengan memperhatikan(6), (8) : a. Airway
b. Breathing c. Circulation Tindakan dekompresi
Hal ini sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada kasus pneumothorax yang luasnya >15%. Pada intinya, tindakan ini bertujuan untuk mengurangi tekanan intrapleura dengan membuat hubungan antara cavum pleura dengan udara luar dengan cara(6), (8) :
a. Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk rongga pleura akan berubah menjadi negative karena mengalir ke luar melalui jarum tersebut.
b. Mempuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil :
1. Dapat memakai infuse set jarum ditusukkan ke dinding dada sampai kedalam rongga pleura, kemudian infuse set yang telah dipotong pada pangkal saringan tetesan dimasukkan ke botol yang berisi air.
2. Jarum abbocath merupakan alat yang terdiri dari gabungan jarum dan kanula. Setelah jarum ditusukkan pada posisi yang tetap di dinding thorax sampai menebus ke cavum pleura, jarum dicabut dan kanula tetap ditinggal. Kanula ini kemudian dihubungkan dengan pipa plastic infuse set. Pipa infuse ini selanjutnya dimasukkan ke botol yang berisi air .
3. Pipa water sealed drainage (WSD) pipa khusus (thorax kateter) steril, dimasukkan ke rongga pleura dengan perantaraan troakar atau dengan bantuan klem penjempit. Setelah troakar masuk, maka thorax kateter segera dimasukkan ke rongga pleura dan kemudian troakar dicabut, sehingga hanya kateter thorax yang masih tertinggal di rongga pleura.
Selanjutnya ujung kateter thorax yang ada di dada dan di pipa kaca WSD dihubungkan melalui pipa kaca WSD dihubungkan melalui pipa plastic lainnya. Penghisapan dilakukan terus-menerus apabila tekanan intrapleural tetap positif. Penghisapan ini dilakukan dengan memberi tekanan negative sebesar 10-20 cm H2O.
3.12 Pengobatan Tambahan
1. Apabila terdapat proses lain di paru, maka pengobatan tambahan ditujukan terhadap penyebabnya. Misalnya : terhadap proses TB paru diberi OAT, terhadap bronkhitis dengan obstruksi saluran napas diberi antibiotik dan bronkodilator (4).
2. Istirahat total untuk menghindari kerja paru yang berat (4).
3. Pemberian antibiotik profilaksis setelah setelah tindakan bedah dapat dipertimbangkan, untuk mengurangi insidensi komplikasi, seperti emfisema (3).
3.13 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam Quo ad functionam : Dubia ad bonam Quo ad sanactionam : Dubia ad bonam
BAB IV ANALISA KASUS
Telah diperiksa pasien perempuan dengan inisial Ny. NS usia 43 tahun datang ke IGD Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin dengan keluhan sesak napas. Sesak dirasakan sejak 5 hari SMRS dan memberat sejak tiba di IGD. Sesak timbul tiba-tiba, tidak dipengaruhi oleh aktivitas, cuaca maupun makanan dan tidak disertai suara mengi. Nyeri dada kanan juga dikeluhkan pasien, nyeri dada memberat saat pasien batuk. Pasien juga mengeluhkan batuk sejak 8 bulan yang lalu. Batuk berdahak dengan dahak berwarna putih kekuningan dan mudah dikeluarkan. Riwayat batuk darah 2 bulan yang lalu. Demam juga dikeluhkan oleh pasien sejak 2 bulan yang lalu, demam hilang timbul dan dirasakan memberat saat malam hari. Selain demam, pasien mengeluhkan keringat saat malam hari.
Terdapat riwayat penurunan berat badan dan penurunan nafsu makan. BAK dan BAB pasien normal tidak ada keluhan.
Dari hasil anamnesa pasien dicurigai menderita pneumothorax spontan sekunder et causa tuberculosis paru. Diagnosis pneumothorax dibuat berdasarkan adanya sesak napas, nyeri dada, dan batuk yang dimiliki pasien. Dugaan menderita pneumothorax spontan sekunder et causa TB paru dibuat berdasarkan keluhan pasien batuk sejak 8 bulan ini, batuk berdarah, keringat malam, demam, penurunan berat badan yang signifikan serta penurunan nafsu makan. Lebih kurang 55% kasus pneumothorax disebabkan oleh penyakit dasar seperti tuberculosis paru aktif(2). Gejala yang ditemukan pada pasien ini sesuai dengan
gejala pada penderita TB paru yaitu demam subfebris yang hilang timbul, adanya batuk berdarah yang terjadi karena iritasi bronkus. Batuk diperlukan untuk membuang produk-produk radang. Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, maka munculnya batuk maupun sifat batuk bisa bermacam-macam, gejala lain seperti penurunan nafsu makan, berkeringat malam, berat badan dan mudah menjadi lelah juga ditemukan(7). Pada pemeriksaan fisik fremitus taktil melemah, hipersonor, dan suara napas menjauh pada sisi dada yang sakit serta ditemukan adanya suara napas rhonki pada lapangan tengah dan kanan paru sinistra. Pada saat diperkusi terdengar suara hipersonor yang disebabkan oleh udara yang berada pada rongga pleura. Udara yang terperangkap dalam rongga pleura dapat menyebabkan paru kolaps sehingga ketika diperiksa suara napas terdengar menjauh dan fremitus taktil melemah(4).
Pasien adalah seorang perempuan berusia 43 tahun. Kebanyakan pneumothorax lebih sering terjadi pada penderita dewasa yang berumur sekitar 40 tahun(2). Pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan pada pasien ini meliputi USG thorax, foto thorax, dan laboratorium. USG thorax dilakukan sebagai guiding tindakan pemasangan WSD untuk mengetahui seberapa banyak udara yang akan dikeluarkan. Hasil foto thorax didapatkan adanya area hiperlusen pada hemithorax kanan dan paru kanan kolaps. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil penurunan hemoglobin (10,8), hematokrit (32), peningkatan trombosit (523), penurunan neutrofil batang (0), limfosit (6), dan peningkatan neutrofil segmen (90).
Tujuan utama penatalaksanaan pneumothorax adalah untuk mengeluarkan udara dari rongga pleura dan menurunkan kecenderungan untuk kambuh lagi.
Tindakan dekompresi sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada kasus pneumothorax yang luasnya >15%. Pada intinya, tindakan ini bertujuan untuk mengurangi tekanan intrapleura dengan membuat hubungan antara cavum pleura dengan udara luar(6), (8). Penatalaksanaan pada kasus ini sesuai dengan prinsip penatalaksanaan pneumothorax, pasien dilakukan tindakan dekompresi menggunakan pipa water seal drainage (WSD).
Terapi oksigen merupakan hal pertama dan utama yang bertujuan untuk memperbaiki hipoksemia dan mencegah keadaan yang dapat mengancam jiwa.
Diberikan untuk mempertahankan PaO2> 60 mmHg atau Sat O2> 90%. Pada pasien ini diberikan O2 2 liter/menit. Pemberian antibiotik profilaksis setelah setelah tindakan bedah dapat dipertimbangkan, untuk mengurangi insidensi komplikasi, seperti emfisema dan infeksi (3). Pada pasien ini diberikan injeksi ceftriaxon 1 gr/12 jam.
Selain itu, pasien juga diberikan injeksi Ranitidin 1 amp/12 jam yang merupakan golongan antihistamin (H2-antagonist) Ranitidine diberikan pada pasien untuk menekan stress metabolic yang terjadi pada pasien. Stress metabolic sering terjaid pada pasien akibat kegagalan organ dan menurunkan prostaglandin hingga pada akhirnya akan meningkatkan produksi asam lambung. Pasien dengan posisi tirah baring rentan akan terjadinya refluks asam lambung ke esophagus akibat gravitasi. Curcuma 3x1 diberikan untuk memperbaiki nafsu makan dan sebagai hepatoprotektor. Vectrin 3x1 merupakan agen mukolitik yang diberikan untuk mengencerkan dahak pada pasien. Codein 3x1 merupakan antitusif yang berguna untuk menekan respon batuk.
BAB V KESIMPULAN
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, maka pasien Ny. NS usia 43 tahun didiagnosa dengan pneumothorax spantan sekunder ec. TB paru.
Pneumothoraks adalah keadaan dimana terdapatnya udara bebas dalam cavum pleura, maka akan menimbulkan penekanan terhadap paru-paru sehingga paru-paru tidak mengembang dengan maksimal.
Prinsip penatalaksanaan pneumothorax adalah untuk mengeluarkan udara dari rongga pleura dan menurunkan kecenderungan untuk kambuh lagi.
Tatalaksana berupa tindakan dekompresi, antibiotik, dan pengobatan penyakit yang mendasarinya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Guyton, Arthur, C. Hall, John, E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9.
Jakarta : EGC; 2012. p. 598.
2. Sudoyo, Aru, W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. K, Marcellus, Simadibrata. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV.
Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. p. 1063.
3. Bowman, Jeffrey, Glenn. Pneumothorax, Tension and Traumatic. Updated:
2010 May 27; cited 2011 January 10. Available from http://emedicine.medscape.com/article/827551
4. Alsagaff, Hood. Mukty, H. Abdul. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru.
Surabaya : Airlangga University Press; 2009. p. 162-179
5. Schiffman, George. Stoppler, Melissa, Conrad. Pneumothorax (Collapsed Lung). Cited : 2011 January 10. Available from : http://www.medicinenet.com/pneumothorax/article.htm
6. Malueka, Rusdy, Ghazali. Radiologi Diagnostik. Yogyakarta : Pustaka Cendekia Press; 2007. p. 56
7. Sudoyo, Aru, W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. K, Marcellus, Simadibrata. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. p. 1063.
8. Prabowo, A.Y.(2010, Desember 20). Water Seal Drainage Pada Pneumothorax Post Trauma Dinding Thorax. Bagian Ilmu Penykit Dalam.
RSUD Panembahan Senopati Bantul; 2010. Diakses 22 Maret 2011.
http://www.fkumycase.net/.