NAMA : PUTRI SRI ALISIA NABILA NIM : 210160040
MK : ARSITEKTUR NUSANTARA DAN ACEH KELAS : C
TUGAS 1 PRIBADI
Dalam bangunan adat Aceh, Batak, Nias, dan Padang jabarkan beberapa poin berikut:
a) Filosofi b) Mitologi c) Orientasi d) Karakteristik e) Denah
f) Gambar bangunan g) Ornament
JAWABAN
1 Rumah Adat Aceh
a) Filosofi
Rumah dibuat tinggi
Tempat yang dibuat tinggi ini dipilih guna mengurangi kelembaban di dalam rumah.
Sebab dengan konsep panggung, maka udara dapat masuk ke dalam rumah melewati kolong-kolong. Dengan begitu, makanan di dalam rumah pun tidak akan cepat membusuk.
Ukiran di dalam rumah menunjukkan status sosial
Lalu setiap rumah pasti memiliki ukiran atau ornamen. Banyak sedikitnya dan bagus tidaknya ornamen ini menjadi salah satu tanda status sosial masyarakat. Semakin tinggi kedudukannya di masyarakat, maka ornamen dan hiasan di dalam rumah juga akan semakin bagus dan banyak. Dengan begitu, apabila Anda bertamu ke rumoh Aceh, maka dapat diketahui status sosial pemilik rumah melalui ornamen yang ada di sana.
Pintu dibuat pendek sebagai bentuk penghormatan
Pintu-pintu dibuat cukup pendek, bahkan tidak setinggi tinggi orang-orang pada umumnya, supaya ketika baru memasuki rumah, semua orang seolah memberikan penghormatan kepada pemilik rumah. Lantaran ketika melewati pintu, setiap orang harus menunduk. Hal ini diterapkan supaya masyarakat saling menghormati sesama tanpa membedakan kasta.
Harus melalui musyawarah sebelum membangun rumah
Dengan adanya musyawarah ini diharapkan pembangunan dapat berjalan lancar tanpa kendala, sebab segala sesuatunya, baik bahan, tanggal pembuatan maupun pihak-pihak yang terlibat telah diputuskan bersama. Setelah musyawarah di tingkat keluarga, selanjutnya adalah musyawarah bersama para teuku dan ulama. Hal ini jelas sebagai bentuk permintaan doa restu supaya pembangunan rumah adat bisa dilaksanakan dengan lancar.
Jumlah Anak Tangganya Ganjil
Dengan berbentuk panggung, setiap rumah mempunyai tangga. Anak tangga rumah tradisional ini punya ciri khas, yaitu berjumlah ganjil. Menurut orang Aceh, angka ganjil merupakan bilangan khas dan sulit ditebak.
Atap Rumah dari Daun Rumbia
Atap Rumoh Aceh terbuat dari daun rumbia yang dianyam. Dipilih daun tersebut sebagai atap lantaran punya massa yang ringan sehingga tidak menambah beban rumah. Tak hanya itu, daun rumbia juga memberikan hawa sejuk ke dalam rumah.
Lantai Papan Tidak Dipaku
Papan kayu menjadi alas atau lantai rumah tradisional ini. Penyusunan papan menjadi lantai tidak dipaku melainkan cukup disematkan saja. Ini dimaksudkan agar papan bisa mudah lepas pasang.
Pohon Besar di Luar Rumah
Pada bagian luar rumah di bagian barat utamanya ditanam pohon besar yang rindang.
Selain sebagai tempat teduh, pohon ini dilarang ditebang karena punya fungsi yang bermanfaat. Di antaranya sebagai penahan angin agar tidak langsung menghantam rumah serta bantu cegah arus banjir yang datang di musim hujan. Seperti rumah adat lainnya, Rumoh Aceh juga dicat dengan warna yang mengandung makna tertentu. Seperti warna kuning yang mendominasi bagian sisi segitiga pada bagian atap rumah diartikan sebagai karakter yang kuat, hangat, sekaligus memberikan nuansa cerah. Selain itu, kuning dipilih agar tidak memantulkan sinar matahari yang menyorot.
Untuk ukiran garis, biasanya berwarna merah. Ini bermakna emosi yang berubah-ubah dan naik turun. Merah juga menyimbolkan gairah, senang, dan semangat mengerjakan sesuatu. Ada juga warna putih netral di ukiran rumah tradisional Aceh yang berarti bersih dan suci. Pada bagian lain, rumah dicat berwarna oranye yang punya makna kehangatan, kesehatan pikiran, dan kegembiraan. Warna hijau juga ditemukan pada motif ukiran yang melambangkan kesejukan, kehangatan, dan kesuburan.
b) Mitologi
Masyarakat Aceh masih memegang teguh ketentuan adat, termasuk dalam hal pembangunan rumah. Kitab adat Meukuta Alam menjadi pedoman bagi masyarakat dalam melakukan sesuatu, termasuk ketika mempersiapkan pembangunan rumah.
Dalam kitab disebutkan, dalam proses pembangunan, harus menggunakan kain berwarna merah dan putih sedikit. Kain tersebut nantinya akan diikatkan di tiang utama bangunan.
Kedua kain tersebut menjadi lambang atau biasa disebut tameh radja dan tameh putroe. Tak
hanya rumah saja, namun tameh tersebut juga berlaku untuk pembangunan masjid atau balai desa.
Kemudian, dalam kitab adat juga disebutkan, bahwa pekarangan dan bagian Rumoh Aceh menjadi milik anak perempuan dan ibunya. Jadi, rumah tersebut akan menjadi milik anak perempuan tatkala sang kepala keluarga sudah meninggal.
Namun jika tidak memiliki anak perempuan, rumah akan menjadi milik istri. Menurut adat Aceh, kepemilikan rumah dan juga pekarangan tidak boleh digantikan.
c) Orientasi
Rumah adat Aceh ini dibuat selalu menghadap ke arah barat dan timur. Dan salah satu sisinya itu menghadap kiblat. Rumoh Aceh didesain demikian agar para tamu yang datang tidak perlu bertanya lagi mengenai arah kiblat untuk sholat.
Desain menghadap ke barat juga ditujukan untuk keselamatan dari angin badai. Ini karena angin kencang di Aceh bertiup antara dua arah. Jika bukan dari barat, berarti dari timur.
d) Karakteristik
Rumah Berbentuk Panggung
Jumlah Anak Tangganya Ganjil
Desain Pintu Rendah
Sisi Rumah Menghadap Timur dan Barat
Atap Rumah dari Daun Rumbia
Lantai Papan Tidak Dipaku
Pohon Besar di Luar Rumah
Ukiran di dalam rumah menunjukkan status sosial
e) Denah
Denah Rumah Adat Aceh
f) Gambar bangunan
g) Ornament
Motif Keagamaan
Motif ini biasanya bertuliskan kaligrafi Arab serta corak bulan dan bintang. Motif ini melambangkan syariat keagamaan Islam yang dianut oleh mayoritas orang Aceh. Letak motif ini umumnya ditemukan pada dinding bagian tulak angen.
Motif Flora
Flora mengikuti motif bentuk tumbuh-tumbuhan, seperti akar, bunga, batang, maupun daun. Motif ini biasanya terdapat di tangga, dinding rongga angin, balok bagian kap atap, hingga jendela.
Motif Fauna
Tampak Depan
Tampak Perspektif
Motif fauna bercorak hewan yang disukai oleh masyarakat Aceh, seperti burung merpati atau perkutut. Motif ini dianggap sebagai kecintaan terhadap binatang.
Motif Pucok Reubong
Pucok reubong artinya pucuk rebung bambu. Motif ini bermaksud bahwa hidup bagaikan bermula dari rebung yang kemudian tumbuh dan berproses menjadi bambu.
Motif Bungong Kipah
Motif lainnya juga ada yakni bungong Kipah atau bunga kipas dan daun sirih.
h) Elemen
Tameh, yakni tiang yang digunakan sebagai penyangga badan rumah
Tameh raja (tiang raja), yaitu tiang utama di sisi kanan pintu masuk
Tameh putroe (tiang putri), adalah tiang utama di sisi kiri pintu masuk
Gaki tameh (kaki tiang), merupakan alas tiang dari batu sungai yang berfungsi sebagai penyangga tiang kayu agar tidak masuk ke dalam tanah
Rok, yaitu balok pengunci boasa yang menguatkan antar ujung setiap balok penyusun rumah
Thoi, adalah balok pengunci yang arahnya tegak lurus dengan rok
Peulangan, yakni tempat bertumpu dinding interior
Kindang, adalah tempat bertumpu dinding eksterior
Aleue (lantai) terbuat dari papan berbilah kecil
Lhue, yaitu balok rangka untuk penyangga lantai
Neudhuek lhue, yakni tempat bertumpu lhue
Binteh (dinding)
Binteh cato (dinding catur)
Tingkap (jendela), dibuat berukuran kecil pada sisi rumah
Pinto (pintu)
Rungka (rangka atap)
Tuleueng rhueng (balok wuwung), sebagai tempat bersandar kaso pada ujung atas yang terbuat dari kayu ringan agar tidak memberatkan beban atap
Gaseue gantong (kaki kuda-kuda)
Puteng tameh, yakni bagian ujung tiang yang dipahat sebagai penyambung balok
Bui teungeut, yaitu potongan kayu sebagai penahan neudhuek gaseue
Taloe pawai, adalah tali pengikat atap yang diikatkan pada ujung bui teungeut
Tulak angen (tulak angin), merupakan rongga tempat berlalunya angin pada dinding sisi rumah yang berbentuk segitiga.
2 Rumah Adat Batak
a) Filosofi
Rumah Adat Bolon
Terdapat gambar-gambar ataupun ukiran yang dibuat pada badan rumah ini. Ukiran tersebut memiliki makna mengenai kisah hidup masyakarat suku Batak. Contoh ukiran tersebut ialah
ornamen Gorga yang dilambangkan dengan cicak, ular dan kerbau yang artinya penolak malapetaka, penyakit dan lain sebagainya.
Rumah Adat Pak-pak
Keunikan rumah adat pak-pak terletak pada bagian atapnya yang mirip seperti tanduk kerbau.
Filosofi rumah adat pak-pak sendiri pada atap rumahnya yang melambangkan semangat kepahlawanan sehingga pemiliknya memiliki jiwa pahlawan yang kuat.
b) Karakteristik
Rumah Adat Bolon
Ciri khas rumah adat batak diantaranya pada rumah bolon yang persegi empat dengan gaya rumah panggung.
Rumah ini biasanya memiliki tinggi 1,75 meter dari dataran atau tanah.
Tinggi pintunya sekitar 1,5 meter dan lebar 80 cm dengan bentuk menjorok ke area dalam.
Karena rumah bolon berbentuk panggung biasanya kemudian dilengkapi dengan tangga sehingga mempermudah seseorang saat memasuki rumah ini. Letak tangganya berada di area tengah ruang. Dan ketika memasuki rumah ini secara khusus harus menunduk saat menaiki tangga.
Di dalam rumah bolon juga terdapat suatu ruang kosong yang tidak memiliki kamar dan berukuran cukup luas.
Dalam menopang rumah bolon ini kemudian dapat berdiri dengan kokoh yang digunakan tiang penyangga pada setiap sudutnya.
Sementara pada bagian atasnya memiliki bentuk yang mirip dengan pelana kuda yaitu pada bagian depan dan belakang yang melengkung.
Bagi masyarakat batak sendiri atap sebagai tempat yang mereka anggap suci karenanya mereka menyimpan sesuatu yang berharga di area atap rumahnya, seperti benda-benda pusaka.
Rumah bolon sendiri memiliki ciri dan keunikan tersendiri mulai dari bentuk dinding rumah yang sengaja dibuat miring, juga dilihat dari bahan yang digunakan adalah ijuk atau daun rumbia.
Rumah Adat Karo
Rumah adat Karo juga menjadi rumah adat Sumatera Utara yang terbesar dan tertinggi ukurannya. Tingginya mencapai 12 meter.
Uniknya, meski menjadi rumah adat tertinggi dan terbesar di Sumut, namun rumah ini dibangun tanpa menggunakan paku sama sekali.
Rumah adat ini juga terdiri dari enam belas tiang yang bersandar pada batu-batu besar yang kemudian menyangga bangunan sehingga bangunannya kemudian menjadi lebih kokoh.
Pada bagian atapnya terbuat dari ijuk hitam yang diikat pada area kerangka anyaman bambu.
Sementara lantainya sendiri terbuat dari kayu yang terjangkau dan disusun secara apik sehingga saling menempel satu sama lain.
Rumah adat Karo juga memiliki nama lain yaitu rumah adat Siwaluh Jabu yang mengartikan bahwa rumah tersebut kemudian dihuni oleh delapan keluarga dengan berbagai peran berbeda dalam rumah tangga.
Rumah Adat Bagas Gondang
Memiliki berbagai ciri seperti bentuk persegi panjang ke belakang dengan atap berbentuk segitiga gunting.
Bagian atap ini kemudian dijuluki juga dengan bentuk tarup silengkung dolok atau bentuk atap pedati.
Bagian atapnya juga dibuat dari ilalang dan dedaunan kering.
Pada bagian atap depan terdapat ornamen berwarna hitam, merah dan putih yang menjadi ciri khasnya.
Sementara bahan bangunannya kemudian terbuat dari kayu-kayu besar dengan jumlah yang ganjil sebagai penyangga utamanya.
Rumah Adat Pak-pak
Rumah adat Pakpak merupakan rumah dengan warna tampilan paling cerah di antara rumah adat lainnya di Sumatera utara karena penggunaan warna merah dan jingganya, kemudian mendominasi area atap dan dinding rumahnya.
Meski masih terdapat rumah adat Pakpak yang
juga masih menggunakan warna coklat dan hitam pada area atapnya juga warna putih pada bagian dindingnya.
Rumah adat Pakpak sendiri memiliki fungsi sebagai musyawarah dalam mencapai penyelesaian masalah di masyarakat.
Keunikan rumah adat pak-pak terletak pada bagian atapnya yang mirip seperti tanduk kerbau.
Rumah Adat Simalungun
Ciri khas dari rumah adat ini ada pada bangunannya yang berbentuk limas dengan tipe rumah panggung.
Bagian kolongnya dibuat setinggi dua meter
dengan tujuan
menghindari serangan babi hutan dan berbagai hewan liar lainnya.
Pada area kaki rumah adat Simalungun terdapat kayu-kayu penyangga yang diukir dan diberi banyak warna.
Sementara pada bagian pintunya sengaja dibuat pendek, agar tamunya menghormati pemilik rumah karena akan membungkuk ketika masuk rumah. Rumah adat Simalungun awalnya dibangun oleh Raja Simalungun pada tahun 1939.
Rumah Adat Simalungun
Bangunan Rumah adat angola dibuat dari papan kayu untuk lantai dan dinding, sementara pada area atapnya terdiri dari ijuk dan menggunakan tanah liat.
Rumah adat Angola dengan bentuk kotak serta pada area atapnya dengan bentuk yang lebih besar, sementara itu area atap yang lebih kecil berbentuk tak kalah unik yaitu segitiga.
Rumah adat Angkola juga didominasi dengan warna putih, coklat tua dan orange.
c) Denah
Denah Rumah Adat Bolon
d) Gambar bangunan
e) Ornament
Gorga Sompi
Gorga sompi berasal dari kata Tompi, artinya alat yang digunakan untuk mengikat leher kerbau pada gagang bajak sewaktu membajak di sawah. Gorga sompi dimaknai sebagai lambang ikatan kebu- dayaan. Pada masyarakat Batak Toba yang hidupnya selalu bekerja bergotong royong terjalin sebuah ikatan kekeluargaan.
Gorga ipon-ipon
Gorga Ipon-ipon merupakan gorga yang disebut sebagai hiasa tepi, berfungsi sebagai keindahan yang memperkuat komposisi. Beberapa gorga Ipon-ipon memi- liki bentuk yang sama yaitu geometris, dan salah satu bentuk geometrisnya berlapis menyerupai empun , sehingga disebut sebagai Ombu
Tampak Rumah Adat Bolon Struktur Bangunan Rumah Adat Batak Karo
Marhehe. Ombu Marhehe dimaknai sebagai lambang kemajuan, karena setiap insan mengharapkan keturunannya ber- Pendidikan.
Gorga Desa na Ualu (Mata angin)
Gorga Desa na Ualu merupakan ukiran gorga yang terdapat pada kanan kiri rumah adat Batak.
Gorga Desa na Ualu sebagai simbol perbintangan yang menentukan saat-saat baik untuk manusia dalam melakukan aktivitas kerjanya seperti bertani, menangkap ikan, atau bahkan aktivitas ritual-ritual.
Gorga Simata ni ari (Matahari)
Gorga Simata ni ari umunya diletakkan disebelah sudut dorpi. Mataniari bermakna sebagai sumber kekuatan hidup dan sebagai penentu jalan kehidupan. Oleh karena itu, Gorga Simata ni ari sering disebut purba manusia
Gorga Simarogung-ogung
Ogung berarti alat musik Gong. Ukiran gorga simarogung-ogung terdapat disetiap rumah adat. Ukiran ini dimaknai sebagai kegembiraan. Gong dianggap sebagai simbol pesta yang diharapkan oleh masyarakat. Ukiran ini juga melambangkan kejayaan dan kemakmuran. Bagi orang yang yang memiliki kekayaan maka akan disebut parbahul-bahul na bolo, artinya seorang yang kaya
yang penuh pengasih dan pemurah.
Gorga Singa-singa
Gorga singa-singa berasal dari kata singa-singa, yang diartikan sebagai ber- kharisma dan berwibawa.
Gorga singa-singa terdiri dari wajah manusia dengan lidah yang terjulur ke luar hampir mencapai dagu. Kemudian kepala dihiasi dengan kain tiga bolit dan sikap kaki yang berlutut persis di bawah kepala tersebut.
Gorga Jenggar dan jorngom
Gorga Jenggar dan jorngom merupakan gorga yang berbentuk raksaksa yang biasa terdapat pada bagian tengah tomboman adop- adop dan halang gordang. Gorga ini mirip seperti hiasan yang terdapat di candi. Gorga Jenggar dan jorngom dimaknai sebagai penjaga keamanan. Bentuk raksasa diang- gap sebagai dewa yang sanggup melawan segala jenis setan. Oleh karenanya, Gorga Jenggar dan jorngom dijadikan sebagai menjaga pintu untuk melawan segala jenis setan.
Gorga Boras pati (Cecak)
Gorga Boras pati (Cecak) disebut juga sebagai bujonggir yang berarti gambar cicak yang ekornya bercabang dua.
Cicak tersebut terkadang memberikan peringatan sebuah tanda-tanda melalui tingkah laku dan suaranya yang bisa membantu manu- sia terhindar dari bahaya ataupun mendapatkan kekayaan. Oleh karenanya gorga ini memiliki makna yang menyimbolkan akan pelindung harta kekayaan manusia dan mengharapkan dapat berlipat ganda.
Gorga Adop-adop (Susu)
Gorga Adop-adop (Susu) berbentuk hiasan susu yang selalu dihiasi oleh boras- pati sehingga seolah mulutnya mendekati susu. Gorga Adop-adop (Susu) bermakna sebagai susu atau payudara yang melam- bangkan kesuburan dan kekayaan. Sering dibuat sebagai lambang keibuan ( inanta parsonduk bolon) artinya pengasih dan penyayang.
Gorga Hariara Sudung di Langit
Gorga Hariara Sudung di Langit memiliki bentuk seperti pohon hayat yang dimiliki seperti suku Sumatera Selatan atau gunu- ngan suku Jawa. Gambar burung sebelah atas disebut manuak-manuak hulambujati , dan warna putih membawa berkah.
Sedangkan pada ranting bawah terlukis gambar manuak-manuak imbulu buntal yang berwarna merah, membawa pada patuk- nya.
Gorga Hariara Sudung di Langit bermak- na sebagai manusia yang harus senantiasa mengingat penciptanya.
Gorga Gaja Dompak
Gorga Gaja Dompak memiliki bentuk seperti jenggar, hanya berbeda dalam posisi pemakaiannya. Gaja Dompak diletakkan tergantung pada ujung dila paung. Gorga ini bermakna sebagai simbol kebenaran bagi orang Batak.
Artinya manusia harus mengetahui hukum yang benar ialah hukum yang diturunkan oleh Tuhan Mulajadi Nabolon. Oleh karena itu, Gorga Gaja Dompak berfungsi sebagai penegak hukum kebenaran terhadap semua umat manusia.
Gorga Dalihan na Toru
Gorga Dalihan na Toru merupakan gorga yang berbentuk jalinan sulur yang saling terikat. Hal ini melambangkan falsafah Dalihan na Toru yang merupakan falsafah hidup orang Batak dalam menjalin hubu- ngan dengan sesama manusia.
Gorga Simeol-Eol
Gorga Simeol-Eol berasal dari kata Meol- meol, yang artinya melenggak-lenggok. Pada
ukiran gorga ini bentuk garisnya melengkung meliuk keluar yang menunjukkan keindahan sehingga menimbulkan kesan gaya klasik. Gorga Simeol-Eol bermakna sebagai lambang kegembiraan dan berfungsi untuk menambah keindahan.
Gorga Sitagang
Gorga Sitagang berasal dari kata Tagan, yang artinya kotak kecil untuk menyimpan sirih, rokok, dan benda kecil lainnya. Pada Gorga Sitagang memiliki bentuk simetris, seperti tutup kotak dan kotak yang ditutup pada tagan tersebut. Gorga Sitagang memi- liki makna kerendah hatian dalam menerima tamu.
Gorga Sijonggi
Gorga Sijonggi berasal dari kata jonggi, artinya lambang dari kejantanan, yang terkenal pada kelompok sapi. Sapi jantan yang memimpin rombongan dikatakan sebagai lombu jonggi. Makna pada Gorga Sijonggi ialah keperkasaan yang dihargai dan dihormati (pahlawan).
Gorga Silintong
Gorga Silintong memiliki bentuk seperti putaran air. Gorga Silintong dianggap sebagai gerakan pusaran air yang garisnya indah. Air silitong terdapat dalam guci yang disebut pagar, yaitu sejenis air yang mengandung kesaktian. Air sakti dianggap istimewa kejadiannya, oleh karenanya tidak semua rumah memilikinya. Gorga Silintong bermakna simbolik, dianggap memiliki kekuatan yang sakti, yang dapat melindu- ngi manusia dari segala bala. Dan biasanya pemilik ukiran ini ialah raja-raja adat yang dianggap berilmu seperti datu atau guru dalam ilmu yang dianggap ajaib sehingga mampu melindungi masyarakat.
Gorga Iran-iran
Iran ialah sejenis penghias muka manusia supaya dapat terlihat menarik dan berwibawa.
Oleh karenanya Gorga Iran-iran dimaknai sebagai lambang kecantikan.
Gorga Hoda-hoda
Gorga Hoda-hoda merupakan gambaran ilustrasi yang disebut diulang-ulang dengan gambar orang yang sedang me- ngendarai kuda ( hoda). Gambar pada gorga ini menceritakan suasana pesta adat, yaitu pesta mangaliat horbo (pesta besar). Gorga Hoda- hoda bermakna sebagai kebesaran. Melalui gambar mangaliat horbo menan- dakan pemilik rumah berhak untuk mela- kukan pesta mangaliat horbo (pesta besar).
Gorga Ulu Paung
Gorga Ulu Paung berbentuk menyerupai gambaran setengah manusia dan setengah hewan. Ulu Paung bermakna sebagai simbol keperkasaan untuk melindungi manusia seisi rumah. Oleh karenanya gorga ulu paung dijadikan sebagai penjaga setan-setan dari luar kampung.
f) Elemen
Tiang kayu
Digunakan untuk membuat tiang-tiang rumah. Pemilihan tiang yang baik dilakukan dengan cara mamingning, yaitu mengetahui kenyaringan suara kayu dengan cara diketok.
Pondasi
Pondasi Rumah Bolon dibuat berbentuk segi empat dengan beberapa tiang penopang.
Menurut kepercayaan orang Batak, rumah tidak akan kokoh berdiri tanpa letak pondasi yang kuat.
Pandingdingan (dinding)
Dinding rumah dibangun dengan bobot yang cukup berat, sesuai dengan kepercayaan Batak "ndang tartea sahalak sada pandingdingan". Artinya, diperlukan menjalin kerja sama dan kebersamaan di antara penghuni rumah dalam memikul beban yang berat.
Bungkulan
Yaitu rangka rumah bagian atas. Bungkulan ditopang oleh tiang ninggor, yang menjadi simbol kejujuran karena letaknya yang tegak lurus menjulang ke atas.
Arop-arop
Letaknya ada di bawah atap bagian depan. Arop-arop merupakan simbol pengharapan agar kelak akan mendapat hidup yang layak serta berkat dari Tuhan Yang Maha Esa.
Songsong boltok
Terletak di sebelah depan bagian atas, songsong boltok berfungsi untuk menahan atap agar tetap kokoh. Maknanya adalah bila tamu kurang berkenan terhadap sajian maupun perlakuan tuan rumah, sebaiknya dipendam dalam hati.
Ombis-ombis
Berfungsi sebagai alat pemersatu urur yang terbuat dari ijuk. Ini juga menjadi simbol bahwa dalam hidup, setiap manusia membutuhkan nasihat dan saran dari sesama. Ombis- ombis membentang dari belakang ke depan pada sisi kiri dan kanan rumah.
3 Rumah Adat Nias
a) Filosofi
Karena budaya perang di Nias, rumah dibangun dengan cara yang bisa dilindungi. Semua rumah ditinggikan diatas pilar dan di beberapa daerah setinggi dua sampai tiga meter. Pintu masuk dicapai dengan tangga yang bisa dipindahkan, mengarah ke pintu kokoh. Muka bangunan rumah yang miring ke arah luar dengan jendela berjerajak. Ini membuatnya sangat sulit untuk orang lain mendobrak ke dalam, sementara pada saat yang sama memungkinkan warga untuk mengamati gerakan musuh dari atas. Pada malam hari rumah tegas terkunci, dan kadang-kadang ada juga barikade antara ruang umum dan pribadi.
b) Mitologi
Orang Nias mengakui, bahwa budaya mereka berasal dari Gomo (fakta). Kami asumsikan, bahwa begitu pula arsitektur rumah adat Nias. Mula-mula berpangkalan di Gomo dan dari situ dikembangkan dan tersebar ke seluruh Pulau Nias.
c) Orientasi
Rumah-rumah Nias Selatan : Muka bangunan miring ke arah luar dan memiliki bukaan berjerajak yang memungkinkan warga untuk melihat ke jalan di bawah.
Rumah-rumah Nias Utara : Rumah-rumah memiliki sisi panjang menghadap jalan di desa.
d) Karakteristik Secara umum
Dibangun di atas tiang yang kuat dari batang kayu dan atap sisi dilapisi daun rumbia.
Bagian dalam rumah dibagi menjadi ruang publik besar di depan dan kamar pribadi kecil di belakang.
Kebanyakan rumah tradisional Nias memiliki ukiran kayu yang rumit di dalam dan di luar rumah.
Semua rumah adat Nias pakai Ndriwa, yaitu penyokong yang dipasang secara diagonal di antara tiang-tiang vertikal di bawah rumah. Ndriwa ini penyokong rumah ke 4 arah.
Tiang-tiang berdiri di atas lempengan batu bukannya dipancangkan ke dalam tanah. Ini menciptakan struktur yang sangat kuat, namun tetap fleksibel yang bisa menahan gempa bumi yang signifikan. Karena rumah tidak dipancangkan ke tanah, itu sering ditimbang oleh batuan atau pengaturan rumit batang-batang kayu secara tegak miring di bawah rumah. Ini untuk mempertahankan rumah dari bergerak selama badai atau gempa bumi.
Sebuah struktur serupa dengan balok vertikal dan diagonal menahan atap. Biasanya tidak ada plafon bagian dalam, dan rumah dibagi menjadi bagian dengan dinding-dinding. Barang rumah tangga dan peralatan lainnya sering disimpan di atas, di antara balok atap. Di atap depan ada pembukaan jendela di bagian atap sebagai ventilasi. Fitur ini juga unik untuk Nias dan tidak ditemukan di rumah-rumah vernakular lainnya yang menggunakan atap daun rumbia.
Rumah-rumah Nias Selatan
Rumah-rumah di rnamen adalah bentuk persegi rnamen dan sering mempunyai tambahan perluasan ke belakang.
Dibangun saling menempel dinding ke dinding dengan rumah-rumah tetangga dan hanya terbuka di depan dan belakang. Dinding papan di sisi kiri dan kanan pada rumah ini berdiri tegak dan memikul atap.
Dalam rumah bangsawan di ruang umum di depan, persis di pertengahan, terdapat 1 atau 2 tiang yang di Gomo disebut handro mbatö atau handro lawa-lawa, di Nias Selatan rnamen kholo-kholo. Tiang itu selalu pakai ukiran.
Muka bangunan miring rnamen luar dan memiliki bukaan berjerajak yang memungkinkan warga untuk melihat ke jalan di bawah.
Jumlah tiang dalam deret depan rumah ini selalu genap, entah 4 atau 6 tiang. Balok rnamen melintang di atas tiang-tiang, di deret kiri dan kanan rumah.
Di bagian depan ujungnya melengkung ke atas, disebut Ewe, dan dihias dengan ukiran- ukiran seperti ayam rname, biawak, ukiran hiasan emas, matahari dlsb. Di Nias Selatan Ewe ini disebut Sikhöli, dan hiasan hanya seperti rnament. Bentuk Ewe ini sering menyerupai depan sebuah perahu.
Dinding rumah biasanya polos, hanya di rumah bangsawan terdapat panel dinding yang diukir dengan sangat teliti.
Rumah-rumah di wilayah Lahusa dan Gomo (Nias Tengah)
Gaya rumah Nias Tengah juga adalah persegi panjang, tapi tidak dibangun dinding ke dinding seperti di selatan. Rumah di Gomo dikerjakan agak rustikal dan pakai berbagai ukiran “primitif”.
Rumah-rumah ini sering lebih dihiasi daripada rumah-rumah di selatan dan utara.
Jumlah tiang dalam deret depan selalu ganjil, entah 5 atau 7 tiang. Sering kelihatan satu lengan keluar dari tiang yang dengan tangan terangkat memberi Salam.
Rumah di Gomo sering memakai satu balok panjang yang melintang di atas kediaman rumah, persis dalam pertengahan rumah. Balok ini dibentuk dari satu pohon yang bersama dengan akar pohon digali dari dalam tanah. Balok ini disebut hulu, dan ujungnya yang dibentuk dari akar pohon itu disebut balö hulu (ujung punggung). Balö hulu biasanya penuh ukiran. Rumah-rumah bangsawan (Omo Sebua) di wilayah Gomo lebih besar dan lebih dihiasi daripada rumah biasa, tetapi tidak spektakuler seperti di selatan.
Rumah-rumah di Nias Selatan di bagian utara dari Gomo sedikit berbeda dari rumah lainnya di Nias Selatan. Rumah-rumah disini menunjukkan variasi besar dan membuktikan kreativitas para penduduk di kecamatan-kecamatan yang berbeda:
Lölömatua, Lölöwa’u, Bawölato dan Idanoi (Holi). Dasar juga rektanguler, tetapi lebih ke arah quadrat. Dan semua rumah yang bervariasi masih tetap memakai Ewe, balok panjang di sisi kiri dan kanan rumah.
Di lokasi yang lebih panas, mungkin ada bukaan jendela di semua tiga sisi depan, sesuatu yang tidak pernah dilakukan di wilayah lain rumah-rumah Nias Selatan atau Nias Tengah.
Rumah-rumah di Nias Utara
Rumah Nias Utara berbentuk lonjong yang sangat tidak biasa di dunia arsitektur vernakular.
Rumah ini tidak dibangun secara dinding ke dinding tapi berdiri bebas.
Rumah-rumah memiliki sisi panjang menghadap jalan di desa.
Di ruang depan lantai di sepanjang dinding umumnya sengaja ditinggikan dan sebuah bangku diletakkan menempel sepanjang dinding. Seringkali ada satu atau lebih tambahan perluasan ke rumah.
Pada salah satu ujung biasanya ada tangga ke pintu masuk rumah dengan serambi kecil.
Di rumah-rumah yang lebih besar mungkin ada dua pintu masuk, satu pintu besar ke ruang umum, dan satu yang sederhana untuk ke tempat tinggal pribadi di ujung lainnya.
Di belakang biasanya ada ruang perpanjangan atau bangunan tambahan untuk dapur.
Balok-balok diagonal tidak bersandar terhadap satu sama lain di tanah, tetapi disangga oleh balok-balok kayu yang berselang lintas di tengah.
Menggunakan pemberat batu dalam ruang yang diciptakan oleh balok-balok yang berselang lintas.
Tidak ada dinding papan di dua sisi rumah yang memikul atap rumah tetapi 4 tiang utama yang memikul seluruh atap. Nama ke-4 tiang adalah silalö yaŵa (yang menuju ke atas artinya). Di atas 2 silalö yaŵa sebelah kiri dalam rumah dan begitu pula di sebelah kanan dalam rumah melintang satu balok yang disebut alisi (pundak).
Rumah bangsawan biasanya lebih besar dan lebih dihias, tetapi jauh lebih kurang spektakular daripada rumah Omo Sebua di selatan.
Ada Kecamatan di perbatasan ke Nias Utara seperti Idanö Gawo, Gidö, Ma’u dan bagian Utara dari Kecamatan Lölöwa’u. Disitu terkadang kita temukan arsitektur transisi dari rumah persegi panjang ke arah rumah berbentuk lonjong. Contoh: pada ke-4 sudut rumah tak ada lagi siku, melainkan sudut rumah sudah terpotong dan dinding dimiringkan. Atau ada rumah dimana pola struktur tiang-tiang masih seperti pada rumah rektanguler, tetapi bagian atas sudah dibulatkan.
e) Denah
Denah Rumah Adat Omo Sebua
f) Gambar bangunan
Gaya rumah adat 'Omo Hada' dari Selatan
Denah Rumah Adat Omo Hada
Potongan Tampak Samping
Gaya rumah adat 'Omo Hada' dari Nias Tengah
Potongan Perspektif
Potongan Tampak Samping Potongan Perspektif
Tampak Depan & Belakang Tampak Samping
Gaya rumah adat 'Omo Hada' dari utara
g) Ornament
Di bagian depan terdapat sebuah bagian yang bernama Ewe yang ujungnya melengkung ke atas. Ewe biasanya dihias dengan berbagai macam ornamen seperti ornamen berbentuk ayam jantan, biawak, emas dan sebagainya. Ornamen Ewe yang disebut sebagai Sikholi, biasanya menyerupai depan sebuah perahu yang unik dan menakjubkan.
h) Elemen
Perspektif Struktur Potongan Tampak Samping
Ornamen pada rumah Nias Tengah
Ukiran kayu yang rumit.
Ukiran kayu, baik di dalam dan di luar rumah.
Sistem tiang dibangun untuk melindungi rumah terhadap gempa bumi
Mukah bangunan Rumah adat Nias Utara Atap batin dari rumah adat Nias Utara
Tingkatan lantai di dalam rumah Nias selatan Bagian depan dari rumah Nias selatan
4 Rumah Adat Padang
a) Filosofi
Bentuk tanduk kerbau menjadi ciri khas dalam budaya Minang. Tanduk Kerbau bermakna harapan untuk menuju Tuhan baik melalui nilai-nilai, amal ibadah, dan apapun yang bisa dilakukan untuk mendekatkan diri pada- Nya. Hal ini disebabkan eratnya tradisi keislaman dalam budaya Minang.
Rumah Gadang selalu dibuat tinggi menyerupai rumah panggung, dengan tangga pada bagian depannya. Pada halamannya, dibuat bangunan dengan 4 hingga 6 tiang. Bangunan ini dinamakan Rangkiang, berfungsi untuk untuk menaruh bahan pangan. Rangkiang adalah simbol bertahan hidup masyarakat Minangkabau.
Rumah Gadang umumnya memiliki ruangan dalam jumlah ganjil, diantara 3 hingga 11.
Hanya orang tua dan anak perempuan saja yang memiliki kamar.
Bagi orang Minang, rumah Gadang bukan hanya tempat untuk tinggal. Setiap bentuk dan garis dari Rumah Gadang mengikuti falsafah hidup orang Minangkabau, yaitu Alam Takambang Jadi Guru. Artinya, semua hal selalu melalui proses meniru dan belajar dari lingkungan alam sekitar.
Rumah Gadang menggambarkan alam Bukit Barisan. Puncaknya bergaris lengkung dan meninggi, sementara garis lerengnya melengkung dan mengembang ke bawah dengan bentuk bersegi tiga.
Apabila dilihat dari fungsinya, Rumah Gadang sangat sesuai dengan iklim tropis. Atapnya yang lancip membuat air hujan tidak akan mengendap pada ijuk yang berlapis-lapis.
Kolongnya yang tinggi memberikan hawa yang segar, terutama pada musim panas.
Pembangunan Rumah Gadang pun selalu berjajaran menurut arah mata angin dari utara ke selatan. Ini bertujuan untuk menjaga rumah dari terpaan angin yang kencang dan sengatan sinar matahari.
Sementara untuk motif, masyarakat Minang banyak terinspirasi oleh alam, yaitu daun, bunga, buah, dan tumbuhan lainnya. Ukiran yang dibuat pun tidak asal-asalan. Semua ukiran harus berdasarkan adat Basandi Syarak yang memiliki tiga filosofi, yaitu:
1) Ukue Jo Jangka, yang bermakna mengukur menggunakan jangka.
2) Alue Jo Patuik, yang bermakna memperhatikan alur dan kepatutan.
3) Raso Jo Pariso, memiliki makna mengandalkan rasa dan memeriksa atas rujukan bentuk- bentuk geometris.
Setelah itu, ukiran akan dicat dengan warna warna khas Minangkabau, yaitu kombinasi merah, hitam, kuning dan hijau.
b) Mitologi
Beberapa orang menganggap bahwa bentuk rumah gadang memiliki bentuk seperti kapal.
Namun, tidak sedikit pula yang menyebutnya memiliki atap mirip seperti tanduk kerbau.
Sejarah atau asal-usul bentuk rumah gadang seringkali dikaitkan dengan kisah kemenangan rakyat Minangkabau melawan Majapahit.
Joni Syahputra dalam "Berlibur ke Rumah Gadang" menjabarkan bahwa dahulu kerajaan Majapahit ingin menduduki wilayah Minangkabau. Untuk berperang melawan rakyat setempat, Majapahit menyiapkan pasukan dalam jumlah besar. Masyarakat Minangkabau paham betul jika mereka tidak mungkin bisa menang apabila terjadi perang.
Setelah bernegosiasi, masyarakat Minangkabau menawarkan adu kerbau alih-alih perang yang menimbulkan pertumpahan darah. Apabila dalam adu kerbau pihak Majapahit menang, maka mereka berhak menduduki tanah Minangkabau. Namun, jika kerbau pihak Majapahit kalah, mereka harus pergi dari Minangkabau.
Pihak Majapahit kemudian menyetujuinya dengan mengirimkan seekor kerbau jantan yang begitu besar dan ganas. Tetapi, rakyat Minangkabau dari dulu dikenal cerdik. Bukannya mengirimkan kerbau dengan besar yang setara, mereka justru mengirimkan anak kerbau untuk bertanding.
Begitu anak kerbau dilepaskan, ia langsung berlari ke arah perut kerbau Majapahit untuk mencari susu. Hal itu karena anak kerbau mengira kerbau Majapahit adalah induknya. Dalam sekejap mata, perut kerbau Majapahit sobek akibat pisau yang dipasang diujung mulut anak kerbau.
Dengan demikian, kerbau Majapahit mati dan kemenangan menjadi milik rakyat Minangkabau. Karena itulah, rumah gadang dibuat mirip seperti tanduk kerbau sebagai lambang kemenangan masyarakat Minangkabau.
c) Orientasi
Dalam pembangunannya, rumah ini dibangun dengan orientasi menghadap ke sungai.
d) Karakteristik
Bentuknya Mirip Perahu
Jika diperhatikan dari keseluruhan, Rumah Gadang memiliki bentuk yang hampir sama dengan perahu karena bagian bawah berukuran kecil dan membesar di bagian atas.
Rumah adat Sumatera Barat merupakan salah satu jenis rumah panggung yang dapat mengurangi resiko masuknya hewan-hewan liar.
Atap Tanduk Kerbau
Bentuk tanduk kerbau menjadi ciri khas dalam budaya Minang. Tanduk Kerbau bermakna harapan untuk menuju Tuhan baik melalui nilai-nilai, amal ibadah, dan apapun yang bisa dilakukan untuk mendekatkan diri pada-Nya. Hal ini disebabkan eratnya tradisi keislaman dalam budaya Minang.
Peletakan Tiang
Tiang rumah adat Sumatera Barat tidak ditancapkan ke dalam tanah, tetapi ditumpukan di atas batu yang yang berbentuk datar, ukurannya lebar, dan punya daya tahan yang kuat terhadap tekanan. Hal ini dilakukan bukan tanpa tujuan. Maksud dari peletakan tiang seperti itu untuk mengurangi resiko kerusakan yang parah saat terjadi gempa.
Kayu yang Tahan Rayap
Rata-rata, kayu yang digunakan adalah kayu ulin atau kayu besi yang sudah tua karena kayu ini tahan terhadap hama kayu. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan adanya pemakaian kayu lain seperti kayu balam, medang, surian, meranti, rasak, banio, kalek, dan surian.
Tidak Menggunakan Paku
Untuk mencegah terjadinya kerusakan pada dinding saat terjadi gempa, sambungan antar kayu mengandalkan pasak kayu, bukan paku. Hal ini mengingatkan pada pembuatan kapal kayu jaman dahulu. Maka tidak mengherankan jika rumah gadang dikatakan sebagai kapal yang memiliki atap.
Tahan Gempa
Oleh karena itu, desain rumah adat Sumatera Barat dibuat agar rumah tersebut tahan terhadap goncangan gempa. Kayu-kayu yang disambung dengan pasak paku (bukan paku), menjadikan kayu yang terkena goncangan akan dapat bergerak fleksibel dan saling menyesuaikan satu dengan lainnya.
Lumbung Pangan Terpisah dari Rumah
Karena rumah Gadang rawan untuk terbakar, maka cadangan makanan perlu untuk disimpan di tempat yang tidak riskan terbakar juga. Fungsi Rangkiang sebagai lumbung padi sebagai bentuk antisipasi untuk mengurangi kerugian yang terlalu dalam ketika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Atap Rumah yang Ideal untuk Area Tropis
Pemilihan atap dari ijuk kelapa dipercaya merupakan bahan yang ringan dibandingkan genteng. Tidak hanya itu, ijuk dapat dengan mudah diikat serta disusun rapat dan rapi.
Akibatnya, agar beban rumah secara keseluruhan tidak terlalu berat. Efisiensi berat rumah adalah satu upaya untuk memperkecil resiko kerusakan akibat gempa yang terjadi.
e) Denah
f) Gambar bangunan
Denah Rumah Adat Padang
Tampak Perspektif Tampak Perspektif
Tingkatan lantai di dalam rumah Nias selatan
g) Ornament
Siriah Gadang ‘Sirih Besar’
Makna kultural yang berhubungan dengan proses penamaan siriah gadang adalah dalam suku Minangkabau daun sirih sering kali disuguhkan untuk tamu apabila ada yang berkunjung dan menyatakan bahwa masyarakat Minangkabau sangat
terbuka dan senang menerima tamu.
Lumuik Hanyuik ‘Lumut Hanyut’
Makna kultural pada proses penamaan lumuik hanyuik adalah menjelaskan tentang fenomena merantau di adat Minangkabau maksudnya di sini adalah masyarakat Minangkabau yang mudah menyesuaikan diri dimanapun mereka berada ketika hidup di perantauan. Kurang lebih seperti lumut (ganggang) sungai yang hanyut
Aka Cino Sagagang ‘akar cina segenggang’
Makna kultural dari proses penamaan aka cino sagagang adalah melambangkan suatu kedinamisan hidup yang gigih dan ulet dalam memenuhi kebutuhan hidup. Karena masyarakat Minangkabau yang suka merantau, oleh sebab itu perlu pemikiran ke depan untuk mencapai suatu tujuan dan dengan akal pikiran digunakan untuk berjuang bertahan hidup.
Pucuak Rabuang ‘Pucuk Rebung’
Makna kultural dari proses penamaan pucuak rabuang adalah menyatakan saran serta nasihat supaya menjadi manusia yang berguna bagi manusia dan alam sekitarnya. Bumbu sebagai suatu analogi dapat dimanfaatkan sejak masih muda (rebung) menjadi bahan makanan hingga benar-benar menjadi bambu untuk peralatan dan perlengkapan kehidupan manusia. Fisik bambu juga menjadi sumber makna motif ini.
Jalo Taserak ‘Jala Tersebar’
Makna kultural dari proses penamaan jalo taserak adalah lambang sistem pemerintahan Datuk Parpatih Nan Sabatang dalam hal mengadili sesuatu dan mengambil keputusan untuk orang yang melanggar hukum dengan cara mengumpulkan informasi dari berbagai masyarakat setempat lalu diseleksi sehingga akhirnya diketahui siapa yang sebenarnya bersalah.
Saluak Laka ‘Jalinan Lidia atau Rotan’
Makna kultural dari proses penamaan saluak laka adalah menjelaskan suatu hubungan kekerabatan yang saling berkaitan erat antara yang satu dengan yang lainnya sehingga membangun kesatuan yang utuh dan kuat dalam mencapai suatu tujuan. Maka dari itu diberi nama saluak laka.
Lapiah Batang Jarami ‘Lapis Batang Jerami’
Proses penamaan lapiah batang jarami tergolong penyebutan sifat khas berdasarkan ciri fisik karena lapiah batang jarami mempunyai ciri-ciri seperti belah ketupat sama seperti ornamen saluak laka
Labah Mangirok ‘Lebah Mengirap’
Makna kultural dari proses penamaan labah mangirok adalah mengenai sistem sosial dan hubungan bermasyarakat. Maksudnya adalah sebagai pembatas antara hal yang baik dan buruk. Ketika sesuatu hal yang baik dan buruk itu telah diketahui maka akan selamat dalam hidup bermasayrakat dan terhindar dari perbuatan yang melanggar hukum.
Itiak Pulang Patang ‘Itik Pulang Petang’
Makna kultural dari proses penamaan itiak pulang patang adalah kebersamaan dalam kehidupan masyarakat Minangkabau.
Tupai Managun ‘Tupai Termenung ’
.Makna kultural dari proses penamaan dari tupai managun adalah sumber ilham yang diserap oleh manusia, seperti ahli adat maupun seniman, mulai dari sifat-sifatnya, bentuk maupun gerak-geriknya. Sifat dan gerakgeriknya yang lincah tidak luput dari pengamatan masyarakat Minangkabau sehingga manimbulkan suatu pengenalan terhadap ciri kependekaran seseorang
Tantadu Manyasok Bungo ‘Ulat Menghisap Bunga’
Makna kultural dari proses penamaan tatandu manyasok bungo adalah melambangkan kesuburan dan cita-cita. kemakmuran dan keindahan dalam hidup masyarakat Minangkabau.
h) Elemen
Sandi
Setiap kaki tonggak yang berdiri di atas sebuah batu disebut dengan sandi. Sandi batu dibentangkan, kemudian semua tiang dihubungkan oleh rasuk dan paran-paran. Paran adalah sebuah kayu atau ruyung panjang dari pohon kelapa yang menghubungkan setiap tiang pada ujung atas.
Tangga
Tangga pada sebuah rumah adat suku Minang terbuat dari material kayu dan biasanya diawali dengan sebuah batu alam yang permukannya datar. Jumlah anak tangga pada rumah adat suku Minang berjumlah ganjil, misalnya 5,7, dan 9.
Tiang
Tiang rumah adat suku Minang berbentuk dasar bulat yang dibuat bersegi-segi. Tidak ada tiang rumah adat suku Minang yang terbuat dari kayu bulat. Tiang merupakan bagian penting dari bangunan. Segi-segi dari tiang di rumah adat suku Minang tidak sama besarnya. Tiang yang besar terdapat pada tengah bangunan dan dibuat berbentuk segi delapan, sedangkan yang terletak di samping berbentuk segi lima.
Dinding
Dinding pada rumah adat suku Minang terdiri atas tiga bagian, yaitu dinding depan, dinding sasak, dan dinding samping. Secara umum, dinding tersebut terbuat dari anyaman bambu yang diikat oleh papan-papan sebagai tulangannya.
Mengutip buku Fakta Menakjubkan tentang Indonesia karya Novita Kristi, dkk (2012:
12), semua dinding rumah adat suku Minang terbuat dari papan, kecuali dinding bagian belakang yang terbuat dari bambu. Pemasangan dinding papan dilakukan secara vertikal.
Semua papan yang menjadi dinding dan menjadi bingkai diberi ukiran, sehingga seluruh dinding penuh ukiran. Sesuai dengan ajaran falsafah Minangkabau yang bersumber dari alam terkembang, sifat ukiran adalah non-figuratif, yaitu tidak melukiskan lambang- lambang atau simbol-simbol tertentu.
Lantai
Lantai rumah adat suku Minang terbuat dari papan. Lantai papan dipasang di atas jeriau.
Namun, ada kalanya lantai dibuat dari pelupuh (bambu yang telah dipecah).
Atap
Rumah adat suku Minang biasa disebut Rumah Gonjong atau Rumah Bagonjong karena atapnya berbentuk bergonjong runcing menjulang. Lengkungan pada atap terlihat tajam seperti garis tanduk kerbau, sedangkan lengkung pada badan rumah landai seperti badan.
Gonjong adalah bagian yang paling tinggi dari setiap ujung atap yang menghadap ke atas dan merupakan ujung turang yang dibalut dengan timah yang berbentuk:
1) labu-labu di bagian bawah 2) 1 belimbing di atas labu-labu 3) 1 anting-anting di atas belimbing
4) 1 ujung yang tajam di atas anting-anting.