Nama NIM
BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG PIDANA MENURUT WAKTU
AZAS NULLUM DELICTUM
Peraturan undang-undang pada dasarnya berlaku untuk masa yang akan datang, artinya untuk hal-hal yang terjadi sesudah peraturan itu ditetapkan. Lebih-lebih hal ini berlaku bagi peraturan- peraturan Hukum Pidana.
Azas Nullum Delictum merupakan azas yang penting dalam Hukum Pidana. Di dalam KUHP azas ini terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi:
“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang- undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”.
Jika diperinci, maka Pasal 1 ayat (1) tersebut berisi dua hal:
a. Suatu tindak pidana harus dirumuskan/disebutkan dalam peraturan undang-undang.
b. Peraturan undang-undang ini harus ada sebelum terjadinya tindak pidana.
a. Suatu tindak pidana harus dirumuskan/disebutkan dalam peraturan undang-undang Mengenai hal ini ada 2 (dua) kosekuensi
Konsekuensi pertama dari hal yang pertama ialah bahwa perbuatan seseorang yang tidak tercantum dalam undang-undang sebagai suatu tindak pidana juga tidak dapat dipidana. Jadi dengan adanya azas ini hukum yang tak tertulis tidak berkekuatan untuk diterapkan. Pengecualian terhadap hal ini ialah, bahwa di daerah-daerah yang dulu termasuk kekuasaan Pengadilan Swapraja dan Pengadilan Adat masih diterapkan hukum yang hidup (Hukum Adat) dengan pembatasan-pembatasan tertentu (Vide bab tentang number Hukum Pidana Indonesia). Konsekuensi kedua ialah adanya pendapat, bahwa ada larangan penggunaan analogi untuk membuat suatu perbuatan menjadi suatu tindak pidana sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Analogi artinya memper-luas berlakunya suatu peraturan dengan mengabstraksikan-nya menjadi aturan hukum yang menjadi dasar dari peraturan itu (ratio legis) dan kemudian menerapkan aturan yang bersifat umum ini kepada perbuatan konkrit yang tidak diatur dalam undang-undang.
Akan tetapi sebaliknya apabila ada peristiwa (baru) yang tidak diatur dalam undang-undang maka justru peraturan itu tidak diterapkan, apabila tidak sesuai dengan ratio dari peraturan tersebut.
Penganggapan yang demikian ini disebut "argumentum a contrario" (pemberian alasan secara dibalik- bewys van het legendeel).
Apa sebab harus hukum tertulis?
Apa sebab tak boleh analogi?
Mereka yang berpendapat adanya larangan analogi (dalam Hukum Pidana) al. Simons, Van Hattum. Golongan yang menyetujui penggunaan analogi al. Pompe, Jonkers, Taverne.
Alasan mereka yang tidak menghendaki analogi ialah anatara lain bahwa pelarangan analogi itu sudah ada sejak semula, berdasarkan sejarah pembentukan Pasal 1 tersebut. Pasal ini berasal dari Pasal 4 Code Penal yang memuat "la principe de la legalite" sebagaimana tercantum dalam Declaration des droits de L'homme et du citoyen. Disamping alasan itu, Pasal 1 tersebut. berfungsi mencegah tindakan sewenang-wenang dari Pengadilan atau dari Penguasa. Dengan membolehkan pemakaian analogi maka kemung-kinan tindakan sewenang-wenang itu diperbesar.
Dalam pada itu masih ada cara penafsiran yang "dekat" pada penafsiran ektensif, ialah penafsiran secara teleologisck. Cara penafsiran ini menerapkan sesuatu peraturan dengan melihat kepada tujuan dari peraturan tersebut. Dengan melihat atau menyesuaikan kepada situasi terjadinya tindak pidana yang bersangkutan. Oleh karena itu cara penafsiran ini juga disebut penafsiran sociologisch.
Cara penafsiran yang lain antara lain ialah:
1. penafsiran menurut tata bahasa (grammaticaal);
2. penafsiran secara sistimatis (systematisch);
3. penafsiran menurut sejarah terbentuknya peraturan (historisch);
4. penafsiran otentik (bab IX buku I KUHP).
b. Peraturan undang-undang ini harus ada sebelum terjadinya tindak pidana
Hal kedua yang tersimpul dalam Pasal 1 ayat (1) itu ialah aturan undang-undang harus sudah ada sebelum perbuatan, dengan perkataan lain peraturan Undang-Undang Pidana tidak boleh berlaku retroaktif (berlaku surut).
Rasio (dasar pikiran) dari hal ini ialah:
1. seperti dalam hal pertama, menjamin kebebasan individu terhadap kesewenang-wenangan Penguasa (peradilan).
2. Pendapat yang berhubungan dengan pendirian, bahwa pidana itu juga sebagai paksaan psychic (psychologischedwang). Dengan adanya ancaman pidana terhadap orang yang melakukan tindak pidana, penguasa berusaha mempengaruhi jiwa sicalon pembuat untuk tidak berbuat.
3. Aturan tentang tidak berlaku surutnya suatu peraturan pidana ini dapat diterobos oleh pembentuk undang-undang, sebab aturan itu hanyalah tercantum dalam undang-undang biasa. Jadi apabila pembentuk undang-undang menyatakan suatu undang-undang berlaku surut, hal tersebut adalah sepenuhnya hak pembentuk undang-undang sendiri. Di sini berlaku azas "lex posterior derogat legi priori". Artinya (dalam hal tingkatan peraturan itu sama) maka peraturan yang ditetapkan kemudian mendesak peraturan yang terdahulu.
Lain halnya, jika aturan ini masuk dalam Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 (Pasal 14 ayat 2) yang sejak tanggal 17 Agustus 1959 tidak berlaku lagi. Pasal 14 ayat (2) itu berbunyi:
"Tiada seorang jua pun boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi hukuman, kecuali karena ATURAN HUKUM, (huruf besar dari penulis) yang sudah ada dan berlaku terhadapnya".
Dalam hal ini maka pernyataan berlaku surutnya suatu peraturan pidana oleh pembentuk undang-undang akan dapat dikatakan inkonstitusionil, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, yang merupakan dasar, merupakan rangka dari tata hukum Negara Republik Indonesia. Segala
perundang-undangan Indonesia tidak boleh berlawanan dengan azas-azas yang terdapat dalam Undang- Undang Dasar.
Meskipun azas legalitas ini bukan azas yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar, namun pembentukan undang-undang tidak akan gegabah untuk dengan mudah menyimpanginya. Azas ini dipandang oleh Menteri Kehakiman Oemar Senoadji sebagai azas yang fundamental dalam negara hukum. Test-case mengenai hal ini adalah dalam pembicaraan di DPRGR mengenai Undang-Undang Pemberantasan Korupsi, di mana ada pendapat agar undang-undang, tersebut (kemudian menjadi Undang-Undang No. 3 Tahun 1971) dinyatakan berlaku surut. Tapi akhirnya usul tersebut tidak diterima.
4. Pengecualian terhadap ketentuan larangan berlaku retroaktif itu terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP, yang berbunyi:
"Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundang-undangan, dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa".
Jadi menurut pasal ini dimungkinkan suatu peraturan pidana berlaku surut. Dalam hal suatu perkara pidana belum mendapatkan keputusan hakim undang-undang yang bersangkutan dengan perkara dinyatakan tidak berlaku lagi, maka di sini timbul persoalan hukum transitoir, ialah hukum yang harus diterapkan apabila ada perubahan dalam undang-undang.
Jadi azas "lex temporis delicti itu tidak berlaku dengan perkataan lain ada retroaktivitas:
1. Apabila sesudah terdakwa melakukan tindak pidana ada perubahan dalam perundang-undangan.
2. Apabila peraturan yang baru itu menguntungkan/meringankan terdakwa.
1. Apabila sesudah terdakwa melakukan tindak pidana ada perubahan dalam perundang- undangan
Apakah arti perubahan dalam perundang-undangan (verandering van wetgeving)?
a. Menurut SIMONS ada perubahan apabila ada perubahan dalam teks dari Undang-Undang Pidana itu sendiri. Ini disebut ajaran formal.
b. Dalam pada itu mengenai "perubahan dalam perundang-undangan itu ada pendirian yang disebut
"ajaran materiil terbatas".
C Ajaran yang ketiga ialah apa yang dinamakan "ajaran materiil yang tidak terbatas".
Pasal 1 ayat (2) itu diterapkan sedemkian rupa sehingga tiap perubahan dalam perundang- undangan digunakan untuk keuntungan terdakwa. Misalnya dalam keputusan (arrest) H.R. Tahun 1921 mengenai pemilik rumah yang menaikkan sewa rumah 20% dari pada sewa yang ditentukan dalam Undang-Undang Panitia Sewa (Huurcommisstewei) Tahun 1917.
Sebelum orang itu diadili Undang-Undang Panitia Sewa itu diubah dan pemilik rumah diperkenankan minta kenaikan 20% terdakwa dilepas dari tuntutan hukum (ontslag van rechtsvervolging).
2. Kapankah suatu peraturan itu disebut meringankan/menguntungkan terdakwa?
Pengertian paling ringan atau menguntungkan itu harus diartikan seluas-luasnya, dan tidak hanya mengenai pidananya saja, melainkan mengenai segala sesuatunya dari peraturan itu yang mempunyai penga-ruh terhadap penilaian sesuatu tindak pidana. Penen-tuannya harus dilakukan in concreto dan tidak in abstracto.
Contoh dari (Jonkers)
Misalnya: terhadap suatu delik pidananya diperberat, akan tetapi delik itu dijadikan delik aduan.
Manakah yang menguntungkan terdakwa? Ini tergantung pada keadaan yang konkrit apakah ada pengaduan atau tidak. Kalau tidak ada pengaduan, aturan baru yang berlaku, hal mana berarti terdakwa tidak dituntut.
5. Mengenai ketentuan Pasal 1 ayat (2) ada saran-saran untuk menghapuskan saja. Azas legalitas yang berisi berlakunya "Lex temporis delicti" itu janganlah dikurangi demi kerugian si terdakwa tetapi juga jangan untuk keuntungannya. Kalau ada aturan pidana yang dibentuk sesudah terdakwa melakukan tindak pidana dan yang menguntungkan terdakwa, maka dapat saja Hakim menjatuhkan pidana yang lebih lunak dengan penilaian pembentuk undang-undang atas tindak pidana itu. Namun keputusannya tetap berdasarkan peraturan yang lama. Jonkers dan Hazewinkel Suringa berpendapat, bahwa pencoretan ayat (2) tersebut akan lebih menguntungkan Hukum Pidana dari pada merugikan.
6. Azas legalitas itu menurut sejarahnya nyata berpijak pada azas liberalisme/individualisme, dalam arti memberi jaminan perlindungan kepada orang seorang terhadap kesewenang-wenangan Penguasa demi kepastian hukum. Sampai pula Frans von Liszt, sarjana kenamaan dari Jerman/Austria, menamakan KUHP itu sebagai "Der Magna Ghana (Piagam Agung) des Verbreehers".
7. Di negara kita azas legalitas ini masih tetap dikehendaki oleh para Sarjana Hukum Pidana (Oemar Senoadji, Moeljatno, Han Bing Siong). Juga Seminar Hukum Nasional Tahun 1963 mengusulkan agar.
Dalam KUHP baru bagian umum (fundamentals), antara lain Azas Legalitas hendaknya disusun secara progresif sesuai dengan kepribadian Indonesia dan perkembangan revolusi setelah mempelajari perkembangan aturan-aturan pidana umum dalam KUHP di lain-lain negara. Jadi tetap dikehendaki tercantumnya azas tersebut dalam KUHP Nasional yang akan dibentuk nanti.