406433478 Askep Alergi OBAT
Maternal, Midwifery (Universitas 'Aisyiyah Yogyakarta)
Scan to open on Studocu
406433478 Askep Alergi OBAT
Maternal, Midwifery (Universitas 'Aisyiyah Yogyakarta)
Scan to open on Studocu
BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang
Obat tidak hanya memiliki efek yang menguntungkan tapi juga dapat menimbulkan reaksi yang merugikan. Alergi obat adalah reaksi alergi dimana sistem kekebalan tubuh bereaksi secara berlebihan (abnormal) terhadap obat- obatan tertentu yang dikonsumsi oleh seseorang. (Honestdocs, 2019).
Pada tahun 2014, sebuah studi multi-senter di Polandia melaporkan prevalensi alergi obat sebanyak 8,4 %. Di Thailand, sebuah studi pada tahun 2008 melaporkan bahwa obat anti-mikroba merupakan penyebab utama alergi obat yang terjadi. (Roy & Iris, Dalam Abstrak Pendekatan Diagnosis dan Tata Laksana Alergi Obat, 2017).
Di indonesia sendiri kejadian alergi obat sudah menjadi fenomena alergi obat sudah tidak asing lagi. Kasus alergi obat seringkali terjadi pada anak-anak.
Mengutip jakartaglobe.com, hasil penelitian oleh Universitas Indonesia menunjukkan peningkatan kasus alergi di indonesia mencapai 30 persen per tahunnya, walaupun belum ada data terinci mengenai prevalensi dan epidemiologi alergi beserta penyebabnya. Berdasarkan data tersebut, alergi obat merupakan salah satu masalah kesehatan yang cukup serius.
Oleh karena itu penyusun berharap dengan adanya makalah ini mampu membuka wawasan mahasiswa terkait alergi terhadap obat sehingga mampu memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan diagnosa keperawatan.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah berdasarkan latar belakang di atas adalah
“Bagaimanakah Konsep Teori dan Asuhan Keperawatan Pada klien dengan Reaksi Alergi Obat?”.
C. Tujuan Penulisan 1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu mengetahui dan menjelaskan konsep teori dan asuhan keperawatan pada klien dengan reaksi alergi obat.
2. Tujuan Khusus
Mahasiswa mampu menjelaskan:
a. Definis alergi obat b. Klasifikasi alergi obat c. Faktor risiko alergi d. Etiologi
e. Patofisiologi f. Manifestasi klinis g. Pemeriksaan penunjang
h. Penatalaksanaan farmakologi dan non farmakologi i. Pencegahan
j. Komplikasi
k. Pengkajian pada pasien alergi obat
l. Diagnosa keperawatan pada pasien alergi obat m. Rencana asuhan keperawatan pada pasien alergi obat n. Implementasi dan evaluasi secara teori
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi
Alergi obat adalah reaksi alergi dimana sistem kekebalan tubuh bereaksi secara berlebihan (abnormal) terhadap obat-obatan tertentu yang dikonsumsi oleh seseorang. (Honestdocs, 2019).
Alergi obat adalah respon tubuh terhadap partikel-partikel asing yang masuk kedalam tubuh. Tubuh mengadakan reaksi terhadap partikel-partikel tersebut melalui sistem kekebalan dan daya tahan tubuh seperti ketika penyakit memasuki tubuh. (Graha, 2010).
Alergi obat atau hipersensitivitas yaitu reaksi imun yang patologik yang terjadi akibat respon imun berlebihan yang melibatkan (IgE atau T cell– mediated atau jarang melibatkan kompleks imun atau reaksi sitotoksik) sehingga menyebabkan kerusakan jaringan tubuh. (dr. Tjok, 2016).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa alergi obat adalah suatu bentuk respon alergi partikel obat melalui sistem kekebalan tubuh atau sistem imun yang mengakibatkan kerusakan jaringan tubuh.
B. Klasifikasi
Klasifikasi obat menurut Coombs dan Gell menjadi empat tipe reaksi berdasarkan kecepatan dan mekanisme imun yang terjadi.
Reaksi imun Mekanisme Menifestasi Klinis Waktu untuk bereaksi Tipe 1 (IgE-
mediated)
Kompleks obat-IgE berkaitan pada sel mast dengan pelepasan histamin, mediator inflamasi
Anafilaksis,
urtikaria, angiodema, bronkospasme
Menit hingga jam setelah paparan obat
Tipe II (sitotoksik)
Spesifik antibodi IgG atau IgM langsung pada sel-sel yang terbungkus obat-hapten
Anemia, sitopeni, trombositopeni
Bervariasi
Tipe III (kompleks imun)
Deposisi jaringan dari kompleks obat-antibodi dengan aktivasi
komplemen dan inflamasi
Serum sickness, vaskulitis, demam, ruam, arthralgi
1-3 minggu setelah paparan obat
Tipe IV (delayed, cell mediated)
Presentasi MHC dari molekul obat terhadap sel T dengan sitokin dan pelepasan mediator inflamasi.; dapat berkaitan dengan aktivasi da pengerahan eosinofil, monosit, dan neutrofil)
Sensitivitas kontak ruam pada kulit, kerusakan jaringan organ
2-7 hari setelah paparan obat
C. Faktor Risiko
Faktor yang berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya alergi obat. Termasuk usia, jenis kelamin, polimorfisme genetik, infeksi virus, dan faktor terkait obat (frekuensi paparan, rute administrasi, berat molekul). Alergi obat secara khas terjadi pada usia muda dan dewasa, dan lebih sering terjadi pada wanita daripada laki-laki. Polimorfisme genetik dalam human leukocyte anti ge (HLA) dan infeksi virus seperti human immonudeficiency Virus (HIV) dan epstein – barr virus (ABV), juga berkaitan dengan penigkatan risiko terjadinnya reaksi emunologis terhadap obat. Kerentanan terhadap alergi obat dipengaruh oleh polimorfisme genetik dalam metabolisme obat.
Selain itu, rute administrasi seperti, topikal, intramuskular, dan intravena lebih sering menyebabkan reaksi alergi obat dibandingan administrasi secara oral. Dosis berlebihan dalam jangka waktu yang panjang atau frekuensi dosis dapat menyebabkan reaksi hipersensitivtas lebih besar daripada dosis tuggal. Selanjutnya, obat dengan
makromulekular atau obat hapten seperti penicilin, juga berhubugan dengan kemungkinan besar penyebab reaksi hipersensitivitas.
D. Etiologi
Pada dasarnya hampir semua obat, makanan, atau apapun yang dikonsumsi dapat berpotensi meimbulkan alergi. Setiap orang memiliki jenis alergi yang berbeda-beda. Namun, dari bagian ilmu penyakit kulit dan kelamin FK UI menyebutkan obat yang sering menimbulkan alergi adalah antibiotik penisilin dan turunannya ( Amphisilin, amoxisilin, kloksasilin), antibiotik sulfonamide, obat anti demam dan anti nyeri ( seperti asam salisilat, paracetamol, dll). Obat apapun dapat menyebbakan reaksi alergi. Beberapa yang umum adalah:
1. Penicillin (seperti, nafcillin, ampicillin, atau amoxicillin). Jenis obat- obatan yang paling menyebabkan alergi obat.
2. Sulfa obat-obatan 3. Barbiturates 4. Insulin 5. Vaksin
E. Patofisiologi
1. Imun Dan Non-Imun Reaksi Hipersensitivitas Terhadap Obat
Patomekanisme reaksi termasuk; 1. Sel mast non spesifik atau pelepasan histamin basofil (seperti opiat, media radiokontras, dan vankomisin),2. Akumulasi bradikinin (angiotensin-converting enzyme inhibitors), 3. Aktivasi komplemen (protamine), 4. Perubahan metabolisme arakidonat (aspirin dan nonsteroidal antiinflammatory drugs) dan, 5. Kerja farmakologis dari substansi tertentu yang menyebabkan bronkospasme (β-bloker, sulfur dioksida).
2. Reaksi Cepat Hipersensitivitas Obat
Reaksi cepat dari hipersensitivitas obat adalah hasil dari produksi IgE oleh spesifik antigen limfosit B setelah sensitisasi.
Antibodi IgE berikatan dengan reseptor Fc RI afinitas tinggi pada
permukaan sel mast dan basofil, menciptakan ikatan multivalen terhadap antigen obat. Berdasarkan subsekuen paparan obat, antigen kompleks protein hapten berikatan silang dengan IgE, menstimulasi pelepasan preformed mediators (histamin, triptase, beberapa sitokin seperti TNF-α) dan produksi mediator-mediator baru (leukotrin, prostaglandin, kinin, sitokin lainnya). Preformed mediators menstimulasi respon dalam beberapa menit, lalu komponen inflamasi sitokin berlangsung setelah beberapa jam. Waktu yang dibutuhkan untuk sintesis protein dan pengerahan sel imun.9,10 2.3.
3. Reaksi Lambat Hipersensitivitas Obat
Kebanyakan reaksi lambat hipersensitivitas obat dimediasi melalui kerja limfosit T. Kulit menjadi target organ yang umumnya terjadi dengan obat yang responsif terhadap sel T, tetapi organ lain bisa saja terlibat. Diklofenak, sebagaimana beberapa asam karboksil lainnya (obat anti inflamasi nonsteroid), dapat menyebabkan cedera hati melalui sistem imun, dimana dijelaskan dengan metabolisme hepar dan modifikasi selektif protein hepar. Penting untuk diperhatikan, bahwa obat yang sama dapat menimbulkan gejala dan tanda klinis yang berbeda pada individu yang berbeda pula, meskipun obat tersebut diadministrasikan pada dosis dan rute administrasi yang sama. Untuk menstimulasi sel T naif, sel dendritik proses pertama antigen obat.
Antigen lalu masuk dan ditranspor ke nodus limfa regional. Untuk berkembangnya respon imun yang efektif, sistem imun innate perlu untuk diaktifkan, menyediakan sinyal maturasi penting, sering ditujukan sebagai sinyal bahaya dimana termasuk obat langsung atau stres terkait penyakit. Saat tiba di nodus limfa, antigen dipresentasikan ke sel T naif. Sebagai alternatif, beberapa antigen obat bisa secara langsung menstimulasi sel T spesifik pada patogen, kemudian menghindari pengerahan untuk sel dendritik dan sel T. Antigen spesifik sel T bermigrasi ke target organ dan sekali lagi melakukan paparan ulang terhadap antigen, mereka diaktifkan untuk mensekresi sitokin
yang meregulasi respon dan sitotoksin (perforin, granzim, dan granulisin) yang mengakibatkan kerusakan jaringan.
4. Peran Virus Dalam Patogenesis Reaksi Hipersensitivitas Obat
Infeksi virus dapat mengakibatkan erupsi kulit dan meniru reaksi hipersensitivitas obat jika obat (kebanyakan antibiotik) yang diminum pada waktu bersamaan.Walaupun infeksi virus dapat mencetuskan erupsi kulit, infeksi virus bisa juga berinteraksi dengan obat, mengakibatkan erupsi ringan, misalnya pada kasus “ampicillin rash”
berkaitan dengan infeksi EBV dan reaksi berat selama drug reaction with eosinophilia and systemic symptoms (DRESS). Virus pertama kali menunjukkan reaktivasi pada pasien DRESS yang terinfeksi Human herpes virus (HHV)-6, tetapi semua HHV dapat terlibat. Beberapa studi menunjukkan bahwa replikasi HHV-6 bisa menginduksi in vitro dengan amoksisilin.
Pathway :
Penicillin (seperti, nafcillin, ampicillin, atau amoxicillin), Sulfa obat-obatan, barbiturates, insulin , vaksin.
Masuk ketubuh
Masuk ke sel tubuh di kelenjar limfe
Pelepasan sitokonin oleh sel tubuh
ALERGI Degranulasi sel mast
Sel-sel reseptor IgM mengikat IgE Sel beta merangsang membentuk IgE
Difagositosis
Ketidakefektifan pola nafas Kekurangan
volume cairan Gangguan
intergritas kulit Urtikaria,
pruritus Masuk ke PD
perifer Reaksi alergi
Integumen
Asma bronkial Edema laring, bronkospasme Alergi saluran
nafas Respiratorius
Vomitus,
nausea Diare
Kram abdomen
Gangguan reabsorbsi usus Inflamasi alergi saluran cerna
Gastrointestinal
F. Manifestasi Klinis
1. Hives atau welts, ruam, blisters, atau masalah kulit disebut eksim.
2. Batuk, wheezing, hidung tersumbat dan kesulitan bernafas.
3. Demam
4. Kulit melepuh dan mengelupas, masalah ini disebut racun berhubungan dengan kulit nekrolysis, dan menyebabkan kematian.
5. Anaphylaksis, merupakan reaksi paling berbahaya dapat menyebabkan kematian.
Gejala-gejala diatas biasanya muncul dalam waktu 1 jam setelah minum obat, reaksi cepat tanpa perawatan dapat menyebabkan syok.
Gambaran lain yang menandakan adanya alergi obat antara lain:
1. Adanya penonjolan kemerahan seperti orang terkena cacar 2. Adanya bidudaaran
3. Adanya kemerahan pada kulit yang disertai dengan sisik kulit
4. Adanya perdarahan dalam kulit, seperti kemerahan pada penderita DBD.
5. Adanya radang pada pembuluh darah (vaskulitis)
6. Adanya reaksi kemerahan akibat kontak langsung dengan sinar matahari
7. Adanya penonjolan bernanah seperti jerawat
G. Pemeriksaan Penunjang
1. RAST (Radio Allergo Sorbent Test) atau ELISA (Enzym Linked Immunosorbent Assay Test)
2. Skin Prick Test, yaitu tes tusuk kulit 3. Skin Test
4. Patch Test (tes tempel) 5. Test Provokasi
6. Uji gores (scratch test)
7. Uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (skin end- poin titration/SET)
H. Penatalaksanaan Farmakologi dan Non Farmakologi 1. Penatalaksanaan farmaologis
a. Adrenalin, yaitu golongan adrenergik yang akan meningkatkan konsentrasi cAMP dalam mastosit sehingga terjadi lambatan degranulasi. Selain itu adrenalin mempunyai manfaat terhadap sel sasaran yaitu:
Perangsangan terhadap pembuluh darah kulit, selaput lendir dan kelenjar liur.
Mengendurkan otot polos usus, bronkhus dan pembuluh darah otot rangka.
Perangsangan jantung dengan akibat peningkatan denyut jantung, kekuatan kontraksinya dan tekanan darah.
Perangsangan pusat-pusat pengaturan di otak, misalnya pernafasan.
Semua manfaat itu akan dapat mengurangi gejala-gejala reaksi anafilatik.
b. Difenhidramin, merupakan kelompok antihistamin yang bekerja menghambat histamin yang dihasilkan oleh sel mastosit.
c. Aminofilin, apabila bronkospasme menetap.
d. Teofilin, termasuk kelompok xantin yang mempunyai manfaat mengatasi reaksi anafilaktis. Mekanisme kerjanya melalui sel matosit dan sel sasarannya seperti halnya adrenalin.
e. Vasopresor
f. Kortikosteroid, merupakan kelompok obat-obatan yang paling banyak dipakai pada penyakit radang dan penyakit immunologik.
2. Penatalaksanaan non farmakologis
a. Evaluasi segera keadaan jalan nafas dan jantung b. Intubasi dan trakeostomi
c. Pemasangan turniket proksimal dari daerah suntikan jika anafilaksis terjadi karwna suntikan pada ekstermitas atau sengatan/ggigitan hewan berbisa
d. Pemberian oksigen
e. Terapi desentisasi f. Pengobatan suportif
I. Pencegahan
1. Menghindari alergen penyebab reaksi alergi
2. Bagi orang yang sensitif terhadap gigitan dan serangan serangga, yang pernah mengalami reaksi terhadap makanan atau obat tertentu, dan yang pernah mengalami reaksi anfilaktik akibat latihan fisik harus selalu membawa kotak emergensi yang berisi efineprin (Epipen) 3. Anamnesa yang cermat mengenai riwayat setiap sensitivitas terhadap
antigen yang dicurigai sebelum pemberian obat apapun
4. Untuk mencegah anafilaksis akibat alergi obat, kadang sebelum obat penyebab alergi diberikan, terlebih dahulu diberikan kortikosteroid, antihistamin atau epineprin
5. Melakukan skin test bila perlu juga penting, namun perlu diperhatikan bahwa tes kulit negatif pada umumnya penderita dapat mentoleransi pemberian obat-obat tersebut, tetapi tidak berarti pasti penderita tidak akan mengalami reaksi anafilaksis. Orang dengan tes kulit negatif dan mempunyai riwayat alergi positif mempunyai kemungkinan reaksi sebesar 1-3% dibandingkan dengan kemungkinan terjadinya reaksi 60%, bila tes kulit positif.
6. Bagi pasien yang memiliki predisposisi untuk terjadinya reaksi anafilaksis harus mengenakan alat identifikasi yang berkaitan dengan alergi obat, seperti gelang Medic-Alert.
7. Dilakukan desensitisasi (usaha mengurangkan atau menghilangkan alergi terhadap suatu zat)
8. Pasien diabetes yang alergi insulin dan sensitif terhadap penisilia memerlukan desensitisasi
9. Desensitisasi alergen spesifik adalah pencegahan untuk kebutuhan jangka panjang
10.Encerkan obat bila pemberian dengan SC/ID/IM/IV dan observasi selama pemberian
J. Komplikasi
1. Eritroderma eksfoliativa sekunder 2. Abses limfedenopati
3. Furunkulosis 4. Rinitis 5. Stomatitis 6. Konjungtivitis 7. Kolitis bronkolitis 8. Hepatomegali
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN ALERGI TERHADAP OBAT
A. Pengkajian 1. Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tangga dan jam mrs, no register, dan diagnosa media.
2. Keluhan utama
Biasanya terdapat kemerahan dan bengkak pada kulit dan terasa gatal.
3. Riwayat pemyakit sekarang
Pasien mengeluh nyeri perut, sesak napas, demam, bibirnya bengkak, timbul kemerahan pada kulit, mual, muntah dan terasa gatal.
4. Riwayat penyakit dahulu
Mengkaji apakah sebelumnya pasien pernah mengalami nyeri perut, sesak napas, demam, bibirnya bengkak, timbul kemerahan pada kulit, mual, muntah, dan terasa gatal dan pernah menjalani perawatan di rs dan pengobatan tertentu.
5. Riwayat penyakit keluarga
Mengkaji apakah dalam keluarga pasien ada atau tidak yang mengalami penyakit yang sama.
6. Riwayat psikososial
Mengkaji orang terdekat dengan pasien, interaksi dalam keluarga, dampak penyakit pasien terhadap keluarga, masalah yang mempengaruhi pasien, mekanisme koping terhadap stres, persepsi pasien terhadap penyakitnya, tugas perkembangan menurut usia saat ini, dan sistem nilai kepercayaan.
7. Pemeriksaan fisik
a) Keadaan umum : Klien nampak lemah
Tanda-tanda vital :
Suhu tubuh kadang meningkat, pernapasan cepat dan nadi juga cepat,
tekanan darah kadang menurun.
b) Pemeriksaan fisik secara persistem :
(1) Sistem pernapasan
Inspeksi: Nafas terlihat cepat(takipneu) pola napas tidak beratur.
Palpasi: Pengembangan dada simetris, terdengar taktil vremitus, otot bantu pernafasan teraba.
Perkusi: Bunyi dada terdengar Sonor, tidak ada penumpukan cairan.
Auskultasi: Terdapat suara nafas tambahan seperti ronkhi.
(2) Sistem kardiovaskuler
Inspeksi: Tidak terlihat kardiomegali/ pembesaran jantung
Palpasi: denyut jantung teraba reguler, dalam kondisi yang parah biasanya irreguler, tidak teraba pembesaran jantung.
Perkusi: batas jantung terdengar tympani.
Auskultasi: Tidak ada suara jantung tambahan pada kondisi yang tidak serius.
(3) Sistem pencernaan
Inspeksi: Pasien biasanya mengalami anoreksia, mual muntah dan perut sedikit cekung, nafsu makan menurun.
Palpasi: Terjadi nyeri tekan pada area ulu hati. Tidak teraba distensi abdomen.
Perkusi: terdengar suara perut Hipersonor.
Auskultasi: terdengar bising usus meningkat >12kali / menit
(4) Sistem Indera
Kaji adanya kerusakan fungsi masing-masing indra akibat dari komplikasi dan keparahan dari penyakit.
(5) Sistem Muskuloskeletal
Kaji adanya kemampuan otot, stabilitas dan kemampuan pergerakan (ROM), kekuatan sendi ekstrimitas atas dan bawah yang mengakibatkan sulit melakukan aktifitas refleks bisap ++/++, refleks trisep ++/++, refleks patele ++/++, refleks babinski
-/-, Apakah menyebabkan gangguan pada sistem ini atau tidak.
(6) Sistem Integumen
Inspeksi: terjadi penurunan turgor kulit, terdapat bintik ruam, gatal-gatal kemerahan.
Palpasi: teraba bentol -bentol dan bengkak. peningkatan suhu tubuh.
(7) Sistem Endokrin
Kaji adanya perubahan terhadap sistem endokrin misalnya adanya
pembesaran kelenjar tiroid.
(8) Sistem Perkemihan
Inspeksi: frekuensi urine menurun hingga anuri.
Palpasi: Tidak terjadi distensi pada kandung kemih.
(9) Sistem Reproduksi
Kaji adanya impoten pada pria, dan penurunan libido pada wanita
yang disertai dengan keputihan.
8. Pemeriksaan diagnostik
a. Pemeriksaan pada jumlah leukosit dan hitung jenis sel.
b. Pemeriksaan sel eosinofil pada sekret konjungtiva, hidung, sputum.
c. Pemeriksaan serum Ig E dan Ig G spesifik.
B. Diagnosa keperawatan
1. Ketidakefektifan pola napas b.d terpajan alergen.
2. Kerusakan integritas kulit b.d inflamasi dermal, intradermal sekunder.
3. Kekurangan volume cairan b.d kehilangan cairan berlebih.
C. Intervensi Keperawatan
Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional Pola nafas tidak
efektif b.d terpajan alergen
Setelah diberikan askep selama 1x 15 menit diharapkan pasien menunjukkan pola nafas efektif dengan frekuensi dan kedalaman rentang normal.
Kriteria hasil : 1. Frekuensi
pernafasan pasien normal (16-20x permenit)
2. Pasien tidak merasa sesak lagi
3. Pasien tidak tampak memakai alat bantu pernapasan
4. Tidak terdapat sianosis
1. Kaji frekuwensi, kedalaman pernapasan, dan ekspansi paru.
Catat upaya
pernapasan, termasuk otot bantu
pernapasan/pelebaran masal.
2. Auskultasi bunyi napas dan catat adanya bunyi napas adventisius seperti krekels, mengi, gesekan pleura.
3. Tinggikan kepala dan bantu mengubah posisi.
Bangunkan pasien turun dari tempat tidur dan ambulansi segera mungkin.
1. Kecepatan biasanya meningkat. Dispnea dan terjadi peningkatan kerja napas. Kedalaman pernapasan bervariasi bergantung derajat gagal napas. Ekspansi dada terbatas yang
berhubungan dengan atelektasisatau nyeri dada pleuritik.
2. Bunyi napas menurun /tidak ada bila jalan napas obstruksi sekunder terhadap pendarahan, bekuan/kolaps jalan napas kecil (atelektasis).
Ronchi dan mengi menyertai obstruksi jalan napas / kegagalan
pernapasan.
3. Duduk tinggi
memungkinkan ekspansi paru dan memudahkan pernapasan. Pengubahan posisi dan ambulansi meningkatkan pengisian udara segmen paru berbeda sehingga
dan karakteristik secret.
5. Berikan oksigen tambahan.
6. Berikan humidifikasi tambahan , mis : nebulizer ultrasonik.
mengakibatkan batuk kering atau iritasi.
Sputum berdarah dapat diakibatkan oleh
kerusakan jaringan atau antikoagulan berlebihan.
5. Memaksimalkan bernapasn dan
menurunkan kerja napas.
6. Memberikan kelembaban pada membran mukosa dan membantu pengenceran secret untuk
memudahkan pembersihan.
Kerusakan integritas kulit b.d. inflamasi dermal, intradermal sekunder
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan pasien tidak akan mengalami
kerusakan integritas kulit lebih parah dengan kriteria hasil :
1. Tidak terdapat kemerahan, bentol- bentol dan edema 2. Tidak terdapat
tanda-tanda urtikaria, pruritus dan angioderma 3. Kerusakan integritas
1. Lihat kulit, adanya edema, area
sirkulasinya terganggu atau pigmentasi 2. Hindari obat
intramuskular
3. Beritahu pasien untuk tidak menggaruk area yang gatal
1. Kulit berisiko karena gangguan sirkulasi perifer
2. Edema interstisial dan gangguan sirkulasi memperlambat absorpsi obat dan predisposisi untuk kerusakan kulit 3. Mencegah terjadinya
luka akibat garukan
D. Implementasi kulit berkurang Kekurangan
volume cairan b.d. kehilangan cairan berlebihan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan kekurangan volume cairan pada pasien dapat teratasi dengan kriteria hasil : 1. Pasien tidak
mengalami diare lagi
2. Pasien tidak mengalami mual muntah
3. Tidak terdapat tanda-tanda dehidrasi
4. Turgor kulit kembali normal
1. Ukur dan pantau TTV
2. Kaji turgor kulit, kelembaban membran mukosa (bibir dan lidah)
3. Monitor intake dan output cairan 4. Beri obat sesuai
indikasi misalnya antipiretik,antiemetic 5. Berikan cairan
tambahan IV sesuai keperluan
1. Peningkatan suhu atau memanjangnya demam meningkatkan laju metabolik dan kehilangan cairan melalui evaporasi.td orstotatic berubah dan peningkatan takikardi menunjukan kekurangan cairan sistemik
2. Indikator langsung kekuatan volume cairan meskipun membran mukosa mulut mengkin kering karena nafas melut dan oksigen 3. Mengetahui
kesimvangan cairan 4. Berguna menurunkan
kehilangan cairan
5. Adanya penuruna n masukan atau banyak kehilangan, penggunaan parenteral memperbaiki atau mencegah
kekurangan
Implementasi adalah pengolahan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan (Effendi, 1995).
Jenis tindakan pada implementasi ini terdiri dari tindakan mandiri, saling ketergantungan/kolaborasi, dan tindakan rujukan/ketergantungan.
Implementasi tindakan keperawatan disesuaikan dengan rencana tindakan keperawatan.
E. Evaluasi
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai. Evaluasi merupakan bagian integral pada setiap tahap proses keperawatan ( Kozier, 1991:169).
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh dimana tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan yang umumnya nonimonigonik. Dengan kata lain, tubuh manusia bereaksi berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh di anggap asing atau berbahaya. Bahan- bahan yang menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut allergen.
B. Saran
Harapan kami semoga dengan makalah ini kami dapat memenuhi materi bagi para pembaca terutama bagi para mahasiswa khususnya bagi kami, namun tidak menutup kemungkinan makalah bisa sesempurna mungkin. Maka dari itu kritik dan saran dari para pembaca kami harapkan terutama dari para dosen.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2002. BukuAjar Keperawatan Medikal Bedah Volume 3.
Jakarta: EGC.
Graha, Chairinniza. 2010. 100 Questions & Answers : Alergi. Jakarta: PT. Elex Media Media Komputio.
Price & Wilson. 2003. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Volume 2 Edisi 6. Jakarta: EGC.
Sudiarjane, Nyoman. 2013. Gangguan Sistem Imunitas (Alegri Obat). Diakses pada 21 Maret 2019. Dari https://www.slideshare.net
Suwarno, Ira Natalia. 2010. Alergi Obat. Diakses pada 21 Maret 2019. Dari https://www.academia.edu