• Tidak ada hasil yang ditemukan

askep dm

N/A
N/A
Omar Bin Basit

Academic year: 2024

Membagikan "askep dm"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

ASUHAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH PADA SISTEM ENDOKRIN : DIABETES MELITUS

D I S U S U N OLEH:

Nama : Tiara Clorinda Br Hutabarat Nim : 200204026

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN

FAKULTAS FARMASI DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA

MEDAN 2024

1

(2)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Diabetes Mellitus merupakan penyakit yang ditandai dengan ketidakmampuan tubuh untuk melakukan metabolisme karbohidrat, lemak.

Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit kronis yang ditandai dengan hiperglikemia kronik yang disertai dengan berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik (Egede, Campbell, Walker & Linde, 2023)

Menurut WHO (2023) Sekitar 422 juta orang di seluruh dunia menderita diabetes, mayoritas tinggal di negara berpenghasilan rendah dan menengah, dan 1,5 juta kematian secara langsung dikaitkan dengan diabetes setiap tahunnya. Jumlah kasus dan prevalensi diabetes terus meningkat selama beberapa dekade terakhir. Menurut Riskesdas (2022) prevalensi diabetes melitus di Indonesia berdasarkan diagnosis dokter pada usia >15 tahun sebesar 5%. Angka ini menunjukkan peningkatan dibandingkan prevalensi diabetes melitus pada penduduk usia >15 tahun pada hasil Riskesdas 2020 sebesar 3%. Namun prevalensi diabetes melitus menurut hasil pemeriksaan gula darah meningkat dari 6,9% pada 2020 menjadi 8,5% pada tahun 2022. Angka ini menunjukkan bahwa baru sekitar 25% penderita diabetes yang mengetahui bahwa dirinya menderita diabetes.

Pada penderita Diabetes melitus biasanya mengalami banyak perubahan seperti diet yang mengharuskan mereka tidak boleh mengkonsumsi beberapa makanan yang mereka senangi, keseringan merasa haus yang membuat penderita terus menerus minum air dan sering mengalami buang air kecil yang tak kenal waktu, kondisi fisik yang yang semakin menurun seperti sering merasa lelah, harus melakukan konsultasi rutin ke dokter dan berbagai perubahan lainnya yang terjadi sepanjang hidupnya.

(3)

Perubahan dalam hidupnya yang mendadak membuat penderita Diabetes melitus memunculkan beberapa reaksi psikologis yang negatif. Diantarnya yaitu marah, merasa tidak berguna, putus asah, kecemasan yang meningkat dan depresi. Selain perubahan tersebut, jika penderita Diabetes melitus telah mengalami komplikasi, maka akan menambah kecemasan pada penderita Diabetes melitus (Chan, Lim, Wareham, Shaw, Orchard, Zhang,

& Gregg 2020).

Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita Diabetes Melitus yaitu komplikasi akut dan komplikasi kronis. Komplikasi yang terjadi yaitu berupa adanya kerusakan dan gangguan pada saraf, kerusakan ginjal, kerusakan mata, penyakit jantung, hipertensi, stroke, penyakit pembuluh darah perifer, gangguan pada hati, penyakit paru-paru, gangguan saluran makan yang kesemuanya termasuk dalam jenis penyakit kronis dengan tingkat kematian yang cukup tinggi, komplikasi-komplikasi tersebut menjadi salah satu penyebab adanya kecemasan bagi penderita Diabetes mellitus (Saputri, 2020).

Kecemasan merupakan kondisi emosi yang ditandai dengan perasaan tegang, pikiran cemas dan perubahan fisik seperti peningkatan tekanan darah, gemetar, nyeri kepala dan lain-lain (American Psychological Association, 2019). Kecemasan merupakan perasaan takut yang tidak jelas penyebabnya dan tidak didukung oleh situasi yang ada. Kecemasan dapat dirasakan oleh setiap orang jika mengalami tekanan dan perasaan mendalam yang menyebabkan masalah psikiatrik dan dapat berkembang dalam jangka waktu lama (Marbun, Pardede, & Perkasa, 2019).

Dalam penanganan kecemasan dilakukan terapi keperawatan seperti tindakan secara non farmakologi yaitu berupa tekhnik distraksi (tehnik distraksi visual, distraksi pendengaran, distraksi pernafasan, distraksi intelektual, imajinasi terbimbing) dan relaksasi (nafas dalam, meditasi, pijatan, music dan aroma terapi) dan tekhnik stimulasi kulit (Wahyuningsih,

1

(4)

Saputro, & Kurniawan, 2021). Teknik stimulasi kulit yang digunakan adalah kompres dingin ataupun kompres hangat, salah satu terapi yang digunakan dalam mengatasi kecemasan seperti terapi relaksasi nafas dalam dan terapi kognitif (Yusriany, & Purnamasari, 2021).

Terapi kognitif pada penderita diabetes melitus merupakan terapi paling penting untuk pencegahan kekambuhan dengan pengendalian diri dari penderita. Pedoman dan prosedur tentang terapi kognitif ini belum ada, oleh karena itu penting untuk drancang dan diuji cobakan pada sekelompok penderita DM dan kemudian divalidasi untuk digunakan sebagai standar terapi baku (Laela, 2023).

Berdasrkan survei awal pada pasien, didapatkan bahwa pasien saat diajak komunikasi telihat gelisah, bicara cepat, saat dilakukan pemeriksaan TTV didapatkan tekanan darah pasien tinggi denyut dan denyut nadi cepat. Saat ditanya mengapa terlihat gelisah, pasien menjawab kawatir akan penyakit diabetes melitus nya karna sudah tidak pernah kontrol lagi dan umur yang kini sudah menua, badan pun terasa lemah dan mengalami gangguan penglihatan sehingga tidak bisa melakukan banyak aktivitas terutama kegiatan sehari-hari.

1.3 Tujuan Pulisam 1.3.1 Tujuan Umum

Menjelaskan Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Pada Sistem Endokrin : Diabetes Melitus di Ruang Melati dilantai 2 Lubuk Pakam 1.3.2 Tujuan Khusus

1. Penulis memaparkan hasil pengkajian pada pasien Diabetes Melitus

2. Penulis memaparkan hasil analisa data pada pasien Diabetes Melitus

(5)

3. Penulis memaparkan hasil intervensi keperawatan pada pasien Diabetes Melitus

4. Penulis memaparkan hasil implementasi keperawatan pada pasien Diabetes Melitus

5. Penulis memaparkan hasil evaluasi keperawatan pada Diabetes Melitus

1

(6)

BAB 2

TINJAUAN TEORITIS

2.1 Konsep Diabetes Melitus 2.1.1 Defenisi

Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit gangguan metabolik menahun akibat pankreas tidak memproduksi cukup insulin atau tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang diproduksi secara efektif.

Insulin merupakan hormon yang mengatur keseimbangan gula darah, sehingga terjadi peningkatan konsentrasi glukosa didalam darah akibat gangguan metabolisme insulin dalam tubuh (hiperglikemia) (Pop- Busui, Januzzi, Bruemmer, Butalia, Green,, Horton, & Richardson).

Diabetes Melitus ditandai dengan kadar glukosa dalam darah melebihi batas normal dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemakdan protein ditimbulkan karena kadar insulin secara relatif.Pemeriksaan Glukosa Darah Sewaktu (GDS) ≥ 200 mg/dl dan hasilpemeriksaan Glukosa Darah Puasa (GDP) ≥ 126 mg/dl juga dapatdigunakan untuk pedoman diagnosis DM. Sementara glukosa setelah 2jam makan (2 jam pp) adalah ≥ 200 mg/dl (Hassanein, Afandi, Ahmedani, Alamoudi, R, Alawadi, Bajaj, & Zainudin, 2022).

2.1.2 Klasifikasi Diabetes Militus

Klasifikasi DM Diabetes Melitus digolongkan menjadi beberapa jenis yaitu DM tipe 1, DM tipe 2, DM pada kehamilan, dan DM tipe lain (Hadistio, Mawengkang, & Zarlis, 2022).

1. Diabetes Militus Tipe 1

Diabetes, juga dikenal sebagai diabetes tipe 1 atau diabetes tergantung insulin (IDDM), adalah suatu kondisi di mana penderita DM sangat bergantung pada insulin. Pada diabetes tipe 1, pankreas tidak memproduksi insulin, atau insulin tidak

(7)

mencukupi, sehingga pasien harus menyuntikkan insulin secara eksternal.

Diabetes tipe 1 merupakan penyakit autoimun yang

menyebabkan kerusakan sel pancreas penghasil insulin akibat gangguan system imun atau imun manusia. Perawat untuk penderita diabetes tipe 1 adalah dengan menyuntikan insulin kedalam tubuh dan mendukung olahraga serta pola makan yang baik. Jika seseorang dengan diabetes tipe 1 tidak mendapat suntikan insulin secara teratur, maka penderita jatuh karena tumbuh dalam keadaan kadar gula yang terlalu tinggi.

2. Diabetes Melitus tipe 2

Pada Penderita Diabetes Tipe 2, pankreas menyebabkan peningkatan gula darah. Kemungkinan diabetes lainnya adalah jaringan tubuh dan sel otot tidak sensitif. Sekitar 90-95% penderita diabetes resisten (resistensi insulin) menderita Penderita Diabetes Tipe 2. Penyakit diabetes dapat dicegah dengan tindakan preventif yang mengontrol faktor risiko penyebab DM.

3. Diabetes Melitus pada kehamilan

Diabetes selama kehamilan atau yang lebih dikenal dengan diabetes gestasional diartikan sebagai diabetes yang hanya terjadi selama kehamilan atau pada ibu hamil dengan kadar gula darah tinggi. Ibu hamil dengan kondisi ini berisiko terkena DM tipe 2 di kemudian hari.

4. Diabetes Melitus tipe lain

Jenis diabetes lain atau diabetes sekunder adalah diabetes yang disebabkan oleh penyakit lain. Diabetes sekunder terjadi setelah penyakit yang mengganggu produksi insulin atau mempengaruhi kerja insulin. Faktor risiko diabetes merupakan faktor yang dapat memicu terjadinya diabetes antara lain faktor keturunan, ras, obesitas, dan sindrom metabolik. Dari jumlah tersebut, obesitas dan sindrom metabolik adalah faktor yang dapat Anda kendalikan 2.1.3 Faktor Risiko Diabetes Melitus

1. Faktor yang dapat dirubah a. Obesitas

Obesitas menjadi salah satu faktor risiko utama untuk terjadinya penyakit DM. Obesitas dapat membuat sel tidak sensitif terhadap insulin (retensi

(8)

insulin). Semakin banyak jaringan lemak dalam tubuh semakin resistensi terhadap kerja insulin, terutama bila lemak tubuh terkumpul di daerah sentral atau perut (Hadistio, Mawengkang, & Zarlis, 2022)

Makan makanan yang berlebihan dapat menyebabkan gula darah dan lemak mengalami penumpukan dan menyebabkan kelenjar pankreas bekerja lebih ekstra memproduksi insulin untuk mengolah gula darah yang masuk. Seseorang yang mengalami obesitas apabila memiliki Indeks Massa Tubuh (IMT) lebih dari 25, maka dapat meningkatkan risiko untuk terkena DM. Obesitas dapat menimbulkan resistensi insulin melalui beberapa mekanisme seperti peningkatan lemak visceral yaitu tipe jaringan adipose yang berbeda secara fungsional yang dapat mempengaruhi keseimbangan glukosa (Hadistio, Mawengkang, &

Zarlis, 2022).

b. Gaya Hidup

Gaya hidup adalah perilaku seseorang yang ditunjukkan dalam aktivitas sehari-hari. Makanan cepat saji (junk food), kurangnya berolahraga dan minum-minuman yang bersoda merupakan faktor pemicu terjadinya DM tipe II ( Mulidan, Kaban, Lubis, & Bakti,2022). Penderita DM diakibatkan oleh pola makan yang tidak sehat dikarenakan pasien kurang pengetahuan tentang bagaimana pola makan yang baik dimana mereka mengkonsumsi makanan yang mempunyai karbohidrat dan sumber glukosa berlebihan, kemudian kadar glukosa darah menjadi naik sehingga perlu pengaturan diet yang baik bagi pasien dalam mengkonsumsi makanan yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari- harinya (Bar, Elrifda, Sitanggang, & Samosir 2023)

2. Faktor Resiko yang tidak dapat diubah a. Usia

Semakin bertambahnya usia maka semakin tinggi risiko terkena DM tipe II terjadi pada orang dewasa setengah baya, paling sering setelah usia 45 tahun. Penelitian epidemiologi pada berbagai populasi, prevalensi DM memperlihatkan peningkatan yang spesifik menurut usia. Kategori usia

(9)

50-60 tahun pada populasi masyarakat di Eropa merupakan usia meningkatnya risiko DM (Laia,Ginting, Zebua, & Sunarti, 2023).

b. Riwayat Keluarga

Seseorang akan lebih cepat terkena penyakit DM apabila seseorang tersebut memiliki garis keturunan dari ibu dan akan terkena penyakit DM lebih mudah lagi bila memiliki riwayat garis keturunan DM dari ayah dan ibu (Damanik, 2022).

c. Riwayat Diabetes Pada Kehamilan (Gestasional)

Seorang ibu yang hamil akan menambah konsumsi makanannya, sehingga berat badannya mengalami peningkatan 7-10 kg, saat makanan ibu ditambah konsumsinya tetapi produksi insulin kurang mencukupi maka akan terjadi DM. Memiliki riwayat diabetes gestasional pada ibu yang sedang hamil dapat meningkatkan risiko DM (Abadi, 2023)

2.1.4 Etiologi Diabetes Melitus

Penyebab utama gangguan metabolisme pada diabetes tipe 1 adalah penyakit autoimun yang menyerang sel beta pankreas, sedangkan pada DM Tipe 2, DM adalah resistensi insulin sel β dan sekresi insulin relatif menurun Pankreas disebabkan oleh sekresi insulin yang tidak mencukupi (Agung & Hansen, 2022).

2.1.5 Manifestasi Klinis DM

Gejala atau gejala klinis DM merupakan tanda atau tanda yang dapat dilihat sebelum dilakukan pemeriksaan gula darah. Gejalanya adalah sebagai berikut (Widodo, Santoso & Halleyantoro, 2022).

1. Poly Triass (polifagi, polistiren dan poliur);

2. Kadar gula darah puasa tidak normal;

3. Kurang BB yang tidak diinginkan.

Dengan gejala tersebut, DM tidak dapat didiagnosis dan kadar gula darah perlu diperiksa. Kriteria diagnosis diabetes didasarkan pada kadar gula darah :

Tabel 2.1

Kadar Glukosa Darah Normal, IGT, dan Diabetes Kadar Glukosa Darah mg/dl mg/dl HbA1c

Normal ≤ 5,6 %

Puasa <100 <5,6

(10)

Dua jam setelah makan <140 <7,8

Sewaktu <200 <11,1

IGT 5,7-6,4%

Puasa ≥ 126 ≥ 7,0

Dua jam setelah makan ≥140 & <200 ≥7,8 & <11,1

DM ≥ 6,5%

Puasa ≥126 ≥70

Dua jam setelah makan ≥200 ≥11,1

GDS (dengan gejala klasik)

≥200 ≥11,1

Sumber : Kusuma, 2016

2.1.6 Patofisiologi DM

Pada penderita diabetes tipe 1, terdapat kelainan autoimun sejauh ini, ini idiopatik, atau penyebabnya tidak diketahui. Respon autoimun ini menyerang sel beta pankreas yang memproduksinya insulin, akibatnya insulin tidak mencukupi sehingga sekresi tidak mencukupi memenuhi kebutuhan metabolisme harian.

Insulin tidak mencukupi mengontrol fungsi metabolisme gula darah, meningkatkan kadar gula darah dan menjadikan penderita DM 1 bertahan hidup dengan insulin eksternal setiap hari (Dhani, 2022).

Diabetes melitus tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, namun karena sel sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai “resistensi insulin”. Resistensi insulin banyak terjadi akibat dari obesitas dan kurangnya aktivitas fisik serta penuaan.

Pada penderita diabetes melitus tipe 2 dapat juga terjadi produksi glukosa hepatik yang berlebihan namun tidak terjadi pengrusakan sel-sel β langerhans secara autoimun seperti diabetes melitus tipe 2. Defisiensi fungsi insulin pada penderita diabetes melitus tipe 2 hanya bersifat relatif dan tidak absolut.

Perkembangan diabetes melitus tipe 2, sel β menunjukkan gangguan pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin dimana perkembangan selanjutnya akan terjadi kerusakan sel- sel β pankreas. Kerusakan sel-sel β pankreas akan terjadi secara progresif seringkali akan menyebab kan defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen. Pada penderita diabetes melitus tipe 2 memang

(11)

umumnya ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin (Dhani, 2022)

2.1.7 Patway

2.1.8 Diagnosis

DM

Keluhan dan gejala yang khas ditambah hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu >200 mg/dl, glukosa darah puasa >126 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Untuk diagnosis DM dan gangguan toleransi glukosa lainnya diperiksa glukosa darah 2 jam setelah beban glukosa. Sekurang- kurangnya diperlukan kadar glukosa darah 2 kali abnormal untuk konfirmasi diagnosis DM pada hari yang lain atau Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) yang abnormal. Konfirmasi tidak diperlukan pada keadaan khas hiperglikemia

(12)

dengan dekompensasi metabolik akut, seperti ketoasidosis, berat badan yang menurun cepat (Ismono, 2022).

Diagnosis nutrisi dimulai dengan data penilaian nutrisi yang menggambarkan kondisi pasien saat ini dan mengidentifikasi masalah nutrisi, berisiko untuk masalah nutrisi potensial yang memerlukan tindak lanjut sehingga intervensi nutrisi yang sesuai dapat diberikan. Diagnosis gizi digambarkan berdasarkan komponen masalah gizi (problem), penyebab masalah gizi (patologi), dan tanda dan gejala suatu masalah gizi (tanda dan gejala). Diagnosis nutrisi terdiri dari tiga domain: domain serapan (NI), domain klinis (NC) dan domain perilaku (NB). Area intake merupakan masalah nutrisi yang berhubun- gan dengan asupan nutrisi pasien. DM tipe 2 dapat ditegakkan melalui tiga cara, yaitu:

1. Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu kurang dari 200 mg/dl

2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa lebih dari 126 mg/dl dengan adanya keluhan klasik; dan

3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO) lebih dari 200 mg/dl

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau DM tipe 2 dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT). Kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) yaitu bila setelah pemeriksaan TTGO diperoleh glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140-199 mg/dl. Kelompok glukosa darah puasa terganggu (GDPT) yaitu bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa diperoleh antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam < 140 mg/dl (Dhani, 2022).

2.1.8 Pemeriksaan Penunjang

Menurut (Supriyadi, 2022) buku Nanda Nic Noc, 2015 hal 190 adalah : a. Kadar gula glukosa

b. Tes laboratorium Diabetes Mellitus

c. Kriteria diagnostik WHO untuk diabetes mellitus pada sedikitnya 2 kali pemeriksaan :

1. Glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl (11,1 mmol/L) 2. Glukosa plasma puasa >140 mg/dl (7,8 mmol/L)

(13)

3. Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudiann sesudah mengkonsumsi 75 gr karbohidrat (2jam postpradinal (pp) >200mg/dl).

4. Pemeriksaan laboratorium untuk diagnosis dan pemantauan pengobatan diabetes mellitus adalah kadar glukosa darah, HbA1c (hemoglobin glikat) dan yang terbaru albumin glikat.

2.1.9 Komplikasi

Menurut Rif’at, Hasneli, & Indriati, (2023)komplikasi akut terjadi apabila kadar glukosa darah seorang meningkat atau menurun tajam dalam waktu yang singkat. Komplikasi kronik terjadi apabila kadar glukosa darah secara berkeoanjangan tidak terkendali dengan baik sehingga menimbulkan berbagai komplikasi kronik diabetes melitus

1. Komplikasi Akut

Ketoasidosis Diabetik (KAD) dan Hyperglycemic Hyperosmolar State(HHS) adalah komplikasi akut diabetes. Pada Ketoasidosis Diabetik (KAD), kombinasi defisiensi insulin dan peningkatan kadar hormon kontra regulator terutama epinefrin, mengaktivasi hormon lipase sensitif pada jaringan lemak.

Akibatnya lipolisis meningkat, sehingga terjadi peningkatan produksi badan keton dan asam lemak secara berlebihan.Akumulasi produksi badan keton oleh sel hati dapat menyebabkan asidosis metabolik.Badan keton utama adalah asam asetoasetat (AcAc) dan 3-betahidroksibutirat (3HB). Pada Hyperglycemic Hyperosmolar State (HHS), hilangnya air lebih banyak dibanding natrium menyebabkan keadaan hiperosmolar. Seperti hipoglikemia dan hiperglikemia.

2. Komplikasi Kronik

Jika dibiarkan dan tidak dikelola dengan baik, DM akan menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi kronik, baik mikroangiopati maupun makroangiopati. Komplikasi kronik DM bisa berefek pada banyak sistem organ. Komplikasi kronik bisa dibagi menjadi dua bagian, yaitu komplikasi vaskular dan nonvaskular. Komplikasi vaskular terbagi lagi menjadi mikrovaskular (retinopati, neuropati, dan nefropati) dan makrovaskular (penyakit arteri koroner, penyakit arteri perifer, penyakit serebrovaskular).

Sedangkan komplikasi nonvaskular dari DM yaitu gastroparesis, infeksi, dan perubahan kulit (Powers, 2016). Komplikasi seperti makroangiopati (makro

(14)

vasuler) yaitu penyakit jantung koroner, penyakit pembuluh darah kaki, dan penyakit pembuluh darah di otak.

Diagnosis nutrisi dimulai dengan data penilaian nutrisi yang menggambarkan kondisi pasien saat ini dan mengiden tifikasi masalah nutrisi, berisiko untuk masalah nutrisi potensial yang memerlukan tindak lanjut sehingga intervensi nutrisi yang sesuai dapat diberikan. Diagnosis gizi digambarkan berdasarkan komponen masalah gizi (problem), penyebab masalah gizi (patologi), dan tanda dan gejala suatu masalah gizi (tanda dan gejala). Diagnosis nutrisi terdiri dari tiga domain: domain serapan (NI), domain klinis (NC) dan domain perilaku (NB). Area intake merupakan masalah nutrisi yang berhubungan dengan asupan nutrisi pasien (Powers, 2016).

2.2 Konsep Asuhan Keperawatan 2.2.1 Pengkajian

Pengkajian keperawatan adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien (Budiono, 2016).

Pengkajian merupakan tahapan dasar yang paling utama, serta menjadi bagian awal dari sebuah proses keperawatan.

Pengkajian membutuhkan ketelitian dalam bertanya dan mencatat datanya, sebab dengan mengumpulkan data yang akurat, serta sistematis, akan sangat membantu untuk menentukan status kesehatan (Haryono, 2019).

1. Aktivitas/Istirahat menurut Haryono (2019)

Gejala : Lemah, letih, sulit bergerak/berjalan, keram otot, tonus otot menurun, gangguan tidur/istirahat.

Tanda : Takikardi dan takipneu pada keadaan istirahat atau dengan aktivitas. Latargi/disorientasi, koma penurunan kekuatan otot

2. Sirkulasi menurut Haryono (2019)

Gejala : Adaya riwayat hipertensi, kebas, klaudikasi dan kesemutan pada ekstremitas, Ulkus pada kaki, penyembuhan luka yang lama

(15)

Tanda : Takikardia, perubahan tekanan darah postural/hipertensi. Nadi menurun/ tidak ada/ distritmia, kulit panas, kering, dan kemerahan, bola mata cekung 3. Eliminasi menurut Haryono (2019)

Gejala : Perubahan pola berkemih, nyeri saat berkemih, kesulitan berkemih (ISK), nyeri tekan abdomen, diare.

Tanda : Urine encer, pucat, kuning, poliuria dapat berkembang menjadi anuria jika terjadi hipovolemi berat, urine berkabut, bau busuk, abdomen keras, adanya asites, bising usus lemah dan menurun, serta hiperaktif

4. Makanan/cairan menurut Haryono (2019)

Gejala : Hilangnya nafsu makan, mual/muntah. Tidak mengikuti diet, peningkatan masuka glukosa/karbohidrat, penurunan berat badan.

Tanda : Kulit kering/turgor jelek, bersisik, kekauan dan mudah distensi abdomen, muntah, pembesaran

tiroid, bau halitosis, nafas aseton.

5. Nyeri/kenyamanan menurut Haryono (2019) Gejala : Abdomen yang tegang/nyeri

Tanda : Wajah meringis dengan palpitasi, tampak sangat berhati hati 6. Pernafasan menurut Haryono (2019)

Gejala : Merasa kekurangan oksigen, batuk kering.

Tanda : Pernafasan batuk dengan adanya sputum purulent, frekuensi pernapasan

7. Seksualitas menurut Haryono (2019)

Gejala : Rabas vagina dan masalah impoten pada pria.

Tanda : Kesulitan orgasme pada wanita 2.2.2 Diagnosa Keperawatan

Diagnosis keperawatan merupakan penilaian klinis tentang respon individu, keluarga, atau komunitas terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialami baik aktual ataupun potensial. Diagnosis keperawatan bertujuan untuk mengidentivikasi respon klien individu, keluarga dan komunitas terhadap situasi yang berkaitan dengan kesehatan (SDKI PPNI, 2016).

Diagnosis keperawatan adalah data yang ada karena ditunjang

(16)

oleh data terbaru yang dikumpulkan. Diagnosis keperawatan ini mencatat bagaimana situasi pasien pada saat itu dan harus mencerminkan perubahan yang terjadi pada kondisi pasien.

Indentifikasi masalah dan penentuan diagnostik yang akurat memberikan dasar untuk memilih intervensi keperawatan (Doenges, 2014).

Berdasarkan Doenges (2014), diagnosis keperawatan yang di dapatkan pada klien dengan Diabetes Melitus adalah :

1. Hipovolemia dapat berhubungan dengan kehilangan cairan aktif, kegagalan mekanisme regulasi, peningkatan permeabilitas kapiler, kekurangan intake cairan, evaporasi.

2. Defisit nutrisi dapat berhubungan dengan ketidakmampuan menelan makanan, ketidakmampuan mencerna makanan, ketidakmampuan mengabsorbsi nutrien, peningkatan kebutuhan metabolisme, faktor ekonomi (misalnya finansial tidak mencakup), faktor psokologis (misalnya stres,keengganan untuk makan).

3. Risiko infeksi dapat dibuktikan dengan penyakit kronis (misalnya diabetes mellitus), efek prosedur invasif, malnutrisi, peningkatan paparan organisme patogen lingkungan, ketidakadekuatan pertahanan tubuh primer, ketidakadekuatan pertahanan tubuh sekunder.

4. Keletihan dapat dihubungkan dengan gangguan tidur, gaya hidup monoton, kondisi fisiologis (misalnya Penyakit kronis, penyakit terminal, anemia, malnutrisi, kehamilan), program perawatan/pengobatan jangka panjang, peristiwa hidup negatif, stres berlebihan, depresi.

5. Gangguan integritas kulit/jaringan dapat dihubungkan dengan perubahan sirkulasi, perubahan status nutrisi, penurunan mobilitas, bahan kimia iritatif, efek samping terapi radiasi, kelembaban, proses penuaan, neuropati perifer, perubahan pigmentasi, perubahan hormonal.

(17)

6. Defisit pengetahuan dapat dihubungkan dengan keteratasan kognitif, gangguan fungsi kognitif, kekeliruan mengikuti anjuran, kurang terpapar informasi, kurang minat dalam belajar, kurang mampu mengingat, ketidaktahuan menemukan sumber informasi.

2.2.3

Perencanaan

Perencanaan adalah pengembangan strategi desain untuk mencegah, mengurangi, dan mengatasi masalah-masalah yang telah diidentifikasi dalam diagnosis keperawatan (Budiono, 2016).

Perencanaan merupakan tahap ketiga dari proses keperawatan yang dimulai setelah data-data yang terkumpul sudah dianalisa.

Berdasarkan diagnosis keperawatan yang disusun di atas, berikut rencana keperawatan yang dilakukan pada pasien dengan Diabetes Melitus berdasarkam diagnosis yang telah ditentukan menurut doenges (2014) adalah sebagai berikut :

1. Hipovolemia dapat berhubungan dengan kehilangan cairan aktif, kegagalan mekanisme regulasi, peningkatan permeabilitas kapiler, kekurangan intake cairan, evaporasi.

Kemungkinan dibuktikan oleh :

1. Peningkatan haluaran urine, urine encer

2. Kelemahan; haus; penurunan berat badan tiba-tiba Kulit/membrane mukosa kering, turgor kulit buruk

3. Hipotensi, takikardia, pelambatan pengisian kapiler Hasil yang diharapkan / kriteria evaluasi pasien akan :

4. Mendemontrasikan hidrasi adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil, nadi perifer dapat diraba, turgor kulit dan pengisian kapiler baik, haluaran urine tepat secara individu, dan kadar eletrolit dalam batas normal.

Rencana Tindakan :

1) Dapatkan riwayat pasien/orang terdekat sehubungan dengan lamanya / intensitas.

Dari gejala seperti muntah, pengeluaran urin yang sangat berlebihan.

Rasional: Membantu dalam memperkirakan kekurangan volume total. Tanda dan gejala mungkin sudah ada pada beberapa waktu sebelumya (beberapa jam

(18)

sampai beberapa hari). Adanya proses infeksi mengakibatkan demam dan keadaan hipermetabolik yang meningkatkan kehilangan air tidak kasat mata.

2) Pantau tanda-tanda vital, nadi tidak teratur dan catat adanya perubahan TD ortostatik.

Rasional: Hipovolemia dapat dimanifestasikan oleh hipotensi dan takikardia.

Perkiraan berat ringannya hypovolemia dapat dibuat ketika tekanan darah sistolik pasien turun lebihdari 10 mmHg dari posisi berbaring ke posisi duduk/berdiri. Catatan: neuropati jantung dapat memutuskan refleks-refleks yang secara normal meningkatkan denyut jantung.

3) Pantau pola nafas seperti adanya penafasan kusmaul.

Rasional: Paru-paru mengeluarkan asam karbonat melalui pernapasan yang menghasilkan kompensasi alkalosis respiratorik terhadap keadaan ketoasidosis. Pernafasan yang berbau aseton berhubungan pemecahan asam aseto-asetat dan harus berkurang dan harus berkurang bila ketosis harus terkoreksi.

4) Kaji frekuensi dan kualitas pernafasan, penggunaan otot bantu nafas.

Rasional: Koreksi hiperglikemia dan asidosis akan menyebabkan pola dan frekuensi pernafasan mendekati normal. Tetapi peningkata kerja pernapasan;

pernapasan dangkal, pernapasan cepat; dan munculnya sianosis mungkin merupakan indikasi dari kelelahan pernapasan dan atau mungkin pasien itu kehilangan kemampuannya untuk melakukan kompensasi pada asidosis.

5) Suhu, warna kulit atau kelembabnya.

Rasional: Meskipun demam, menggigil dan diafuresis merupakan hal umum yang terjadi pada proses infeksi, demam dengan kulit yang kemerahan, kering mungkin sebagai cerminan dari dehidrasi.

6) Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit dan membran mukosa.

Rasional: Merupakan indikator dari tingkat dehidrasi, atau volume sirkulasi adekuat.

7) Pantau input dan output.

Rasional: Memberikan perkiraan kebutuhan akan cairan pengganti, fungsi ginjal, dan keefektifan dari terapi yang diberikan.

8) Pertahankan memberi cairan paling sedikit 2500 ml/hari dalam batas yang dapat ditoleransi jantung.

Rasional: Mempertahankan hidrasi/ volume sirkulasi

(19)

9) Tingkatkan lingkungan yang dapat menimbulkan rasa nyaman.

10) Selimuti pasien dengan selimut tipis.

Rasional: Menghindari pemanasan yang berlebihan terhadap pasien lebih lanjut akan menimbulkan kehilangan cairan.

11) Kaji adanya perubahan mental/sensori.

Rasional: Perubahan mental dapat berhubungan dengan glukosa yang tinggi atau yang rendah (hiperglikemia atau hipoglikemia), dan berkembangnya hipoksia. Penyebab yang tidak tertangani, gangguan kesadaran dapat menjadi predisposisi (pencetus) aspirasi pada pasien.

12) Catat hal-hal seperti mual, muntah dan distensi lambung.

Rasional: Kekurangan cairan dan elektrolit mengubah motilitas lambung, yang sering kali akan menimbulkan muntah dan secara potensial akan menimbulkan kekurangan cairan atau elektrolit.

13) Observasi adanya kelelahan yang meningkat, edema, peningkatan berat badan.

Rasional: Pemberian cairan untuk perbaikan yang cepat mungkin sangat berpotensi menimbulkan kelebihan cairan.

14) Berikan terapi cairan normal salin dengan atau tanpa dextrose.

Rasional: Tipe dan jumlah dari cairan tergantung pada derajat kekurangan cairan dan respon pasien secara individual.

15) Berikan albumin, plasma atau dekstran.

Rasional: Plasma ekspander (pengganti) kadang dibutuhkan jika kekurangan tersebut mengancam kehidupan atau tekanan darah sudah tidak dapat kembali normal dengan usaha-usaha rehidrasi yang telah dilakukan.

16) Pasang pertahankan kateter urine tetap terpasang.

Rasional: Memberikan pengukuran yang tepat/akurat terhadap pengukuran haluaran urine terutama jika neuropati otonom menimbulkan gangguan kandung kemih (retensi urine/inkotinensia urine).

17) Pantau pemeriksaan laboratorium (Ht, BUN, Na, K).

Rasional: Mengkaji tingkat hidrasi, kerusakan sel, hiperglikemia, dehidrasi, hiperkalemia.

1. Defisit nutrisi dapat berhubungan dengan ketidakmampuan menelan makanan, ketidakmampuan mencerna makanan, ketidakmampuan mengabsorbsi nutrien, peningkatan kebutuhan metabolisme, faktor ekonomi

(20)

(misalnya finansial tidak mencakup), faktor psokologis (misalnya stres, keengganan untuk makan).

Kemungkinan dibuktikan oleh :

1. Melaporkan masukan makanan tak adekuat, kurang minat pada makanan.

2. Penurunan berat badan; kelemahan, kelelahan, tonus otot buruk

3. Diare

Hasil yang diharapkan/ kriteria evaluasi pasien akan : 1) Merencana jumlah kalori/nutrien yang tepat

2) Menunjukkan tingkat energi biasanya

3) Mendemontrasikan berat badan stabil atau penambahan ke arah rentang biasanya/ yang diinginkan dengan nilai laboratorium normal.

Rencana Tindakan :

1) Timbang berat badan setiap hari atau sesuai dengan indikasi.

Rasional: Mengkaji pemasukan makanan yang adekuat (termasuk absorpsi dan utilisasinya)

2) Tentukan program diet dan pola makan pasien dan bandingkan dengan

(21)

makanan yang dapat dihabiskan pasien.

Rasional: Mengidentifikasi kekurangan dan penyimpangan dari kebutuhan terapeutik.

3) Auskultasi bising usus, catat adanya nyeri abdomen/ perut kembung, mual, muntahan makanan yang belum dicerna, pertahankan keadaan puasa sesuai dengan indikasi.

Rasional : Hiperkalemia dan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit dapat menurunkan motilitas / fungsi lambung.

4) Berikan makanan cairan yang mengandung zat makanan (nutrien) dan elektrolit dengan segera jika pasien sudah dapat mentoleransinya melalui oral.

Rasional: Pemberian makanan melalui oral lebih baik jika pasien sadar fungsi gastrointestinal baik.

5) Identifikasi makanan yang disukai / dikehendaki termasuk kebutuhan etnik / cultural.

Rasional: Jika makanan yang disukai pasien dapat dimasukkan dalam perencanaan makan, kerja sama ini dapat diupayakan setelah pulang.

6) Libatkan keluarga pasien pada perencanaan makan sesuai dengan indikasi.

Rasional: Meningkatkan rasa keterlibatan: memberikan informasi pada keluarga untuk memahami kebutuhan nutrisi pasien.

7) Observasi tanda-tanda hipoglikemia seperti perubahan tingkat kesadaran, kulit lembab/ dingin, denyut nadi cepat, lapar, peka rangsang, cemas, sakit kepala. Rasional: Karena metabolismee karbohidratmulai terjadi akan berkurang, dan sementara, tetap diberikan insulin maka hipoglikemia dapat terjadi. Jika pasien dalam keadaan koma, hipoglikemia mungkin terjadi tanpa memperlihatkan perubahan tingkat kesadaran. Secara potensial hal ini dapat mengancam kehidupan yang harus dikaji dan ditangani secara cepat melalui tindakan protokol yang direncanakan. DM tipe yang telah berlangsung lama mungkin tidak akan menunjukkan tanda-tanda hipoglikemia seperti biasanya karena respons normal terhadap gula darah yang rendah mungkin dikurangi.

8) Kolaborasi dalam melakukan pemeriksaan gula darah dengan menggunakan

“finger stick”.

Rasional: Untuk mengetahui fluktuasi kadar gula darah

(22)

9) Pantau pemeriksaan laboratorium seperti glukosa darah, aseton, pH

Rasional: Gula darah akan menurun perlahan dengan penggantian cairan dan terapi insulin terkontrol. Dengan pemberian insulin dosis optimal, glukosa kemudian dapat masuk ke dalam sel dan digunakan untuk sumber kalori.

Ketika hal ini terjadi, kadar aseton akan menurun dan asidosis dapat dikoreksi.

10) Kolaborasi pemberian pengobatan insulin.

Rasional: Insulin reguler memiliki awitan cepat dan karenanya dengan cepat pula dapat membantu memindahkan glukosa ke dalam sel.

11) Berikan larutan glukosa, misalnya dexstrosa dan setengah salin normal.

Rasional: Larutan glukosa ditambahkan setelah insulin dan cairan membawa gula darah kira-kira 250 mg/dl. Metabolisme karbohidrat mendekati normal, perawatan harus diberikan untuk menghindari terjadinya hipoglikemia.

12) Kolaborasi dengan ahli diet.

Rasional: Sangat bermanfaat dalam perhitungan dan penyesuaian diet untuk memenuhi kebutuhan nutrisi pasien. 13) Berikan diet kira-kira 60%

karbohidrat, 20 % protein dan 20% lemak dalam penataan makan/pemberian makanan tambahan. Rasional: Kompleks karbohidrat (seperti jagung, wortel, brokoli, buncis, gandum) menurunkan kadar glukosa/ kebutuhan insulin, menurunkan kadar kolesterol darah dan meningkatkan rasa kenyang.

Pemasukan makanan akan dijadwalkan sesuai karakteristik insulin yang spesifik (misal efek puncaknya) dan respon pasien secara individual. Catatan:

makanan tambahan dan kompleks karbohidrat terutama sangat penting (jika insulin diberikan dalam dosis terbagi) untuk mencegah hipoglikemia selama tidur dan potensial respons Somogyi.

13) Berikan obat metaklopramid (raglan), tetrasiklin.

Rasional: Dapat bermanfaat dalam mengatasi gejala yang berhubungan dengan neoropati otonom yang mempengaruhi saluran cerna, yang selanjutnya meningkatkan pemasukan melalui oral dan absorpsi makanan (nutrient)

2. Risiko infeksi dapat dibuktikan dengan penyakit kronis (misalnya diabetes mellitus), efek prosedur invasif, malnutrisi, peningkatan paparan organisme

(23)

patogen lingkungan, ketidakadekuatan pertahanan tubuh primer, ketidakadekuatan pertahanan tubuh sekunder.

Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan :

1. Mengindentifikasi intervensi untuk mencegah/menurunkan risiko infeksi

2. Mendemontrasikan teknik, perubahan gaya hidup untuk mencegah terjadinya infeksi.

Rencana Tindakan :

1) Observasi tanda-tanda infeksi dan peradangan

Rasional: Pasien mungkin masuk dengan infeksi yang biasanya telah mencetuskan keadaan ketoasidosis atau dapat mengalami infeksi nosokomial.

2) Tingkatkan upaya pencegahan dengan melakukan cuci tangan yang baik pada semua orang yang berhubungan dengan klien.

Rasional: Mencegah timbulnya infeksi silang.

3) Pertahankan teknik aseptik pada prosedur invasif.

Rasional: Kadar glukosa yang tinggi dalam darah akan menjadi media terbaik bagi pertumbuhan kuman.

4) Pasang kateter/ lakukan perineal dengan baik.

Rasional: Mengurangi risiko terjadinya infeksi saluran kemih.

5) Berikan perawatan kulit dengan teratur dan sungguh-sungguh, masase, jaga kulit tetap kering, linen tetap kering dan kencang.

Rasional: Sirkulasi perifer bisa terganggu yang menempatkan pasien pada peningkatan risiko terjadinya kerusakan pada kulit/iritasi kulit dan infeksi.

6) Auskultasi bunyi napas.

Rasional: Ronkhi mengindikasikan adanya akumulasi sekret yang yang mungkin berhubungan dengan pneumonia, bronkhitis. Edema paru mungkin sebagai akibat dari pemberian cairan yang tercepat/berlebihan atau GJK 7) Pasien pada posisi semi-fowler.

Rasional: Memberikan kemudahan bagi paru untuk berkembang; menurunkan risiko terjadinya aspirasi.

8) Lakukan perubahan posisi dan anjurkan pasien untuk batuk efektif/napas dalam jika pasien sadar jika pasien sadar dan koorperatif. Lakukan penghisapan lendir pada jalan napas dengan menggunakan teknik steril atau

(24)

secret yang lainnya. Rasional: Membantu dalam pemeriksaan semua daerah paru dan memobilitasi sekret. Mencegah agar sekret tidak statis dengan terjadinya peningkatan terhadap resiko infeksi.

9) Berikan tisu dan tempat sputum pada tempat yang mudah dijangkau untuk penampungan sputum atau sekret yang lainnya.

Rasional: Mengurangi penyebaran infeksi.

10) Bantu pasien untuk melakukan hygiene oral.

Rasional: Menurunkan risiko terjadinya penyakit mulut/gusi.

11) Anjurkan untuk makan dan minum adekuat.

Rasional: Menurunkan kemungkinan terjadinya infeksi.

12) Berikan obat antibiotik yang sesuai

Rasional: Penanganan awal dapat membantu mencegah timbulnya sepsis.

3. Keletihan dapat dihubungkan dengan gangguan tidur, gaya hidup monoton, kondisi fisiologis (misalnya Penyakit kronis, penyakit terminal, anemia, malnutrisi, kehamilan), program perawatan / pengobatan jangka panjang, peristiwa hidup negatif, stres berlebihan, depresi.

Kemungkinan dibuktikan oleh :

1. Kurangi energi yang berlebihan, ketidakmampuan untuk mempertahankan rutinitas biasanya, penurunan kinerja, kecenderungan untuk kecelakaan.

Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan : 1) Mengungkapkan peningkatan energy

2) Perbaikan kemampuan untuk berpartisipasi dalam aktivitas yang diinginkan Rencana Tindakan :

1) Diskusikan dengan pasien kebutuhan akan aktivitas.

Rasional: Pendidikan dapat memberikan motivasi untuk meningkatkan aktivitas meskipun pasien mungkin sangat lemah.

2) Berikan aktivitas alternatif dengan periode istirahat yang cukup/tanpa diganggu.

Rasional: Mencegah kelelahan berlebihan.

3) Pantau nadi, frekuensi pernapasan dan tekanan darah sebelum/sesudah melakukan aktivitas.

Rasional: Mengindikasikan tingkat aktivitas yang dapat ditoleransi secara

(25)

fisiologis.

4) Diskusikan cara menghemat kalori selama mandi, berpindah tempat dan sebagainya.

Rasional: Pasien akan dapat melakukan lebih banyak kegiatan dengan penurunan kebutuhan akan energi pada setiap kegiatan.

5) Tingkatkan partisipasi pasien dalam melakukan aktivitas seharihari sesuai dengan yang dapat ditoleransi.

Rasional: Meningkatkan kepercayaan diri/ harga diri yang positif sesuai aktivitas yang dapat ditoleransi pasien.

4. Gangguan integritas kulit/jaringan dapat dihubungkan dengan trauma kerusakan permukaan kulit karena destruksi lapisan kulit (parsial / luka bakar dalam).

Kemungkinan dibuktikan oleh :

1. Tak adanya jaringan yang hidup Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan :

1) Menunjukkan regenerasi jaringan

2) Mencapai penyembuhan tepat waktu pada area luka bakar Rencana Tindakan :

1) Kaji/catat ukuran, warna, kedalaman luka, perhatikan jaringan nekrotik dan kondisi sekitar luka.

Rasional : memberikan informasi dasar tentang kebutuhan penanaman kulit dan kemungkinan pentunjuk tentang sirkulasi pada area graft.

2) Pertahankan penutupan luka sesuai indikasi balutan biosintetik (biobrane).

Rasional : kain nilon/membran silikon mengandung kolagen porcine peptida yang melekat pada permukaan luka sampai lepasnya atau mengelupas secara spontan kulit reepitelisasi.

3) Tinggikan area graf bila mungkin/tepat.

Rasional : menurunkan pembengkakan resiko pemisahan graf.

4) Pertahankan balutan diatas area graf baru dan sisi donor sesuai indikasi, contoh berlubang, petroleum, tak berperekat.

Rasional : area mungkin ditutupi oleh bahan dengan permukaan tembus pandang tak reaktif (antara balutan graf dan bagian luarnya) untuk

(26)

menghilangkan robekan dari epitel baru/melindungi jaringan sembuh.

5) Siapkan prosedur bedah/balutan biologis hemografi (alograf).

Rasional : graf kulit diambil dari kulit orang itu sendiri atau orang yang sudah meninggal (donor mati) digunakan untuk penutupan sementara pada luka bakar luas sampai kulit orang itu siap ditanam (tes graft).

6) Heterograft (xenograft, porcine).

Rasional : kulit graf diambil mungkin dari binatang dengan penggunaan yang sama untuk homograft atau untuk menutup autograft yang berlubang.

7) Autograf.

Rasional : kulit graf diambil dari bagian pasien yang tak cedera, mungkin ketebalan penuh atau ketebalan parsial.

5. Defisit pengetahuan dapat dihubungkan dengan keteratasan kognitif, gangguan fungsi kognitif, kekeliruan mengikuti anjuran, kurang terpapar informasi, kurang minat dalam belajar, kurang mampu mengingat, ketidaktahuan menemukan sumber informasi.

Kemungkinan dibuktikan oleh :

1. Pertanyaan/ meminta informasi, mengungkapkan masalah.

2. Ketidakakuratan mengikuti instruksi, terjadinya komplikasi yang dapat dicegah.

Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan : 1) Mengungkapakan pemahaman tentang penyakit.

2) Mengidentifikasi hubungan tanda/ gejala dengan proses penyakit dan menghubungkan gejala dengan faktor penyebab.

3) Melakukan prosedur yang perlu dan menjelaskan rasional tindakan.

4) Melakukan perubahan gaya hidup dan berpartisipasi dalam program pengobatan.

Rencana Tindakan :

1) Ciptakan lingkungan yang saling percaya dengan mendengarkan penuh perhatian, dan selalu ada untuk pasien.

Rasional: Menanggapi dan memperhatikan perlu diciptakan sebelum pasien bersedia mengambil bagian dalam proses belajar.

2) Bekerja dengan pasien dalam menata tujuan belajar yang diharapkan.

(27)

Rasional: Partisipasi dalam perencanaan meningkatkan antusias dan kerja sama pasien dengan prinsip-prinsip yang dipelajari.

3) Pilih berbagai strategi belajar, seperti teknik demonstrasi yang memerlukan keterampilan dan biarkan pasien mendemonstrasikan ulang.

Rasional: Penggunaan cara yang berbeda tentang mengakses informasi meningkatkan penyerapan pada individu yang belajar.

4) Diskusikan tentang rencana diet, penggunaan makanan tinggi serat dan cara untuk melakukan makan diluar rumah.

Rasional: Kesadaran tentang pentingnya kontrol diet akan membantu pasien dalam merencanakan makan/ mentaati program.

5) Diskusikan tentang rasional terjadinya serangan ketoasidosis

Rasional: Pengetahuan tentang faktor pencetus dapat membantu untuk menghindari kambuhnya serangan tersebut.

6) Diskusikan tentang komplikasi penyakit akut dan kronis meliputi gangguan penglihatan (retinopati), perubahan dalam neurosensori dan kardiovaskuler, perubahan fungsi ginjal/ hipertensi.

Rasional: Kesadaran tentang apa yang terjadi membantu pasien untuk lebih konsisten terhadap perawatannya dan mencegah/ mengurangi awitan komplikasi tersebut.

7) Demonstrasikan cara pemeriksaan gula darah dengan menggunakan finger stik dan beri kesempatan pasien untuk mendemonstrasikannya kembali.

Intruksikan pasien untuk pemeriksaan keton urinenya jika glukosa darah lebih tinggi dari 250 mg / dl.

Rasional: Melakukan pemeriksaan gula darah oleh diri sendiri 4 kali atau lebih dalam setiap harinya memungkinkan fleksibilitas perawatan diri.

Meningkatkan kontrol kadar gula dengan lebih ketat (misalnya 60-150 mg/

dl) dapat mencegah/ mengurangi perkembangan komplikasi jangka panjang . 8) Diskusikan tentang rencana diet, penggunaan makanan tinggi serat dan cara

untuk melakukan makan di luar rumah.

Rasional: Kesadaran tentang pentingnya kontrol diet akan membantu pasien dalam merencanakan absopsi glukosa yang akan menurunkan fluktuasi kadar gula dalam darah, tetapi dapat menyebabkan ketidaknyamanan pada saluran

(28)

cerna, flatus meningkat dan mempengaruhi absorpsi vitamin/ mineral.

9) Tinjau ulang program pengobatan meliputi awitan, puncak dan lamanya dosis insulin yang diresepkan, bila disesuaikan dengan pasien atau keluarga.

Rasional: Pemahaman tentang semua aspek yang digunakan obat meningkatkan penggunaan yang tepat. Algoritme dosis dibuat, yang masuk dalam perhitungan dosis obat yang dibuat selama evaluasi rawat inap: jumlah dan jadwal aktivitas fisik biasanya, perencanaan makan. Dengan melibatkan orang terdekat/ sumber untuk pasien.

10) Tinjau kembali pemberian insulin oleh pasien sendiri dan perawatan terhadap peralatan yang digunakan. Berikan kesempatan pada pasien untuk mendemonstrasikan prosedur tersebut (misalnya menentukan daerah penyuntikan dan cara menyuntik atau penggunaan alat suntik pompa kontinu) Rasional: Mengidentifikasi pemahaman dan kebenaran dari prosedur atau masalah yang potensial dapat terjadi (seperti penglihatan, daya ingat dan sebagainya) sehingga solusi alternatif dapat ditentukan untuk pemberian insulin tersebut.

11) Tekankan pentingnya mempertahankan pemeriksaan gula darah setiap hari, waktu dan dosis obat, diet, aktivitas perasaan/ sensasi dan peristiwa dalam hidup.

Rasional: Membantu dalam menciptakangabaran nyata dari keadaan pasien untuk melakukan kontrol penyakitnya dengan lebih baik dan meningkatkan perawatan diri/ kemandiriannya.

12) Diskusikan faktor-faktor yang memegang peranan dalam kontrol DM tersebut, seperti latihan aerobik versus isometrik, stres, pembedahan dan penyakit tertentu.

Rasional: Informasi ini akan meningkatkan pengendalian terhadap DM dan dapat sangat menurunkan berulangnya kejadian ketoasidosis. Latihan aerobik meningkatkan keefektifan penggunaan insulin yang menurunkan kadar gula darah dan memperkuat sistem kardiovaskuler.

13) Tinjau ulang pengaruh rokok pada penggunaan insulin. Anjurkan pasien untuk menghentikan merokok.

Rasional: Nikotin mengkonstriksi pembuluh darah kecil dan absorpsi insulin

(29)

diperlambat selama pembuluh darah ini yang mengakami konstriksi. Catatan:

absorpsi insulin dapat dirunkan sampai batas 30% di bawah normal dalam 30 menit pertama setelah merokok.

14) Buat jadwal latihan/ aktivitas yang teratur dan identifikasi hubungan dengan penggunaan insulin yang perlu menjadi perhatian.

Rasional: Waktu latihan tidak boleh bersamaan waktunya dengan kerja puncak insulin. Makanan kudapan harus diberikan sebelum atau selama latihan sesuai kebutuhan dan rotasi injeksi harus menghindari kelompok otot yang akan digunakan untuk aktivitas (misalnya daerah abdomen lebih dipilih daripada paha atau lengan sebelum melakukan jogging atau berenang) untuk mencegah percepatan ambilan insulin.

15) Identifikasi gejala hipoglikemia (misalnya lemah, pusing, letargi, lapar, peka rangsang, diaforesis, pucat, takikardia, tremor, sakit kepala, dan perubahan mental) dan jelaskan penyebabnya.

Rasional: Dapat meningkatkan deteksi dan pengobatan lebih awal dan mencegah/mengurangi kejadiannya. Catatan: Hiperglikemia saat bangun tidur dapat mencermikan fenomena fajar (indikasi perlunya insuin tambahan) atau respons balik pada hipoglikemia selama tidur (efek Somogyi) yang memerlukan penurunan dosis insulin atau perubahan perubahan diet (misalnya pemberian makanan kudapan pada malam hari). Pemeriksaan kadar gula darah pada jam 3 pagi membantu dalam mengidentifikasi masalah spesifik.

16) Instruksikan pentingnya pemeriksaan secara rutin pada kaki dan perawatan kaki tersebut. Demonstrasikan cara pemeriksaan kaki tersebut; inspeksi sepatu yang ketat dan perawatan kuku, jaringan kalus dan jaringan tanduk.

Anjurkan penggunaan stoking dengan bahan serat alamiah.

Rasional: Mencegah/mengurangi komplikasi yang berhubungan dengan neuropati perifer dan/atau gangguan sirkulasi terutama selulitis, ganggren dan amputasi.

17) Tekankan pentingnya pemeriksaan mata secara teratur terutama pada pasien yang telah mengalami DM tipe I selama 5 tahun atau lebih.

Rasional: Perubahan dalam penglihatan dapat terjadi secara perlahan dan

(30)

lebih sering pada pasien yang jarang mengontol DM. Masalah yang mungkin terjadi termasuk perubahan dalam ketajaman penglihatan dan mungkin berkembang kearah retinopati dan kebutaan.

18) Susun alat bantu penglihatan ketika diperlukan, misalnya memperbesar garis skala pada jarum insulin, instruksi dengan cetakan besar, pengukuran glukosa darah sekali sentuh.

Rasional: Alat bantu adaptif telah dikembangkan 5 tahun terakhir untuk membantu individu dengan gangguan penglihatan DM-nya sendiri dengan lebih efektif.

19) Tekankan pentingnya penggunaan dari gelang bertanda khusus.

Rasional: Dapat mempercepat masuk kedalam pusat-pusat sistem kesehatan dan perawatan yang sesuai dengan akibat komplikasi yang lebih kecil pada keadaan darurat.

20) Rekomendasikan untuk tidak menggunakan obat-obat yang dijual bebas tanpa konsultasi dengan tenaga kesehatan/ tidak boleh memakai obat tanpa resep.

Rasional: Produktivitas mungkin mengandung gula atau berinteraksi dengan obat-obat yang diresepkan.

21) Diskusikan pentingnya untuk melakukan evaluasi secara teratur dan jawab pertanyaan pasien/ orang terdekat

Rasional: Membantu untuk mengontrol proses penyakit dengan lebih ketat dan mencegah eksaserbasi DM, menurunkan perkembangan komplikasi sistemik.

22) Lihat kembali tanda/ gejala yang memerlukan evaluasi secara medis, seperti demam, pilek/ gejala flu, urine keruh/ berwarna pekat, nyeri saluran kemih, penyembuhan penyakit yang lama, perubahan sensori (nyeri/ kesemutan) pada ekstremitas bawah, perubahan pada kadar gula darah dan munculnya keton pada urine.

Rasional: Intervensi segeral dapat mencegah perkembangan komplikasi yang lebih serius atau komplikasi yang mengancam kehidupan.

23) Demonstrasikan teknik penanganan stres, seperti latihan napas dalam, bimbingan imajinasi, mengalihkan perhatian.

Rasional: Meningkatkan relaksasi dan pengendalikan terhadap respons stres

(31)

yang dapat membantu untuk membatasi peristiwa ketidakseimbangan glukosa/

insulin.

24) Identifikasi sumber-sumber yang ada di masyarakat, bila ada.

Rasional : Dukungan kontinu biasanya pentingnya untuk menopang perubahan gaya hidup dan meningkatkan penerimaan atas diri sendiri.

4.2.2 Implementasi

Pelaksanaan adalah realisasi rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kegiatan dalam pelaksanaan juga meliputi pengumpulan data berkelanjutan, mengobservasi respon klien selama dan sesudah pelaksanaan tindakan, serta menilai data yang baru (Budiono, 2016).

4.2.3 Evaluasi

Evaluasi adalah penilaian dengan cara membandingkan perubahan keadaan pasien dengan tujuan dan kriteria hasil yang telah dibuat pada tahap perencanaan (Budiono, 2016). Evaluasi adalah hasil yang didapatkan dengan menyebutkan itemitem atau perilaku yang dapat diamati dan dipantau untuk menentukan apakah hasil sudah tercapai atau belum dalam jangka waktu yang telah ditentukan (Doenges, 2014).

(32)

DAFTAR PUSTAKA

Anisia Widyaningrum, D., & Intan Permata Sari, D. (2018). Pengaruh Teknik Relaksasi Otot Progresif Terhadap Perubahan Tingkat Kecemasan Menghadapi Premenstrual Syndrome (PMS). Jurnal Keperawatan11(1), 9. Retrieved from http://e- journal.lppmdianhusada.ac.id/index.php/jk/article/view/69

Ariana, P. A., Putra, G. N. W., & Wiliantari, N. K. (2020). Relaksasi Otot Progresif Meningkatkan Kualitas Tidur pada Lansia Wanita. Jurnal Keperawatan Silampari3(2), 416-425.https://doi.org/10.31539/jks.v3i2.1051

Aris, F., & Benyamin, B. (2019). Penerapan Data Mining untuk Identifikasi Penyakit Diabetes Melitus dengan Menggunakan Metode Klasifikasi. Router Research1(1), 1-6.

https://doi.org/10.29239/j.router.2019.313

Astuti, W., Ependi, K. R., Ayu, N. D., Emiliasari, T., & Allooh, I. K. M. (2021). Pengaruh Relaksasi Otot Progresif Terhadap Penurunan Kadar Glukosa Darah: A Literature Reviev. Journal of Bionursing3(1), 72-84. https://doi.org/10.20884/1.bion.2021.3.1.100 Daud, I., & Warjiman, W. (2016). Pengaruh Terapi Relaksasi Otot Progresif Terhadap Kualitas

Tidur Pada Lansia Di Panti Tresna Werdha Budi Sejahtera Martapura Tahun

2016. Jurnal Keperawatan Suaka Insan (JKSI)1(2), 1-5.

https://doi.org/10.51143/jksi.v1i2.47

Devi wulandani, & Sitorus, J. (2021). Upaya Mengatasi Ketidakstabilan Kadar Glukosa Darah Pada Pasien Dm Dengan Terapi Relaksasi Otot Progresif. Jurnal Keperawatan HKBP

Balige2(2), 44-50. Retrieved from

https://ojs.akperhkbpbalige.ac.id/index.php/jkh/article/view/41

Karokaro, T. M., & Riduan, M. (2019). pengaruh teknik relaksasi otot progresif terhadap penurunan kadar gula darah pada pasien diabetes mellitus tipe 2 di Rumah Sakit Grandmed Lubuk Pakam. Jurnal Keperawatan Dan Fisioterapi (Jkf)1(2), 48-53.

https://doi.org/10.35451/jkf.v1i2.169

Koerniawan, D., Daeli, N. E., & Srimiyati, S. (2020). Aplikasi Standar Proses Keperawatan:

Diagnosis, Outcome, dan Intervensi pada Asuhan Keperawatan. Jurnal Keperawatan Silampari3(2), 739-751.https://doi.org/10.31539/jks.v3i2.1198

Linden, S., & Erwina, W. (2022). Terapi Penggunaan Obat Antidiabetik Oral Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Rawat Jalan Di Rumah Sakit Swasta, Samarinda. Journal of Pharmaceutical And Sciences5(2), 2014-226. https://doi.org/10.36490/journal- jps.com.v5i2.127

Ludiana, L., & tri Pakarti, A. (2021). Penerapan Relaksasi Otot Progresif Terhadap Kadar Gula Darah Pasien Diabetes Melitus Tipe Ii Di Wilayah Kerja Puskesmas Metro. Jurnal Cendikia Muda1(4), 493-501.

(33)

Maghfirah, S., Sudiana, I. K., & Widyawati, I. Y. (2015). Relaksasi otot progresif terhadap stres psikologis dan perilaku perawatan diri pasien diabetes mellitus tipe 2. KEMAS: Jurnal Kesehatan Masyarakat10(2), 137-146. https://doi.org/10.15294/kemas.v10i2.3374

Maghfuri, A. (2016). Buku pintar perawatan luka diabetes melitus. Jakarta: Salemba Medika.

Marzel, R. (2021). Terapi pada DM Tipe 1. Jurnal Penelitian Perawat Profesional3(1), 51-62.

https://doi.org/10.37287/jppp.v3i1.297

Maulidinda, Y. A., & Ibnu, F. (2022). Asuhan Keperawatan Gerontik Dengan Masalah Ketidakstabilan Kadar Glukosa Darah Di Kelurahan Pulorejo Lingkungan Balongkrai (Doctoral dissertation, Perpustakaan Universitas Bina Sehat PPNI).

Meilani, R., Alfikrie, F., & Purnomo, A. (2020). Efektivitas Relaksasi Otot Progresif Terhadap Kadar Gula Darah: Penelitian Kuasi Eksperimen Pada Pendertia Diabetes Militus Tipe 2 Usia Produktif. Borneo Nursing Journal (BNJ)2(2), 22-29. Retrieved from https://akperyarsismd.e-journal.id/BNJ/article/view/23

Mildawati, M., Diani, N., & Wahid, A. (2019). Hubungan Usia, Jenis Kelamin dan Lama Menderita Diabetes dengan Kejadian Neuropati Perifer Diabetik. CNJ: Caring Nursing

Journal, 3(2), 30-37. Retrieved

from https://journal.umbjm.ac.id/index.php/caringnursing/article/view/238

Mufliha, W. (2022). Asuhan Keperawatan Gerontik Dengan Gangguan Sistim Endokrin:

Diabetes Melitus Dengan Intervesi Cerdik Terhadap Pengendalian Diabetes Melitus Pada Lansia.

http://localhost:8080/xmlui/handle/123456789/1384

Rahmasari, I., & Wahyuni, E. S. (2019). Efektivitas Memordoca Carantia (Pare) Terhadap Penurunan Kadar Glukosa Darah. Infokes: Jurnal Ilmiah Rekam Medis dan Informatika Kesehatan9(1), 57-64. https://doi.org/10.47701/infokes.v9i1.720

Safitri, Wahyuningsih, and Rahajeng Putriningrum. "Pengaruh Terapi Relaksasi Progresif Terhadap Kadar Gula Darah Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2." Profesi (Profesional Islam): Media Publikasi Penelitian 16.2 (2019): 47-54.

https://doi.org/10.26576/profesi.275

Saputri, M. A. W., & Indrawati, E. S. (2011). Hubungan antara dukungan sosial dengan depresi pada lanjut usia yang tinggal di panti wreda wening wardoyo jawa tengah. Jurnal Psikologi9(1). https://doi.org/10.14710/jpu.9.1.

Simanjuntak, D. L., Nababan, K., & Sibarani, J. (2021). Manifestasi Penyakit Kulit pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan. Nommensen Journal of Medicine6(2), 65-67.https://doi.org/10.36655/njm.v6i2.242

Sitepu, S. D. E. U., Karo-karo, T. M., Simarmata, P. C., Silalahi, A. E. P., Hayati, K., &

Sipayung, S. T. (2021). Penyuluhan Teknik Relaksasi Otot Progresif Untuk Menurunkan Kadar Gula Darah Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 Di Rumah Sakit

Grandmed. Jurnal Pengmas Kestra (JPK)1(1), 168-172.

https://doi.org/10.35451/jpk.v1i1.760

(34)

Soepha, Y. M. (2017). Pengaruh Relaksasi Otot Progresif Terhadap Penurunan Stres Pasien Dm Tipe 2 (Studi di Puskesmas cukir Kabupaten Jombang) (Doctoral dissertation, STIKES Insan Cendekia Medika Jombang).

Sulistyowati, R. (2021). Manfaat Relaksasi Otot Progresif Bagi Klien DM Tipe II Untuk Mengurangi Gejala Fatigue. Jurnal Surya Medika (JSM)6(2), 45-52.

Supriyadi, S., & Dewi, N. (2022). Korelasi Hasil Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik pada Pasien Diabetes Mellitus. Jurnal Akademika Baiturrahim Jambi11(2), 160-164.

http://dx.doi.org/10.36565/jab.v11i2.445

Syahlani, A., Primasari, N. A., & Ma'arif, M. S. (2016). Hubungan Diabetes Melitus dengan Kadar Ureum Kreatinin di Poliklinik Geriatri RSUD Ulin Banjarmasin. Dinamika Kesehatan: Jurnal Kebidanan Dan Keperawatan7(2), 320-331.

USIA, A. P. L. (2015). Lanjut usia dan permasalahannya. Jurnal PPKn & Hukum Vol10(2), 84.

Wijaya, N. I. S. (2021). Hubungan Pengetahuan dengan Motivasi dalam Mencegah Terjadinya Komplikasi Diabetes Melitus di Wilayah Kerja Puskesmas Samata. Nursing Care and Health Technology Journal (NCHAT)1(1), 11-15. https://doi.org/10.56742/nchat.v1i1.3 Yuliani, T., & Hutasoit, M. (2013). Pengaruh Teknik Relaksasi Otot Progresif Terhadap Kadar

Gula Darah Pada Pasien DM Tipe 2. Media Ilmu Kesehatan2(1), 46-50.

http://dx.doi.org/10.58258/jime.v4i1.341

Referensi

Dokumen terkait

yang paling efisien menurunkan kadar glukosa darah adalah pada dosis tertinggi yaitu pada dosis 10,6 mg/kgbb, kadar glukosa darah = 125,42 mg/dl seperti kontrol normal yaitu

Ekstrak etanol buah pare menurunkan kadar gula darah dengan mencegah absorbsi glukosa oleh usus, meningkatkan sekresi insulin dengan merangsang sel  pankreas dan

Kadar gula darah klien dalam batas normal &lt;200 mg/dl Keluarga rajin memeriksakan anggota keluarga yang sakit ke layanan kesehatan terdekat Keluarga dapat menyebutkan

Dia berperan dalam mengatur keseimbangan kadar gula (glukosa) dalam tubuh. Keseimbangan glukosa darah dijaga.. dengan cara menurunkan produksi glukosa oleh

menurunkan kadar gula darah dengan cara : (1) Menekan pengeluaran epinefrin sehingga menghambat konversi glikogen menjadi glukosa, (2) Menekan pengeluaran kortisol

Selain itu, dengan melakukan kontrol kadar gula darah secara teratur akan dapat menunjukkan keberhasilan pelaksanaan diet, olah raga, obat dan usaha menurunkan berat

Kerja sama dengan tim kesehatan lain dalam pemberian vasodilator, pemeriksaan gula darah secara rutin dan terapi oksigen ( HBO )... Rasional: pemberian vasodilator akan

Menurut UKPDS kombinasi sulfoniluea dengan metformin adalah kombinasi rasional karena mempunyai cara kerja yang sinergis untuk menurunkan kadar glukosa darah lebih cepat dari