• Tidak ada hasil yang ditemukan

Auditor (Studi pada Auditor - Jurnal Ilmiah Mahasiswa FEB

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Auditor (Studi pada Auditor - Jurnal Ilmiah Mahasiswa FEB"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Pengaruh Pengalaman, Pendidikan dan Pelatihan, dan Situasi Audit terhadap Skeptisisme Profesional Auditor

(Studi pada Auditor Independen di Kota Malang) Erie Awalil Fakhri

Universitas Brawijaya

ABSTRAK. Skeptisisme professional diperlukan oleh auditor untuk mendeteksi indikasi kecurangan dan risiko audit. Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh pengalaman, pendidikan dan pelatihan, dan situasi audit terhadap skeptisisme profesional pada auditor. Objek penelitian ini adalah auditor yang bekerja pada Kantor Akuntan Publik di Kota Malang. Sebanyak 62 data berhasil dikumpulkan menggunakan metode survei dengan teknik convenient sampling. Analisis data dilakukan dengan menggunakan metode Partial Least Square (PLS) dengan aplikasi SmartPLS. Hasil pengujian menunjukkan bahwa pengalaman, pendidikan dan pelatihan, dan situasi audit berpengaruh positif terhadap skeptisisme profesional pada auditor.

Kata kunci: Pengalaman, pendidikan dan pelatihan, situasi audit, skeptisisme professional auditor.

ABSTRACT. Professional skepticism is required by auditors to detect indications of fraud and audit risk. This study aimed to examine the effect of experience, education and training, and audit situation on auditors’ professional skepticism. The objects of this study were auditors who work on public accounting firms in Malang. A total of 62 data was collected using a survey method with convenient sampling technique. Data analysis was performed using Partial Least Square (PLS) with SmartPLS application.

The test results showed that experience, education and training, and audit situation have influences on auditor's professional skepticism.

Keywords: Experience, education and training, audit situation , auditor's professional skepticism.

(2)

LATAR BELAKANG PENELITIAN

Peran auditor telah menjadi pusat kajian dan riset di kalangan akademisi. Tidak hanya itu, praktisi juga semakin kritis dengan selalu menganalisis kontribusi yang diberikan auditor. Auditor bertanggung jawab dalam pelaksanaan audit serta mendapatkan dan mengevaluasi bukti mengenai asersi tentang kegiatan-kegitan dan kejadian-kejadian ekonomi untuk meyakinkan tingkat keterkaitan antara asersi tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan, serta mengkomunikasikan hasilnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Tujuan akhir dari proses auditing adalah untuk menghasilkan laporan audit. Laporan audit inilah yang digunakan oleh auditor untuk menyampaikan pernyataan atau pendapatnya tentang laporan keuangan kepada para pemakai laporan keuangan, sehingga bisa dijadikan acuan bagi pemakai laporan keuangan.

Dalam melaksanakan pekerjaan audit terhadap laporan keuangan, seorang auditor harus memiliki skeptisisme profesional (professional skepticism) agar dapat mendeteksi kesalahan atau kecurangan sehingga diharapkan dapat menghasilkan kualitas audit yang baik. Skeptisisme profesional dalam audit merupakan sikap yang mencakup pemikiran, pertanyaan dan penilaian kritis terhadap bukti audit (AICPA, AU 316, 2007). Lebih lanjut dinyatakan dalam ISA 200 bahwa skeptisisme profesional berarti auditor membuat penaksiran kritis (critical assessment), dengan pikiran yang selalu mempertanyakan (questioning mind) terhadap validitas dari bukti audit yang diperoleh, waspada terhadap bukti audit yang bersifat kontradiksi atau menimbulkan pertanyaan sehubungan dengan reliabilitas dari dokumen, dan memberikan tanggapan terhadap pertanyaan-pertanyaan dan informasi lain yang diperoleh dari manajemen dan pihak terkait. Auditor harus merencanakan dan melaksanakan audit dengan skeptisisme profesional yang mengakui bahwa keadaan yang dihadapi mungkin dapat menyebabkan terjadinya salah saji material pada laporan keuangan, sebagaimana dinyatakan dalam ISA 200 sebagai berikut:“The auditor shall exercise plan and perform an audit with professional skepticism recognizing that circumstances may exist that cause the financial statements to be materially misstated” (Para. A18-A22).

Skeptisisme profesional diperlukan untuk memastikan audit dilaksanakan dengan sikap independen untuk mencegah kecurangan yang dapat terjadi. Skandal-skandal yang terjadi pada perusahaan terkemuka di dunia seperti yang terjadi pada Enron merupakan contoh yang menunjukkan bahwa rendahnya tingkat skeptisisme profesional dapat menyebabkan terjadinya kecurangan (Curtis, 2014). Untuk mencegah terulangnya skandal serupa, AICPA pada tahun 2007 menerbitkan SAS 99 yang menekankan tanggung jawab auditor untuk mempraktikkan skeptisisme profesional dan untuk mempertimbangkan setiap kemungkinan terjadinya salah saji material dalam laporan keuangan. SAS 99 (AICPA 2007) mengharuskan auditor tidak bergantung pada bukti yang disediakan klien atau penjelasan klien, tetapi lebih bergantung pada bukti dari pihak ketiga yang independen atau bukti yang ditemukan dan dikumpulkan sendiri oleh auditor. Keharusan auditor untuk mempraktikkan skeptisisme profesional juga diungkapkan dalam Paragraf 12 ISA 240, yang menyatakan bahwa auditor harus mengenali kemungkinan salah saji material yang

(3)

disebabkan oleh kecurangan yang dapat terjadi pada saat pelaksanaan audit laporan keuangan. Standar auditing yang berlaku mengakui fakta bahwa pengalaman auditor sebelumnya dengan entitas yang sama dapat berkontribusi terhadap pemahaman terhadap entitas tersebut. Namun, perubahan-perubahan tetap dapat terjadi dan mengharuskan auditor untuk menjaga skeptisisme profesionalnya tanpa memperhatikan pengalaman sebelumnya dengan entitas dalam kaitannya dengan kejujuran dan integritas manajemen dan pihak yang berwenang (Paragraf A8 ISA 240).

ISA 240 juga menyebutkan bahwa bersamaan dengan mempertahankan skeptisisme profesional, auditor harus mempertanyakan apakah informasi dan bukti audit menunjukkan adanya salah saji material yang disebabkan oleh kecurangan.

Penelitian tentang skeptisisme profesional auditor di Indonensia masih terbatas.

Penelitian dalam topik ini yang secara spesifik meneliti skeptisisme auditor-auditor di kantor-kantor akuntan publik kecil di daerah juga masih sangat terbatas. Hal-hal di atas memotivasi penulis untuk melakukan penelitian ini. Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini akan difokuskan untuk menguji pengaruh faktor pendidikan dan pelatihan (training profesional yang pernah diikuti auditor), pengalaman, dan situasi audit terhadap skeptisisme profesional aditor.

Pendidikan dan pelatihan merupakan faktor penting dalam menentukan tingkat skeptisisme profesional yang dimiliki seorang auditor. Menurut Arman et al. (2009) dalam Sabrina & Januarti (2012), auditor harus menjalani pendidikan dan pelatihan (training) yang cukup dalam praktik akuntansi dan teknik auditing agar dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan tepat. Auditor yang memiliki pengetahuan lebih dalam bidang akuntansi dan auditing akan lebih mudah dalam mengidentifikasi kemungkinan adanya kecurangan selama proses pelaksanaan prosedur audit.

Pendidikan yang dimaksudkkan dalam penelitian ini adalah pendidikan formal dan training (pelatihan profesional selama mereka bekerja di KAP).

Pelatihan yang pernah diikuti oleh auditor akan membekali kemampuan teknis dan profesional auditor. Kemampuan tersebut tentunya diperkirakan juga akan memengaruhi kemampuan auditor dalam memperhitungkan risiko audit serta kemampuan dalam mendeteksi kecurangan. Perkembangan perekonomian dunia yang mengakibatkan meningkatnya kompleksitas transaksi bisnis dan pembaruan dan revisi terhadap standar akuntansi menghendaki perlunya diadakan pelatihan secara kontinyu agar auditor dapat menjalankan tugasnya dengan baik seriring dengan perkembangan tersebut (Curtis, 2014). Standar auditing menyatakan bahwa pelatihan teknis yang cukup harus diberikan kepada staf auditor. Dengan demikian, training yang diikuti oleh auditor profesional diperkirakan juga akan berpengaruh terhadap skeptisisme profesionalnya.

Pengalaman auditor menjadi salah satu faktor yang memengaruhui skeptisisme profesional auditor karena auditor yang lebih berpengalaman dapat lebih mudah mendeteksi adanya kecurangan-kecurangan pada laporan keuangan. Auditor yang berpengalaman akan lebih skeptis dibandingkan dengan auditor yang belum berpengalaman (Ansah, 2002). Pengalaman audit ditunjukkan dengan jam terbang

(4)

auditor dalam melakukan prosedur audit terkait dengan pemberian opini atas laporan auditnya.

Dalam melaksanakan prosedur audit, auditor dihadapkan pada berbagai macam situasi audit. Auditor memiliki tanggung jawab untuk memberikan opini atas laporan keuangan setelah melaksanakan rangkaian prosedur audit. Di dalam melaksanakan tugasnya, auditor dituntut untuk menjaga sikap profesionalnya. Shaub dan Lawrence (1996) mengatakan bahwa contoh situasi audit seperti related party transaction, hubungan dekat antara auditor dengan klien, akan memengaruhi skeptisisme profesional auditor dalam melaksanakan posedur audit.

IDENTIFIKASI MASALAH

Sesuai dengan fokus penelitian di atas, maka pertanyaan yang hendak dijawab dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

(1) Apakah tingkat pendidikan formal dan pelatihan profesional berpengaruh pada skeptisisme profesional auditor?

(2) Apakah pengalaman kerja berpengaruh pada sketisisme profesional auditor?

(3) Apakah situasi audit berpengaruh pada skeptisisme profesional auditor?

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Audit

Audit dapat berarti suatu penyelidikan sistematis dengan menggunakan prosedur tertentu untuk menentukan kesesuaian laporan keuangan sebuah entitas dengan standar dan regulasi akuntansi yang berlaku. Halim (2003:10) menyatakan bahwa audit adalah sebuah proses yang sistematis untuk memeroleh dan mengevaluasi secara objektif bukti-bukti yang berhubungan dengan suatu asersi mengenai kegiatan dan transaksi ekonomi untuk memastikan tingkat kesesuaian antara asersi tersebut dengan kriteria- kriteria yang telah ditetapkan dan mengkomunikasikan hasil pemeriksaan tersebut kepada pihak yang berkepentingan. Sedangkan Mulyadi (2002:11) mendefinisikan audit sebagai proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif mengenai pernyataan-pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah diterapkan, serta penyampaian hasil-hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan.

Di dalam proses evaluasi bukti, auditor juga harus mempertimbangkan kejadian ekonomi sebagai dasar untuk menentukan kesesuaian bukti yang diperoleh dengan kriteria yang telah ditetapkan. Kriteria yang dimaksud adalah standar serta regulasi akuntansi dan auditing yang berlaku. Tingkat kesesuaian yang telah ditentukan kemudian akan dijadikan sebagai dasar untuk menyampaikan hasil audit melalui opini audit. Opini audit inilah yang akan digunakan oleh pihak berkepentingan (interested users) seperti manajemen, investor, dan pihak-pihak berkepentingan lainnya sebagai dasar untuk mengambil keputusan.

Skeptisisme Profesional

(5)

Kata skeptisisme terbentuk dari kata “skeptis,” yang berasal dari kata Yunani

skeptikos,” yang berarti “bertanya atau reflektif.” Dapat juga diartikan “mencari informasi dengan mempertanyakan.” Karakteristik yang berkaitan dengan sikap skeptis meliputi pertanyaan dan observasi yang cermat, menyelidiki refleksi, mencermati lebih dari apa yang sudah terlihat jelas, dan menekan kepercayaan. Skeptisisme profesional menggabungkan atribut umum yang berkaitan dengan kondisi profesional dalam konteks standar profesional, regulasi, pengawasan, litigasi, negosiasi, pengumpulan bukti dan evaluasi, pertimbangan profesional, transaksi bisnis yang kompleks, dan sebagainya.

Skeptisisme profesional perlu dimiliki oleh seorang auditor dalam melaksanakan prosedur audit terutama pada saat memperoleh dan mengevaluasi bukti audit serta pada saat menerima penjelasan dari klien. Auditor tidak boleh mengasumsikan begitu saja bahwa manajemen tidak jujur, tetapi auditor juga tidak boleh mengasumsikan bahwa manajemen sepenuhnya jujur (IAI 2000, SA seksi 230; AICPA 2002, AU 230). Lebih lanjut, ISA 200 mengungkapkan bahwa auditor harus merencanakan dan melaksanakan audit dengan skeptisisme profesional, dengan mengakui bahwa adanya kemungkinan terjadi salah saji material dalam laporan keuangan. Glover (dalam Curtis, 2014) mengungkapkan bahwa seiring dengan meningkatnya kompleksitas transaksi bisnis dan pembaruan dan revisi standar akuntansi secara kontinyu, auditor harus fokus terhadap implementasi skeptisisme profesional pada pekerjaannya.

Auditor menerapkan sikap skeptisisme profesional pada saat mengajukan pertanyaan dan menjalankan prosedur audit, dengan sikap yang tidak cepat puas dan tidak cepat percaya terhadap bukti dan penjelasan yang kurang meyakinkan yang hanya didasarkan pada kepercayaan bahwa manajemen dan pihak terkait bersikap jujur dan mempunyai integritas (IFAC 2004, ISA 240. 23-25). ISA 200 mengungkapkan bahwa dengan memiliki skeptisisme profesional berarti auditor membuat penaksiran kritis (critical assessment), dengan pikiran yang selalu mempertanyakan (questioning mind) terhadap validitas dari bukti audit yang diperoleh, waspada terhadap bukti audit yang bersifat kontradiksi atau menimbukan pertanyaan sehubungan dengan reliabilitas dari dokumen, dan memberikan tanggapan terhadap pertanyaan-pertanyaan dan informasi lain yang diperoleh dari manajemen dan pihak terkait.

Skeptisisme dalam audit merupakan konsep campuran dari aspek epistemik dan psikologis. Aspek epistemik berhubungan dengan cara mengetahui dan memutuskan dengan pendekatan apa (positif atau negatif) auditor harus merumuskan perencanaan audit. Sedangkan aspek psikologis berkaitan dengan disposisi auditor dalam mempertanyakan situasi audit tertentu, dan hal ini mengukur sifat questioning mind yang ada pada auditor (Toba, 2011).

Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Skeptisisme Profesional Dalam Audit

(6)

Pengalaman

Pengalaman audit ditunjukkan dengan jam terbang auditor dalam melakukan prosedur audit terkait dengan pemberian opini atas laporan keuangan auditee.

Pengalaman yang dimaksudkan disini adalah pengalaman auditor dalam melakukan rangkaian prosedur audit dalam pemeriksaan laporan keuangan baik dari segi lamanya waktu, maupun banyaknya penugasan yang pernah dilakukan.

Auditor yang berpengalaman dapat lebih mudah mendeteksi kemungkinan adanya kecurangan pada laporan keuangan. Untuk mendeteksi kemungkinan adanya kecurangan, auditor harus memiliki skeptisisme profesional dan hal tersebut akan tumbuh dalam diri auditor apabila telah memiliki pengalaman dalam melaksanakan prosedur audit. Menurut Ansah (2002), auditor yang berpengalaman lebih skeptis dibandingkan auditor yang belum memiliki pengalaman banyak dalam melakukan prosedur audit.

Libby dan Frederick (1990) berpendapat bahwa pengalaman dan pengetahuan dapat memengaruhi pendapat auditor. Auditor yang lebih berpengalaman lebih memahami tugas mereka dalam pelaksanaan prosedur audit apabila dibandingkan dengan auditor yang memiliki pengalaman lebih sedikit. Asare and Wright (1997) juga mengungkapkan bahwa pengalaman mengarah pada penilaian risiko dan deteksi kecurangan yang lebih baik. Abdolmohammadi dan Wright (1987) mengungkapkan bahwa pengalamn auditor dalam bidang akuntansi akan memiliki pengaruh signifikan terhadap pertimbangannya dalam menghadapi pekerjaan audit yang kompleks. Public Company Accounting Oversight Board (PCAOB) mengungkapkan bahwa kurangnya pengalaman dapat menghambat penerapan skeptisisme profesional oleh auditor sebagaimana dinyatakan dalam Staff Audit Practice Alert No. 10 yang berbunyi,

“Skeptisisme profesional saling terkait dengan pelatihan dan pengalaman auditor karena auditor memerlukan tingkat kompetensi yang cukup agar dapat menerapkan skeptisisme profesional pada seluruh proses audit” (Curtis, 2014:10).

Pendidikan dan Pelatihan

Pendidikan merupakan salah satu faktor terpenting untuk menentukan kompetensi seorang auditor. Pengetahuan auditor tentang akuntansi dan auditing yang diperoleh melalui pendidikan formal memiliki pengaruh signifikan terhadap hasil audit (Sabrina

& Januarti, 2012). Selain itu, agar dapat melakukan tugasnya dengan baik, auditor harus menjalani pelatihan teknis yang cukup. Auditor, baik yang baru maupun yang sudah bekerja, perlu mengikuti pelatihan karena adanya tuntutan pekerjaan yang dapat berubah akibat perubahan lingkungan kerja, standar, strategi, dan lain sebagainya. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan keterampilan dan wawasan auditor dengan harapan auditor akan lebih mudah dalam melaksanakan tugasnya. Dessler (1997:263) mendefinisikan pelatihan sebagai proses mengajarkan keterampilan atau pengetahuan yang dibutuhkan untuk menjalankan pekerjaan tertentu kepada karyawan. Lebih lanjut Gomes (1997:197) mengungkapkan bahwa pelatihan merupakan setiap usaha untuk

(7)

memperbaiki prestasi kerja pada suatu pekerjaan tertentu yang sedang menjadi tanggung jawabnya.

Sebelum terjun ke lapangan untuk melaksanakan rangkaian prosedur audit terhadap entitas tertentu, auditor harus memiliki wawasan yang cukup tentang akuntansi dan auditing agar dapat melakukan tugasnya dengan baik dan berujung pada pemberian opini audit yang tepat. Wawasan tersebut diperoleh auditor melalui pendidikan dan pelatihan yang cukup. Wawasan yang cukup dalam praktik akuntansi dan auditing akan memudahkan auditor dalam mengidentifikasi kecurangan dalam laporan keuangan melalui skeptisisme profesional. Barnes dan Huan (1993) mengungkapkan bahwa opini auditor tergantung pada kompetensi dan independensinya. Kompetensi yang dimaksud adalah auditor harus mendapatkan pendidikan formal dan pelatihan teknis untuk mendapatkan wawasan yang cukup karena wawasan mengenai pekerjaan berpengaruh secara signifikan terhadap performa kerja.

Situasi Audit

Situasi audit adalah keadaan yang ditemui auditor dalam suatu penugasan audit, di mana auditor dihadapkan pada keadaan yang mengandung risiko audit rendah (regularities) dan/atau keadaan yang mengandung risiko audit yang besar (irregularities) (Mulyadi, 2010:42). Situasi audit yang mengandung risiko audit rendah (regularities) yaitu saat ditemukan adanya kesalahan-kesalahan yang tidak disengaja oleh pihak manajemen sehingga dalam hal ini auditor membutuhkan sikap skeptis dengan tingkatan yang rendah. Sedangkan situasi audit yang mengandung risiko yang tinggi (irregularities) adalah apabila dalam proses audit nantinya seorang auditor menemukan indikasi yang mengarah pada kecurangan yang dilakukan dengan sengaja.

Dalam menghadapi situasi audit semacam ini, seorang auditor harus menggunakan sikap skeptisnya dengan tepat agar terhindar dari risiko pemberian opini yang salah.

Irregularities sering diartikan sebagai suatu keadaan dimana terdapat kesalahan atau kecurangan yang dilakukan dengan sengaja. Situasi yang dapat mengarah pada irregularities menurut Suraida (2005) antara lain adalah: (1) related party transaction, (2) client misstatement (klien melakukan penyimpangan), (3) kualitas komunikasi, (4) klien baru pertama kali diaudit, dan (5) klien bermasalah.

Dalam melaksanakan tugasnya, auditor dituntut untuk menjaga sikap profesional.

Namun, hubungan auditor-klien yang terlalu dekat, seperti yang terjadi pada skandal Enron, dapat menurunkan sikap skeptis auditor pada saat melaksanakan prosedur audit.

Auditor dapat membentuk tingkat kepercayaan yang tinggi dengan klien setelah bekerja pada sejumlah perikatan audit. Beasley (2013) dalam (Curtis, 2014) mengungkapkan bahwa tingkat kepercayaan yang tinggi antara auditor dengan klien dapat menyebabkan kegagalan auditor dalam memodifikasi prosedur audit pada saat menghadapi situasi audit yang memiliki risiko tinggi (irregularities situation). Flint (1988) berpendapat bahwa independensi auditor akan hilang apabila auditor terlibat dalam hubungan pribadi dengan klien karena hal ini dapat memengaruhi sikap mental dan opini mereka. Ikatan audit yang terlalu lama dapat menyebabkan auditor dan klien

(8)

mengembangkan hubungan nyaman, kesetiaan yang kuat, atau hubungan emosional yang dapat mengancam independensi auditor (Flint, 1988). Selain itu, hubungan tersebut dapat mengakibatkan penurunan kualitas dan kompetensi kerja manakala auditor mulai membuat asumsi-asumsi yang tidak berdasarkan evaluasi objektif dari bukti dan penjelasan yang diperoleh dari klien. GPES 1.201 paragraf 2,5 dari ICAEW (2001) dalam Nasser et al., (2006) mengakui bahwa masalah ini mungkin dianggap sebagai ancaman terhadap independensi auditor. Oleh karenananya, direkomendasikan agar auditor menghindari situasi yang dapat menyebabkan mereka menjadi lebih dipengaruhi oleh atau terlalu percaya kepada direksi klien dan personel kunci dari entitas klien, yang dapat mengakibatkan auditor menjadi terlalu bersimpati terhadap kepentingan klien.

HIPOTESIS PENELITIAN

H1: Pengalaman memiliki pengaruh terhadap skeptisisme profesional pada auditor.

H2: Pendidikan dan pelatihan memiliki pengaruh terhadap skeptisisme profesional pada auditor.

H3: Situasi audit berpengaruh terhadap skeptisisme profesional auditor.

TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan bukti empirik apakah faktor pendidikan dan pelatihan (training), pengalaman kerja, dan situasi audit berpengaruh terhadap skeptisisme profesional auditor.

MANFAAT PENELITIAN

Bukti empirik mengenai pengaruh faktor-faktor yang diuji pengaruhnya terhadap skeptisisme profesional tersebut akan dipergunakan untuk merumuskan saran mengenai pengembangan SDM di KAP, khususnya dalam megahadapi situasi audit yang berbeda dan dalam kaitannnya dengan usaha pengembangan skeptisisme profesional auditor di KAP. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar perumusan saran mengenai pengembangan perkuliahan terkait dengan usaha memperkenalkan dan menambah wawasan kepada mahasiswa akuntansi mengenai pentingnya penerapan skeptisisme profesional dalam audit.

METODE PENELITIAN Jenis Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang diteliti, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif dengan melakukan pengujian hipotesis. Penelitian kuantitatif merupakan metode yang berlandaskan pada filsafat positivisme yang biasanya digunakan untuk meneliti populasi atau sampel tertentu (Sugiyono, 2011:13) Permasalahan yang diangkat pada penelitian ini adalah permasalahan asosiatif, yaitu pertanyaan yang bersifat menghubungkan dua variabel atau lebih. Hubungan

(9)

variabel dalam penelitian adalah hubungan kausal, yaitu hubungan yang bersifat sebab akibat.

Objek Penelitian

Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah auditor yang bekerja pada Kantor Akuntan Publik (KAP) yang berada di Kota Malang. Populasinya adalah semua auditor yang bekerja pada KAP-KAP di Kota Malang. Dengan demikian mereka yang akan dilibatkan sebagai responden penelitian ini adalah semua auditor, mulai jabatan junior staff, senior staff, supervisor, manager, hingga partner audit.

Variabel Penelitian

Variabel peneitian terdiri dari variabel independen dan variabel dependen.

Variabel yang memengaruhi disebut variabel penyebab, variabel bebas atau independent variabel (X), sedangkan variabel akibat disebut variabel tidak bebas atau variabel tergantung, variabel terikat atau variabel dependen (Y). Variabel independen penelitian ini adalah pengalaman (X1), pendidikan dan training yang pernah diikuti (X2), dan situasi audit (X3); sedangkan variabel dependennya adalah skeptisisme profesional (Y).

Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan peneliti dalam mengumpulkan data agar pengerjaan penelitian lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam arti lebih cermat, lengkap dan sistematis sehingga lebih mudah diolah.

Penelitian ini menggunakan kuesioner tertutup berupa pertanyaan atau pernyataan yang jawabannya berbentuk skala Likert. Untuk variabel independen (tingkat pendidikan, pelatihan yang pernah diikuti, pengalaman, dan situasi audit) akan dikembangan daftar pertanyaan tersendiri, yang disesuaikan dengan kondisi di Indonesia, yakni disesuaikan dengan persyaratan dan ketentuan pegembangan staf yang lazimnya dipersyaratkan oleh organisasi profesi audit di Indonesia (IAPI).

Variabel pendidikan diukur dengan strata pendidikan responden, mulai dari Diploma 3, Diploma 4, S1, S2, dan S3. Sedangkan training (pelatihan profesional sebagai auditor) akan diukur dari frekuensi dan rata-rata jumlah pelatihan profesional dalam bidang akuntansi dan auditing yang pernah diikuti, seperti pendidikan profesional berkelanjutan (PPL) yang dipersyaratkan oleh organisasi profesi akuntan dan auditor di Indonesia, serta training-training profesional lainnya yang diselenggarakan sendiri oleh masing-masing KAP.

Variabel pengalaman auditor diukur dengan masa kerja (length of services) sebagai auditor serta pengalaman lainnya yang dipandang akan menambah peningkatan profesionalisme auditor.

Variabel situasi audit diukur dengan kompleksitas situasi audit yang dihadapi oleh auditor dengan memberikan responden 6 pertanyaan yang menunjukkan tingkat kompleksitas situasi audit yang pernah mereka hadapi. Responden diminta untuk memberikan respon berdasarkan skala Likert dengan rentang dari 1 (sangat tidak setuju) hingga 6 (sangat setuju) terhadap 6 pernyataan yang berkaitan dengan kompleksitas situasi audit. Skor dari 6 item tersebut akan digunakan untuk mengukur

(10)

tingkat kompleksitas situasi audit. Semakin tinggi skor, maka semakin tinggi tingkat kompleksitas situasi audit (lihat Lampiran 1).

Sedangkan untuk variabel dependen, instrumen yang dipergunakan diadopsi dari Hurtt (2010). Ini dilakukan karena penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian- penelitian sebelumnya, namun secara spesifik difokuskan untuk menjawab pertanyaan penelitian ini.

Analisis Data

Hipotesis yang dirumuskan dalam penelitian ini diuji menggunakan Partial Least Square (PLS). PLS biasanya dipergunakan untuk analisis data berbasis varian yang lazimnya digunakan ketika terdapat permasalahan pada data, seperti ukuran sampel kecil, data tidak terdistribusi normal, dan adanya data yang hilang (Hartono &

Abdillah, 2014:11; Wold dalam Chenhall, 2005). PLS dipergunakan untuk menganalisis data dalam penelitian ini karena penelitian ini memiliki keterbatasan- keterbatasan tersebut.

PLS dapat melakukan pengujian model pengukuran (outer model) dan model struktural (inner model) secara simultan (Hartono & Abdillah, 2014:14; Hall, 2011).

Model pengukuran digunakan untuk mengetahui hubungan antara item yang diobservasi (instrumen penelitian) dengan variabel konstruk, dengan melakukan uji validitas dan reliabilitas (Hartono & Abdillah, 2014:14; Hall, 2011). Pengujian dalam PLS dibagi menjadi dua tahap:

1. Pengujian model pengukuran (outer model)

Pengujian model pengukuran dilakukan dengan uji validitas dan reliabilitas (Hartono & Abdillah, 2014:57). Pengujian ini dilakukan untuk memastikan bahwa instrumen penelitian valid dan reliabel.

a. Uji Validitas

Uji validitas dilakukan untuk mengetahui kemampuan instrumen penelitian mengukur apa yang seharusnya diukur (Cooper & Schindler dalam Hartono & Abdillah, 2014:58). Validitas konstruk menunjukkan seberapa baik hasil yang diperoleh dari penggunaan suatu pengukuran sesuai teori-teori yang digunakan untuk mendefinisikan suatu konstruk (Hartono dalam Hartono & Abdillah, 2014:59). Menurut Hartono & Abdillah (2014:59) validitas konstruk terdiri atas validitas konvergen dan validitas diskriminan.

Prinsip dari validitas konvergen adalah bahwa item-item pengukuran dari suatu konstruk seharusnya memiliki korelasi yang tinggi (Hartono &

Abdillah, 2014:60). Sedangkan prinsip dari validitas diskriminan adalah bahwa item-item pengukuran dari konstruk yang berbeda seharusnya tidak memiliki korelasi yang tinggi (Hartono & Abdillah, 2014:60). Berikut parameter uji validitas dalam PLS:

(11)

Tabel

Kriteria Uji Validitas

Uji Validitas Parameter Kriteria

Konvergen Faktor Loading Lebih dari 0,7

Diskriminan Average Variance Extracted (AVE) Lebih dari 0,5 Sumber: Hartono dan Abdillah (2014)

b. Uji Reliabilitas

Uji reliabilitas digunakan untuk mengukur akurasi, konsistensi, dan ketepatan suatu alat ukur (Hartono & Abdillah, 2014:61). Dalam PLS, reliabilitas dapat diukur menggunakan dua metode, yakni Cronbach’s alpha dan composite reliability (Hartono & Abdillah, 2014:62). Cronbach’s alpha mengukur batas bawah nilai reliabilitas suatu konstruk sedangkan composite reliability mengukur nilai reliabilitas sesungguhnya (Chin & Gopal dalam Hartono & Abdillah, 2014:62). Nilai keduanya harus lebih besar dari 0,7 meskipun nilai 0,6 masih dapat diterima (Hair et al. dalam Hartono &

Abdillah, 2014:62).

2. Pengujian model struktural (inner model)

Pengujian model struktural digunakan untuk memprediksi hubungan kausalitas antar variabel laten atau konstruk (Hartono & Abdillah, 2014:57).

Pengujian model struktural dilakukan menggunakan untuk konstruk dependen dan koefisien jalur (path) atau t-values tiap path untuk uji signifikansi antar konstruk (Hartono & Abdillah, 2014:62). Berikut ini merupakan penjelasan dan t-values.

a. Nilai

Nilai mengukur tingkat perubahan variabel independen terhadap variabel dependen (Hartono & Abdillah, 2014:62). Semakin tinggi nilai menunjukkan bahwa semakin baik model prediksi dari model penelitian yang diajukan (Hartono & Abdillah, 2014:62).

b. Nilai t-statistic

Nilai t-statistic menunjukkan tingkat signifikasi dalam pengujian hipotesis (Hartono & Abdillah, 2014:63). Untuk tingkat keyakinan 95% (alpha 5%) maka nilai t-statistic untuk hipotesis satu ekor (one-tailed) adalah lebih dari atau sama dengan 1,64 (≥ 1,64) (Hartono & Abdillah, 2014: 87).

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Pengumpulan Data

Pengumpulan data primer dilakukan dengan metode survei dalam bentuk kuesioner yang diberikan kepada auditor di KAP yang berada di Kota Malang.

Kuesioner diberikan kepada bagian Humas atau sekretaris Kantor pada tiap KAP yang

(12)

dikunjungi. Total jumlah kuesioner yang disebarkan adalah sebanyak 150 kuesioner.

Terdapat 98 kuesioner yang kembali dan terisi, sedangkan 52 kuesioner lainnya tidak kembali atau tidak terisi. Setelah dilakukan pemeriksaan terhadap kuesioner yang terisi, terdapat 36 kuesioner yang tidak dapat digunakan karena terdapat data yang tidak lengkap atupun terdapat pelanggaran atas indikator-indikator pengendali yang ada pada varibel situasi audit dan skeptisisme profesional. Indikator pengendali digunakan sebagai pengontrol untuk mengetahui apakah responden membaca dengan teliti setiap pertanyaan dalam kuesioner. Berdasarkan hasil di atas, terdapat 62 kuesioner yang dapat digunakan dalam penelitian ini dengan tingkat pengembalian sebesar 65% dan tingkat pengembalian yang digunakan sebesar 41%. Tingkat pengembalian sebesar 65% berada dalam batas yang dapat diterima (Baruch & Holtom, 2008).

Pengujian Hipotesis

Setelah diperoleh hasil pengujian model pengukuran yang valid dan reliabel, analisis berikutnya dilakukan dengan mengevaluasi model struktural (inner model) untuk menguji hipotesis yang diajukan. Kriteria pengujian hipotesis dilihat dari nilai t- statistik. Jika nilai t-statistik lebih tinggi dibandingkan dengan nilai t-tabel maka hipotesis didukung. Untuk tingkat keyakinan 95% maka nilai t-tabel untuk hipotesis satu ekor (one-tailed) adalah lebih dari atau sama dengan 1,64 (≥ 1,64) (Hartono &

Abdillah, 2014: 87). Pengujian dilakukan dengan metode bootstrapping yang tersedia dalam SmartPLS. Tabel berikut memberikan informasi yang lebih lengkap dan menyeluruh atas hasil pengujian model struktural. Berikut hasil pengujian hipotesis yang diperoleh:

Ringkasan Hasil Pengujian Hipotesis

Sumber: Output SmartPLS 3.2.3

Original

Sample

Sample Mean

Standard Dev.

T

Statistics P Values H1: Pendidikan dan

Pelatihan  Skeptisisme Profesional

0.128 0.129 0.071 1.865 0.037

H2: Pengalaman 

Skeptisisme Profesional 0.414 0.406 0.088 4.856 0.000 H3: Situasi Audit 

Skeptisisme Profesional 0.460 0.469 0.082 5.706 0.000

(13)

Pengujian Hipotesis (Model Struktural) dengan PLS

Sumber: Output SmartPLS 3.2.3

Keterangan: SA – situasi audit, SP – skeptisisme profesional

(14)

Pembahasan H1

Tabel menunjukkan adanya pengaruh positif 0,414 dengan nilai t sebesar 4,856 (≥1,64). Berdasarkan hasil tersebut, maka H1 diterima. Seperti yang diekspektasikan dalam H1, hasil pengujian menunjukkan adanya pengaruh positif dan signifikan antara pengalaman terhadap skeptisisme profesional auditor. Penerimaan atas hipotesis ini mengindikasikan bahwa jangka waktu dalam bekerja dan audit tenure seorang auditor memberikan wawasan lebih dan menjadikan auditor tersebut lebih skeptis dalam melaksanakan pekerjaan audit. Dengan memiliki pengalaman lebih dalam bekerja di bidang akuntansi dan audit, seorang auditor dapat lebih mudah mendeteksi adanya indikasi kecurangan yang dilakukan oleh klien. Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian Bedard dan Briggs (1991) yang mengungkapkan bahwa auditor berpengalaman memiliki kemampuan lebih baik dalam mendeteksi kecurangan. Selain itu, penelitian Arase and Wright (1997) juga sesuai dengan hasil penelitian ini. Hasil penelitian Arase and Wright (1997) membuktikan bahwa pengalaman mengarah pada penilaian risiko dan deteksi kecurangan yang lebih baik.

Pembahasan H2

Hasil pengujian menunjukkan adanya pengaruh positif 0,128 dengan nilai t sebesar 1,865 (≥1,64). Berdasarkan hasil tersebut, maka H2 diterima. Hasil pengujian hipotesis ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan dan banyaknya pelatihan yang pernah diikuti oleh auditor memiliki pengaruh positif terhadap skeptisisme professional. Ini mengindikasikan bahwa pendidikan dan peatihan di bidang Akuntansi dan auditing dapat meningkatkan kemampuan auditor dalam mendeteksi adanya indikasi kecurangan serta menilai risiko yang ada dalam suatu pekerjaan audit. Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian Curtis (2014), yang membuktikan bahwa pelatihan teknis memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap skeptisisme profesional. Dengan demikian hasil penelitian ini juga mendukung Barnes dan Huan (1997) yang berhasil membuktikan bahwa ketepatan pemberian opini audit bergantung pada kompetensi dan independensi auditor.

Pembahasan H3

Hasil pengujian menunjukkan adanya pengaruh 0,460 dengan nilai t sebesar 5,706 (≥1,64). Berdasarkan hasil tersebut, maka H3 diterima. Situasi audit merupakan salah satu faktor penting dalam sebuah prosedur audit. Situasi audit dapat didefinisikan sebagai keadaan yang ditemui auditor dalam sebuah penugasan audit. Situasi audit yang mengandung risiko tinggi pada umumnya dipicu oleh adanya hubungan dekat antara auditor dengan klien. Kedekatan hubungan tersebut dapat memengaruhi independensi auditor dalam melaksanakan prosedur audit. Adanya hubungan dekat auditor-klien dapat mengarah pada kurangnya sikap skeptisisme profesional yang ditunjukkan oleh auditor. Selain itu, kurangnya komunikasi antara auditor lama dan auditor baru juga dapat mengarah pada situasi audit yang mengandung risiko tinggi.

Auditor yang mengalami kesulitan komunikasi dengan auditor sebelumnya biasanya akan lebih bersikap skeptis terhadap informasi dan penjelasan yang diberikan oleh

(15)

klien. Hal ini didukung oleh penelitian Kee dan Knox (1970) yang mengungkapkan bahwa situasi audit memiliki pengaruh signifikan terhadap skeptisisme profesional auditor. Situasi audit, seperti adanya hubungan dekat antara auditor dan anggota manajemen klien, dapat memengaruhi kinerja dan sikap auditor dalam melaksanakan prosedur audit.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Penelitian ini menguji pengaruh pengalaman, pendidikan dan pelatihan, dan situasi audit terhadap skeptisisme profesional pada auditor yang bekerja pada Kantor Akuntan Publik di Kota Malang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengalaman, pendidikan dan pelatihan, dan situasi audit memiliki pengaruh terhadap skeptisisme profesional auditor. Pengalaman auditor yang ditunjukkan oleh jam terbang dan pengalaman kerja di bidang akuntansi memengaruhi kemampuan auditor dalam menunjukkan sikap skeptis selama melaksanakan prosedur audit. Semakin tinggi jam terbang audit dan pengalaman bekerja di bidang akuntansi yang dimiliki seorang auditor, semakin tinggi pula skeptisisme profesional auditor tersebut. Tingkat pendidikan dan banyaknya pelatihan di bidang akuntansi dan audit yang telah diikuti oleh auditor memiliki pengaruh terhadap kemampuan auditor dalam menunjukkan sikap skeptis pada saat melaksanakan tugas audit. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan semakin banyak pelatihan yang telah diikuti oleh auditor, semakin tinggi pula skeptisisme profesionalnya. Situasi audit juga memiliki pengaruh terhadap skeptisisme profesional auditor dalam melaksanakan tugas audit. Auditor yang pernah menemui situasi audit yang kompleks menunjukkan sikap skeptisisme professional yang lebih tinggi.

Saran

Untuk meningkatkan tingkat generalisabilitas, penelitian selanjutnya disarankan untuk menggunakan sample size yang lebih besar sehingga mampu merepresentasikan populasi dengan lebih baik. Uji bias non-respon juga disarankan untuk dilakukan untuk memastikan tidak adanya perbedaan response yang signifikan antar kelopmpok responden yang berbeda, sehingga hasil penelitian lebih dapat digeneralisasi. Selain itu, penelitian selanjutnya disarankan untuk menyesuaikan atau memodifikasi pertanyaan pada instrumen penelitian dengan kondisi yang ada pada tempat penelitian.

Agar diperoleh hasil penelitian yang lebih robust, maka disarankan agar penelitian berikutnya menguji ulang dengan menggunakan sample size yang lebih besar dan melakukan pretest khususnya bagi peneliti yang akan menggunakan instrumen yang dikembangkan oleh Hurtt (2010).

(16)

DAFTAR PUSTAKA

Abdolmohammadi, M., & Wright, A. (1987). An Examination of The Effects of Experience and Task Complexity on Audit Judgements. The Accounting Review.

AICPA. (2002). Due Professional Care in the Performance of Work, Section 230.

New York: PCAOB Standards and Related Rules.

AICPA. (2007). Consideration of Fraud in a Financial Statement Audit AU, Section 316. New York: PCAOB Standards and Related Rules.

Ansah, S., Moyes, G., Oyelere, P., & Hay, D. (2012). An Empirical Analysis of the Likelihood of Detecting Fraud in New Zealand. Managerial Auditing Journal.

Arnan, S., Wisna, N., & Firmansyah, I. (2009). Auditing. Bandung: Politeknik Telkom.

Arrens, A., & Loebbecke, J. (2007). Auditing. Jakarta: Salemba Empat.

Asare, S., & Wright, A. (1997). Hypothesis Revisions Strategies in Conducting Analytical Procedures. Accounting, Organizations and Society.

Barnes, P., & Huan, H. (1993). The Auditors Going Concern Decision: Some UK Evidence Concerning Independence and Competence. Journal of Business, Finance

& Accounting.

Baruch, Y., & Holtom, B. (2008). Survey response rate levels and trends in oragnizational research. Human relations, 61 (B), 1139-1160.

Bedard, J., & Biggs, S. (1991). The Effect of Domain-specific Experience on Evaluation of Management Representations in Analytical Procedures. Auditing: A Journal of Practice & Theory .

Boynton. (2006). Modern Auditing: Assurance Services and The Integrity of Financial Reporting. John Wiley and Sons, Inc.

Chenhall, L. (2005). Integrative strategic performance measurements systems,

strategic alignment of manufacturing, learning and strategic outcomes: an exploratory study. Accounting, Organizations and Society, 30, 395-422.

(17)

Curtis, R. (2014). An Examination into the Current State of Professional Skepticism.

Honors Scholar Program at DigitalCommons@UConn.

Dessler, G. (1997). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: PT. Prenhallindo.

Flint, D. (1988). Philosophy and Principles of Auditing: An Introduction. Macmillan Education.

Gomes, F. (1997). Manajemen Sumber Dya. Yogyakarta: Andi Offset.

Guy. (2001). Auditing. Jakarta: Erlangga.

Haenlein, M., & Kaplan, A. (2004). A beginner's guide to partial least squares analysis. Understanding Statistics, 283-297.

Halim, A. (2003). Auditing (dasar-dasar Audit Laporan Keuangan). UUP STIM.

Hall, M. (2011). Do comprehensive performance measurement systems help or hinder manager's mental model development. Management Accounting Research, 22, 68-83.

Hartono, J., & Abdillah, W. (2014). Konsep dan Aplikasi PLS (Partial Least Square) untuk Penelitian Empiris. Yogyakarta: BPFE-UGM.

Hurtt, R. (2010). Developing a Scale to Measure Professional Skepticism . Auditing:

A Journal of Practice & Theory.

IAASB. (2007, April). ISA 200, Overall Objective of the Independent Auditor, and the Conduct of an Audit in Accordance with International Standards on Auditing.

IAI. (2011). Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP). Jakarta: Salemba Empat.

Kee, H., & Knox, R. (1970). Conceptual and Methodological Considerations in the Study of Trust and Suspicion. The Journal of Conflict Resolution.

Libby, R., & Frederick, D. (1990). Experience and the Ability to Explain Audit Findings. Journal of Accounting Research.

Louwers, T., Ramsay, R., Sinason, D., & Strawser, J. (2005). Auditing and Assurance Service. New York: Mc Graw Hill.

Mulyadi. (2002). Auditing. Jakarta: Salemba Empat.

Mulyadi. (2010). Auditing. Jakarta: Salemba Empat.

(18)

Nasser. (2006). Auditor-Client Relationship: The Case of Audit Tenure and Auditor Switching in Malaysia. Managerial Auditing Journal.

Preacher, K., & Hayes, A. (2008). Asymptotic and resampling strategies for assessing and comparing indirect effects in multiple mediator models. Behavior Research Methods, 40 (3), 879-891.

Sabrina, & Januarti. (2012). Pengaruh Pengalaman, Keahlian, Situasi Audit, Etika dan Gender terhadap Ketepatan Pemberian Opini Audit melalui Skeptisisme Profesional Auditor. Jurnal Sistem Informasi, Etika dan Auditing.

Sekaran, U. (2003). Research Methods for Business: A Skill-Building Approach.

USA: John Wiley and Sons, Inc.

Shaub, M., & Lawrence, J. (1996). Ethics, Experience and Professional Skepticism:

A Situational Analysis. Behavioral Research in Accounting.

Sugiyono. (2011). Metode Peneitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung:

Alfabeta.

Suraida, I. (2005). Pengaruh Etika, Kompetensi, Pengalaman Audit dan Risiko Audit terhadap Skeptisisme Profesional Auditor dan Ketepatan Pemberian Opini Akuntan Publik. Fakultas Ekonomi Universitas Padjajaran, Sosiohumanoria.

Toba, Y. (2011). Toward a Conceptual Framework of Professional Skepticism in Auditing. Waseda Business & Economic Studies .

Umar, H. (2003). Metodologi Penelitian Untuk Skripsi dan Tesis Bisnis . Jakarta: PT.

Gramedia Pustaka.

Wilcox, E. (1952). Examining Audit Relations: A Reconsideration of Auditor Independence. Emerald Group Publishing Limited.

Referensi

Dokumen terkait

Ardini 2010 memiliki sebuah kesimpulan tentang pentingnya independensi pada diri auditor yaitu, independensi merupakan salah satu syarat utama auditor dalam memeriksa dan mengevaluasi

Survey Pada Auditor Di Kantor Akuntan Publik Kota Bandung Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya pengaruh pengalaman auditor dan pengetahuan mendeteksi kekeliruan terhadap