BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Pityriasis versicolor atau yang lebih dikenal dengan penyakit panu merupakan salah satu penyakit kulit yang memiliki prevalensi tertinggi di daerah tropis seperti di Indonesia. Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki iklim tropis, namun hingga saat ini data tingkat prevalensi Pityriasis versicolor di Indonesia tidak pasti. Hal tersebut dikarenakan minimnya masyarakat yang terkena penyakit panu tetapi tidak berobat ke dokter sehingga tidak ada data yang pasti. Berdasarkan data profil kesehatan Kabupaten Bangkalan di tahun 2020 terdapat sejumlah 2.838 kasus dermatitis. Begitu pula di Kabupaten Pangkep pada tahun 2018, penyakit dermatitis berada di urutan ke 8 dari 10 penyakit tertinggi yakni sebanyak 10.436 kasus (Maudani & Baharuddin, 2020). Di Indonesia, Pityriasis versicolor merupakan dermatomikosis terbanyak kedua diantara dermatofitosis yang lain (Radiono et al, 2013). Kejadian Pityriasis versicolor memiliki angka yang tergolong tinggi di seluruh dunia, yang mana pada negara yang beriklim tropis sebesar 50%, negara yang beriklim subtropis sebesar 5%, dan negara yang beriklim dingin sebesar 1% (Setyarini & Krisnansari, 2011).
Sebagian besar yang terkena kasus penyakit panu ini diakibatkan oleh keadaan yang dapat mempengaruhi keseimbangan hospes dengan jamur yang diduga dengan adanya factor lingkungan, yakni kondisi seseorang yang kurang menjaga kehigenitas diri dan kelembaban kulit (Labiqah & Marantika, 2021).
Jamur yang dapat menyebabkan penyakit panu atau Pityriasis versicolor adalah Malassezia furfur. Jamur lipofilik Malassezia furfur ini salah satu normal flora yang
ada pada kulit manusia (Youngchim et al., 2017). Factor predisposisi Malassezia furfur yang dapat merubah dari normal flora menjadi pathogen yakni, seperti factor genetic, keadaan malnutrisi, produksi kelenjar sebum dan keringat, keadaan imunokompromais, dan lingkungan dengan suhu serta kelembaban yang tinggi (Pramono & Soleha, 2018). Jamur tersering yang menyebabkan penyakit panu yakni Malassezia furfur (Samara & Ramzy, 2018).
Pengobatan pada kasus Pityriasis versicolor biasanya menggunakan antifungal pada golongan azol seperti ketokonazol. Diketahui bahwa ketokonazol sangat mudah didapatkan, akan tetapi memiliki efek samping yang negative (Vitro et al., 2017). Efek samping dari penggunaan ketokonazol yang berlebihan dapat menyebabkan iritasi, rasa terbakar pada kulit, gatal-gatal, dapat mengalami hepatotoksik (Wahyuningrum et al., 2012), dan resiko tertinggi dapat menyebabkan liver injury (Khoza et al., 2017), serta pengobatan dengan dosis yang tinggi ataupun dengan dosis yang rendah dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan resistansi jamur terhadap obat tersebut (Alawiyah et al., 2016).
Penggunaan antifungal dalam mengobati jamur Malassezia furfur penyebab penyakit panu harus dikurangi dengan menggunakan obat alternatif yakni dari bahan alami. Diketahui terdapat beberapa bahan alami seperti lengkuas merah (Lestari, 2020), kayu secang (Labiqah & Marantika, 2021), kayu manis (Sahrul, 2020), lidah buaya (Ariana et al., 2015), dan daun cengkeh (Samara & Ramzy, 2018) yang mana dapat menangani jamur Malassezia furfur sebagai penyebab penyakit panu. Pada daun cengkeh diketahui memiliki kandungan bahan aktif minyak atsiri yang didalamnya terdapat eugenol sebanyak 72-90% dan sisanya terdapat senyawa flavonoid, saponin, dan tannin sebagai senyawa anti jamur
(Kamatou et al., 2012). Namun, belum pernah ada penggunaan bahan alami yakni tanaman pare untuk menangani jamur Malassezia furfur sebagai penyebab penyakit panu. Bagian dari tanaman pare yang digunakan dalam menangani penyakit panu ini yakni daun pare.
Daun pare (Momordica charantia L.) sendiri memiliki karakteristik yang diantaranya yaitu berwarna hijau dan berbau khas tanaman. Daun pare mengandung metabolit sekunder yakni meliputi flavonoid, steroid, saponin, alkaloid, tannin (Alfionita & Jusnita, 2018), dan triterpenoid (Hendriani et al., 2019). Senyawa flavonoid diketahui memiliki peranan dalam menghambat pertumbuhan jamur yakni dengan cara menyebabkan gangguan permeabilitas pada membrane sel jamur dimana gugus hidroksil yang ada pada senyawa flavonoid ini dapat mengakibatkan berubahnya komponen organic dan transport nutrisi yang akhirnya dapat menyebabkan terjadinya efek toksis pada jamur (Asngad et al., 2018). Diketahui juga bahwa senyawa saponin memiliki sifat sebagai antijamur, dimana senyawa ini akan bereaksi dengan porin atau protein transmembrane pada membrane luar dinding sel jamur. Hal tersebut dilakukan dengan cara membentuk ikatan polimer yang kuat sehingga menyebabkan rusaknya porin yang mana merupakan sebuah pintu keluar masuknya senyawa yang dapat mengurangi permabilitas membrane sel pada jamur. Kemudian membrane sel pada jamur tersebut akan kekurangan nutrisi sehingga menyebabkan terhambatnya pertumbuhan jamur atau dapat terjadi kematian pada jamur (Rachmawati et al., 2011).
Daun pare banyak ditemukan di daerah tropis dan dapat tumbuh dengan baik di dataran rendah. Selain itu, daun pare dapat tumbuh dengan liar di tanah yang terlantar, tegalan, maupun dapat dibudidayakan dengan dirambatkan menggunakan
pagar (Widyaningrum, 2011). Daun pare sendiri memiliki harga yang relatif terjangkau sehingga mudah didapatkan. Penelitian yang dilakukan oleh Agung et al, (2018) menyatakan bahwa ekstrak etanol dari daun pare memiliki daya hambat terhadap pertumbuhan jamur Microsporum canis ATCC 32699. Hasil penelitian tersebut menggunakan tiga konsentrasi dari ekstrak daun pare yakni 0,5%, 1%, dan 1,5%. Diameter zona hambat yang diperoleh dari konsentrasi ekstrak daun pare tersebut berturut-turut sebesar 8,6 mm, 9,6 mm, dan 11,7 mm.
Berbagai penelitian tentang pemanfaatan daun pare sebagai anti mikroba telah banyak dilakukan. Hal ini dapat dilihat berdasarkan hasil temuan Kamal et al (2019) menunjukkan hasil bahwa konsentrasi terbaik daun pare yang dapat menghambat pertumbuhan Staphylococcus aureus yakni 20%. Pakadang & Salim (2020) menunjukkan hasil bahwa konsentrasi terbaik ekstrak dari daun pare yang dapat menghambat pertumbuhan keempat bakteri Streptococcus pneumonia, Staphylococcus epidermidis, Staphylococcus aureus dan Klebsiella pneumonia yakni 15.000 ppm. Dan juga temuan Undap et al., 2017 menunjukkan hasil bahwa konsentrasi terbaik ekstrak daun pare yang dapat menghambat pertumbuhan Staphylococcus aureus yakni 25%. Selain itu, penelitian tentang pemanfaatan bahan alam sebagai anti jamur Malassezia furfur juga telah banyak dilakukan, diantaranya yakni hasil temuan Samara & Ramzy (2018) yang menunjukkan hasil bahwa konsentrasi terbaik minyak atsiri daun cengkeh yang dapat menghambat pertumbuhan Malassezia furfur yakni 75%. Lestari (2020) menunjukkan hasil bahwa konsentrasi terbaik ekstrak etanol lengkuas merah yang dapat menghambat pertumbuhan Malassezia furfur dan Microsporum canis yakni 10%. Labiqah &
Marantika (2021) menunjukkan hasil bahwa konsentrasi terbaik ekstrak etanol kayu
secang yang dapat menghambat pertumbuhan Malassezia furfur yakni 100%.
Sahrul (2020) menunjukkan hasil bahwa konsentrasi terbaik ekstrak kayu manis yang dapat menghambat pertumbuhan Malassezia furfur yakni 0,075%. Alawiyah et al (2016) menunjukkan hasil bahwa konsentrasi terbaik ekstrak teripang yang dapat menghambat pertumbuhan Malassezia furfur yakni 20%. Dan juga temuan Ariana et al., (2015) menunjukkan hasil bahwa konsentrasi terbaik lendir lidah buaya yang dapat menghambat pertumbuhan Malassezia furfur yakni 100%.
Proses kegiatan pembelajaran didalam kelas melibatkan antara siswa dengan guru, yang mana guru harus memiliki sebuah sumber belajar yang menarik agar siswa dapat menjalankan kegiatan pembelajaran dengan efektif. Namun, salah satu sumber belajar dari hasil penelitian jarang dimanfaatkan oleh guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran didalam kelas. Menurut Nur (2012) mengatakan bahwa sebagian besar guru yang ada di Indonesia cenderung memanfaatkan buku teks sebagai satu-satunya sumber balajar dan menjadikan buku teks sebagai patokan dalam mengajar, padahal masih banyak sumber belajar lainnya yang lebih efektif dalam meningkatkan pemahaman siswa dalam proses kegiatan pembelajaran seperti lingkungan sekitar, perpustakaan, dan lain-lain. Hasil penelitian ini nantinya dapat dimanfaatkan sebagai sumber belajar biologi untuk siswa SMA kelas X semester 1 pada materi pengayaan pemanfaatan keanekaragaman hayati yang mana berisi mengenai sejumlah spesies tanaman yang dapat dimanfaatkan oleh manusia sebagai tanaman obat untuk menyembuhkan suatu penyakit.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh konsentrasi ekstrak daun pare (Momordica charantia L.) terhadap
diameter zona hambat Malassezia furfur secara in vitro sebagai sumber belajar biologi.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut.
1. Adakah pengaruh konsentrasi ekstrak daun pare (Momordica charantia L.) terhadap diameter zona hambat Malassezia furfur secara in vitro?
2. Berapakah konsentrasi yang paling efektif/optimum ekstrak daun pare (Momordica charantia L.) dalam menghambat diameter zona hambat Malassezia furfur secara in vitro?
3. Bagaimana analisis pemanfaatan hasil penelitian tentang pengaruh konsentrasi ekstrak daun pare (Momordica charantia L.) terhadap diameter zona hambat Malassezia furfur secara in vitro sebagai sumber belajar biologi?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Menganalisis pengaruh konsentrasi ekstrak daun pare (Momordica charantia L.) terhadap diameter zona hambat Malassezia furfur secara in vitro.
2. Mengetahui konsentrasi yang paling efektif/optimum ekstrak daun pare (Momordica charantia L.) dalam menghambat diameter zona hambat Malassezia furfur secara in vitro.
3. Mengetahui analisis pemanfaatan hasil penelitian tentang pengaruh konsentrasi ekstrak daun pare (Momordica charantia L.) terhadap diameter zona hambat Malassezia furfur secara in vitro sebagai sumber belajar biologi.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.4.1 Secara Teoritis
Hasil penelitian ini bermanfaat sebagai sumber informasi tentang pengaruh konsentrasi ekstrak daun pare (Momordica charantia L.) terhadap diameter zona hambat Malassezia furfur secara in vitro sebagai sumber belajar biologi.
1.4.2 Secara Praktis 1. Bagi Guru dan Siswa
Hasil penelitian ini bermanfaat sebagai sumber belajar materi pemanfaatan keanekaragaman hayati pada kelas X SMA.
2. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini bermanfaat sebagai dasar mengembangkan pemanfaatan ekstrak daun pare (Momordica charantia L.) sebagai anti jamur.
3. Bagi Penelitian lanjutan
Hasil penelitian ini bermanfaat sebagai dasar untuk melakukan penelitian lanjutan tentang jumlah Malassezia furfur menggunakan metode pengenceran, MIC dan MBC.
1.5 Batasan Masalah
Batasan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut.
1. Objek yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Malassezia furfur penyebab penyakit panu yang diperoleh dari Indi Laboratory.
2. Konsentrasi ekstrak daun pare (Momordica charantia L.) yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 0%, 0,5%, 1%, 1,5%, 2%, dan 2,5%.
3. Parameter penelitian ini dilakukan secara in vitro dengan melakukan pengamatan diameter zona hambat Malassezia furfur.
1.6 Definisi Istilah
Definisi istilah dalam penelitian ini sebagai berikut.
1. Konsentrasi adalah suatu ukuran jumlah pada zat tertentu dalam bentuk volume tertentu yang dapat dinyatakan secara kuantitatif dan kualitatif (Hademenos &
Fried, 2010).
2. Ekstrak adalah berupa sediaan kental, kering, atau cair yang dibuat dengan cara mengambil dari sari simplisia yakni dengan cara yang tepat dan diluar dari pengaruh cahaya matahari secara langsung (Sudewo, 2009).
3. Daun pare adalah tanaman yang memiliki karakteristik yaitu berwarna hijau dan berbau khas tanaman (Alfionita & Jusnita, 2018).
4. Diameter zona hambat adalah daerah yang jernih berada disekitar cakram kertas atau papper disk yang tidak ditumbuhi oleh bakteri (Kusumawati et al., 2017)
5. Malassezia furfur adalah jamur yang dapat menginfeksi kulit manusia sehingga menyebabkan penyakit panu (Alawiyah et al., 2016)
6. Sumber belajar adalah semua jenis media, data, benda, orang, ide, fakta, dan lain-lain yang dapat memudahkan terjadinya suatu proses belajar bagi peserta didik (Yusuf, 2010).
7. Biologi adalah ilmu yang mempelajari mengenai sesuatu tentang makhluk hidup dan lingkungannya (Widyatmoko, 2020).