BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Komplikasi kehamilan dan persalinan yang terjadi di berbagai negara menjadi penyebab utama kematian wanita usia reproduksi. Komplikasi pada kehamilan yang sering terjadi pada ibu hamil yaitu perdarahan, keguguran, kehamilan ektopik, preeklamsia/eklamsia, dan anemia.1
Berdasar atas hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, Angka kematian ibu (AKI) di Indonesia sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup, Angka ini masih cukup tinggi jika dibandingkan dengan Negara-negara tetangga di kawasan ASEAN.
Salah satu sasaran pembangunan kesehatan pada RPJMN 2015-2019 adalah menurunnya angka kematian ibu menjadi 306 per 100.000 kelahiran hidup dengan realisasi jumlah AKI tahun 2015 menurut Survei antar penduduk (SUPAS) adalah 305 per 100.000 kelahiran hidup. Penyebab utama kematian ibu yaitu hipertensi dalam kehamilan dan perdarahan postpartum.2,3
Perdarahan menyebabkan sekitar 30,3% kematian ibu di Indonesia. Penyebab perdarahan pada kehamilan dan persalinan adalah perdarahan antepartum dan perdarahan postpartum. Perdarahan postpartum didefinisikan sebagai kehilangan 500 ml darah atau lebih dalam waktu 24 jam pertama setelah persalinan pervaginam atau 1000 ml atau lebih setelah persalinan Caesar.3
Apabila terjadi perdarahan yang berlebihan pascasalin baik perdarahan dini atau lanjut maka perlu dicari penyebab yang spesifik. Meskipun demikian, dua pertiga kasus
1
perdarahan postpartum dini ataupun lanjut yang terjadi pada ibu dengan faktor yang tidak dapat diidentifikasi. Banyak faktor risiko telah dikaitkan dengan perdarahan postpartum dan perdarahan antepartum. Pada kasus perdarahan penting untuk dilakukannya identifikasi awal faktor risiko karena perdarahan antepartum dan perdarahan postpartum selalu menjadi kontributor yang signifikan untuk morbiditas dan mortalitas ibu diseluruh dunia.4 Atonia uteri, retensio plasenta, sisa plasenta, dan laserasi traktus genitalia bawah merupakan penyebab sebagian besar perdarahan postpartum.2
Salah satu penyebab perdarahan pascasalin yang paling banyak adalah atonia uteri.
Atonia uteri adalah suatu kondisi miometrium tidak berkontraksi dan bila ini terjadi maka darah yang keluar dari tempat insersi plasenta menjadi tidak terkendali. Keadaan ini dapat terjadi apabila uterus tidak berkontraksi dalam 15 detik setelah dilakukan rangsang taktil (masase) fundus uteri.5 Perbedaan antara perdarahan akibat atonia uteri dengan perdarahan karena laserasi traktus genitalis secara tentatif ditentukan oleh faktor risiko, predisposisi, dan kondisi uterus. Pada keadaan dengan sumber daya yang rendah yaitu ibu sudah mengalami anemia selama kehamilan, maka perdarahan postpartum dapat terjadi.6
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Abdul Wahab Sjahranie Samarinda tahun 2015 terdapat 42% ibu yang mengalami perdarahan postpartum dan pada tahun 2016 sebanyak 56% ibu dengan kasus yang sama, data tersebut menunjukkan adanya kenaikan jumlah kasus perdarahan postpartum. Berdasar atas data di RSUD Wahab Sjahranie Samarinda bulan Januari 2016 terdapat 11 kasus perdarahan dengan klasifikasi 7 orang ibu atau (63%) multi dan 4 orang primi atau (36%). Selain itu hasil pengamatan pada tanggal 4 Januari 2018, jumlah keseluruhan perdarahan postpartum di RSUD AWS Samarinda adalah 280 kasus dari 2.832 ibu bersalin baik normal maupun
bantuan. Adapun penyebab terjadinya perdarahan ini di antaranya adalah retensio plasenta 58%, atonia uteri 43-50%, sisa plasenta 16-17%, laserasi jalan lahir 5-10%, dan kelainan darah 2-3%.
Beberapa karakteristik ibu yang berisiko mengalami perdarahan postpartum diantaranya adalah usia ≥ 35 tahun, penyakit kronis yang telah ada sebelum hamil, anemia pada ibu hamil, persalinan dengan forcep atau vakum, persalinan dengan berat badan bayi > 4000 gr, tempat tinggal yang jauh dari rumah sakit dan sistem rujukan antar rumah sakit yang tidak efektif. Upaya yang sudah dilakukan sampai saat ini untuk mencegah kematian ibu karena perdarahan postpartum adalah dengan melaksanakan manajemen aktif kala III dan menyediakan pasokan darah yang cukup sehingga transfusi dapat segera dilakukan jika terjadi perdarahan. Selain itu berdasarkan hasil penelitian juga ditemukan bahwa kematian ibu karena perdarahan sangat mungkin dicegah dengan cara meningkatkan pelayanan kesehatan.7,8
Saat ini upaya pencegahan terjadinya perdarahan yang disebabkan oleh atonia uteri menjadi sebuah rangkaian yang pada tiap kala persalinan memiliki upaya masing-masing yang dapat dilakukan yang dijadikan Standard Operating Procedure (SOP). Manajemen aktif kala III menjadi salah satu program yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam mengantisipasi akan terjadinya perdarahan postpartum yang disebabkan oleh atonia uteri.
Pemerintah mengeluarkan kebijakan program manajemen aktif kala III, bagi tenaga kesehatan yang kompeten dalam menolong persalinan secara fisiologis (dokter, bidan dan perawat), pemberian uterotonika pada persalinan kala III segera setelah melahirkan janin (tidak ada janin kedua), peregangan tali pusat terkendali dan masase pada uterus setelah melahirkan plasenta selama 15 detik, inilah bentuk upaya yang dilakukan pada kala III untuk
mencegah terjadinya perdarahan karena atonia uteri, upaya telah dibuktikan dapat menurunkan angka kejadian perdarahan pasca persalinan secara bermakna bila dibanding dengan penatalaksanaan secara fisiologi.9
WHO menyatakan bahwa semua wanita melahirkan harus diberikan uterotonika selama kala III persalinan untuk mencegah perdarahan postpartum. Oksitosin ( IM/IV 10 IU ) direkomendasikan sebagai uterotonika pilihan. Uterotonika injeksi lainnya dan misoprostol direkomendasikan sebagai alternatif untuk pencegahan perdarahan postpartum ketika oksitosin tidak tersedia. Peregangan tali pusat terkendali harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang terlatih dalam menangani persalinan. Peregangan tali pusat terkendali lebih awal yaitu kurang dari satu menit setelah bayi lahir tidak disarankan.10,11
Pada pemberian oksitosin terdapat beberapa hal penting yang harus dipenuhi di antaranya adalah penyimpanan oksitosin harus di dalam tempat dengan suhu 2-8 ºC serta terlindung dari cahaya. Situasi pelayanan kebidanan di lapangan terutama yang dilakukan oleh bidan di desa tidak memungkinkan pengadaan dan penyimpanan obat oksitosin pada suhu 2-8ºC sehingga sediaan oksitosin ini memungkinkan akan terjadi penurunan efektifitas saat digunakan.10
Upaya pencegahan perdarahan pada kala IV yang biasa dilakukan adalah dengan melakukan pemantauan sesuai dengan yang ada pada lembar belakang partograf.
Pemantauan atau observasi pascasalin pada persalinan sangat penting dilakukan oleh setiap petugas kesehatan yang telah menolong kelahiran bayi, sebagai pemantauan dasar minimal pascasalin, untuk memastikan bahwa keduanya dalam kondisi yang stabil maka diperlukan pemantauan kala IV ini dengan rincian pemeriksaan yaitu di antaranya, memeriksa tekanan
darah, nadi, suhu, tinggi fundus uteri, kontraksi uterus, kandung kemih, dan perdarahan dilakukan setiap 15 menit pada jam pertama dan tiap 30 menit pada jam kedua.10
Saat ini, sebagian kecil tenaga kesehatan dalam melakukan pencegahan terhadap terjadinya atonia uteri masih menggunakan cara lama yang dianggap memiliki efektivitas yang tinggi yaitu dengan memberikan penekanan pada bagian atas fundus uteri menggunakan beban dengan menggunakan bantalan pasir atau dengan menggunakan kain panjang yang diikatkan untuk mencegah naiknya uterus ke atas sehingga dapat mencegah terperangkapnya darah di dalam kavum uteri. Cara ini memberikan hasil yang memuaskan, namun belum adanya penelitian tentang pengaplikasian pemberian beban pada fundus ibu bersalin kala IV, sehingga semakin berjalannya waktu cara inipun mulai ditinggalkan.5
Bantalan pasir atau sand bag merupakan alat yang dapat digunakan sebagai bagian dari rangkaian pencegahan atonia uteri pada pasien perdarahan yang diakibatkan oleh his yang lemah setelah plasenta lahir. Pada dasarnya bantalan pasir ini memiliki prinsip kerja yang sama dengan kompresi bimanual eksterna (KBE) yaitu dengan cara menekan uterus melalui dinding abdomen dengan jalan memberikan penekanan pada bagian atas fundus uteri. Alat ini dibuat untuk mengembalikan kembali langkah-langkah yang pernah sukses dilakukan tenaga kesehatan terdahulu terutama bidan dan dokter kandungan dalam menangani kasus perdarahan yang diakibatkan oleh atonia uteri.
Alat ini mudah digunakan karena hanya dengan meletakkan alat tersebut di bagian cephalad fundus ibu agar fundus tertekan sehingga bisa memicu adanya kontraksi. Alat ini dibuat dengan menggunakan pasir yang sudah dikeringkan beberapa hari, setelah itu dimasukkan ke dalam plastik press (tebal), dan dibaluti kembali menggunakan kain yang menyelimuti seluruh bagian plastik yang berisikan pasir tadi. Alat ini menggunakan pasir
dengan berat 500 gram, karena 500 gram pasir dianggap sudah cukup untuk memberikan beban terhadap fundus agar dapat menahan agar fundus tidak naik ke atas, alat ini memiliki sambungan berbentuk sabuk dengan bahan yang elastis agar beban yang disimpan di cephalad fundus ibu dapat tertekan. Sabuk ini bisa dikencangkan menggunakan kancing yang ada dibagian belakang alat, serta alat ini juga dilengkapi dengan sensor yang dapat mengukur kuatnya kontraksi uterus, sehingga pemeriksa akan mendapatkan hasil yang akurat dan tidak objektif seperti halnya melakukan pengukuran kekuatan kontraksi menggunakan perabaan. Alat ini pun murah karena bisa dibuat sendiri.
Selain dijelaskan tentang kelebihan dari bantalan pasir ini, akan dijelaskan pula kelemahannya, di antaranya adalah sensor alat sering mengalami eror apabila alat terlalu banyak terguncang dibutuhkan penyimpanan pada tempat yang datar dan relatif memiliki sedikit guncangan, selain itu alat ini sedikit membuat ibu tidak nyaman, karena alat diletakkan dibagian perut ibu, meskipun kecil namun akan sedikit mengganggu kenyamanan ibu.
Studi pendahuluan yang dilakukan mengenai efektivitas bantalan pasir ini pernah digunakan di tempat praktik peneliti sendiri terhadap 30 pasien bersalin dengan hasil semua ibu tidak mengalami lemahnya kontraksi uterus. Karena penggunaan bantalan pasir ini merupakan suatu langkah yang mudah digunakan namun memiliki efek yang baik, maka salah satu tempat praktik residensi penelitipun ternyata menggunakan alat ini sebagai pencegahan terjadinya atonia uteri pada ibu dan hasilnya pun sama tidak terjadi perdarahan pada ibu pascasalin dengan diaplikasikannya bantalan pasir ini.
Berdasar atas permasalahan di atas maka yang menjadi tema sentral penelitian ini adalah:
sebagian tenaga kesehatan atau dokter obgyn dalam melakukan pencegahan atonia uteri ini yaitu dengan melakukan masase uterus. Selain itu, berdasar atas wawancara yang dilakukan terhadap lima belas bidan menyatakan bahwa mereka kesulitan untuk melakukan Kompresi Bimanual Eksterna (KBE) dan balon kateter pada saat melakukan rujukan karena akses jalan rusak. Sehingga diperlukan pengembangan suatu metode atau alat untuk menangani permasalahan di atas. Bantalan pasir yang sudah dibuat ini merupakan suatu alat yang dapat membantu tenaga kesehatan dalam mengantisipasi terjadinya atonia uteri dan juga dapat membantu tenaga kesehatan dalam melakukan rujukan pada kasus atonia uteri di perjalanan, sehingga alat ini dapat memudahkan tenaga kesehatan. Sand bag merupakan suatu pengembangan metode untuk mengurangi kejadian atonia uteri pada ibu yang sempat digunakan dahulu oleh sebagian dokter ataupun bidan. Saat ini peneliti ingin meneliti efektivitas penggunaan sand bag dalam mencegah kejadian atonia uteri. Perlu adanya penelitian tentang sand bag dalam mencegah kejadian atonia uteri.
Berdasar uraian di atas maka perlu dilakukan penelitian “efektivitas penggunaan bantalan pasir (Sand bag) terhadap pencegahan kejadian atonia uteri pada ibu bersalin kala IV”
1.2 Rumusan Masalah
Berdasar latar belakang di atas maka rumusan masalah pada penelitian yaitu apakah penggunaan bantalan pasir (sand bag) lebih efektif dibanding dengan penggunaan Standard Operating Procedure (SOP) dalam pencegahan atonia uteri pada ibu bersalin kala IV di RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda Tahun 2019?
1.3 Tujuan penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis efektivitas penggunaan bantalan pasir (sand bag) terhadap pencegahan atonia uteri pada ibu bersalin kala IV di RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda Tahun 2019.
1.4 Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini terdapat dua aspek, di antaranya adalah:
1.4.1 Kegunaan Akademik
Sebagai sumber informasi bagi dunia pendidikan khususnya bidang kebidanan tentang perkembangan alat pencegah atonia uteri.
1.4.2 Kegunaan Praktis 1. Bagi Bidan
Membantu bidan dalam pencegahan atonia uteri dan mengurangi tenaga yang harus dikeluarkan untuk melakukan KBE dalam melakukan rujukan karena bisa digantikan menggunakan penggunaan bantalan pasir.
2. Bagi pelayanan kesehatan
Diharapkan dapat menggunakan bantalan pasir atau sand bag dalam pencegahan atonia uteri dan menjadi bagian dari langkah dalam Standard Operating Procedure (SOP).