• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN Manusia

N/A
N/A
Teguh ernaldi

Academic year: 2024

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN Manusia"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Manusia adalah makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup sendiri untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingannya tersebut manusia membutuhkan orang lain.

Interaksi yang dilakukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhannya atau kepentingannya tidak tertutup kemungkinan terjadinya suatu konflik atau sengketa. Oleh sebab itu diperlukan ketentuan untuk menyelesaikan sengketanya. Salah satu fungsi hukum dalam masyarakat adalah untuk menyelesaikan konflik. Istilah konflik Bahasa Inggiris: Conflict dan dispute, Bahasa Indonesia: conflict (konflik), dispute (sengketa).1

Sengketa yang terjadi antara hubungan antara orang perorangan termasuk dalam ruang lingkup hukum perdata. Dalam hukum kita dilarang keras untuk main hakim sendiri.

Segala sengketa yang terjadi harus diselesaikan sesuai ketentuan hukum yang berlaku.

Sengketa yang termasuk dalam ruang lingkup Hukum Perdata dapat diselesaikan dengan cara non litigasi (luar pengadilan) dan litigasi melalui pengadilan. Penyelesaian suatu sengketa perdata secara non litigasi dapat dilakukan melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) dan arbitrase yang diatur dalam UndangUndang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesasain Sengketa. Penyelesaian sengketa melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) pertama kali muncul di Inggris Alternative Dispute Resolution (ADR) yang merupakan istilah yang pertama kali muncul di Amerika Serikat. ADR merupakan jawaban atas ketidakpuasan masyarakat Amerika Serikat terhadap sistem pengadilan yang berlaku di negaranya. Permasalahan yang muncul ketika itu penyelesaian sengketa melalui pengadilan memakan waktu yang lama, biaya yang mahal dan diragukan penyelesaiannya yang dapat memuaskan kepada para pihak. ADR dikembangkan oleh praktisi hukum maupun kalangan akademi sebagai proses penyelesaian sengketa yang lebih memberikan rasa keadilan.2

Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menyatakan: “Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati oleh para pihak yakni penyelesaian diluar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli.” Berdasarkan Pasal 1

1 Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung , 2013, hlm 3.

2 Achmad Santosa, Alternative Dispute Resolution (ADR) di bidang Lingkungan hidup, jurnal disampaikan dalam Acara Forum Lingkungan Hidup tentang Alternative Dispute Resolutio (ADR) yang diselenggarakan oleh Tim Pakar Hukum Departemen Kehakiman, hlm.1

(2)

angka 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 disimpulkan bahwa Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) adalah penyelesaian sengketa atau beda pendapat diselesaikan diluar pengadilan (non litigasi) dilakukan dengan cara negosiasi mendiasi, konsiliasi atau penilaian ahli dengan mengutamakan musyawarah, didasarkan itikad baik para pihak untuk mencapai kesepakatan.

Hampir setiap hari ratusan kegiatan transaksi bisnis terjadi baik domestik maupun dengan dunia luar. Berlangsungnya kegiatan transaksi bisnis menyebabkan semuanya bergerak dinamis tetapi tetap menuntut suatu etika bisnis yang sehat. Para pihak yang terlibat dalam transaksi bisnis harus dapat menciptakan kontrak bisnis baik. Suatu hubungan bisnis harus berpegang pada prinsip itikad baik (good faith) sebagai bagian yang paling fundamental dalam hubungan bisnis. Implementasi prinsip itikad baik dalam suatu hubungan dagang yang berbasis juga pada etika dagang yang sehat meliputi prinsip- prinsip dagang yang berbasis juga pada etika yang sehat meliputi prinsip-prinsip kejujuran, keterbukaan, kepercayaan, kepatuhan serta saling percaya niscaya akan mampu mendorong terciptanya praktek bisnis yang sehat. Dari praktek bisnis yang tidak sehat tidak mungkin di hindari terjadinya sengketa antara para pihak yang terlibat. 3

Setiap jenis sengketa apapun yang terjadi, selalu menuntut pemecahan dan penyelesaian. Semakin banyak dan luas kegiatan perdagangan, semakin banyak terjadi frekuensi sengketa. Berarti semakin banyak sengketa yang harus diselesaikan.

Membiarkan sengketa bisnis terlambat di selesaikan, mengakibatkan perkembangan perekonomian tidak efisien. Dalam dunia bisnis dimana pola hubungan diantara para pelakunya akan lebih terorientasi pada halhal yang bersifat simple dan efisien oleh karena itu dibutuhkan kerangka yang mampu membingkai dan memadai kebutuhan hukum para pelaku bisnis dalam berinteraksi, yaitu dalam bentuk penyelesaian sengketa bisnis yang lebih efektif. Badan peradilan umum yang digunakan sebagai tempat menyelesaikan sengketa selama ini menghadapi kendalakendala seperti formalistik, membutuhkan waktu yang cukup lama serta biaya yang tidak murah. Hambatan-hambatan penggunaan badan peradilan umum untuk menyelesaikan sengketa baik yang bersifat nasional maupun internasional terutama sengketa perdagangan telah memberikan motivasi untuk memilih lembaga atau cara lain. Para pihak yang bersengketa dapat memilih di antara dua forum yang ada yang akan digunakan untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi diantara mereka yang dapat dilakukan “In Court Disputes Settlement” atau “Out Of Court Disputes

3 Fuady, Munir, Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.hlm. 20.

(3)

Settlement”. Adapun yang dimaksud dengan “In Court Disputes Settlement” adalah bentuk penyelesaian sengketa yang timbul melalui suatu proses litigasi lembaga peradilan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penyelesaian sengketa dagang yang dilakukan di luar lembaga peradilan umum dengan menggunakan forum dan prosedur berdasarkan kesepakatan para pihak-pihak. Arbitrase adalah salah satu bentuk penyelesaian sengketa non ligitasi yang memiliki karakter dan konsekuensi sendiri.

Alasan-alasan yang timbul mengapa arbitrase dipilih dalam menyelesaikan sengketa bisnis daripada pengadilan nasional yakni umumnya pengadilan nasional kurang mendapat kepercayaan (confidence) dari masyarakat, pengadilan nasional identik dengan sistem ekonomi, hukum, dan politik dari negara. Negara tempat pengadilan nasional tersebut berada yang berbeda dengan sistem pengusaha (bisnis).4 Sebaliknya arbitrase komersial internasional merupakan “Pengadilan Pengusaha” yang eksis untuk menyelesaikan sengketa-sengketa di antara mereka (kalangan bisnis). Sebaliknya arbitrase merupakan

“Pengadilan Pengusaha yang eksis untuk menyelesaikan sengketa-sengketa di antara mereka (kalangan bisnis) dan sesuai kebutuhan / keinginan mereka-mereka. Seperti kita telah maklumi, berperkara melalui pengadilan biasa (nasional suatu negara) telah umum dianggap tidak efektif bagi kalangan pengusaha.

Penyelesaian sengketa melalui arbitrase memiliki beberapa prinsip dasar. Prinsip para pihak memiliki otonomi luas (partij autonomi) dimana para pihak bebas menentukan isi perjanjian, prosedur arbitrase, pilihan forum (Chose Of Forum). Tanpa adanya kesepakatan terlebih dahulu para pihak yang bersengketa maka arbitrase tidak bisa dipergunakan sebagai forum penyelesaian sengketa. Prinsip ini merupakan implementasi azas kebebasan berkontrak (Freedom Of Contract). Sedangkan prinsip kebebasan berkontrak merupakan manifestasi yang bersifat kontraktual adalah dibolehkan dan setiap perikatan kontraktual yang dibuat dalam keadaan bebas.

Prinsip perjanjian arbitrase mengikat para pihak. Kewenangan arbitrase harus berdasarkan adanya perjanjian arbitrase yang dibuat dan ditanda tangani oleh para pihak sebelum maupun sesudah terjadinya sengketa. Kesepakatan para pihak yang menghendaki penyelesaian sengketa dagang melalui arbitrase dituangkan pada perjanjian arbitrase tersendiri atau terpisah dengan perjanjian pokoknya, maupun dibuat ke dalam satu kesatuan dengan perjanjian pokoknya. Putusan arbitrase bersifat final and binding artinya keputusannya arbitrase langsung mengikat kedua belah pihak dan mempunyai kekuatan

4 Harahap, M. Yahya, Perlawanan Terhadap Grosse Akta serta Putusan Pengadilan Dan Arbitrase Dan Standart Hukum Eksekusi, Citra Aditya Bakti, 1993. hlm10.

(4)

hukum tetap. Untuk menutup kemungkinan penggunaan upaya hukum selanjutnya yang berbeda dengan putusan lembaga peradilan umum yang masih terbuka peluang untuk menggunakan berbagai upaya hukum yang disediakan. Undang-undang No. 30 tahun 1999 pasal 59 mengatur bahwa keputusan arbitrase harus didaftarkan ke Pengadilan Negeri untuk mendapatkan kekuatan hukum dalam pelaksanaan eksekusi. Prinsip konfidensial harus dilaksanakan mulai pemeriksaan sengketa arbitrase sampai dengan putusan. Tetapi kemudian setelah putusan arbitrase dijatuhkan maka putusan harus didaftarkan ke Pengadilan Negeri untuk mendapatkan kekuatan eksekutorial. Ini berarti prinsip konfidensial tersebut yang semula berlaku menjadi tidak berlaku5.

Namun pada kenyataannya, terdapat sengketa transaksi bisnis yang telah diputus oleh badan arbitrase, justru menimbulkan kontroversi dan pelaksanaan putusannya masih berlarut-larut yang berujung pada pencitraan lemahnya kepastian hukum di Indonesia.

Tanpa adanya itikad baik para pihak, putusan arbitrase sangat sulit untuk dapat segera dilaksanakan karena pihak yang tidak beritikad baik akan selalu mencari celah untuk membatalkan putusan arbitrase yang tidak sesuai dengan harapannya.

Berdasarkan dari uraian diatas permasalahan penyelesaian sengketa diluar pengadilan(non litigasi)khususnya kekuatan putusan maupun eksekutor dalam proses penyelesaian sengketa. Maka dari itu menarik untuk dikaji sehingga penulis memberika judul : PELAKSANAAN ASAS ITIKAD BAIK DALAM PENYELESAIAN SENGKETA WARALABA MELALUI ARBITRASE

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengaturan proses asas itikad baik dalam perjanjian arbitrase sebagai metode penyelesaian sengketa waralaba?

5 Kantaatmadja, Komar. Beberapa Masalah dalam Penerapan ADR di Indonesia” dalam Hendarmin Djarab,

“Prospek dan Pelaksanaan Arbitrase di Indonesia”. Cita Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm 25.

(5)

BAB II

KERANGKA TEORI

A. Pengaturan Proses Asas Itikad Baik Dalam Perjanjian Arbitrase Sebagai Metode Penyelesaian Sengketa Waralaba.

1. Konsep asas itikad baik

Konsep itikad baik digunakan pada kontrak seiring dengan terjadinya pergeseran kebebasan berkontrak kearah fairness. Dengan pergeseran sikap tersebut maka itikad baik menjadi unsur paling vital dan penting dalam hukum kontrak modern. Doktrin itikad baik yang pada awalnya hanya dikenal dan dipergunakan di negara-negara yang menggunakan sistem hukum civil law, kemudian doktrin ini juga diterima di negara-negara sistem hukum common law. Dalam Hukum Anglosaxon Amerika, ketentuan itikad baik secara luas diakui sebagai suatu ketentuan fundamental dalam hukum. Itikad baik dapat digunakan dalam suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih, seperti dalam ikatan yang dilahirkan dari perjanjian. Itikad baik juga digunakan dalam pergaulan masyarakat. Itikad baik dalam pergaulan masyarakat dimaknai dengan “kecermatan yang patut dalam pergaulan masyarakat”. Menurut Wery, kedua makna itikad baik tersebut baik yang digunakan hubungan hukum dua pihak maupun dalam pergaulan masyarakat mempunyai makna yang sama, perbedaan hanya terletak pada lingkungan mana istilah tersebut digunakan. Istilah itikad baik lebih cenderung dimaknai untuk menggambarkan hubungan perjanjian6

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menggunakan istilah itikad baik dalam dua pengertian. Pertama, itikad baik dalam arti subyektif, yaitu itikad baik yang dimaknai dengan kejujuran. Pengertian itikad baik dalam arti subyektif/kejujuran terdapat dalam Pasal 530 KUHPerdata dan seterusnya yang mengatur mengenai kedudukan berkuasa (bezit). Itikad baik dalam arti subyektif merupakan sikap batin atau suatu keadaan jiwa. Seorang bezitter dianggap beritikad baik apabila ia tidak mengetahui adanya cacat pada pemilikannya. Keadaan jiwa yang demikian dilindungi oleh undang-undang.

Dalam hal ini, itikad baik (kejujuran) dimaknai sebagai keinginan dalam hati sanubari pihak yang memegang atau menguasai barang bahwa syarat-syarat yang

6 Ridwan Khairandi. 2006. Franchisor Sebagai Predator Perlunya Itikad Baik Dalam Pelaksanaan Kontrak Franchise. Jakarta : Fakultas Hukum Universitas Indonesia Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi. hlm 38-39.

(6)

diperlukan untuk mendapatkan hak milik atas barang itu telah dipenuhi, sehingga kejujuran yang bersifat statis.7

Itikad baik yang berarti kejujuran juga diatur dalam Pasal 1386 KUHPerdata, yaitu “pembayaran yang dengan itikad baik dilakukan kepada seseorang yang memegang surat piutangnya adalah sah”. Arti itikad baik disini adalah bahwa si pembayar utang yang tidak mengetahui bahwa pihak yang menerima pembayaran itu bukan kreditornya, keadaan jiwa yang demikian itulah yang dilindungi oleh undang- undang sehingga meskipun pembayaran diterima oleh orang yang bukan kreditornya tetapi pembayaran dianggap sah. Kedua, itikad baik menurut KUHPerdata adalah itikad baik dalam arti objektif, yaitu itikad baik yang dimaknai dengan kepatutan.

Itikad baik ini dirumuskan dalam Pasal 1338 (3) KUHPerdata yang berbunyi “suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Maksud pelaksanaan dengan itikad baik adalah kedua belah pihak harus berlaku yang satu terhadap yang lain seperti patutnya diantara orang-orang yang sopan, tanpa tipu daya, tanpa muslihat, tanpa akal-akalan, tanpa mengganggu pihak lain, tidak dengan melihat kepentingannya sendiri saja tetapi juga dengan melihat kepentingan pihak lain. Itikad baik dalam arti objektif merujuk pada kenyataan bahwa perilaku para pihak itu harus sesuai dengan anggapan umum tentang itikad baik dan tidak semata-mata berdasarkan pada anggapan diri sendiri.

Sebagaimana dinyatakan oleh Wiryono Prodjodikoro, bahwa kejujuran (itikad baik) dalam Pasal 1338 (3) KUHPerdata, tidak terletak pada keadaan jiwa manusia tetapi terletak pada tindakan yang dilakukan oleh kedua belah pihak dalam melaksanakan janji, jadi kejujuran objektif bersifat dinamis. Kejujuran dalam arti dinamis atau kepatutan ini berakar pada sifat peranan hukum pada umumnya, yaitu usaha untuk mengadakan keseimbangan dari berbagai kepentingan yang ada dalam masyarakat. Dalam suatu tata hukum pada hakekatnya tidak diperbolehkan kepentingan seseorang dipenuhi seluruhnya dengan akibat kepentingan orang lain sama sekali terdesak atau diabaikan, harus merupakan sesuatu neraca yang berdiri tegak dalam keadaan seimbang.

Penulis berpendapat bahwa rumusan itikad baik dalam perjanjian arbitrase setidaknya harus merumuskan standar minimal pengertian itikad baik. Pengaturan itikad baik dalam perjanjian arbitrase harus dirumuskan sebagai “sikap atau perilaku

7 Ridwan Khairandi. 2004. Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, (Jakarta : Universitas Indonesia Fakultas Hukum Pascasarjana. hlm 7-8.

(7)

berpegang teguh pada perjanjian untuk memberikan kepada lawan janji apa yang menjadi haknya dan tidak mencari–cari celah untuk melepaskan diri dari apa yang telah diperjanjikan berdasarkan kepatutan dan kerasionalan. Dengan adanya pengaturan itikad baik secara limitatif tersebut, hakim mempunyai standar dalam menilai ada tidaknya itikad buruk dari penggugat yang ingin membatalkan putusan arbitrase. Jika permohonan pembatalan putusan arbitrase dilakukan dengan melakukan tipu daya, kelicikan, mengada-ngada dan melakukan cara-cara yang tidak patut dalam pandangan hukum dan sosial, maka hakim harus menolak permohonan tersebut sehingga putusan arbitrase dapat segera dilaksanakan.

2. Pengertian Arbitrase

Dalam Kamus Hukum, membedakan antara Alternatif Penyelesaian Sengketa dengan ADR sebagai berikut: Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah “Suatu pilihan penyelesaian sengketa yang dipilih melalui prosedur yang disepakati oleh para pihak yang bersengketa, sedangkan penyelesaian di luar pengadilan dapat dilakukan melalui beberapa pilihan yang disepakati oleh para pihak yang dapat dilakukan melalui konsultasi, negosiasi, mediasi, atau dengan mengunakan penilaian ahli.”

ADR adalah “Suatu konsep yang meliputi berbagai bentuk pilihan penyelesaian sengketa selain proses peradilan yaitu melalui cara-cara yang sah menurut hukum, baik berdasarkan pendekatan consensus atau tidak. Alternative Dispute Resolution yang selanjutnya disingkat ADR yang merupakan istilah asing.

Dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan beberapa istilah seperti, Pilihan Penyelesaian Sengketa (PPS), Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa (MAPS), pilihan penyelesaian sengketa diluar pengadilan, dan mekanisme penyelesaian sengketa secara kooperatif.8 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang selanjutnya disebut UUAAPS, mengatur mengenai pilihan dalam penyelesaian sengketa secara musyawarah dari pihak yang bersengketa sebagaimana dinyatakan Pasal 1 angka 10 UUAAPS menyatakan: “Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah proses penyelesaian sengketa yang dilakukan diluar pengadilan berdasarkan kesepakatan dari pihak yang bersengketa dengan mengenyampingkan penyelesaian sengketa secara litigasi di pengadilan. Penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli.”

8 Khotibul Uman, Penyelesaian Sengketa diluar Pengadilan, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, hlm.10.

(8)

Dari beberapa uraian di atas disimpulkan bahwa, Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah penyelesaian sengketa dilakukan di luar pengadilan secara kooperatif oleh pihak yang bersengketa untuk mencapai kedamaian atau kesepakatan tidak ada pihak yang dirugikan dan saling menguntungkan kepada pihak yang bersengketa. Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) merupakan penyelesaian sengketa diluar pengadilan berdasarkan kesepakatan para pihak dengan mengenyampingkan penyelesaian sengketa melalui proses litigasi.9ADR merupakan penyelesaian sengketa dilakukan sendiri oleh pihak yang bersengketa dengan atau tanpa bantuan pihak ketiga. Pihak ketiga berperan membantu dalam penyelesaian sengketa atau beda pendapat dari pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa melalui ADR yang dilakukan diluar pengadilan melalui pilihan sukarela dari pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengeketa yang dilakukan melalui ADR hanya dapat ditempuh apabila para pihak sepakat sengketanya diselesaikan melalui pilihan alternatif penyelesaian sengketa.

Sengketa yang dapat diselesaikan melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa pada umumnya adalah sengketa bidang perdata. Penyelesaian sengketa atau beda pendapat tersebut dilakukan secara langsung oleh para pihak dalam waktu 14 hari dan hasilnya dituangkan dalam bentuk tertulis (Pasal 6 angka 2). Jika penyelesaian yang dimaksud oleh Pasal 6 angka (2) tidak tercapai, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat tersebut diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli (Pasal 6 angka 3). Apabila dalam waktu 14 hari dengan bantuan seorang ahli atau mediator tidak tercapai kata sepakat, maka dapat menghubungi lembaga arbitrase atau lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa untuk menunjuk seorang mediator (Pasal 6 angka 4).

Pada umumnnya sengketa bidang Perdata dapat dilakukan melalui dua cara yaitu di pengadilan (litigasi) dan di luar pengadilan (non litigasi). Penyelesaian sengketa secara litigasi keberadaannya lebih dahulu dibandingkan penyelesaian sengketa secara non litigasi. Penyelesaian secara litigasi cenderung menimbulkan konflik, lebih lambat, belum mampu merangkul kepentingan pihak yang berperkara, biaya lebih mahal, tidak responsif dan menimbulkan permusuhan di antara pihak yang bersengketa. Sebaliknya penyelesaian sengketa secara non litigasi (luar pengadilan) menghasilkan kesepakatan yang bersifat “win win solution”, dijamin kerahasian sengketa para pihak, penyelesaian lebih cepat, dihindari kelambatan yang

9Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 1 angka 10

(9)

diakibatkan karena prosedural dan administratif, serta menyelesaikan masalah secara komprehensif dalam kebersamaan dan tetap menjaga hubungan baik, putusan tidak dipublikasikan.10 Penyelesaian sengketa di luar pengadilan pada umumnya terbatas pada perkara-perkara keperdataan dan dagang saja, sedangkan untuk perkara lainnya seperti pidana tetap diselesaikan melalui pengadilan.

Di berbagai negara ADR sebagai jalan terobosan alternatif penyelesaian sengketa litigasi yang dapat menguras waktu, pikiran dan tenaga malah dapat menjerumuskan usaha ke arah kehancuran. Macam-Macam Penyelesaian Alternatif Penyelesaian Sengketa Alternatif Penyelesaian sengketa luar pengadilan dapat dilakukan melalui arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Arbitrase yang dapat dilakukan dengan cara negosiasi, mediasi dan Konsiliasi atau penilaian ahli sebagai berikut :

a. Negosiasi Dalam bahasa sehari-hari istilah “negosiasi” sepadan dengan arti

“berunding,” “bermusyawarah” atau “bermufakat.” Dalam Bahasa Inggris

“negotitation” yang berarti perundingan. Orang yang melakukan perundingan dinamakan negosiator. Pengertian Negosiasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) terdapat beberapa pengertian seperti berikut:

b. Proses tawar menawar dengan jalan berunding untuk memberi atau menerima guna mencapai kesepakatan bersama antara satu pihak (kelompok atau oranisasi) dan pihak (kelompok atau organisasi) yang lain.

c. Penyelesaian sengketa secara damai melalui perundingan antara pihak-pihak yang bersengketa. Dalam Kamus Hukum: Dictionary of Law Complete Edition dinyatakan, negosiasi adalah proses tawar menawar dengan jalan berunding antara para pihak yang bersengketa untuk mencari kesepakatan bersama. Pasal 6 ayat (2) UUAAPS menyatakan Negosiasi adalah:

“Penyelesaian atau beda pendapat melalui alternatif penyelesaian sengketa sebagaimana yang dimaksud ayat (1) diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu paling lama 14 hari dan hasilnya ditungkan dalam kesepakatan tertulis.”

d. Mediasi Istilah “mediasi” berasal dari Bahasa Inggris “mediation” yang artinya penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga sebagai penengah atau penyelesaian sengketa secara menengah. Pihak yang menengahinya

10 Suyud Margono, ADR (Alternative Dispute Resolution) dan Arbitrase), Ghalia Indonesia, 2000, hlm. 35-36.

(10)

dinamakan “mediator” atau orang yang menjadi penengah. Dalam Kamus Hukum Ekonomi ELIPS mediasi adalah salah satu alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan menggunakan jasa seorang mediator atau penengah, sama seperti konsiliasi. Mediator adalah penengah yaitu seorang yang menjalankan fungsi sebagai penengah terhadap pihak-pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan sengketanya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Mediasi adalah proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam menyelesaikan suatu perselisihan sebagai penasehat. Mediator adalah perantara atau penghubung, penengah bagi pihak yang bersengketa.Kamus Hukum: (Dictionary of Law Complete Edition), Mediasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa secara damai yang melibatkan pihak ketiga untuk memberikan solusi yang dapat diterima oleh pihak yang besengketa. Pengikut sertakan pihak ketiga dalam penyelesaian sengketa antara dua pihak. Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa antara para pihak dengan bantuan pihak ketiga (mediator) yang netral dan tidak memihak sebagai fasilitator guna mencapai suatu kesepakatan yang tetap diambil oleh para pihak itu sendiri tidak oleh mediator. Mediasi penyelesaian sengketa dimana negosiasinya dibantu oleh pihak ketiga. Pihak ketiga bertindak untuk kepentingan kedua belh pihak. Pasal 6 ayat (3) UUAAPS meyatakan mediasi adalah: “Dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana yang dimaksud ayat (2) tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator.”

e. Konsiliasi adalah Penyelesaian Sengketa Alternatif (ADR) dimana para pihak yang berselisih menggunakan konsiliator yang bertemu dengan para pihak secara terpisah dan bersama-sama dalam upaya menyelesaikan perbedaan mereka. Mereka melakukan hal ini untuk meredakan ketegangan, meningkatkan komunikasi, menafsirkan masalah, mendorong para pihak untuk menemukan hasil yang dapat diterima. Kamus Bahasa Indonesia mengartikan konsiliasi adalah usaha mempertemukan kedua belah pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan dan menyelesaikan perselisihan. Menurut Oppenheim, konsiliasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa dengan menyerahkan kepada suatu komisi orang-orang yang bertugas untuk menguraikan menjelaskan fakta-fakta dan biasanya setelah mendengar para

(11)

pihak dan mengupayakan agar mereka mencapai kesepakatan, membuat usulan-usulan untuk menyelesaikan, namun keputusan itu tidak mengikat.11

3. Isu Hukum Penyelesaian Sengketa Waralaba

Dari segi hukum, franchise melibatkan bidang-bidang hukum perjanjian tentang pemberian lisensi, hukum tentang nama perniagaan, merek, paten, model, dan desain. Bidang-bidang tersebut dapat dikelompokkan dalam bidang hukum perjanjian dan bidang hukum dalam hak intelektual (intellectualproperty right).12 Di dalam hukum kontrak dikenal lima asas penting, yaitu asas kebebasan berkontrak, asas berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian franchise. Perjanjian waralaba (franchise agreement) memuat kumpulan persyaratan, ketentuan dan komitmen yang dibuat dan dikehendaki oleh para Franchisor bagi para Franchisee-nya. Di dalam perjanjian waralaba tercantum ketentuan berkaitan dengan hak dan kewajiban Franchisee dan Franchisor.

Ketentuan hukum mengenai waralaba sebagai suatu bentuk perjanjian pada dunia bisnis berpedoman dan tunduk kepada ketentuan yang berlaku bagi halnya suatu perjanjian. Waralaba atau franchise merupakan suatu bentuk perjanjian, yang lainnya memberikan hak dan kewenangan khusus kepada pihak penerima waralaba, yang dapat terwujud dalam bentuk, diantaranya sebagai berikut13 :

1. Hak untuk melakukan penjualan atas produk berupa barang dan atau jasa dengan mempergunakan nama dagang atau merk dagang tertentu;

2. Hak untuk melaksanakan kegiatan usaha dengan atau berdasarkan pada suatu format bisnis yang tealah ditentukan oleh pemberi waralaba. Perjanjian waralaba harus disusun dnegan cermat agar kerjasama bisnis yang dijalankan menguntungkan kedua belah pihak seimbang. Suatu perjanjian franchise umumnya terdiri dari pasal – pasal tentang objek, tempat berbisnis pemberian wilayah oleh Franchisor kepada franchisee, sewa gedung pelatihan dengan bantuan teknik Franchisor , standar operasional, pertimbangan keuangan, klausula – klausula kerahasiaan, klausula – klausula yang membahas persaingan, pertanggungjawaban periklanan dan strategi pemasaran, penetapan harga dengan pembelian, status

11 Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa diluar Pengadilan: Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi dan Arbitrase, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 144.

12 I.Made Widnyata, Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Arbitrase, Fikahati Aneska, Jakarta, 2014, hlm. 116.

13 Ariani, Nevey Varida. (2012). “Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis di Luar Pengadilan”, Jurnal RechtsVinding Media Pembinaan Hukum Nasional. 1(2): 278.

(12)

badan usaha perusahaan, hak untuk menggunakan nama dan merek dagang, masa berlaku dan kemungkingan pembaharuan/perpanjangan perjanjian, pengakhiran perjanjian, penafsiran terhadap perjanjian, dengan pilihan hukum.

Dua area yang biasanya dicakup dalam perjanjian franchise yang paling banyak menimbulkan masalah hukum yang potensial, yaitu pengawasan mutu dan pemutusan perjanjian franchise. Sebenarnya mudah memahami keinginan Franchisor dalam mengatasi pengawasan mutu, yaitu hanya dengan memelihara standar mutu dan penampilan yang seragam dapat mempertahankan atau melindungi reputasi Franchisor dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap produknya.

Atas dasar ini, Franchisor secara khusus mewajibkan franchisee membeli produk dan persediaan. Franchisor menurut harga yang telah ditetapkan atau dari supplier yang dapat memenuhi spesifikasi yangpasti dan standar seperti ditetapkan oleh Franchisor.

Memaksa franchisee membeli hanya dari franhisor-nya sendiri mungkin akan melanggar Undang-Undang Antimonopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Pemutusan perjanjian franchise juga akan menghadapi perangkap hukum (pitfall) jika tidak hati-hati (unwary) dan bijak memecahkan masalah. Perjanjian franchise biasanya menetapkan jangka waktu franchise, misalnya, sepuluh tahun atau lima tahun dan biasanya memuat ketentuan mengenai perpanjangan setelah jangka waktu berakhir. Sebagai bagian dari isi perjanjian (covenants), dibuat juga syarat-syarat perjanjian, franchisee biasanya setuju terhadap janji untuk tidak bersaing selama jangka waktu tertentu setelah berakhirnya franchise. Syarat-syarat tentang kegagalan, seperti franchisee bangkrut atau menunggak pembayaran royalti bulanan atau semi bulanan ketika jatuh tempo, dapat menjadi alasan pemutusan perjanjian franchise. 9 Karena itu, perlu disempurnakan lagi cara penyelesaian dalam perjanjian biasanya Franchisor setuju untuk memberi waktu kepada franchisee, misalnya, lima belas hari kerja untuk mengatasi keadaan kegagalan tersebut. Kebanyakan perjanjian memuat ketentuan mengenai pemutusan perjanjian franchise. Ini berarti sengketa merupakan kelanjutan dari konflik. Sebuah konflik akan berubah menjadi sengketa apabila tidak dapat terselesaikan. Secara garis besar, pada umumnya perjanjian waralaba memuat sebagai berikut :14

1. Hak yang diberikan oleh Franchisor pada franchisee. Hak yang diberikan meliputi antara lain penggunaan metode atau resep yang khusus, penggunaan merek dan

14 Ibid, hlm. 118

(13)

atau nama dagang, jangka waktu hak tersebut dan perpanjangannya, serta wilayah kegiatan dan hak yang lain sehubungan dengan pembelian kebutuhan operasi bila ada.

2. Kewajiban dari franchisee sebagai imbalan atas hak yang diterima dan kegiatan yang dilakukan oleh Franchisor pada saat franchisee memulai usaha, maupun seama menjadi anggota dari sistem waralaba.

3. Hal yang berkaitan dengan kasus penjualan hak franchisee kepada pihak lain. Bila franchisee tidak ingin meneruskan sendiri usaha tersebut dan ingin menjualnya kepada pihak lain, maka suatu tata cara perlu disepakati sebelumnya.

4. Hal yang berkaitan dengan pengakhiran perjanjian kerja sama dari masing-masing pihak.konsensualisme, asas pacta sunt servanda (asas kepastian hukum), asas itikad baik, dan asas kepribadian.

5. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyatakan arbitrase adalah: “Cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersangkutan.” Sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase hanyalah sengketa yang dikuasai secara penuh oleh pihak yang bersengketa atas dasar kesepakatan. Apabila penyelesaian sengketa melalui pilihan penyelesaian sengketa tidak dapat dicapai, maka para pihak berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat mengajukan usaha penyelesaiannya melalui arbitrase atau arbitrase ad-hoc.

Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dilakukan paling lama 180 hari sejak arbiter terbentuk. Pelaksanaan pemeriksaan dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Sebelum sebelum sengketa diselesaikan melalui arbitrase, para pihak yang bersengketa sepakat sengketanya diselesaikan melalui arbitrase.

Kesepakatan para pihak dituangkan dalam bentuk perjanjian arbitrase yang dapat dibuat secara tertulis sebelum atau setelah terjadinya sengketa. Jika para pihak tidak membuat perjanjian arbitrase, maka sengketanya diselesaikan melalui arbitrase.

Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang- undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa (Pasal 5 ayat (1).

Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diselesaikan melalui perdamaian

(14)

(Pasal 5 ayat 2). Penyelesaian melalui arbitrase dilakukan dengan mengenyampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.

Perkara yang sudah diselesaikan melalui arbitrase tidak boleh lagi untuk diajukan ke Pengadilan Negeri karena putusan arbitrase bersifat final dan mengikat.

Perjanjian arbitrase mengikat para pihak berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata.

Pengadilan Negeri wajib menolak atau tidak akan campur untuk menyelesaikan sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditentukan dalam undang-undang . Penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang sudah ditentukan jangka waktunya yaitu 180 hari, memakan waktu yang lebih cepat dibandingkan penyelesaian sengketa secara litigasi melalui pengadilan yang dapat menyita waktu yang lama dan biaya yang mahal. Oleh karena itu, penyelesaian sengketa melalui arbitrase sudah ditentukan waktunya yaitu 180 hari, para pihak dapat memilih berdasarkan kesepakatan berkaitan prosedur penyelesaian, tempat dan waktu pemeriksaan. Hal ini tentu lebih menyederhanakan proses pemeriksaan dibandingkan penyelesaian melalui litigasi. Hal ini merupakan salah satu upaya mewujudkan pemeriksaan perkara sederhana dan waktu singkat. Berkaitan dengan biaya lebih mahal karena sengketa yang diselesaikan melalui arbitrase diselesaikan oleh arbiter yang ahli pada bidangnya. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase banyak digunakan oleh pelaku usaha menengah keatas.15

15 Winarta, Frans Hendra. (2011). Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional Indonesia dan Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 13-14.

(15)

BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN

Dari beberapa uraian di atas disimpulkan bahwa :

ketentuan itikad baik secara luas diakui sebagai suatu ketentuan fundamental dalam hukum. Itikad baik dapat digunakan dalam suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih, seperti dalam ikatan yang dilahirkan dari perjanjian. Itikad baik juga digunakan dalam pergaulan masyarakat.

Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah penyelesaian sengketa dilakukan di luar pengadilan secara kooperatif oleh pihak yang bersengketa untuk mencapai kedamaian atau kesepakatan tidak ada pihak yang dirugikan dan saling menguntungkan kepada pihak yang bersengketa. " ADR merupakan penyelesaian sengketa dilakukan sendiri oleh pihak yang bersengketa dengan atau tanpa bantuan pihak ketiga. Pihak ketiga berperan membantu dalam penyelesaian sengketa atau beda pendapat dari pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa melalui ADR yang dilakukan diluar pengadilan melalui pilihan sukarela dari pihak yang bersengketa.

Dari franchisee (waralaba)sebagai imbalan atas hak yang diterima dan kegiatan yang dilakukan oleh Franchisor pada saat franchisee memulai usaha, maupun seama menjadi anggota dari sistem waralaba. Yang berkaitan dengan kasus penjualan hak franchisee kepada pihak lain. Yang berkaitan dengan pengakhiran perjanjian kerja sama dari masing-masing pihak. Apabila penyelesaian sengketa melalui pilihan penyelesaian sengketa tidak dapat dicapai, maka para pihak berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat mengajukan usaha penyelesaiannya melalui arbitrase atau arbitrase ad-hoc.

Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diselesaikan melalui perdamaian . Perkara yang sudah diselesaikan melalui arbitrase tidak boleh lagi untuk diajukan ke Pengadilan Negeri karena putusan arbitrase bersifat final dan mengikat.

(16)

DAFTAR PUSTAKA

Achmad Santosa, Alternative Dispute Resolution (ADR) di bidang Lingkungan hidup, jurnal disampaikan dalam Acara Forum Lingkungan Hidup tentang Alternative Dispute Resolutio (ADR) yang diselenggarakan oleh Tim Pakar Hukum Departemen Kehakiman,

Ariani, Nevey Varida. 2012. “Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis di Luar Pengadilan”, Jurnal RechtsVinding Media Pembinaan Hukum Nasional.

Fuady, Munir,2000.Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung.

Harahap, M. Yahya, 1993.Perlawanan Terhadap Grosse Akta serta Putusan Pengadilan Dan Arbitrase Dan Standart Hukum Eksekusi, Citra Aditya Bakti.

I.Made Widnyata, 2014, Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Arbitrase, Fikahati Aneska, Jakarta,

Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa diluar Pengadilan: Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi dan Arbitrase, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,

Kantaatmadja, Komar.2001. Beberapa Masalah dalam Penerapan ADR di Indonesia” dalam Hendarmin Djarab, “Prospek dan Pelaksanaan Arbitrase di Indonesia”. Cita Aditya Bakti, Bandung.

Khotibul Uman, Penyelesaian Sengketa diluar Pengadilan, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, Rachmadi Usman. 2013.Pilihan Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan, PT Citra Aditya

Bakti, Bandung.

Ridwan Khairandi. 2004. Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, (Jakarta : Universitas Indonesia Fakultas Hukum Pascasarjana.

Ridwan Khairandi. 2006. Franchisor Sebagai Predator Perlunya Itikad Baik Dalam Pelaksanaan Kontrak Franchise. Jakarta : Fakultas Hukum Universitas Indonesia Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi.

Suyud Margono.2000. ADR (Alternative Dispute Resolution) dan Arbitrase), Ghalia Indonesia.

Winarta, Frans Hendra. 2011. Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional Indonesia dan Internasional, Jakarta: Sinar Grafika,

Referensi

Dokumen terkait

Pada Pemberdayaan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Non Litigasi yang sering disebut atau dikenal dengan nama Badan Arbitrase Nasional Indonesia

pilihan proses penyelesaian sengketa di luar Pengadilan yaitu Alternative Dispute Resolution (ADR), arbitrase dan musyawarah yang kesemua proses tersebut bertujuanya kepada

Pengertian arbitrase juga termuat dalam pasal 1 angka 8 Undang Undang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa Nomor 30 tahun 1999 yaitu: “Lembaga Arbitrase adalah badan

Suatu arbitrase internasional bertujuan untuk menyelesaikan sengketa antara negara oleh hakim-hakim pilihan mereka dan atas dasar ketentuan-ketentuan hukum. Penyelesaian

30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa, bahwa yang dimaksud dengan arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar

30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, menjelaskan arbitrase sebagai cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum

Setelah diundangkannya Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan sejumlah undang-undang lainnya sebagaimana pelaksanaan reformasi hukum, telah dikembangkan alternatif penyelesaian

30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa menyebutkan bahwa “alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui