1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menstruasi (haid) adalah pendarahan secara periodik dan siklik dari uterus yang disertai pelepasan endometrium. Menstruasi terjadi jika ovum tidak dibuahi oleh sperma (Judha, 2011). Menstruasi adalah proses peluruhan lapisan dalam atau endometrium yang banyak mengandung pembuluh darah dari uterus melalui vagina (Kumalasari, 2012). Meskipun menstruasi adalah hal yang normal namun keluhan yang sering muncul pada saat menstruasi adalah nyeri haid (dismenore) (Manuaba, 2009).
Dismenore adalah rasa sakit pada masa menstruasi yang cukup parah hingga bisa mengganggu aktivitas sehari-hari. Rasa sakit dismenore bisa bermacam-macam, mulai dari rasa sakit yang tajam, tumpul, berdenyut, mual, terbakar, atau menusuk, dan biasanya bersamaan dengan menorrhagia. Dismenore bisa dirasakan beberapa hari sebelum menstruasi atau saat menstruasi dan biasanya berkurang saat pendarahan menstruasi mulai surut (Noor & Rahayu 2012). Sedangkan menurut Haryono (2016) dismenore biasanya terjadi pada hari pertama menstruasi dan berlangsung hingga 2-3 hari.
Dismenore dikategorikan menjadi dua yaitu (1) dismenore primer adalah dismenore yang terasa sejak menarche dan tidak ditemukan kelainan dari alat
kandungan atau organ lainnya, sedangkan (2) dismenore sekunder biasanya terjadi kemudian setelah menarche. Nyeri biasanya bersifat regular pada setiap haid namun berlangsung selama siklus menstruasi. Dismenore sekunder dapat disebabkan oleh endometriosis, fibroid, penyakit radang panggul, tumor tuba fallopi dan follip uteri (Irianto, 2015).
Nyeri menstruasi disebabkan oleh banyak faktor yaitu dua diantaranya adalah faktor hormonal dan psikis (Anurogo, 2011). Sedangkan menurut Potter
& Perry (2006) faktor yang meningkatkan atau memengaruhi pengalaman nyeri individu yaitu umur, sosial dan kultural, ansietas, keletihan, pengalaman, gaya koping dan dukungan keluarga. Pada penelitian Klein & Litt di Amerika, melaporkan bahwa prevalensi dismenore 59,7% dengan nyeri haid berat sebanyak 12%, nyeri sedang 37%, dan nyeri ringan 49% (Anurogo, 2011).
Daerah Asia sendiri, prevalensi dismenore primer juga cukup tinggi yaitu di Taiwan menunjukan prevalensi sebesar 75,2% (Yu & Yeah, 2009 dalam Andriyani 2017).
Prevalensi dismenore di Indonesia angka kejadiannya terdiri dari 54,89%
disminore primer dan 9,36% dismenore sekunder (Purnamasari, 2013 dalam Savitri, 2015). Hasil penelitian Mahmudiono pada tahun 2011, angka kejadian disminore primer pada remaja wanita yang berusia 14-19 tahun di Indonesia sekitar 54,89% (Sophia & Jemadi, 2013). Berdasarkan hasil penelitian Arnis (2012) angka kejadian dismenore di Jawa Barat cukup tinggi, hasil penelitian didapatkan kejadian sebanyak 54,9% wanita mengalami dismenore, terdiri dari 24,5% mengalami dismenore ringan, 21,28% mengalami dimenore sedang dan
9,36% mengalami dimenore berat (Savitri, 2015). Data dari Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) puskesmas menunjukkan bahwa gangguan haid di Bandung menduduki peringkat tertinggi, yaitu 73% data dari puskesmas dan 82% data dari PKPR (LPPM UPI, 2011 dalam Andriyani, 2017). Selain itu data dari Puskesmas Ledeng sepanjang tahun 2015 Puskesmas tersebut menerima 95 pasien remaja putri dengan keluhan dismenore (Andriyani, 2017).
Dismenore menimbulkan dampak bagi kegiatan atau aktivitas para wanita khususnya remaja. Menurut penelitian Iswari (2014) menemukan bahwa semakin berat derajat nyeri yang dialami oleh remaja, maka aktivitas belajarnya pun semakin terganggu. Oleh karena itu, salah satu dampak dialami dismenore oleh remaja putri adalah terganggunya aktivitas belajar mereka, baik itu dari segi kehadiran maupun konsentrasi saat belajar.
Kebanyakan dari kaum perempuan tidak melakukan tindakan apapun untuk mengatasi nyeri haid mereka, mereka terkadang hanya menggunakan cara istirahat dan tidur untuk mengatasi nyeri mereka atau dengan cara mengkonsumsi obat-obatan. Ketika nyeri haid dibiarkan saja dan hanya diatasi dengan istirahat tidur maka hal tersebut mengganggu aktivitas harian para perempuan dan membuat pekerjaan mereka harus ditinggalkan. Bagi mahasiswi hal tersebut dapat membuat konsentrasi pada saat proses perkuliahan mereka menjadi tidak fokus atau bahkan mereka harus izin untuk tidak mengikuti proses perkuliahan (Amalia & Djoko, 2018).
Cara mengurangi dismenore dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu farmakologi dan non farmakologi. Menurut Prawirohardjo (2010) Penanganan
secara farmakologis dapat diberikan obat analgesik, terapi hormonal, terapi obat non steroid anti prostaglandin. Sedangkan penangangan secara non farmakologis, yaitu dapat dilakukan : (1) kompres dengan botol panas (hangat) (2) menggunakan aroma terapi (3) mengkonsusmsi minuman hangat yang mengandung kalsium, (4) memberikan pijatan atau usapan pada pinggang dan perut, (5) posisi menungging agar rahim tergantung kebawah hal tersebut dapat membantu relaksasi, (6) tarik nafas dalam secara perlahan untuk relaksasi, sehingga dapat menambah ketenangan pada diri dan mengurangi nyeri (Kusmiran, 2012). Olahraga teratur dapat menimbulkan sirkulasi darah pada otot rahim menjadi lancar sehingga dapat mengurangi rasa nyeri saat menstruasi (Dewi, 2014). Mengkonsumsi minuman kunyit asam merupakan minuman tradisional yang berfungsi sebagai anti inflamasi sehingga mengurangi atau bahkan menghambat kontraksi uterus (Abdul, 2015).
Salah satu bentuk olahraga yang dapat mengurangi dismenore adalah dengan cara melakukan senam khusus yaitu senam dismenore yang fokusnya membantu peregangan seputar otot perut, panggul dan pinggang, selain itu senam tersebut dapat memberikan sensasi rileks yang berangsur-angsur serta mengurangi nyeri jika dilakukkan secara teratur, setidaknya 4 kali dalam seminggu (Haryono, 2016). Senam dismenore merupakan aktivitas fisik yang dapat digunakan untuk mengurangi nyeri. Saat melakukan senam, tubuh akan menghasilkan hormon endorphin. Hormon endorphin yang semakin tinggi akan menurunkan atau meringankan nyeri yang dirasakan seseorang sehingga
seseorang menjadi lebih nyaman, gembira, dan melancarkan pengiriman oksigen ke otot (Sugani & Priandarini, 2010).
Hal ini disebabkan saat melakukan olahraga tubuh akan menghasilkan endorphin. Endorphin dihasilkan oleh otak dan susunan saraf tulang belakang.
Sesuai dengan teori Endorphine-Enkephain mengenai pemahaman mekanisme nyeri adalah ditemukannya reseptor opiate di membran sinaps dan kornu dorsalis medulla spinalis. Terdapat tiga golongan utama peptide opioid endogen, yaitu golongan enkephain, beta-endorphin, dan dinorphin. Beta-endorphin yang dikeluarkan saat olahraga sangat efektif untuk mengurangi rasa nyeri (Ehrenthal, 2006).
Senam dismenore terdiri dari gerakan pemanasan, inti dan pendinginan (Olivia, 2013). Adapun gerakan inti merupakan gerakan peregangan otot-otot perut dan panggul dengan tujuan aliran darah pada otot rahim akan lancar dengan meredakan rasa nyeri pada saat menstruasi (Abbadpour, 2006 dalam Sarifah 2017). Latihan senam ini tidak membutuhkan biaya yang mahal, mudah dilakukan dan tentunya tidak menimbulkan efek samping yang berbahaya bagi tubuh. Latihan ini sedikitnya 30 menit dengan frekuensi 3-5 kali seminggu dikarenakan kemampuan tubuh menyerap oksigen meningkat dan tekanan darah menurun serta memperlancar aliran darah, melakukan senam lebih dari 30 menit akan mengakibatkan kram perut serta mengakibatkan keletihan terhadap tubuh sehingga mengakibatkan seseorang malas untuk melakukan senam atau olahraga (Fajaryanti, 2011 dalam Kusmidarti & Munadlifah, S 2018).
Sementara di lain sisi, aktivitas olahraga pada kaum perempuan sampai saat ini juga masih rendah, banyak dari mereka yang jarang atau bahkan tidak pernah melakukan olahraga. Kaum perempuan juga masih banyak yang tidak mengetahui tentang fungsi olahraga pada saat pra menstruasi yang dapat membantu mereka dalam mengatasi nyeri menstruasi (Amalia & Djoko, 2018).
Senam dismenore merupakan salah satu teknik dalam memberikan kondisi yang nyaman dan rileks pada remaja saat mengalami dismenore. Senam yang dilakukan secara rutin dapat meningkatkan jumlah dan ukuran pembuluh darah, yang menyalurkan darah keseluruh tubuh termasuk organ reproduksi, hal tersebut dapat menurunkan gejala dismenore. Meningkatkan volume darah yang mengalir keseluruh tubuh termasuk organ reproduksi, hal tersebut dapat memperlancar pasokan oksigen ke pembuluh darah yang mengalami vasokontriksi, sehingga nyeri haid dapat berkurang (Laili, 2012).
Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subjektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan (Qittun, 2008). Menurut teori Gate Control yang ditemukan oleh Wall, bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar terapi untuk menghilangkan nyeri.
Pemblokan ini dilakukan melalui mengalihkan perhatian ataupun dengan tindakan relaksasi (Siahan, 2012).
Menurut Potter & Perry (2006) dalam menentukan nyeri haid digunakan skala penilaian numerik Numerical Rating Scale (NRS) skala 0-10, dimana dikatakan tidak nyeri bila skala 0, dikatakan nyeri ringan apabila skala nya 1-3, nyeri sedang bila skala nya 4-6, nyeri berat masih terkontrol dengan skala 7-9, nyeri berat tak terkontrol apabila skala 10. Menurut Maulana (2009) biasanya gejala dismenore primer terjadi pada wanita usia produktif 2-3 tahun setelah mengalami haid pertama. Secara nasional rata-rata usia menarche 13-14 tahun terjadi pada anak Indonesia (Riskesdas, 2010). Sedangkan menurut (Morgan & Hamilton, 2009) menyatakan bahwa dismenore primer umumnya dimulai pada 1-3 tahun dan setelah haid pertama (menarche). Kasus ini bertambah berat beberapa tahun hingga usia 23-27 tahun.
Masa remaja merupakan salah satu periode dari perkembangan manusia. Masa ini merupakan masa perubahan atau peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang meliputi perubahan biologik, perubahan psikologik, dan perubahan sosial. Di sebagian besar masyarakat dan budaya masa remaja pada umumnya dimulai pada usia 10-13 tahun dan berakhir pada usia 18-22 tahun (Widia, 2015).
Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Novadela (2019) tentang Pengaruh Senam Dismenore Terhadap Tingkat Dismenore Pada Remaja Putri diperoleh hasil bahwa senam dismenore dapat mengurangi dismenore pada remaja. Penelitian tersebut menyatakan bahwa setelah melakukan dismenore terbukti sebagian besar siswa melaporkan adanya perubahan dalam rasa nyeri yang mereka rasakan dan hasil analisis didapatkan p=0,000 (p<0,05).
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Rejeki (2018), tentang intensitas nyeri haid primer melalui senam dismenore pada mahasiswa dipondok pesantren K.H Sahla Rosjidi Universitas Muhamadiyah Semarang. Penelitian kepada 38 orang dengan memberikan intervensi senam disemnore sebelum haid selama 1 minggu sebanyak 4 kali selama 20 menit hasilnya nilai p value <0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara senam dismenore terhadap penurunan intensitas nyeri haid.
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Siagian (2017), tentang perbedaan tingkat nyeri haid (dismenore) sebelum dan sesudah senam dismenore pada mahasiswi tingkat 1 prodi D III keperawatan di asrama poltekes kemenkes tanjung karang. Didapatkan hasil penelitian menunjukan penurunan skala nyeri haid setelah senam dismenore dan hasilnya nilai p value = 0,000 hal ini menunjukan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara pengukuran sebelum dan sesudah dilakukan senam.
Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Wahyuningsih (2018), tentang Pengaruh Senam Dismenore Terhadap Penurunan Tingkat Nyeri Menstruasi Pada Remaja Putri di Muhammadiyah Boarding School (MBS) pondok pesantren klaten dengan sampel sebanyak 62 orang. Hasil yang dilakukan sebelum senam dismenore nyeri sedang 25 (80,6%) nyeri berat 5 (15,6%) nyeri ringan 8 (25%) dan setelah dilakukan senam dismenore nyeri ringan 28 (87,5%) nyeri sedang 4 (12,5%). Ada pengaruh senam dismenore terhadap
penurunan nyeri menstruasi pada remaja putri dengan nilai signifikansi Pvalue
= 0,000 <0,05.
Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Fazdria (2018), tentang Perbandingan Efektivitas Abdominal Stretching Exercises Dan Metode Kompres Hangat Kering Terhadap Intensitas Disminore Primer Pada Mahasiswi Tingkat I Prodi Kebidanan Langsa yang mengalami nyeri dismenore primer sebanyak 40 orang. Didapatkan hasil bahwa rata-rata abdominal stretching exercise lebih tinggi peringkatnya (21,98) dibandingkan kelompok kompres hangat (19,03). Artinya terdapat perbedaan nilai rata-rata abdominal stretching exercise dengan kompres hangat, dimana kelompok abdominal stretching lebih efektif menurunkan skala nyeri haid lebih daripada kompres hangat.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilaksanakan pada tanggal 23 April 2019 di SMAN 1 Cililin dengan wawancara langsung kepada 14 siswi didapatkan hasil bahwa terdapat 14 siswi yang mempunyai riwayat nyeri haid.
Dari 14 siswi tersebut terdapat 3 siswi pernah beristirahat di UKS, 4 siswi meminta ijin pulang dan 6 siswi lainnya pernah tidak hadir untuk sekolah, selain itu 8 diantaranya mengeluh konsentrasi terganggu. Penanganan yang biasa dilakukan oleh siswi ketika nyeri haid yaitu 1 siswi mengompres dengan air hangat, 9 siswi lainnya hanya beristirahat atau tidur, dan ada 2 siswi yang meminum obat pereda nyeri apabila nyeri. Sedangkan untuk olahraga terutama senam dismenore hanya dilakukan oleh 2 siswi dan 12 siswi diantaranya tidak tahu bahkan tidak pernah melakukannya. Dibandingkan di MAN Cililin sebagian besar siswi mengalami nyeri sebanyak 11 siswi. Dari 14 siswi yang
sudah diwawancarai didapatkan hasil 1 siswi beristirahat di UKS, sedangkan 1 siswi lainnya tidak pernah hadir untuk sekolah, dengan 9 siswi diantaranya mengeluh konsentrasi terganggu. Penanganan yang biasa dilakukan oleh siswi ketika nyeri haid yaitu 1 siswi mengompres dengan air hangat, 2 siswi lainnya memijat bagian perut dan 1 siswi melakukan tarik nafas dalam sedangkan 3 lainnya melakukan istirahat atau tidur. Saat diwawancarai 3 dari 14 siswi lainnya terkadang meminum obat pereda nyeri. Sedangkan untuk olahraga atau senam dismenore hanya dilakukan oleh 1 siswi, dan 13 siswi diantaranya tidak tahu bahkan tidak pernah melakukannya.
Berdasarkan fenomena di atas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang efektivitas senam dismenore terhadap penurunan dismenore primer pada remaja putri kelas X dan XI di SMAN 1 Cililin.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimanakah efektivitas senam dismenore terhadap penurunan dismenore primer pada remaja putri kelas X dan XI di SMAN 1 Cililin.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengidentifikasi efektivitas senam dismenore terhadap penurunan dismenore primer pada remaja putri kelas X dan XI di SMAN 1 Cililin.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi tingkat dismenore primer sebelum senam dismenore pada remaja putri kelas X dan XI di SMAN 1 Cililin.
b. Mengidentifikasi tingkat dismenore primer sesudah senam dismenore pada remaja putri kelas X dan XI di SMAN 1 Cililin.
c. Mengidentifikasi efektivitas senam dismenore terhadap penurunan dismenore primer pada remaja putri kelas X dan XI di SMAN 1 Cililin.
1.4 Manfaat Peneliti
Adapun penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan praktis.
1.4.1 Manfaat Teoritis
Penelitian ini dapat digunakan sebagai data tambahan bagi ilmu keperawatan yang berkaitan dengan efektivitas senam dismenore terhadap penurunan dismenore primer sehingga dapat meningkatkan perawatan pada remaja putri.
1.4.2 Manfaat Praktis
a. Bagi Tempat Penelitian
Sebagai tambahan referensi dan pengembangan penelitian tentang efektivitas senam dismenore terhadap penurunan dismenore primer pada remaja putri. Bisa dijadikan kolaborasi bagi guru olah raga untuk mengajar, selain itu bisa dijadikan teknik pengobatan non farmakologi bagi pihak UKS untuk menangani dismenore.
b. Bagi Peneliti
Memperoleh pengetahuan dan wawasan mengenai penanganan dismenore dengan cara non farmakologis yaitu salah satunya adalah senam
dismenore. Bisa pula membandingkan efektivitas senam dismenore dan teknik non farmakologi lainnya bagi penelitian selanjutnya.
c. Bagi Ilmu Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu topik pembahasan terutama di keperawatan Maternitas untuk menambahkan cara menangani dismenore dengan menggunakan jenis terapi non farmakologi.
d. Bagi Perawat
Manfaat penelitian ini bagi perawat sebagai pedoman dalam pemberian asuhan keperawatan khususnya intervensi senam dismenore untuk menurunkan dismenore pada wanita yang mengalami dismenore.
e. Bagi Responden
Setelah diberikan tindakan senam dismenore diharapkan remaja putri dapat memanfaatkan senam dismenore sebagai pengobatan non famakologi ketika mengalami dismenore.