• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

Pada bab I pendahuluan akan dibahas terkait latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, sasaran penelitian, ruang lingkup, manfaat penelitian, dan kerangka pemikiran penelitian.

1.1 Latar Belakang

Perubahan iklim merupakan isu lingkungan global yang akan terus berlangsung dan meningkat sehingga berdampak pada kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan (Intergovernmental Panel on Climate Change, 2014). Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2011) menyebutkan salah satu dampak dari perubahan iklim adalah terjadinya peningkatan intensitas kejadian ekstrim iklim, cuaca, suhu, udara dan curah hujan hingga meningkatnya intensitas bencana dan prevalensi penyakit. Berdasarkan letak wilayahnya, Indonesia termasuk negara beriklim tropis karena memiliki rata-rata suhu udara yang tinggi, sehingga Indonesia sangat rentan dengan dampak pemanasan global dan perubahan iklim (Aldrian dkk, 2011). Menurut Subiyanto dkk (2018), adanya perubahan iklim dapat mendorong peningkatan kejadian bencana hidrometeorologi, seperti banjir, kekeringan, puting beliung, tanah longsor, dan gelombang pasang. Selama tahun 2014-2018, terdapat 13.903 kejadian bencana yang tercatat, dimana sebesar 98,68%

merupakan bencana hidrometeorologi (Situs Web Resmi Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2019). Untuk mengantisipasi dampak dari adanya kejadian bencana, dilakukan upaya-upaya pembangunan berupa mitigasi dan adaptasi sebagaimana yang telah diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 11/PRT/M/2012 tentang Rencana Aksi Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Tahun 2012-2020. Dalam peraturan tersebut menjelaskan bahwa upaya mitigasi terhadap perubahan iklim dilakukan agar emisi gas rumah kaca dapat berkurang dan kapasitas penyerapan karbon dapat meningkat, sedangkan upaya adaptasi terhadap perubahan iklim dilakukan untuk mengurangi kerentanan

(2)

sosial, ekonomi, dan lingkungan, meningkatkan ketahanan masyarakat dan ekosistem, serta meningkatkan pembangunan nasional dan daerah.

Kerentanan diartikan sebagai kerawanan yang dihadapi oleh masyarakat dalam menghadapi bencana (Rohmat, 2019). Dalam kebencanaan, kondisi sosial memiliki peranan penting, karena suatu potensi bahaya tidak bisa dikatakan sebagai risiko apabila tidak ada dampak kerugian sosial (Rijanta dkk, 2018). Kondisi sosial juga memiliki peran sebagai kapasitas untuk menjadi tangguh dalam menghadapi bencana. (Rijanta dkk, 2018). Kondisi sosial ini perlu menjadi bahan pertimbangan karena berkaitan dengan kapasitas atau kemampuan penduduk dalam proses penyelamatan diri (Pranolo, 2013). Sejalan dengan itu, maka upaya yang dapat dilakukan adalah melalui penurunan tingkat kerentanan sosial (Rohmat, 2019).

Kerentanan sosial merupakan penggambaran kondisi tingkat kerapuhan sosial dalam menghadapi bahaya (Rohmat, 2019). Semakin rentan kondisi sosial di suatu wilayah, maka dampak kerugian yang terjadi saat bencana akan semakin besar sehingga perlu diketahui tingkat kerentanannya (Rahmaningtyas dan Setyono, 2015). Tingkat kerentanan sosial dapat menggunakan faktor-faktor yang mempengaruhinya seperti kepadatan penduduk dan laju pertumbuhan penduduk (Rachmawati dkk, 2018). Wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi akan meningkatkan lamanya proses evakuasi dan juga menyebabkan kerugian yang lebih besar (Habibi dan Buchori, 2013). Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2012), selain kepadatan penduduk, kelompok rentan juga menjadi faktor yang mempengaruhi kerentanan sosial, seperti rasio jenis kelamin. Hal ini berkaitan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hapsoro dan Buchori (2015), dimana perbandingan jumlah wanita yang lebih tinggi menunjukkan kemampuan dalam proses evakuasi bencana yang relatif rendah. Namun, kerentanan sosial merupakan sesuatu yang dinamis dan tidak bersifat tetap karena selalu berubah menyesuaikan dengan kondisi manusia dan lingkungan hidup di setiap wilayahnya. (Rijanta dkk, 2018).

Kota Balikpapan Dalam Angka (2019), menyebutkan bahwa Kota Balikpapan merupakan kota pesisir yang memiliki topografi berbukit-bukit dengan kemiringan 15-40%. Menurut dokumen tersebut, sebanyak 60,9% dari luas wilayah Kota Balikpapan terdiri dari dataran dengan ketinggian lebih dari 20 meter di atas

(3)

3 permukaan laut. Pada tahun 2018, suhu di Kota Balikpapan mencapai suhu maksimal sebesar 31,8°C dengan curah hujan 2.794,6 mm/tahun (Badan Pusat Statistik Kota Balikpapan, 2019). Rozadi, dkk (2019) menemukan bahwa daerah yang memiliki kemiringan lereng sebesar 20-30%, curah hujan 1500-2500 mm/tahun, dan penggunaan lahan yang terdiri dari permukiman dan tegalan merupakan kawasan yang rawan terhadap bencana tanah longsor. Bencana tanah longsor merupakan salah satu bencana alam yang paling sering melanda Kota Balikpapan, dimana pada tahun 2014-2018 terdapat 197 kejadian tanah longsor yang terjadi di kawasan permukiman (Badan Pusat Statistik Kota Balikpapan, 2019). Menurut data tersebut, ditemukan 7 kejadian pada tahun 2014, 46 kejadian pada tahun 2015, 22 kejadian pada tahun 2016, 73 kejadian pada tahun 2017, dan 47 kejadian pada tahun 2018. Pemerintah Kota Balikpapan (2014) menyebutkan, tanah longsor di Balikpapan biasanya terjadi bersamaan dengan bencana banjir serta disebabkan oleh keberadaan bangunan dan pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan daya dukung lahan.

Berdasarkan data yang dihimpun oleh BPBD Kota Balikpapan, terdapat 197 kejadian bencana tanah longsor yang tersebar di 6 (enam) kecamatan pada tahun 2014-2018. Dalam kurun waktu 5 (lima) tahun tersebut, BPBD Kota Balikpapan (2019) menyebutkan bahwa sebanyak 3 kejadian di Kecamatan Balikpapan Timur, 14 kejadian di Kecamatan Balikpapan Selatan, 26 kejadian di Kecamatan Balikpapan Barat, 46 kejadian di Kecamatan Balikpapan Kota, 46 kejadian di Balikpapan Utara, dan 62 kejadian di Kecamatan Balikpapan Tengah. Kecamatan Balikpapan Tengah memiliki jumlah penduduk sebanyak 116.083 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk tertinggi di Kota Balikpapan, yaitu sebesar 1,77% (Badan Pusat Statistik Kota Balikpapan, 2020). Dengan luas wilayah mencapai 11,07 km2, Kecamatan Balikpapan juga menjadi kecamatan yang memiliki tingkat kepadatan penduduk tertinggi di Kota Balikpapan, yaitu sebesar 10.486 jiwa/km2 (Badan Pusat Statistik Kota Balikpapan, 2020). Kondisi laju pertumbuhan penduduk yang sebanding dengan tingginya kepadatan penduduk menunjukkan bahwa banyaknya penduduk yang rentan terhadap tanah longsor akan semakin banyak karena terkena dampak. Berdasarkan hasil data yang dihimpun oleh Badan Pusat Statistik Kota Balikpapan (2020), juga diketahui bahwa rasio jenis kelamin penduduk di

(4)

Kecamatan Balikpapan Tengah adalah yang tertinggi di Kota Balikpapan yaitu sebesar 95% yang artinya setiap 100 penduduk laki-laki terdapat 95 penduduk perempuan, dimana persentase tersebut menunjukkan bahwa penduduk perempuan (kelompok rentan) dapat menghambat proses evakuasi bencana tanah longsor yang terjadi karena tingkat kemampuannya yang relatif lebih rendah daripada penduduk laki-laki. Keseluruhan data statistik di atas mengindikasikan tingginya kerentanan dari aspek sosial Kecamatan Balikpapan Tengah terhadap bencana dibandingkan dengan kecamatan lainnya di Kota Balikpapan.

Kerugian akibat bencana tanah longsor dapat berdampak terhadap kehidupan, seperti timbulnya korban jiwa, kerusakan infrastruktur publik, kerusakan bangunan, hingga menghambat proses aktivitas masyarakat (Nandi, 2007). Pernyataan tersebut sejalan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana yang menjelaskan bahwa bencana dapat mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Sementara, BPBD Kota Balikpapan (2019) menyebutkan bahwa bencana tanah longsor yang terjadi di Kecamatan Balikpapan Tengah telah berdampak pada kondisi fisik dan sosial, di antaranya menyebabkan korban jiwa, kerusakan infrastruktur, kerugian harta benda karena rusaknya bangunan rumah, psikologis, dan menghambat aktivitas masyarakat. Adapun data kerugian yang tercatat selama 5 (lima) tahun terakhir terhitung sejak tahun 2014-2018 menunjukkan sebanyak 8 jiwa korban luka-luka, 51 jiwa terpaksa mengungsi, 1 unit sarana kesehatan rusak, sepanjang 30 meter jaringan jalan terputus, 23 unit rumah mengalami kerusakan ringan, dan 14 unit rumah mengalami kerusakan berat (BPBD Kota Balikpapan, 2019). Sementara menurut berita yang dikutip dari Tribunkaltim.co (2017), tanah longsor juga menyebabkan salah satu warga mengalami trauma ketika mendengar suara hujan.

Selain itu, jalan lingkungan yang berfungsi sebagai akses keluar masuk menjadi terputus sehingga menghambat aktivitas masyarakat sekitar (Balpos.com, 2020)

Menurut Peraturan Daerah Kota Balikpapan Nomor 12 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Balikpapan Tahun 2012-2032, telah diindikasikan beberapa program utama untuk mengatasi bencana tanah longsor di Kecamatan Balikpapan Tengah seperti pembuatan dan pengembangan kawasan

(5)

5 sempadan bencana berupa jalur hijau, perbaikan sistem drainase perkotaan dan sistem tata air alami, serta pemindahan kawasan permukiman yang berada di kawasan zona bahaya. Berdasarkan berita yang dikutip dari Pro Kaltim (2017), terkait pemindahan kawasan permukiman khususnya di daerah perbukitan yang rawan longsor masih belum direalisasikan karena sulitnya dana dan terbatasnya lahan di tengah kota untuk pembangunan kawasan relokasi. Dinas Perumahan dan Permukiman juga menyebutkan bahwa upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalisir kejadian bencana tanah longsor di permukiman saat ini ialah melalui penggiatan komunikasi peringatan dini dan waspada bahaya longsor, serta mengimbau seluruh camat dan lurah untuk melakukan monitor lingkungan setempat (Prokal.co, 2017). Sementara untuk menanggulangi bencana tanah longsor yang telah terjadi, BPBD Kota Balikpapan (2019) hanya melakukan upaya berupa pemasangan terpal berukuran besar di titik-titik kejadian dan pembersihan reruntuhan longsor.

Setiap bencana yang terjadi dapat menimbulkan masalah lainnya, seperti ketidaksetaraan sosial dan pengangguran, sehingga perlu dilakukan penanganan dengan sebaik-baiknya dan perlu adanya kepedulian dan kesadaran dari masyarakat setempat dengan menjaga lingkungan dan tidak mendirikan bangunan tanpa izin (Republika.co.id, 2018). Sejalan dengan itu, menurut Banjarnahor dkk (2020), di Kota Balikpapan termasuk Kecamatan Balikpapan Tengah, masih ditemukan masyarakat yang kurang memahami informasi terkait karakteristik jenis bencana, kurangnya kepedulian terhadap kebersihan lingkungan, terbatasnya ketersediaan jalur evakuasi, serta minimnya pengetahuan dan keterlibatan masyarakat dalam sosialisasi yang diadakan oleh pemerintah setempat. Atas dasar temuan tersebut, Banjarnahor dkk (2020) mengungkapkan bahwa masyarakat di Kota Balikpapan masih memiliki tingkat kesadaran yang rendah terhadap bencana. Salah satunya adalah kejadian yang ditemukan di Kecamatan Balikpapan Tengah, dimana masih terdapat warga yang tetap bertahan walaupun telah disediakan tempat pengungsian bagi warga yang terdampak dan telah ditemukan tanda-tanda kerusakan di rumahnya (Kompas.com, 2020). Berkaitan dengan hal itu, Arief dan Pigawati (2015) menyebutkan bahwa lamanya waktu bermukim, jenis rumah, serta rasa kepemilikan terhadap bangunan tempat tinggal dapat mempengaruhi masyarakat

(6)

untuk tetap bermukim di kawasan rawan bencana. Oleh karena itu, masyarakat yang bermukim di kawasan rawan bencana perlu melakukan adaptasi dengan kondisi lingkungannya (Arief dan Pigawati, 2015).

Dari uraian di atas, diketahui bahwa perpaduan antara kondisi fisik dan kondisi sosial di Kecamatan Balikpapan Tengah merupakan suatu kombinasi yang mempengaruhi besarnya frekuensi kejadian bencana tanah longsor. Demi mencapai perencanaan yang lebih baik dan berkelanjutan, maka dibutuhkan adanya upaya penyesuaian diri masyarakat terhadap kondisi alam dengan meminimalisir kerugian yang telah terjadi akibat perubahan iklim (BAPPENAS, 2011). Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk menyusun strategi masyarakat dalam menyesuaikan diri terhadap kondisi perubahan iklim untuk mengurangi dampak yang diakibatkan oleh bencana tanah longsor di Kecamatan Balikpapan Tengah.

1.2 Rumusan Masalah

Untuk mengatasi bencana tanah longsor, khususnya di Kecamatan Balikpapan Tengah, telah dilakukan beberapa upaya oleh Pemerintah Kota Balikpapan yang dituangkan dalam indikasi program Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Balikpapan Tahun 2012-2032, salah satunya dengan relokasi kawasan permukiman. Namun, hal ini masih belum dapat direalisasikan karena keterbatasan dana dan lahan. Sehingga, upaya yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Kota Balikpapan saat ini hanya sebatas peningkatan kapasitas masyarakat dengan mengenalkan risiko kerentanan sosial terhadap bencana tanah longsor melalui kegiatan sosialisasi waspada longsor. Hal ini ditujukan agar dapat meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap tanda-tanda terjadinya tanah longsor serta melakukan penyesuaian diri dengan kondisi kawasan permukiman setempat.

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka secara spesifik permasalahan tersebut menimbulkan pertanyaan penelitian yaitu “bagaimana strategi adaptasi masyarakat terhadap bencana tanah longsor berdasarkan tingkat kerentanan sosial di Kecamatan Balikpapan Tengah?”.

(7)

7

1.3 Tujuan

Berdasarkan latar belakang dan rumusan permasalahan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk merumuskan strategi adaptasi masyarakat terhadap bencana tanah longsor berdasarkan tingkat kerentanan sosial di Kecamatan Balikpapan Tengah.

1.4 Sasaran

Adapun sasaran-sasaran yang dilakukan agar tujuan dalam penelitian ini dapat tercapai adalah sebagai berikut.

1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kerentanan sosial terhadap bencana tanah longsor di Kecamatan Balikpapan Tengah,

2. Menentukan zona kerentanan tanah longsor berdasarkan bobot faktor- faktor yang mempengaruhi tingkat kerentanan sosial di Kecamatan Balikpapan Tengah, dan

3. Merumuskan strategi adaptasi masyarakat terhadap tanah longsor berdasarkan kerentanan sosial di Kecamatan Balikpapan Tengah.

1.5 Ruang Lingkup

Dalam penelitian ini, terdapat beberapa batasan-batasan untuk memperjelas masalah agar pembahasan tidak menyimpang dan meluas. Berikut merupakan batasan ruang lingkup penelitian.

1.5.1 Ruang Lingkup Pembahasan

Ruang lingkup pembahasan yang akan menjadi batasan dalam penelitian ini meliputi faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kerentanan sosial terhadap bencana tanah longsor dan strategi adaptasi masyarakat bencana tanah longsor di Kecamatan Balikpapan Tengah.

(8)

1.5.2 Ruang Lingkup Substansi

Dalam penelitian ini, terdapat pula batasan substansi yang mencakup bencana, tanah longsor, kerentanan, kerentanan sosial, serta upaya adaptasi terhadap bencana.

1.5.3 Ruang Lingkup Wilayah

Ruang lingkup wilayah dalam penelitian ini adalah Kecamatan Balikpapan Tengah, Kota Balikpapan. Adapun kecamatan tersebut berbatasan langsung dengan wilayah-wilayah berikut.

Bagian utara berbatasan dengan Kecamatan Balikpapan Utara.

Bagian timur berbatasan dengan Kecamatan Balikpapan Selatan.

Bagian selatan berbatasan dengan Kecamatan Balikpapan Selatan.

Bagian barat berbatasan dengan Kecamatan Balikpapan Barat.

Adapun peta administrasi dari wilayah penelitian tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.1.

(9)

9 Gambar I.1 Peta Wilayah Penelitian

1.6 Manfaat Penelitian

Dari penelitian ini, diharapkan dapat memberikan dampak berupa manfaat atas tercapainya tujuan penelitian. Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut.

(10)

1.6.1 Segi teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dalam pengembangan ilmu khususnya pada bidang penanggulangan bencana dan menjadi sumber referensi bacaan bagi peneliti lain yang akan melakukan penelitian sejenis.

1.6.2 Segi praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi dan rekomendasi bagi Pemerintah Kota Balikpapan serta stakeholder terkait dalam pembangunan kota di masa yang akan datang, khususnya pada daerah yang rentan terhadap bencana tanah longsor.

1.7 Kerangka Pemikiran Penelitian

Adapun kerangka pemikiran dari penelitan berjudul “Strategi Adaptasi Masyarakat terhadap Bencana Tanah Longsor berdasarkan Tingkat Kerentanan Sosial di Kecamatan Balikpapan Tengah ialah seperti pada Gambar 1.2.

(11)

11 Gambar I.2 Kerangka Pemikiran Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Agar dalam pembahasan laporan ini tidak menyimpang dari permasalahan yang ada, maka penulis hanya membatasi ruang lingkup pembahasannya pada faktor-faktor yang mempengaruhi

Agar penelitian ini memiliki ruang lingkup dan arah penelitian yang jelas maka penelitian ini hanya dibatasi pada ruang lingkup menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi

Batasan masalah yang lebih terarah mengarahkan pembahasan agar tidak melebar jauh dalam pemecahan masalah dan sesuai dengan ruang lingkup pembahasan agar lebih

Sumber Alumunium Pelangi Palembang, maka penulis membatasi ruang lingkup pembahasan pada sistem akuntansi persediaan bahan baku yang meliputi perancangan prosedur

Rancangan yang dihasilkan diharapkan menjadi pengetahuan arsitektur bagi mahasiswa tentang bangunan hotel 1.4 Ruang Lingkup Pembahasan Ruang Lingkup Substansial Ruang lingkup

8 1.5.2 Ruang Lingkup Pembahasan Ruang lingkup substansi pada penelitian ini adalah mengidentifikasi sektor unggulan non migas sebagai sektor unggulan kota Bontang dengan menggunakan

1.4 Ruang Lingkup dan Batasan Masalah Ruang lingkup dari pengujian ini untuk mengetahui bagaimana pengaruh penggantian sebagian semen dengan silica fume dan penambahan polypropylene

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan Agar penulisan dalam laporan akhir ini tidak menyimpang dari permasalahan yang ada maka penulis membatasi ruang lingkup pembahasan, yaitu analisis sumber