1
Berbagai bencana alam telah terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Wilayah Indonesia merupakan wilayah yang rawan terjadinya bencana alam, mulai dari gempa bumi, letusan gunung berapi, tsunami, angin puting beliung, banjir bandang.
Bencana dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu bencana alam, bencana non alam, dan bencana sosial. Indonesia memiliki tiga jenis bencana tersebut. Beberapa bencana alam yang pernah terjadi yaitu : banjir, tanah longsor, gunung meletus, gempa bumi, tsunami dan angin puting beliung, namun masih banyak juga terjadi bencana yang bukan disebabkan karena faktor alam, misalnya konflik sosial, terorisme, kebakaran dan kecelakaan.
Bencana pada tahun 2019 yaitu puting beliung, tanah lonsor, banjir kebakaran hutan dan lahan gempa bumi, banjir dan tanah longsor, gelombang pasang / abrasi dan letuhan gunung api. Jumlah kejadian 892 kejadian. Korban jiwa meninggal dan hilang mencapai 143 orang, luka-luka 273, terdampak dan mengungsi 199,841 orang.
Kerusakan rumah 1,196 rusak berat, 1,107 rusak sedang dan 6,715 rusak ringan dan terendam 62,800. Kerusakan fasilitas kesehatan 14, fasilitas peribadatan 109 dan fasilitas pendidikan 148 (BNPB.2019).
Dampak dari bencana selain mengakibatkan korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dampak psikologis juga berdampak sosiologis yang akan dialami akibat program relokasi.
Relokasi adalah memindahkan suatu wilayah pemukiman dari satu tempat ke tempat yang lain karena bencana alam, pergusuran dan pembangunan. Selain pada bencana, relokasi tempat tinggal pun terjadi karena pembangunan pada Waduk Jatigede di Kabupaten Sumedang.
Waduk Jatigede merupakan sebuah waduk yang terletak di Kabupaten Sumedang Provinsi Jawa Barat. Pembangunan waduk ini telah lama direncanakan sejak zaman Hindia Belanda dan diresmikan tahun 2015 serta beroperasi penuh pada 2017.Waduk Jatigede yang berada dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimanuk merupakan waduk kedua terbesar di Indonesia dengan tujuan pembangunnya adalah untuk mengairi Daerah Irigasi Rentang seluas 90.000 ha, mencukupi kebutuhan air PLTA Jatigede 67,83 m3 /dt guna membangkitkan daya listrik sebesar 110 MW, dan 3,5 m3 /dt sebagai sumber air baku serta air minum untuk wilayah Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, Indramayu, dan Majalengka (Afifah, Atmodjo dan Sangkawati.2015). Area Waduk Jatigede berada pada wilayah Kabupaten Sumedang yang meliputi 28 Desa yang harus tergenang oleh Waduk Jatigede yang berasal dari lima kecamatan di Kabupaten Sumedang yaitu Wado, Darmaraja, Cisitu, Jatigede, dan Jatinunggal.
Dampak Jatigede dalam penelitian Nopianti, Melinda, Harahap pada tahun 2018 mengenai Strategi Adaptasi Masyarakat Terdampak Pembangunan Waduk Jatigede di Dusun Cipondoh Desa Pawenang Kecamatan Jatinunggal Kabupaten Sumedang. Tataran keilmuan berbagai kontroversi juga muncul terkait adanya studi-studi terhadap pembangunan Waduk Jatigede terutama pada bidang-bidang ilmu bumi, teknik, dan lingkungan yang banyak mengkaji dampak yang diakibatkan oleh pembangunan Waduk Jatigede terhadap kondisi ekologis wilayah genangan. Permasalahan lingkungan yang mencuat adalah mengenai hilangnya ekosistem alam serta lahan subur petanian seluas 4.891,13 ha. Di sisi lain masalah geologi juga muncul terkait dengan resistensi bendungan terhadap kondisi tanah yang ada di daerah Jatigede, selain itu kerugian material mencakup pemberian ganti rugi lahan dan bangunan yang menurut sebagian masyarakat tidak sepadan dengan apa yang dahulu mereka miliki.
Kerugian immaterial berkaitan dengan hilangnya warisan budaya masyarakat terdampak seperti situs-situs bersejarah yang akhirnya harus tergelam bersama kenangan mereka terhadap warisan leluhurnya. Setiawan (2016) mengatakan bahwa kesulitan terbesar pembangunan Waduk Jatigede adalah relokasi warga yang memiliki adat dan kebiasaan yang dijalankan secara turun temurun. Adat dan kebiasaan mereka sangat terkait dengan kondisi alam yang sekaligus
menjadi lokasi tinggal para leluhur mereka (Nopianti,Melinda dan Harahapa.2018).
Penelitian Nopianti,Melinda, dan Harahap pada tahun 2018 tersebut juga menjelaskan pembangunan Waduk Jatigede merupakan sebuah musibah komunal yang dirasakan oleh masyarakat Jatigede, khususnya bagi mereka warga terdampak. Buktinya setelah dua tahun berselang pasca penggenangan, masih menyisakan permasalahan- permasalahan yang dihadapi masyarakat terdampak khususnya dalam menjalani aktivitas mereka sehari-hari. Perubahan sosial budaya, ekonomi dan lingkungan yang terjadi pada masyarakat terdampak, secara otomatis menuntut perlunya sebuah strategi adaptasi untuk menyikapi kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Strategi adaptasi secara sosial juga diperlukan untuk mengantisipasi pengetahuan masyarakat dalam menghadapi situasi-situasi kritis yang terjadi pasca pemindahan lokasi dengan fasilitas pendukung yang sangat minim, yang tentunya dapat meningkatkan stress sehingga berakibat pada menurunnya tingkat kesehatan pada masyarakat (Purnama,Yuzar.2015).
Pembangunan Waduk Jatigede di Kabupaten Sumedang menimbulkan pro dan kontra dari berbagai kalangan. Banyak yang bisa diambil dari adanya pembangunan Waduk Jatigede seperti pada sektor perikanan, pariwisata hingga ekonomi, akan tetapi disisi lain banyak juga menimbulkan masalah baru pasalnya mereka bukan hanya kehilangan tempat tinggal tetapi juga kehilangan mata pencaharian di
bidang pertanian. Warga yang tergenang waduk jatigede harus berpisah dengan tanah kelahirannya, dengan orang sekitar, lingkungan, kenyamanan tempat tinggal yang sudah puluhan tahun warga tempati dan saat ini warga harus beradaptasi dengan lingkungan yang baru.
Kehilangan adalah suatu keadaan individu berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan. Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh setiap individu selama rentang kehidupan, sejak lahir individu sudah mengalami kehilangan dan cenderung akan mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang berbeda (Yosep, 2010). Individu dapat menderita kehilangan hubungan yang berharga akibat perubahan hidup, seperti perpindahan dari satu kota ke kota lain, perpisahan, perceraian, atau kematian orang tua, pasangan, atau teman.
Sumber kehilangan yaitu kehilangan aspek diri, kehilangan objek eksternal diri, perpisahan dari lingkungan biasa dan kehilangan orang yang dicintai atau orang yang berharga (Kozier, 2010).
Proses kehilangan terdiri atas lima tahapan, yaitu penyangkalan (denial), marah (anger), penawaran (bargaining), depresi (depression), dan penerimaan (acceptance) atau sering disebut dengan DABDA.
Setiap individu akan melalui setiap tahapan tersebut, tetapi cepat atau lamanya sesorang melalui bergantung pada koping individu dan sistem dukungan sosial yang tersedia, bahkan ada stagnasi pada satu fase marah atau depresi (Yusuf, Ah dkk. 2015).
Menghadapi kehilangan manusia diharuskan untuk memiliki koping yang baik yaitu dengan menerima kenyataan dan mampu beradaptasi dengan menunjukan sehat fisik, sehat psikologis, memiliki perasaan yang baik pada diri sendiri dan lingkungan. Coping merupakan strategi untuk memanajemen tingkah laku kepada pemecahan masalah yang paling sederhana dan relistis, berfungsi untuk membebaskan diri dari masalah yang nyata maupun tidak nyata, dan koping merupakan semua usaha secara kognitif dan perilaku untuk mengatasi, mengurangi, dan tahan terhadap tuntutan-tuntutan (Safaria, 2012). Keterampilan koping pada seseorang bertujuan untuk menghasilkan tindakan sehubungan dengan hasil yang ingin dicapai, dan pada akhirnya melaksanakan rencana dengan melakukan suatu tindakan yang tepat. Tidak semua orang dapat memiliki koping yang adaptif, orang yang memiliki keimanan yang kuat akan lebih bersabar.
Sedangkan orang yang memiliki koping maladaptif, kadar keimanannya kurang kadang tidak dapat bersabar.
Terdapat dua kategori mekanisme koping yang biasa dilakukan yaitu mekanisme koping adaptif dan mekanisme koping maladpatif.
Individu yang memiliki mekanisme koping yang adaptif akan cenderung memecahkan masalah dengan mencari informasi dan solusi untuk memecahkan masalah tersebut. Sedangkan individu yang memiliki mekanisme koping maladaptif akan cenderung menghindari masalah dimana individu tidak mau tahu tentang masalah yang di
hadapi atau tidak ingin memecahkan masalah tersebut (Nasir dan Muhith.2011).
Nasir dan Muhith (2011) respons mekanisme koping adaptif yaitu respon yang mendukung fungsi integrasi, pertumbuhan, belajar, dan mencapai tujuan, seperti berbicara dengan orang lain, memecahkan masalah dengan orang lain, memecahkan masalah secara efektif, tehnik relaksasi, latihan seimbang dan aktifitas konstriktif.
Respon mekanisme koping maladaptif merupakan respon yang menghambat fungsi integrasi, memecah pertumbuhan, menurunkan otonomi dan cenderung menghalangi penguasaan terhadap lingkungan, seperti makan berlebihan atau bahkan tidak makan, kerja berlebihan, menghindar, marah-marah, mudah tersinggung, dan menyerang.
Mekanisme koping yang maladaptif dapat memberi dampak yang buruk bagi seseorang seperti isolasi diri, berdampak pada kesehatan diri, bahkan terjadinya resiko bunuh diri.
Peran perawat sangat dibutuhkan pada masyarakat untuk meningkatkan koping yang adaptif. Menurut Hidayat (2012) perawat mempunyai peran dan fungsi yaitu Pemberian perawatan (Care Giver), Sebagai advocat keluarga, Pencegahan penyakit, Pendidik, Konseling, Kolaborasi, Pengambilan keputusan etik dan Peneliti.
Belum ada penanganan dari pihak puskesmas mengenai koping warga terkena dampak Jatigede, dan jika koping warga yang terkena dampak
Jatigede maladaptif maka peran perawat puskesmas tersebut sangat penting yaitu peran pendidikan berupa penyuluhan mengenai koping.
Penelitian terkait koping yang dilakukan oleh Kamengbila, Asda dan Pratama (2016) tentang Hubungan mekanisme koping dengan tingkat stres pada lansia pensiunan di RW 04 Tambakbayan Catur tunggal Depok Sleman Yogyakarta Tahun 2014 didapati hasil mekanisme koping lansia pensiunan pada kategori baik sebanyak 61,3%, cukup sebanyak 32,3%, dan kurang sebanyak 6,5%.
Studi pendahuluan yang telah dilakukan berdasarkan fenomena menurut mantan kepala Desa Leuwihideung jumlah penduduk 2019 dengan 669 kepala keluarga. 50 kepala keluarga Desa Leuwihideung pindah ke Desa Mekar Asih. Berdasarkan hasil wawancara peneliti pada 10 warga mengatakan sedih karena kehilangan tempat tinggal yang sudah puluhan tahun ditempati, jauh dengan tetangga dan keluarga yang lain. Warga mengatakan terkadang sampai saat ini masih menangis jika teringat kampung halaman yang sebelumnya ditempati, merasa sedih karena perekonomiannya menjadi berkurang setelah pindah dari tempat sebelumnya karena mata pencahariannya kurang. Warga mengatakan mau tidak mau harus menerima kenyataannya karena kampung yang sebelumnya ditempati sudah tergenang air. Tujuh dari sepuluh waga terkadang merasa tertekan dengan adanya Jatigede dan empat orang terkadang merasa putus asa. Koping yang digunakan warga saat dilakukan studi
pendahukuan dengan cara membuat lelucon dengan membandingkan tempat tinggal saat ini dengan yang dulu, menerima keadaan yang sedang dialaminya dengan mencari pekerjaan baru ditempat tinggal saat ini, menyerah pada masalah yang dihadapi, warga mengatakan merasa tertekan dan putus asa dan koping dengan cara mengungkapkan ekspresi perasaan. Berdasarkan uraian studi pendahuluan fenomena tersebut peneliti tertarik untuk mengetahui gambaran koping warga terkena dampak Jatigede di Desa Mekar Asih Kabupaten Sumedang.
B. Rumusan Masalah
Warga yang tergenang waduk jatigede harus berpisah dengan tanah kelahirannya, dengan orang sekitar, lingkungan, kenyamanan tempat tinggal yang sudah puluhan tahun warga tempati dan saat ini warga harus beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Individu dapat menderita kehilangan hubungan yang berharga akibat perubahan hidup, seperti perpindahan dari satu kota ke kota lain dan perpisahan.
Menghadapi kehilangan manusia diharuskan untuk memiliki mekanisme koping adaptif yaitu dengan menunjukan ke arah adaptasi yaitu sehat fisik, sehat psikologis atau memiliki perasaan yang baik, berhubungan baik dengan lingkungan sekitar dan tidak semua orang dapat memiliki koping yang adaptif Berdasarkan uraian tersebut, maka masalah penelitian adalah “Bagaimana Koping Warga Terkena Dampak Jatigede di Desa Mekar Asih Kabupaten Sumedang?”.
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum
Mengetahui gambaran koping warga terkena dampak Jatigede di Desa Mekar Asih Kabupaten Sumedang.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui Problem focus coping warga terkena dampak Jatigede
b. Mengetahui Emotional focus coping warga terkena dampak Jatigede
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan ilmu pengetahuan mengenai koping bagi rekan-rekan STIKes Dharma Husada Bandung.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi warga terkena dampak Jatigede di Desa Mekar Asih Dapat memberikan informasi kepada warga untuk menerapkan koping yang baik.
b. Bagi peneliti selanjutnya
Penelitian ini dapat dijadikan referensi bagi peneliti lain untuk mengembangkan penelitian selanjutnya terkait koping.
c. Bagi puskesmas Jatigede
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi puskesmas dalam memberikan pelayanan keperawatan khususnya untuk melakukan pendidikan kesehatan mengenai koping.
E. Ruang Lingkup Penelitian
1. Ruang Lingkup Waktu, penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2019.
2. Ruang Lingkup Tempat penelitian ini dilakukan di Desa Mekar Asih, Kabupaten Sumedang.
3. Ruang Lingkup Keilmuan penelitian ini adalah Ilmu Keperawatan komunitas dan Keperawatan jiwa.