BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Indonesia sebagai Negara yang menjunjung tinggi hukum sesuai amanat konstitusi, berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa “Negara Indonesia adalah negara Hukum”. Sebagai suatu negara hukum dalam setiap tindakan pemerintah selalu dituntut untuk memberikan perlindungan hukum terhadap warga negaranya. Tentunya ada regulasi-regulasi yang dibuat oleh pengambil kebijakan untuk melindungi kepentingan setiap warga negaranya. Guna menciptakan kesejahteraan rakyat khususnya dalam hal ini kesejahteraan terhadap anak. Mengatur komponen sistem peradilan pidana (criminal justice system), apabila seseorang anak berhadapan dengan hukum dan jika statusnya adalah sebagai korban maka tentunya akan ada ganti rugi dari pihak pelaku atau yang biasa kita kenal dengan istilah restitusi.
Menurut pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 Tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak Yang Menjadi Korban Tindak Pidana, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan restitusi adalah :
pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau immateriil yang diderita oleh korban atau ahli warisnya.
Berdasarkan pasal di atas, tentunya restitusi mempunyai peranan penting dalam menyelesaikan proses hukum yang dihadapi oleh anak korban tindak pidana. Anak merupakan generasi penerus bangsa yang mempunyai hak dan kewajiban untuk ikut serta dalam membangun dan mewujudkan cita-cita luhur bangsa Indonesia. Karena itu, kualitas
yang dimiliki anak-anak tersebut ditentukan oleh adanya proses dan pembentuk perlakuan terhadap mereka di dalam pertumbuhan dan perkembangan saat ini. Setiap anak memiliki hak asasi sama seperti manusia pada umumnya, hak-hak anak telah diatur dalam perundang-undangan positif di Indonesia. Dalam bentuk perlindungan dari berbagai tindak kejahatan agar hak-haknya tidak dilanggar mengingat begitu banyak kasus-kasus kejahatan yang dialami oleh anak-anak, sehingga menyebabkan fisik dan mental serta kejiwaan dari anak terganggu dan tidak dapat melangsungkan kehidupannya dengan baik.1
Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang- Undang 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa :
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (Delapan Belas) tahun termasuk anak yang masih ada dalam kandungan.
Tindak pidana kekerasan seksual menjadi salah satu bentuk kejahatan yang paling banyak terjadi terhadap anak-anak khususnya di Indonesia. Kekerasan seksual kini telah menjadi masalah sosial yang cukup serius dan memprihatinkan dengan telah dikeluarkan dan berlakunya peraturan yang bersifat khusus terhadap tindak pidana anak, belum menunjukan dampak yang signifikan akan pengulangan terhadap tindak kekerasan anak sebagai korban kekerasan seksual.
Kasus-kasus kekerasan terhadap anak sering terjadi dan ditemukan dilingkungan masyarakat. Bahkan saat ini sudah banyak pemberitaan di media cetak maupun media elektronik mengenai kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi terhadap anak. Korban kekerasan seksual tidak dibatasi oleh perbedaan jenis kelamin, anak laki-laki maupun anak
1 Arif Gosita, 1985, Masalah Perlindungan Anak, Akademika pressindo, Jakarta,1989, hal 112.
perempuan berpotensi menjadi korban dan sasaran dari kejahatan seksual yang berkembang di masyarakat. Namun jumlah anak yang menjadi korban kekerasan seksual lebih dominan terjadi kepada anak perempuan karena anak perempuan lebih lemah serta lebih mudah dikuasai dan diancam oleh pelaku kejahatan.2
Berdasarkan data dari Komisi Perlindungan Anak (KPAI), saat ini banyak anak- anak menjadi korban dari tindak pidana kekerasan seksual. Tindak pidana khususnya kekerasan seksual yang menjadikan anak sebagai korban, selalu ada pelaporan setiap tahunnya. Pada tahun 2015 ada 318 kasus, 2016 ada 220 kasus, 2017 ada 240 kasus dan pada 2018 ada 338 kasus. Setiap tahun jumlah korban anak-anak semakin meningkat. Yang sangat memprihatinkan kekerasan seksual bukan saja dilakukan oleh orang dewasa tetapi dilakukan juga oleh anak-anak, dengan meningkatnya jumlah kekerasan seksual seharusnya hal ini menjadi perhatian penting dari pemerintah.3
Dengan meningkatnya angka kejahatan kekerasan seksual terhadap anak membuat Presiden Republik Indonesia Joko Widodo mengkategorikan kejahatan seksual terhadap anak sebagai kejahatan luar biasa dan pada tanggal 16 oktober 2017 telah disahkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 Tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak Yang Menjadi Korban Tindak Pidana. Karena sebelum diterbitkanya PP 43 Tahun 2017 pelaksanaan restitusi terhadap anak korban tindak pidana belum berjalan dengan baik, sehingga hak anak sebagai korban diabaikan begitu saja. Dikelurkannya peraturan ini
2Astuti, Made Sadhi, Selayang Pandang Anak Sebagai Korban dan Pelaku Tindak Pidana, Arena hukum, Malang,1997, hal 15.
3http://www.merdeka.com./kpai /catat peningkatan kekerasan seksual terhadap anak, di aksestanggal 17 Oktober 2018.
semakin memperkuat hak-hak korban dalam mendapatkan keadilan, namun faktanya sampai saat ini juga dalam proses penegakan hukum terhadap anak korban kekerasan seksual, pelaksanan pemberian restitusi masih belum dijalankan padahal sudah jelas diatur dalam PP 43 Tahun 2017. Di dalam ketentuan pasal 2 ayat (1) menjelaskan bahwa:
Setiap anak yang menjadi korban tindak pidana berhak memperoleh restitusi.
Salah satu contoh kasus kekerasan seksual pada anak yaitu dalam putusan perkara nomor : Nomor 348 /Pid.Sus/2018/PN.Amb yang dilakukan oleh terdakwa alex kepada korban vera yang masih berusia 11 tahun. Dalam perkara ini, terdakwa terbukti melakukan Tindak Pidana ”melakukan kekerasan, memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya, yang dilakukan secara berlanjut. Dalam putusan ini tidak ditemukan adanya putusan hakim mengenai restitusi kepada korban padahal sesuai PP nomor 43tahun 2017 restitusi merupakan hak dari korban.
Pemberian restitusi kepada anak sebagai korban tindak pidana, selain sebagai pengganti biaya yang dikeluarkan juga dimaksudkan untuk meringankan penderitaan dan menegakkan keadilan bagi Anak yang menjadi korban tindak pidana, sebagai akibat terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Dengan diterbitkanya PP 43 Tahun 2017 Tentang Pelaksanan Restitusi bagi anak yang menjadi korban tindak pidana khususnya kekerasan seksual seharusnya dalam proses penegakan hukum sudah harus dijalankan dengan baik sesuai peraturan yang berlaku.4
4www.hukumonline.com/.../ini-poin-poin-pp-pelaksanaan-restitusi-bagi-anak-korban-tindak pidana diaksespada tanggal 17 Oktober 2018.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut degan judul “Pemberian Restitusi Kepada Anak Korban Kekerasan Seksual”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah kendala–kendala apakah yang dihadapi dalam proses pemberian restitusi kepada anak korban kekerasan seksual.
C. Tujuan Penelitian
1. Mengkaji dan menganalisis kendala-kendala yang dihadapi dalam pemberian restitusi kepada anak korban kekerasan seksual.
2. Sebagai salah satu persyaratan guna menyelesaikan studi pada Fakultas Hukum Universitas Pattimura.
D. Manfaat Penelitian
1. Ingin mengetahui kendala-kendala dalam pemberian restitusi kepada anak korban kekerasan seksual.
2. Diharapkan memeberikan sumbang pikiran bagi ilmu hukum, khususnya yang berkaitan dengan pemberian restitusi kepada anak korban kekerasan seksual.
E. Kerangka Teoritis
Istilah restitusi dalam hukum pidana adalah ganti kerugian baik fisik, mental, harta benda, kedudukan dan hak-hak korban atas perbuatan tindak pidana merupakan bentuk pertanggungjawaban pelaku dalam bentuk ganti rugi yang harus dibayarkan oleh pelaku.
Berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan
immateriil yang diderita oleh korban atas tuntutan korban melalui proses peradilan pidana.
Restitusi merupakan hak korban yang harus diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku, dapat berupa harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan dan penderitaan atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu.5
Menurut Romli Atmasasmita restitusi merupakan bentuk perlindungan hukum secara materi, ia juga memaparkan bahwa dimasa abad pertengahan ketika hukum yang bersifat primitif masih berlaku pada masyarakat, bangsa-bangsa di dunia telah diterapkan personal reparation atau semacam pembayaran ganti rugi yang dilakukan oleh seseorang
yang telah melakukan tindak pidana atau offender atau keluarganya terhadap korban yang telah dirugikan sebagai akibat tindak pidana tersebut.6
Menurut pendapat pakar hukum pidana Indonesia, penetapan orang yang dirugikan itu didasarkan atas azas-azas hukum perdata dan kerugian itu ditimbulkan oleh perbuatan seseorang yang oleh hukum pidana disebut “si pelaku” (dader) dari suatu tindak pidana.
Jadi masalah ganti rugi dalam pidana harus dilihat dalam hubunganya dengan delik (tindak pidana), yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban. Masih pula harus diperhatikan kerugian bersifat materiil dan immateriil. Penggantian kerugian bersifat materiil, tidak menimbulkan masalah karena dilakukan dengan pemberian ganti rugi secara finansial kepada korban tidak demikian dengan yang bersifat immateriil. yang berupa kesusahan, kecemasan, rasa malu dan sebagainya. Kerugian ini juga harus diganti dengan finansial
5Aisah Nur,2007, Restitusi dan Kompensasi Terhadap Korban Kejahatan Dalam Prespektif Kebijakan Kriminal , www.putracenter.net. diakses akses pada tanggal 11 september 2016.
6Koesparmono Irsan, Hukum Perlindungan Anak, Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Jakarta, 2007, hal 54.
yang belum tentu menjadi cara yang alternatif bagi korban untuk melupakan semua kejadian yang membuat trauma yang sangat mendalam bagi korban apalagi korban anak- anak.7
Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang- Undang 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, menyatakan bahwa anak adalah amanah dan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya terdapat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya menjadi aset berharga tumpuan harapan di dunia dan akhir masa. Anak merupakan cikal bakal lahirnya suatu generasi baru yang merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional.
Pengertian anak menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, adalah :
Seseorang yang belum berumur 18 (Delapan Belas) tahun termasuk anak yang masih ada dalam kandungan.
Secara umum anak adalah seseorang yang dilahirkan dari perkawinan antara pria dan wanita, menyangkut bahwa seseorang yang dilahirkan oleh wanita meskipun tidak melakukan pernikahan tetap dikatakan sebagai anak. Anak juga merupakan generasi baru penerus bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan dimasa yang akan datang, dalam pemaknaan anak yang umumnya mendapatkan perhatian tidak saja dalam bidang ilmu pengetahuan ( the body of knowledge), tetapi dapat ditelaah dari sisi pandang
7Didik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan,PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta, 2008, hal 163.
sentralisasi kehidupan. Misalnya agama, hukum dan sosial menjadikan pengertian anak semakin rasional dan aktual dalam lingkungan sosial. 8
Menurut R.A. Koesnan anak-anak yaitu manusia muda dalam umur muda dalam jiwa dan perjalanan hidupnya karena mudah terpengaruh untuk keadaan sekitarnya, oleh karena itu anak-anak perlu diperhatikan secara sungguh-sungguh. Akan tetapi, sebagai makhluk sosial yang paling lemah dan rentan ironisnya anak-anak justru sering ditempatkan dalam posisi yang paling dirugikan. Tidak memiliki hak untuk bersuara dan bahkan mereka sering menjadi korban tindak kekerasan dan pelanggaran terhadap hak- haknya.
Secara etimologi korban adalah orang yang mengalami kerugian baik kerugian fisik, mental maupun kerugian finansial yang merupakan akibat dari suatu tindak pidana atau merupakan sebagai salah satu faktor timbulnya tindak pidana. Sedangkan Victimologi ilmu yang mempelajari tentang korban, diartikan sebagai seseorang yang telah menderita kerugian sebagai akibat tindak pidana dan rasa keadilannya secara langsung terganggu dan sebagai target sasaran tindak pidana.9
Berbagai pengertian korban banyak dikemukakan oleh beberapa sarjana antaranya;
Arif Gosita, memberikan defenisi korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan.10 Sedangkan Muladi, memberikan defenisi korban adalah
8 Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung ,1997, hal 98.
9 Maya Indah, Perlindungan Korban Suatu Perspektif Viktimologi dan Kriminologi, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, 2014, hal 54.
10 Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta,1993, hal 34.
orang-orang yang secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi, atau gangguan subtansial terhadap hak- haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang melanggar hukum pidana dimasing-masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan.
Secara luas pengertian korban diartikan bukan hanya sekedar korban yang menderita secara langsung akibat dari perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kerugian atau penderitaan bagi diri korban, akan tetapi ada korban juga yang mengalami penderitaan secara tidak langsung yang dimaksud korban tidak langsung seperti isteri kehilangan suami, anak kehilangan bapak atau ibu, orangtua kehilangan anak akibat dari tindak pidana.
Secara etimologi kekerasan berasal dari bahasa latin violence yaitu gabungan kata vis (daya, kekuatan) dan latus (membawa). Pengertian ini dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti diartikan sebagai sifat atau hal yang keras, kekuatan, paksaan, sedangkan paksaan berarti tekanan desakan yang keras. Kata-kata ini bersinonim dengan kata memperkosa yang berarti menundukkan dengan kekerasan jadi kekerasan berarti membawa kekuatan, paksaan dan tekanan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan kekerasan seksual adalah kontak seksual yang dikehendaki oleh salah satu pihak inti dari kekerasan sekusal terletak pada ancaman (verbal) dan paksaan (tindakan). Sedangkan secara umum dapat diartikan bahwa kekerasan seksual adalah segala bentuk tindakan yang menyebabkan orang merasa terintimidasi secara seksual. Selain paksaan secara fisik, ia dapat mencakup intimidasi psikologis, pemerasan atau ancaman seperti ancaman melukai.
Kekerasan seksual juga dapat terjadi saat korban tak dapat menolak atau menerima tindakan seksual misalnya ketika mabuk, pengaruh obat tidur, atau terganggu secara mental dan pengaruh-pengaruh lainnya yang menimbulkan tindakan seksual.11 Kekerasan seksual mencakup pemerkosaan yang didefenisikan sebagai penentrasi tehadap vulva atau anus dengan menggunakan penis, bagian tubuh lain atau objek yang dilakukan secara paksa. Kekerasan berkaitan dengan organ seksual, seperti kontak paksa antara mulut dan penis, vulva atau anus rumayat et al menemukan bahwa 30% dari perempuan melaporkan bahwa pernah mengalami kekerasan seksual dimasa kanak-kanak. Pada usia dewasa, diperkirakan 20% perempuan mengalami kekerasan seksual oleh pasangan intim seumur hidupnya. Sedangkan jekwel et al menemukan data yang menunjukan bahwa pria jauh lebih mungkin untuk tidak melaporkan kekerasan seksual dari pada perempuan, diakibatkan rasa malu dan takut tidak dipercaya atau takut direndahkan.12
F. MetodePenelitian 1. Jenis Penelitian
Menurut Jhonny Ibrahim, metode penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk mengemukakan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, jenis penelitian yang digunakan ‘’Yuridis Normatif’’. Adalah penelitian tentang
11Abu Huraerah, Kekerasan Terhadap Anak, Penerbit Nuansa, Jakarta, 2007, hal 40.
12http://www.bkkbn.go.id /hqweb/ceria /mb2pelecehan seksual.html.diakses tanggal 17 Oktober 2018.
Kaidah-kaidah, Norma-norma, dan asas hukum berdasarkan Peraturan Perundang- Undangan, berkaitandengan permasahan yang diteliti.13
2. Tipe Penelitian
Menurut Sugiyono, metode deskriptif adalah suatu metode yang digunakan untuk menggambarkan atau menganalisis suatu hasil penelitian tetatpi tidak digunakan untuk membuat kesimpulan yang lebih luas.Tipe penelitian yang digunakan adalah “Deskriptif Analisis”dengan alasan bahwa hasil yang digunakan dari studi kepustakaan selanjutnya dianalisis dan dibahas menggunakan alur pembahasan secara sistematis di dalam beberapa bab dengan demikian hasil analisis dan pembahasan tersebut selanjutnya dideskripsikan untuk memudahkan penarikan beberapa kesimpulan dan pengajuan saran.
3. Sumber Bahan Hukum
1) Bahan Hukum Primer antara lain :
a) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang- Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak
b) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
c) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana.
13 Jhonny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia, Malang, 2008, hal 56.
2) Bahan hukum sekunder adalah publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen resmi yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yakni berupa hasil penelitian, karya dari kalangan hukum, buku- buku dan literatur yang terkait dengan penelitian, serta artikel di yang berhubungan dengan masalah yang dikaji dalam penelitian ini.
3) Sumber bahan hukum tersier adalah bahan-bahan hukum resmi yang memberi kejelasan dan pentujuk secara resmi kepada bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder berupa kamus dan lain-lain.
4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Dalam penelitian ini dilakukan dengan studi kepustakaan (Library research) yaitu mengumpulkan bahan-bahan hukum yang terkait untuk memperoleh informasi yang objektif dan akurat, baik dari buku-buku, undang-undang, hasil penelitian maupun internet.
Pengumpulan bahan-bahan hukum dilakukan dengan menyusun berdasarkan subjek yang diinginkan, selanjutnya dipelajari kemudian diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan yang dibahas.
5. Teknik Analisis Bahan Hukum
Metode analisis yang dipakai untuk menganalisis bahan hukum yang telah terhimpun adalah metode analisis kualitatif, yaitu bahan hukum yang diperoleh kemudian disusun secara sistematik untuk selanjutnya dianalisis secara kualitatif berdasarkan disiplin ilmu hukum pidana untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas.
G. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan ini, penulis melakukan penulisan yang menggunakan sistematika sebagai berikut:
BAB I merupakan Pendahuluan, yang terdiri dari Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penilitian, Manfaat Penilitian, Kerangka Teoritis, Metode Penilitian, dan Sistematika Penulisan
BAB II adalah Tinjauan Pustaka yang terdiri dari Konsep Anak Menurut Peraturan Perundang-Undangan, Pengertian Kekerasan Seksual, konsep Restitusi
BAB III merupakan Hasil dan Pembahasan yang terdiri dari Anak Dan Sistem Peradilan Anak, Pemberian Restitusi Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017, Kendala-kendala yang dihadapi dalam pemberian restitusi kepada anak korban kekerasan seksual
BAB IV merupakan Penutup, yang terdiri dari Kesimpulan Dan Saran