• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAVID SUDARSONO /HK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "DAVID SUDARSONO /HK"

Copied!
164
0
0

Teks penuh

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI PELAPOR TINDAK PIDANA KORUPSI DIKAITKAN DENGAN

UNDANG – UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI

DAN KORBAN

TESIS

OLEH

DAVID SUDARSONO 097005063/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2012

(2)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI PELAPOR TINDAK PIDANA KORUPSI DIKAITKAN DENGAN

UNDANG – UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINGAN SAKSI

DAN KORBAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Pada Fakultas Hukum

Dalam Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH

DAVID SUDARSONO 097005063/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2012

(3)

Judul Tesis : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI PELAPOR TINDAK PIDANA KORUPSI DIKAITKAN DENGAN UNDANG – UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI

DAN KORBAN

Nama Mahasiswa : David Sudarsono

Nim : 097005063

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Mahmud Mulyadi., S.H., M. Hum Ketua

)

(Prof. Dr. Suhaidi.,S.H., M.H) (Syafruddin S. Hasibuan.,S.H.,M.H.,DFM Anggota Anggota

)

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. Suhaidi.,S.H.,M.H) (Prof. Dr. Runtung.,S.H.,M. Hum)

Telah Lulus : 20 Januari 2012

(4)

Telah Lulus Pada

Tanggal : 20 Januari 2012

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Mahmud Mulyadi., S.H.,M. Hum Anggota : 1. Prof. Dr. Suhaidi.,S.H.,M.H

2. Syafruddin S. Hasibuan.,S.H.,M.H.,DFM 3. Prof. Dr. Syaffruddin Kalo.,S.H.,M. Hum 4. Dr. Hasim Purba.,S.H.,M. Hum

(5)

ABSTRAK

Peraturan tentang perlindungan saksi, pelapor dan korban tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan. Di bidang tindak pidana korupsi perlindungan terhadap saksi dan pelapor diatur pada Pasal 41 ayat (2) e UU PTPK 1999 dan Pasal 15 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus Terhadap Pelapor dan Saksi. Peraturan ini ditindaklanjuti dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 17 Tahun 2005 yang berlaku sejak 30 Desember 2005. Saksi, pelapor dan korban memerlukan perlindungan hukum ini, dimana diberikan oleh negara untuk mengatasi kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa dan harta bendanya termasuk keluarganya.

Permasalahan dalam tesis ini adalah bagaimana asas perlindungan hukum terhadap saksi pelapor tindak pidana korupsi dikaitkan dengan UU Perlindungan Saksi dan Korban, bagaimana pengaturan hukum mengenai perlindungan hukum terhadap saksi pelapor tindak pidana korupsi dikaitkan dengan UU Perlindungan Saksi dan Korban dan apakah hambatan dalam perlindungan hukum terhadap saksi pelapor tindak pidana korupsi dikaitkan dengan UU Perlindungan Saksi dan Korban.

Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif.

Penggunaan pendekatan yuridis normatif yang dimaksud adalah melakukan pendekatan terhadap masalah dengan cara melihat dari segi peraturan perundang- undangan yang berlaku, dokumen-dokumen dan teori-teori yang berlaku.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) asas perlindungan hukum terhadap saksi pelapor tindak pidana korupsi dikaitkan dengan UU Perlindungan Saksi dan Korban adalah penghargaan atas harkat dan martabat manusia, yaitu membedakan manusia dari makhluk-makhluk lainnya di seluruh alam semesta, dimana Harkat dan Martabat Manusia (HMM) yang mengandung butir-butir bahwa manusia adalah makhluk yang terindah dalam bentuk dan pencitraannya; makhluk yang tertinggi derajatnya; makhluk yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa;

khalifah dimuka bumi; dan pemilik Hak-hak Asasi Manusia (HAM). (2) Kebijakan pengaturan hukum mengenai perlindungan hukum terhadap saksi pelapor tindak pidana korupsi dikaitkan dengan UU Perlindungan Saksi dan Korban merupakan elemen penting dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, umumnya tindak pidana korupsi dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kesempatan, kewenangan ataupun sarana yang dimungkinkan oleh jabatan yang diperolehnya. (3) Pengaturan mengenai saksi pelapor dapat dilihat dalam Pasal 10 UU Perlindungan Saksi dan Korban. Hambatan yuridis dalam perlindungan hukum terhadap saksi pelapor tindak pidana korupsi dikaitkan dengan UU Perlindungan Saksi dan Korban adalah sebagai berikut: peraturan yang tidak memadai, pelapor hanya sebatas mendapatkan perlindungan secara hukum, saksi yang juga tersangka lain.

(6)
(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, oleh rahmat dan kasih karunia-Nya sehingga dapat melakukan dan menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis ini dengan baik. Banyak hal yang terjadi dialami saat menyelesaikan tesis ini.

Adapun tujuan dibuat penulisan tesis ini untuk memenuhi sebagian syarat- syarat untuk memperoleh Gelar Magister Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

Adapun judul tesis ini adalah: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI PELAPOR TINDAK PIDANA KORUPSI DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN”.

Penulis menyadari dalam penulisan tesis ini masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan, sehingga penulis sangat mengharapkan saran dan kritikan yang bersifat masukan yang membangun demi melengkapi kesempurnaan dalam penulisan tesis ini.

Pada kesempatan ini, penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan dan penyelesaian tesis ini terutama kepada yang terhormat :

l. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM, M.Sc (CTM), Sp.AK) selaku Rektor atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan

(8)

menyelesaikan pendidikan pada program studi Magister Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan;

2. Bapak Prof. DR. Runtung, S.H, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus Anggota Komisi Pembimbing pembuatan dan penyelesaian tesis ini yang telah memberikan saran dan kritik dalam penelitian tesis ini, sampai akhirnya penulis dapat menyelesaikan perkuliahan;

3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, M.H, selaku Ketua Program Studi Magister Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

4. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum, selaku Sekretaris Program Ketua Program Studi Magister Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

5. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dukungan, serta saran dan kritik dari awal penelitian, sampai akhirnya penulis dapat menyelesaikan perkuliahan;

6. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, M.H, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dukungan, serta saran dan kritik dari awal penelitian, sampai akhirnya penulis dapat menyelesaikan perkuliahan;

7. Bapak Syafrudin SH, M.H, DFM selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan kontribusi pemikiran dan arahan dalam penyelesaian tesis ini.

(9)

8. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum selaku Ketua Komisi Penguji yang telah banyak memberikan kontribusi pemikiran dan arahan dalam penyelesaian tesis ini.

9. Bapak Dr. Hasim Purba, SH, M.Hum selaku Anggota Komisi Penguji yang telah banyak memberikan kontribusi pemikiran dan arahan dalam penyelesaian tesis ini 10. Para Guru Besar serta seluruh Dosen Staf Pengajar Progran Studi Magister

Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu dan pengetahuannya kepada penulis selama mengikuti proses perkuliahan;

11. Seluruh Rekan Staf dan Pegawai Sekretariat Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utars atas bantuan dan informasinya yang diberikan kepada penulis dalam proses penyelesaian perkuliahan hingga penelitian tesis ini;

12. Kapolres Tebing Tinggi Bapak Andi Rian R. Djajadi, Sik dan Wakapolres Tebing Tinggi Bapak Drs. Safwan Khayat, M.Hum yang telah memberikan izin untuk menyelesaikan perkuliahan S2 di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

13. Kedua orang tua, yaitu ayahanda K. Siringoringo dan ibunda tercinta M. br.

Sibarani, yang telah memberikan DOA, dorongan dan motivasi baik secara lahiriah dan batiniah, serta didikan yang amat sangat berguna sehingga dapat menyelesaikan program studi ini dengan baik.

14. Buat istri dan anakku tercinta, E. br. Manik dan Putri Prisilia Oktaviani br.

Siringoringo yang selalu memberikan masukan dan semangat sehingga selesainya tugas akhir ini.

(10)

15. Mertuaku Bapak M. Manik dan Ibu br. Silalahi yang telah memberi motivasi hidup dalam langkah – langkah yang berguna untuk ke depan harinya.

16. Kepada Abang, Kakak serta Adik yang selalu memberikan masukan dan semangat sehingga selesainya tugas akhir ini.

17. Para sahabat seperjuangan Kelas Eksekutif Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang memberikan motivasi dan dukungan baik secara moril dan spiritual dalam penyelesaian tesis ini.

18. Penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah terlibat langsung maupun tidak langsung yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.

Akhir kata penulis mengembalikannya dan berdoa kepada Allah Yang Maha Kuasa, agar kita selalu mendapat rahmat-Nya, penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya pada bidang Hukum Ekonomi terlebih pada penulis sendiri dan orang lain.

Medan, Januari 2012 Penulis,

DAVID SUDARSONO

(11)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP A. Data Pribadi

Nama : DAVID SUDARSONO

Tempat/Tgl Lahir : Pangkalan Brandan, 25 januari 1981 Jenis Kelamin : Laki- laki

Kewarga Negaraan : Indonesia

Agama : Katolik

Alamat : Jl. Tengku hasyim, kel. Bandar Sono,Kec.Padang Hulu, Kota Tebing Tinggi

Email : Dvd [email protected] Nama Ayah : K. Siringo-ringo

Nama Ibu : M. Br. Sibarani

Anak Ke : 4 (empat) Dari 6 (enam) Bersaudara No. Handphone : 081265990044

B. Pendidikan

1987 – 1993 : SD SWASTA DP YKPP pangkalan Brandan 1993 – 1990 : SMP P. Cahaya Medan

1997 – 2000 : SMU Kristen I Medan

2001 – 2005 : Strata Satu (SI) Fakultas Hukum Universitas HKBP Nomensen

2009 – 2011 : Strata Dua (S2) Magister Hukum Universitas Sumatera Utara Medan

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 19

C. Tujuan Penelitian ... 19

D. Manfaat Penelitian ... 20

E. Keaslian Penelitian ... 21

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional ... 22

1. Kerangka Teori ... 22

2. Landasan Konsepsional ... 31

G. Metode Penelitian ... 33

1. Jenis Penelitian ... 33

2. Metode Pendekatan ... 33

3. Sumber Data ... 34

4. Teknik Pengumpulan Data ... 35

5. Analisis Data ... 35

BAB II ASAS PERLINDUNGAN HUKUM SAKSI PELAPOR TINDAK PIDANA KORUPSI DIKAITKAN DENGAN UU NOMOR 13

(13)

TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN

KORBAN ... 36

A. Asas-Asas Perlindungan Hukum ... 36

B. Kedudukan Saksi Pelapor Tindak Pidana Korupsi Dalam Sistem Peradilan Pidana ... 46

1. Urgensi pemberantasan tindak pidana korupsi ... 46

2. Peran saksi pelapor dalam tindak pidana korupsi ... 56

2.1 Saksi dalam peradilan tindak pidana korupsi ... 56

2.2 Saksi Pelapor dalam tindak pidana korupsi ... 61

C. Urgensi Perlindungan Saksi Pelapor Dalam Tindak Pidana Korupsi ... 70

1. Asas filosofis perlindungan saksi pelapor dalam tindak pidana korupsi ... 70

2. Perlindungan saksi pelapor tindak pidana korupsi ... 82

BAB III PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM SAKSI PELAPOR TINDAK PIDANA KORUPSI DIKAITKAN DENGAN UU NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ... 88

A. Pengaturan Lembaga Perlindungan Saksi Pelapor dalam Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia sebelum UU Nomor 13 Tahun 2006 ... 88

1. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ... 91

2. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat ... 94

(14)

B. Pengaturan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Menurut UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan

Korban ... 100

C. Aturan dan Bentuk Perlindungan Saksi Pelapor Tindak Pidana Korupsi ... 104

1. Saksi Pelapor Yang Dilindungi Menurut UU Nomor 13 Tahun 2006 ... 104

2. Pelaksanaan perlindungan saksi pelapor ... 107

BAB IV HAMBATAN DALAM PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI PELAPOR TINDAK PIDANA KORUPSI 126

A. Hambatan Dalam Perlindungan Hukum Saksi Pelapor ... 126

B. Upaya Menanggulangi Hambatan Perlindungan Saksi Pelapor ... 142

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 147

A. Kesimpulan ... 147

B. Saran ... 149

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN

(15)

ABSTRAK

Peraturan tentang perlindungan saksi, pelapor dan korban tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan. Di bidang tindak pidana korupsi perlindungan terhadap saksi dan pelapor diatur pada Pasal 41 ayat (2) e UU PTPK 1999 dan Pasal 15 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus Terhadap Pelapor dan Saksi. Peraturan ini ditindaklanjuti dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 17 Tahun 2005 yang berlaku sejak 30 Desember 2005. Saksi, pelapor dan korban memerlukan perlindungan hukum ini, dimana diberikan oleh negara untuk mengatasi kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa dan harta bendanya termasuk keluarganya.

Permasalahan dalam tesis ini adalah bagaimana asas perlindungan hukum terhadap saksi pelapor tindak pidana korupsi dikaitkan dengan UU Perlindungan Saksi dan Korban, bagaimana pengaturan hukum mengenai perlindungan hukum terhadap saksi pelapor tindak pidana korupsi dikaitkan dengan UU Perlindungan Saksi dan Korban dan apakah hambatan dalam perlindungan hukum terhadap saksi pelapor tindak pidana korupsi dikaitkan dengan UU Perlindungan Saksi dan Korban.

Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif.

Penggunaan pendekatan yuridis normatif yang dimaksud adalah melakukan pendekatan terhadap masalah dengan cara melihat dari segi peraturan perundang- undangan yang berlaku, dokumen-dokumen dan teori-teori yang berlaku.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) asas perlindungan hukum terhadap saksi pelapor tindak pidana korupsi dikaitkan dengan UU Perlindungan Saksi dan Korban adalah penghargaan atas harkat dan martabat manusia, yaitu membedakan manusia dari makhluk-makhluk lainnya di seluruh alam semesta, dimana Harkat dan Martabat Manusia (HMM) yang mengandung butir-butir bahwa manusia adalah makhluk yang terindah dalam bentuk dan pencitraannya; makhluk yang tertinggi derajatnya; makhluk yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa;

khalifah dimuka bumi; dan pemilik Hak-hak Asasi Manusia (HAM). (2) Kebijakan pengaturan hukum mengenai perlindungan hukum terhadap saksi pelapor tindak pidana korupsi dikaitkan dengan UU Perlindungan Saksi dan Korban merupakan elemen penting dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, umumnya tindak pidana korupsi dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kesempatan, kewenangan ataupun sarana yang dimungkinkan oleh jabatan yang diperolehnya. (3) Pengaturan mengenai saksi pelapor dapat dilihat dalam Pasal 10 UU Perlindungan Saksi dan Korban. Hambatan yuridis dalam perlindungan hukum terhadap saksi pelapor tindak pidana korupsi dikaitkan dengan UU Perlindungan Saksi dan Korban adalah sebagai berikut: peraturan yang tidak memadai, pelapor hanya sebatas mendapatkan perlindungan secara hukum, saksi yang juga tersangka lain.

(16)
(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 merumuskan tujuan bangsa Indonesia yaitu terciptanya masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan melindungi seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum dan ikut menciptakan ketertiban dunia. Mencapai masyarakat yang adil dan makmur tidak begitu saja dapat dicapai, ada banyak hambatan yang dapat mengganggu lancarnya pembangunan.

Salah satu hambatan tersebut adalah adanya gangguan terhadap masyarakat berupa tindak pidana korupsi, untuk itu diperlukan penegakan hukum. Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan ketertiban, keamanan dan ketenteraman dalam masyarakat, baik sebagai usaha pencegahan maupun pemberantasan atau penindakan tindak pidana korupsi.

Mengenai tindak pidana korupsi sebagai hambatan dalam proses pembangunan Evi Hartanti berpendapat sebagai berikut :

Proses pembangunan dapat menimbulkan kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat juga mengakibatkan perubahan kondisi sosial masyarakat yang memiliki dampak sosial negatif, terutama menyangkut masalah peningkatan tindak pidana yang meresahkan masyarakat. Salah satu tindak pidana yang dapat dikatakan cukup fenomenal adalah masalah korupsi. Tindak pidana ini tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi

(18)

juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. 1

Korupsi telah menjadi kejahatan yang dianggap merusak sendi-sendi di kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Kerugian negara yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi sudah masuk dalam kategori “membahayakan”.

Korupsi di Indonesia merupakan persoalan bangsa yang bersifat recurrent dan darurat yang telah dihadapi bangsa Indonesia dari masa ke masa dalam rentang waktu relatif lama.

Korupsi pada hakikatnya bukan sekedar masalah kriminal, melainkan juga masalah sosial. Di berbagai belahan dunia, korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan dengan tindak pidana lainnya. Fenomena ini dapat dimaklumi mengingat dampak negatif yang ditimbulkan oleh tindak pidana ini.

Sehubungan hal tersebut, Efi Laila Kholis mengemukakan pendapatnya sebagai berikut :

2

Selama ini korupsi lebih banyak dimaklumi oleh berbagai pihak daripada memberantasnya, padahal tindak pidana korupsi adalah salah satu jenis yang dapat menyentuh berbagai kepentingan yang menyangkut hak asasi, ideologi negara, perekonomian, keuangan negara, moral bangsa dan sebagainya, yang merupakan perilaku jahat yang cenderung sulit untuk ditanggulangi.

Dampak yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi telah menyentuh berbagai bidang kehidupan masyarakat, Evi Hartanti berpendapat sebagai berikut :

3

1 Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi (Jakarta: Sinar Grafika, 2005) hal. 1.

2 Efi Laila Kholis, Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Korupsi, (Jakarta: Solusi Publishing, 2010) hal 1.

3 Evi hartanti, Op. Cit, hal 1-2.

(19)

Menurut B. Sudarso sebagaimana yang dikutip oleh Djoko Prakoso :

Menghadapi masalah korupsi yang sudah meluas dan berurat berakar, yang oleh sementara kalangan dikatakan sudah merupakan “way of life”, orang setengah putus asa dan acuh tak acuh. Malahan ada pendapat yang menyebutkan bahwa sebaiknya kita tidak berbicara lagi mengenai korupsi tetapi pembangunan saja. Pada saat-saat tertentu memang seakan-akan timbul harapan bahwa penyakit itu akan sungguh-sungguh dapat diatasi, tetapi saat-saat penuh harapan demikian biasanya tidak berlangsung lama yang segera disusul oleh keraguan, keprihatinan, kekecewaan dan sinisme. 4

Tampaknya masalah korupsi ini selalu ada. Ia akan ada dalam masyarakat primitif (tradisional), ia akan ada disuatu masyarakat yang sedang membangun dan bahkan ia akan ada dalam masyarakat yang sudah maju sekalipun. Rupa-rupanya perbuatan korupsi ini sejak semula lahir bersama kelahirannya di dunia ini dan agaknya umurnya pun akan seumur dengan dunia, apabila kita tidak memulai dari sekarang bersungguh-sungguh mencegah/memberantasnya.

Menurut Baharuddin Lopa :

5

Tindak pidana korupsi di Indonesia dapat dikatakan telah sistematik atau telah direncanakan baik dalam hal pelaksanaan maupun pemikiran mengenai tindak pidana korupsi tersebut.6

4 Djoko Prakoso, Peranan Pengawasan Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi (Jakarta: Aksara Persada Indonesia, 1990) hal 70.

5 Baharuddin Lopa, Korupsi; Sebab-Sebabnya dan Penanggulangannya (Jakarta: Prisma, 1996) hal 24.

6 Efi Laila Kholis, Op. Cit, hal 6.

Hal ini dapat dilihat dalam tingkat pemerintahan pusat maupun di tingkat pemerintahan daerah sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, maka pemberantasan korupsi perlu dilakukan secara sungguh-sungguh oleh pemerintah melalui aparat hukumnya.

(20)

Mengenai kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi, Evi Hartanti berpendapat sebagai berikut :

Tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Selain itu akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi.7

Sebagai gejala sosial, korupsi merupakan masalah yang sangat kompleks yang berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan manusia seperti politik, ekonomi dan budaya. Sebagai penyakit sosial, permasalahannya sejajar pula dengan penyakit sosial lainnya seperti perjudian, prostitusi, narkotika dan kriminalitas.

Tindak pidana korupsi sering dipandang sebagai gejala dan penyakit sosial, mengingat dampak korupsi ini sangat merugikan masyarakat dan negara. Sehubungan hal tersebut, Juniadi Soewartojo berpendapat bahwa:

8

Terungkapnya kasus korupsi sebagian besar diperoleh dari informasi masyarakat, keterangan saksi sebagai alat bukti utama menjadi dasar bagi hakim dalam memutus suatu perkara.9

7 Evi Hartanti, Op. Cit, hal 4.

8 Juniadi Soewartojo, Korupsi; Pola Kegiatan dan Penindakannya Serta Peran Pengawasan Dalam Penanggulangannya, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998) hal 3.

9 http//www. detik.com, M. Munab Islah Ahyani, Pimpinan DPRD Jabar Harus Bisa Jelaskan Kasus Dana 1,5 M, diakses pada tanggal 22 Januari 2011.

Peran serta masyarakat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi diatur Pasal 41 UU Nomor 31 Tahun 1999 (selanjutnya disebut UU PTPK Tahun 1999) jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 (selanjutnya disebut UU PTPK Tahun 2001).

(21)

Pasal 42 UU PTPK Tahun 1999 Jo. UU PTPK Tahun 2001 menentukan : (1) Pemerintah memberikan penghargaan kepada anggota masyarakat yang telah

berjasa membantu upaya pencegahan, pemberantasan, atau pengungkapan tindak pidana korupsi;

(2) Ketentuan mengenai penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.10

Akan tetapi, di sisi lain tidak tersedia kecukupan instrument hukum yang mengatur tentang perlindungan saksi dalam suatu tindak pidana korupsi khususnya dan tindak pidana kejahatan lain pada umumnya. Saksi tanpa adanya instrument hukum perlindungan saksi dimungkinkan bisa terkena serangan balik berupa tuntutan pencemaran nama baik (defamation) oleh si pelaku tindak pidana itu sendiri.

Di satu sisi, negara mengharapkan partisipasi masyarakat dalam upaya pemberantasan korupsi seperti yang tercantum pada Pasal 41 dan Pasal 42 UU PTPK Tahun 1999 jo UU PTPK Tahun 2001. Oleh karena itu pemerintah menghargai mereka yang berperan serta dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Menurut Surastini Fitriasih :

11

Dalam suatu tindak pidana korupsi yang sedang diproses oleh pihak penegak hukum, pada prinsipnya keberadaan saksi sangat menentukan sekali.

12

10 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 (selanjutnya disebut UU PTPK Tahun 1999) jo.

UU Nomor 20 Tahun 2001

11 Surastini Fitriasih, Perlindungan Saksi Dan Korban Sebagai Sarana Menuju Peradilan (Pidana) yang Jujur dan Adil, www. pemantauperadilan. com, Diakses pada tanggal 22 Januari 201.

12 http;//www. Blog-hukum.com (Dominggus Silaban), diakses pada tanggal 22 Januari 2011.

Tidak bisa dipungkiri juga bahwa berhasil atau tidaknya pemberantasan tindak pidana korupsi salah satunya ditentukan pula oleh keberadaan aturan mengenai saksi dan

(22)

perlindungan saksi. Saksi dan perlindungan saksi adalah dua instrument yang sangat penting. Tanpa kehadiran saksi sangat sulit memulai proses hukum dalam tindak pidana korupsi, baik mulai dari penyelidikan, penyidikan serta penuntutan hingga penjatuhan hukuman (vonis).13

Sebuah Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban yang berlaku efektif, yang dibentuk atas dasar upaya tulus untuk mengatasi permasalahan seperti pelanggaran HAM, adalah satu bagian integral dalam rangka menjaga berfungsinya sistem peradilan pidana terpadu. Setelah melewati proses negosisasi bertahun-tahun, akhirnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (selanjutnya disebut Menurut Pasal 1 butir ke 26 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) yang dimaksud dengan saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.

Merupakan salah satu indikasi juga di dalam dunia peradilan kita, bahwa salah satu hal yang menyebabkan perkara tindak pidana korupsi tidak banyak disidangkan adalah tidak terdapatnya aturan hukum mengenai jaminan terhadap perlindungan saksi baik di dalam UU PTPK 1999 jo UU PTPK 2001 maupun dalam KUHAP yang berlaku saat ini.

Perlindungan terhadap saksi tindak pidana korupsi harus memperoleh jaminan dan kepastian hukum sebagai berikut :

13 Ibid.

(23)

UU Perlindungan Saksi dan Korban) disahkan juga pada tanggal 11 Agustus 2006. UU Perlindungan Saksi dan Korban diharapkan akan menolong negara ini keluar dari skandal korupsi yang berkepanjangan dan menyediakan penggantian yang diperlukan bagi para korban dapat kita lihat kenyataannya di masa mendatang. UU Perlindungan Saksi dan Korban itu sendiri, menunjukkan beberapa permasalahahan serius lebih dari sekedar niat baik di balik undang-undang tersebut. 14

Di pengadilan-pengadilan negara-negara Asia, pemberian keterangan saksi lebih dititikberatkan, dan perlindungan saksi dan korban adalah hal krusial ketika berhadapan dengan korupsi dan penyiksaan oleh polisi dan pelanggaran HAM lainnya. Orang-orang yang ditawarkan perlindungan oleh kepolisian biasanya khawatir karena mereka tidak akan tahu apakah polisi yang baik atau yang buruk yang akan melindungi mereka.

Di negara lain, ketidakhadiran sebuah undang-undang perlindungan saksi yang efektif telah menyebabkan hilangnya kualitas penyidikan dan jalannya persidangan. Sehubungan dengan perlindungan saksi di negara lain, Ratna Januarita mengemukakan pendapatnya sebagai berikut :

15

Selain diatur dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban, peraturan tentang perlindungan saksi, pelapor dan korban tersebar di berbagai peraturan perundang- undangan. Di bidang tindak pidana korupsi perlindungan terhadap saksi dan pelapor diatur pada Pasal 41 ayat (2) e UU PTPK 1999 dan Pasal 15 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU KPK) serta Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus Terhadap Pelapor dan Saksi (selanjutnya disebut PP No. 57

14 Ibid.

15 Pikiran Rakyat, Opini oleh Ratna Januarita, tanggal 06 Januari 2010.

(24)

Tahun 2003). Peraturan ini ditindaklanjuti dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) No. 17 Tahun 2005 yang berlaku sejak 30 Desember 2005.

Menurut Ratna Januarita, perlindungan terhadap saksi harus diberikan atas 2 (dua) hal, yaitu :

Perlindungan terhadap saksi harus diberikan atas dua hal, perlindungan hukum dan perlindungan khusus terhadap ancaman. Perlindungan hukum dapat berupa kekebalan yang diberikan kepada pelapor dan saksi untuk tidak dapat digugat atau dituntut baik secara perdata maupun pidana. Tentu dengan catatan, sepanjang yang bersangkutan memberikan kesaksian atau laporan dengan itikad baik atau yang bersangkutan tidak sebagai pelaku tindak pidana itu sendiri.Perlindungan hukum lain adalah berupa larangan bagi siapapun untuk membocorkan nama pelapor atau kewajiban merahasiakan nama pelapor disertai dengan ancaman pidana terhadap pelanggarannya.16

Semua saksi, pelapor dan korban memerlukan perlindungan hukum ini.

Perlindungan khusus kepada saksi, pelapor dan korban diberikan oleh negara untuk mengatasi kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa dan harta bendanya termasuk keluarganya.17

Belum tersedianya ketentuan hukum mengenai perlindungan saksi di dalam kasus-kasus korupsi sangat terkait erat dengan kebijakan politik (political will) dari Karena itu, perlindungannya pun harus meliputi perlindungan atas keamanan pribadi dari ancaman fisik, mental, serta terhadap harta benda.

16 Ibid.

17 Ibid.

(25)

penyelenggara negara baik di kalangan eksekutif maupun legislatif serta yudikatif dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.18

Tanpa saksi dalam pengungkapan suatu tindak pidana umumnya dan tindak pidana korupsi khususnya dapat mengakibatkan tidak terungkapnya kasus korupsi tersebut dengan sempurna dan dapat membuat kasus tersebut tidak terselesaikan dengan tuntas, dan sewajarnyalah bila saksi mendapatkan perlindungan di depan hukum karena perannya dalam mengungkap suatu tindak pidana kejahatan.

19

Sehubungan dengan perlindungan saksi, menurut ketentuan Pasal 15 huruf a UU KPK yang disahkan dan diundangkan pada tanggal 27 Desember 2002, sebenarnya mewajibkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memberikan perlindungan terhadap saksi yang menyampaikan laporannya atau memberikan keterangan dalam kasus-kasus korupsi. Akan tetapi ketentuan perundang-undangan yang berlaku saat ini tidak merinci secara tegas dan jelas dengan mekanisme yang bagaimana perlindungan saksi yang dimaksudkan, karena perundang-undangan yang Dalam Penjelasan Pasal 159 ayat (2) KUHAP dijelaskan bahwa menjadi saksi adalah salah satu kewajiban setiap orang. Orang yang menjadi saksi setelah dipanggil ke suatu sidang pengadilan untuk memberikan keterangan tetapi dengan menolak kewajiban itu ia dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan undang- undang yang berlaku. Berdasarkan ketentuan Pasal 159 (2) KUHAP tersebut, apabila seseorang yang tidak bersedia menjadi saksi akan mendapatkan ancaman pidana dari negara, dimana menurut semestinya tiap orang yang menjadi saksi hendaknya secara sukarela mau memenuhi kewajiban hukumnya tersebut.

18 Ibid.

19 http//www. Hukum Online. Com, Diakses pada tanggal 22 Januari 2011.

(26)

ada tidak menyebutkan jaminan hukum bagi saksi dalam mengungkapkan suatu kasus tindak pidana korupsi.20

Keamanan seseorang yang tampil ke depan dan mempublikasikan informasi masih dibatasi, mengingat tidak semua orang yang dapat saja melapor sebuah kejahatan atau menyediakan bukti, diberikan perlindungan. Dalam kasus terjadinya pelanggaran HAM, hal pokok termasuk keperluan untuk menjaga aktifis LSM dan kelompok masyarakat sipil lainnya.

Diharapkan pemerintah berkewajiban untuk dapat segera menindak lanjutinya dengan membuat suatu aturan hukum yang tegas dan jelas agar keberadaan saksi dalam hal mengungkap suatu kejahatan mendapat perlindungan hukum dari negara.

Begitu pula hendaknya perlindungan terhadap saksi yang menyampaikan laporan atau memberikan keterangan dalam terjadinya tindak pidana korupsi baik sejak tingkat penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sampai pemeriksaan di sidang pengadilan.

Menurut Darwan Prinst :

21

Kasus yang mendapat sorotan adalah kasus Vincentius Amin Sutanto, mantan Group Financial Controller Asian Agri, yang melaporkan dugaan manipulasi pajak di tempat kerjanya.

Sejumlah kasus sempat menyeruak menyangkut keberadaan saksi tindak pidana korupsi di Indonesia. Di antaranya kasus Khairiansyah Salman, mantan auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang membongkar kasus suap dan korupsi di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ada juga kasus Endin Wahyudin, yang melaporkan dugaan tindak pidana oleh beberapa orang hakim.

22

20 Ibid.

21 Darwan Prinst, Op. Cit, hal 77.

22 Yunus Husein, Sang Pelapor dan Perlindungan Saksi, www. Media informasi.com, diakses pada tanggal 22 Januari 2011.

Kasus Vincent merupakan kasus paling menarik, karena

(27)

melibatkan orang dalam dari pihak yang diduga melakukan suatu kejahatan. Berbeda dengan kasus lain, Vincent terlebih dahulu dinyatakan sebagai tersangka dalam kasus pembobolan uang Rp 28 miliar milik PT Asian Agri Oil and Fats Ltd. di Singapura, salah satu anak perusahaan Asian Agri Group.

Kasus yang melibatkan Susno dan Gayus telah menarik perhatian banyak orang dalam melihat peran dan fungsi dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (selanjutnya disebut LPSK). Sempat terjadi tarik menarik malah antara Polri dan LPSK saat LPSK telah memutuskan untuk melindungi mantan Kabareskrim Polri ini dengan menempatkan Susno ke dalam Safe House yang dimiliki oleh LPSK.23

Beberapa kasus ini memiliki satu kesamaan: berbuah "serangan balik" dari pihak yang dilaporkan.

24

Perlindungan dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban dipahami dalam bahasa yang kabur, seperti misalnya “memberikan rasa aman“ (Pasal 1 angka 6), hal

Dalam kasus Endin, misalnya, serangan balik datang dari hakim yang mengadukannya. Ia dituding telah melakukan tindak pidana pencemaran nama baik. Sang hakim kemudian bebas dari hukuman, sementara sang pelapor dihukum oleh pengadilan.

Serangan terhadap Vincent tak hanya dalam satu kasus. Aparat penyidik Polda Metro Jaya sempat akan menjerat Vincent dengan perkara tindak pidana pemalsuan paspor yang dilakukannya sekitar Oktober 2006 di Singkawang, Kalimantan Barat. Perkaranya kini sudah dilimpahkan ke Kepolisian Resor Singkawang. Kasus Vincent menjadi menarik karena berkaitan dengan masalah perlindungan saksi.

23 Ibid.

24 Ibid.

Polri telah menolak menyerahkan Susno ke LPSK dan akhirnya telah terjadi kesepakatan antara Polri dan LPSK mengenai status Perlindungan Susno Duadji. Kesepakatan ini setidaknya telah membuat para kuasa hukum Susno Duadji menganggap bahwa LPSK tidak mampu melindungi Pemohon perlindungan. Bahkan dalam Rapat Dengar Pendapat antara LPSK dengan DPR kemarin, DPR juga telah mendesak agar LPSK menjamin perlindungan Susno.

(28)

itu, bagaimanapun, termasuk ”segala jenis ancaman yang berhubungan dengan kesaksian”. (Pasal 5 angka 1a).25

Lebih jauh lagi, tata letak dalam ruang persidangan Indonesia yang menempatkan korban, secara simbolis, terjebak dalam posisi antara penuntut umum dan terdakwa, sambil menghadap ke arah Majelis Hakim, sedikit banyak mempengaruhi “rasa aman”nya, dan dapat, sebagaimana dalam kasus-kasus di negara lainnya, memberikan dampak yang layak dipertimbangkan bagi kesediaan saksi untuk memberikan keterangan di persidangan. Kenyataannya, dengan atau tanpa Undang-Undang Perlindungan Saksi, kebanyakan saksi tidak bersedia memberikan keterangan di persidangan. Citra bersaksi di ruang persidangan cukup

“menakutkan” bagi para saksi. Mereka akan berpikir dua kali apabila mereka ingin bersaksi.

Ketentuan spesifik termasuk hak saksi atau korban untuk memperoleh identitas baru, relokasi, nasihat hukum, dan bantuan biaya hidup sementara, (Pasal 5 angka 1) tetapi tidak secara mutlak memerlukan relokasi ke luar negeri atau mendapatkan pekerjaan baru bagi saksi atau korban sebagaimana lazim terjadi di yurisdiksi negara lain.

Tidak satupun ketidakjelasan yang berada dalam daftar bentuk-bentuk perlindungan diperjelas dengan penjelasan prosedural atau petunjuk pelaksanaan.

Kenyataannya, implementasi perlindungan itu sendiri menjadi sebuah kunci penting bagi LPSK bahkan tidak tersentuh dalam undang-undang tersebut dan dengan demikian membuka segala macam interpretasi atasnya dan pelaksanaan yang sewenang-wenang.

26

25 Ibid.

26 http//www. Hukum Online, Loc. Cit.

(29)

Pasal 1 butir 1 UU Perlindungan Saksi dan Korban menentukan :

Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri dan Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.

Pasal 184 ayat (1) KUHAP telah menentukan secara “limitatif” alat bukti yang sah menurut undang-undang.27 Di luar alat bukti itu, tidak dibenarkan dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Hakim, penuntut umum terdakwa atau penasihat hukum terikat dan terbatas hanya diperbolehkan mempergunakan alat-alat bukti itu saja. Mereka tidak leluasa mempergunakan alat bukti yang telah ditentukan Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Dalam proses pembuktian, yang dinilai sebagai alat bukti dan yang dibenarkan mempunyai kekuatan pembuktian hanya terbatas kepada alat-alat bukti itu saja. Pembuktian diluar jenis alat bukti yang disebut pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP, tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat.28

Ditinjau dari segi nilai dan kekuatan pembuktian keterangan saksi, M.

Yahya Harahap berpendapat agar keterangan saksi atau kesaksian mempunyai nilai Pasal 184 ayat (1) KUHAP menentukan bahwa alat bukti yang sah adalah:

a. keterangan saksi;

b. keterangan ahli;

c. surat;

d. petunjuk;

e. keterangan terdakwa.

27 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Jakarta: Sinar Grafika, 2000) hal. 261.

28 Ibid, hal. 285.

(30)

serta kekuatan pembuktian, perlu diperhatikan beberapa pokok ketentuan yang harus dipenuhi oleh seorang saksi.29

Tidak semua keterangan saksi yang mempunyai nilai sebagai alat bukti.

Artinya, agar keterangan seorang saksi dapat dianggap sah sebagai alat bukti yang mempunyai nilai kekuatan pembuktian, harus dipenuhi ketentuan sebagai berikut:

1. Harus mengucapkan sumpah atau janji;

Menurut ketentuan Pasal 160 ayat (3) KUHAP, sebelum saksi memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji. Pada prinsipnya sumpah atau janji itu wajib diucapkan sebelum saksi memberikan keterangan. Akan tetapi, Pasal 160 ayat (4) KUHAP memberi kemungkinan untuk mengucapkan sumpah atau janji setelah saksi memberikan keterangan.

2. Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti;

30

Agar supaya keterangan saksi dapat dinilai sebagai alat bukti, keterangan itu harus dinyatakan di sidang pengadilan.

Keterangan saksi yang mempunyai nilai bukti ialah keterangan yang sesuai dengan apa yang ditentukan oleh Pasal 1 angka 27 KUHAP, yaitu yang saksi lihat, dengar dan alami sendiri serta menyebut alasan dari pengetahuannya itu.

3. Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan;

31 Hal ini sesuai dengan penegasan Pasal 185 ayat (1) KUHAP. Keterangan yang dinyatakan di luar sidang pengadilan bukan merupakan alat bukti.

29 Ibid.

30 Ibid.

31 Ibid.

(31)

4. Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup;

Supaya keterangan seorang saksi dapat dianggap cukup membuktikan kesalahan terdakwa harus dipenuhi paling sedikit atau sekurang-kurangya dengan dua alat bukti. Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 185 ayat (2) KUHAP, keterangan seorang saksi saja belum dapat dianggap sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa atau “unus testis nullus testis”. Artinya jika alat bukti yang dikemukakan oleh penuntut umum hanya terdiri dari seorang saksi saja tanpa ditambah dengan keterangan saksi lain atau alat bukti lain, “kesaksian tunggal” ini tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa.32

Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan

5. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri;

Sekalipun saksi yang dihadirkan dan didengar keterangannya di sidang pengadilan secara kuantitatif telah melampaui batas minimum pembuktian, belum tentu keterangan saksi-saksi tersebut secara kualitatif memadai sebagai alat bukti yang sah untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Dalam hal ini, tidak ada gunanya menghadirkan saksi yang banyak, jika secara kualitatif keterangan mereka berdiri sendiri tanpa adanya saling hubungan antara yang satu dengan yang lain yang dapat mewujudkan suatu kebenaran akan adanya kejadian atau keadan tertentu.

32 Ibid.

(32)

dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut PP No. 71 Tahun 2000) menentukan:

(1) Setiap orang, Organisasi Masyarakat, atau Lembaga Swadaya Masyarakat berhak mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi serta menyampaikan saran dan pendapat kepada penegak hukum dan atau Komisi mengenai perkara tindak pidana korupsi.]

(2) Penyampaian informasi, saran, dan pendapat atau permintaan informasi harus dilakukan secara bertanggungjawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, norma agama, kesusilaan, dan kesopanan.

Pasal 3 PP Nomor 71 Tahun 2000 menentukan:

(1) Informasi, saran, atau pendapat dari masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, harus disampaikan secara tertulis dan disertai:

a. data mengenai nama dan alamat pelapor, pimpinan Organisasi Masyarakat, atau pimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat dengan melampirkan foto kopi kartu tanda penduduk atau identitas diri lain; dan

b. keterangan mengenai dugaan pelaku tindak pidana korupsi dilengkapi dengan bukti-bukti permulaan.

(2) Setiap informasi, saran, atau pendapat dari masyarakat harus diklarifikasi dengan gelar perkara oleh penegak hukum.

Peraturan perundang-undangan tentang keberadaan saksi pelapor yang meliputi perlindungan atas keberadaan pelapor tersebut, antara lain :

1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP;

2. Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban;

3. Peraturan Pemerintah No.57 tahun 2003 tentang Perlindungan Khusus bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang;

4. Peraturan Pemerintah No.71 tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 34

34 Harkristuti Harkrisno, Op.Ci.t

(33)

Untuk membahas kata “Pelapor“ maka kita harus lebih dahulu menyesuaikan padanan kata “Pelapor“ dengan kata “Laporan” yang sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 24 KUHAP, menyatakan : Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.35

c. Pegawai negeri dalam rangka menjalankan tugasnya yang mengetahui terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana wajib segera itu melaporkan hal tersebut kepada penyelidik atau penyidik;

Dari pengertian laporan sebagaimana diutarakan di atas bermakna adanya suatu “pemberitahuan” oleh seseorang kepada pejabat yang berwenang tentang sesuatu kejadian peristiwa pidana. Dalam hal ini orang yang berhak untuk menyampaikan laporan adalah :

a. Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan atau menjadi korban peristiwa pidana kepada penyelidik atau penyidik;

b. Setiap orang yang mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap ketentraman atau keamanan umum atau terhadap jiwa atau terhadap hak milik wajib seketika itu melaporkan hal tersebut kepada penyelidik atau penyidik;

36

Selain daripada pengertian “ pelapor” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 24 KUHAP ternyata masih dikenal lagi ketentuan hukum yang mengatur tentang keberadaan "pelapor", yang antara lain terdapat pada :

1. Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban;

Dari beberapa ketentuan hukum di atas ternyata hanya Peraturan Pemerintah No.57 tahun 2003 tentang Perlindungan Khusus bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang, yang sangat memperhatikan perlunya pemberian perlindungan baik terhadap pelapor maupun saksi. Dan pemberian jaminan perlindungan tersebut mestinya sudah harus diberikan pada saat adanya pelaporan, selama maupun sesudah proses pemeriksaan perkara.

35 http//www. Hukum Online. Com; Sri Mulyati Chalil, “ Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Dalam Tindak Pidana Korupsi di hubungkan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban”, Diakses pada tanggal 22 Januari 2011.

36 Ibid.

(34)

2. Peraturan Pemerintah No.57 tahun 2003 tentang Perlindungan Khusus bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang;

3. Peraturan Pemerintah No.71 tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;37

Dari uraian latar belakang tersebut di atas maka dapat diketahui bahwa perlindungan hukum terhadap saksi pelapor tindak pidana korupsi sangat lemah. Oleh

Menurut Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2003, terdapat 2 (dua) kualifikasi tentang yang dimaksudkan dengan “pelapor”, yaitu :

1. Setiap orang yang karena kewajibannya berdasarkan peraturan perundang-undangan menyampaikan laporan kepada PPATK tentang Transaksi Keuangan Mencurigakan atau Transaksi Keuangan yang Dilakukan Secara Tunai sebagaimana dimaksud dalam UU TPPU; atau 2. Setiap orang yang secara sukarela melaporkan kepada penyidik tentang

adanya dugaan terjadinya tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam UU TPPU. Sedangkan Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana pencucian uang yang didengar sendiri, dilihat sendiri, dan dialami sendiri.

Tidak ada ketentuan yang dibuat untuk memberikan perlindungan bagi para saksi dari aparat bersenjata untuk menjamin keamanan secara fisik, maupun tidak ada indikasi apapun menunjukkan kepada siapa yang berwenang untuk mengambil langkah seperti itu. Hanya pada Pasal 36 ayat (1) UU Perlindungan Saksi dan Korban yang memberikan mandat kepada LPSK untuk “bekerjasama dengan instansi berwenang lainnya yang terkait”. Namun, instansi seperti itu hanya diwajibkan melaksanakan keputusan LPSK, sesuai dengan kewenangannya.

37 Ibid.

(35)

karena itu penulis merasa perlu untuk meneliti secara cermat mengenai kebijakan pemerintah tersebut serta dampak-dampak positif dan kendala-kendala yang ada.

Oleh karena itu, pembahasan lebih lanjut akan diuraikan dalam tulisan tesis ini dengan judul Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Pelapor Tindak Pidana Korupsi dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, yang menjadi pokok permasalahan dalam tesis ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana asas perlindungan hukum terhadap saksi pelapor tindak pidana korupsi dikaitkan dengan UU Perlindungan Saksi dan Korban?

2. Bagaimana pengaturan hukum mengenai perlindungan hukum terhadap saksi pelapor tindak pidana korupsi dikaitkan dengan UU Perlindungan Saksi dan Korban?

3. Apakah hambatan dalam perlindungan hukum terhadap saksi pelapor tindak pidana korupsi dikaitkan dengan UU Perlindungan Saksi dan Korban?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui asas perlindungan hukum terhadap saksi pelapor tindak pidana korupsi dikaitkan dengan UU Perlindungan Saksi dan Korban.

(36)

2. Untuk mengetahui kebijakan pengaturan hukum mengenai perlindungan hukum terhadap saksi pelapor tindak pidana korupsi dikaitkan dengan UU Perlindungan Saksi dan Korban.

3. Untuk mengetahui hambatan yuridis dalam perlindungan hukum terhadap saksi pelapor tindak pidana korupsi dikaitkan dengan UU Perlindungan Saksi dan Korban.

D. Manfaat Penelitian

Ada 2 (dua) manfaat yang diharapkan dari penelitian ini yaitu manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis.Uraian tentang kedua manfaat tersebut adalah sebagai berikut :

1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para akademisi terutama mahasiswa Magister Humaniora untuk menambah wacana di bidang ilmu hukum khususnya tentang bentuk perlindungan hukum terhadap saksi pelapor tindak pidana korupsi dikaitkan dengan UU Perlindungan Saksi dan Korban.

2. Secara Praktis

Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi kalangan aparat penegak hukum agar dapat lebih memahami tentang perlindungan hukum terhadap saksi pelapor tindak pidana korupsi dikaitkan dengan UU Perlindungan Saksi Dan Korban.

(37)

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian dan penelusuran yang penulis lakukan di perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan perpustakaan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, tidak ada judul penelitian/ tesis yang sama ataupun memiliki kemiripan judul serta permasalahan yang sama dengan judul dan permasalahan di dalam penelitian ini.

Tetapi ada penelitian tesis yang telah dilakukan sebelumnya yang berkaitan dengan perlindungan hukum, yaitu:

1. Ifransko Pasaribu, tahun 2007, melakukan penelitian tentang “Kebijakan Hukum Penal (Penal Policy) Dalam pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Beban Pembuktian dan Sanksi Dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001)”. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah :

2. Claudya Eterina br. Purba, tahun 2011, melakukan penelitian tentang

“Perlindungan Saksi dan Korban Dalam Tindak Pidana Pelanggaran Hak Asasi Manusia”. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah : bagaimana asas perlindungan saksi dan korban dalam tindak pidana hak asasi manusia, bagaimana pengaturan perlindungan saksi dan korban dalam tindak pidana hak asasi manusia, bagaimana urgensi perlindungan saksi dan korban dalam tindak pidana hak asasi manusia.

(38)

Oleh karena itu, penelitian yang diangkat penulis sampai saat ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengenai gejala spesifik atau proses tertentu terjadi, dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.38

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, dari para penulis ilmu hukum dibidang hukum acara pidana yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap saksi pelapor dalam tindak pidana korupsi, yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoriti, yang mungkin disetujui atau tidak disetujui, yang merupakan masukan eksternal bagi penulisan tesis ini.39

Perkembangan ilmu hukum tidak terlepas dari teori hukum sebagai landasannya dan tugas dari teori hukum adalah untuk menjelaskan nilai-nilai hukum dan postulat-postulatnya sehingga dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam.40

38 J.J.J M. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu sosial, Asas-Asas, (Jakarta: FE UI, 1996) hal 203

39 M. Solly Lubis, Op. Cit., hal 80.

40 W. Friedman, Teori dan Filsafat Umum (Jakarta: Raja Grafindo), tt, hal. 2

Sehingga penelitian ini tidak terlepas dari teori-teori ahli hukum yang dibahas dalam bahasa dan sistem pemikiran para ahli hukum sendiri. Jelasnya bahwa seorang ilmuan mempunyai tanggung jawab sosial yang terpikul dibahunya.

(39)

Menurut Harjono,41

Padanan kata perlindungan hukum dalam bahasa Inggris adalah “legal protection”, dalam bahasa Belanda “rechtsbecherming”. Kedua istilah tersebut juga mengandung konsep atau pengertian hukum yang berbeda untuk memberi makna Para pengkaji hukum belum secara komprehensif mengembangkan teori “perlindungan hukum” dari perspektif keilmuan hukum.

Banyak tulisan-tulisan yang dimaksudkan sebagai karya ilmiah ilmu hukum baik dalam tingkatan skripsi, tesis, maupun disertasi yang mempunyai tema pokok bahasan tentang “perlindungan hukum”. Namun tidak secara spesifik mendasarkan pada konsep-konsep dasar keilmuan hukum secara cukup dalam mengembangkan konsep perlindungan hukum. Bahkan dalam banyak bahan pustaka, makna dan batasan-batasan mengenai “perlindungan hukum” sulit ditemukan, hal ini mungkin didasari pemikiran bahwa orang telah dianggap tahu secara umum apa yang dimaksud dengan perlindungan hukum sehingga tidak diperlukan lagi sebuah konsep tentang apa yang dimaksud “Perlindungan Hukum”.

Konsekwensi dari tidak adanya konsep tersebut akhirnya menimbulkan keragaman dalam pemberian Indonesia sebagai negara hukum, tidak terlepas dari falsafah negara yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 terutama pada alinea pertama yang mengandung nilai-nilai Pancasila. Keduanya merupakan dasar bagi penegakan hukum. Oleh karena itu, sudah seharusnya juga perlindungan saksi dalam tindak pidana korupsi didasarkan pada nilai-nilai kedua alinea tersebut.

41 Harjono, Konstitusi Sebagai Rumah Bangsa, (Penerbit Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi: 2008), hal. 373

(40)

sesungguhnya dari “perlindungan hukum”. Di tengah langkanya makna perlindungan hukum itu, kemudian Harjono berusaha membangun sebuah konsep perlindungan hukum dari perspektif keilmuan hukum, menurutnya: “ theory legal protection” atau teori perlindungan hukum mempunyai makna sebagai perlindungan dengan menggunakan sarana hukum atau perlindungan yang diberikan oleh hukum, ditujukan kepada perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan tertentu, yaitu dengan cara menjadikan kepentingan yang perlu dilindungi tersebut ke dalam sebuah hak hukum”.42

Pada hakekatnya proses penyelenggaraan peradilan pidana yaitu melalui implementasi ketentuan-ketentuan hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil.43 Komponen sistem peradilan pidana yaitu polisi, jaksa, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan ikut bertanggungjawab untuk melaksanakan tugas menanggulangi kejahatan atau mengendalikan terjadinya kejahatan.44

Berdasarkan pada asas kesamaan dalam hukum, equality before the law, yang merupakan suatu syarat negara hukum, tidak berlebihan kiranya bila pada saksi diberikan sejumlah hak yang akan memberikan perlindungan padanya.45

42 Ibid., 357

43 Sri Mulyati Chalil, Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Pelapor dalam Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Wacana Paramita, 2007) hal 8.

44 Abdoel Djamali dan Soebekti, Pengantar Hukum Indonesia (Bandung: Raja Grafindo Persada, 1999) hal 21.

45 M. Munab Islah Ahyani, Pimpinan DPRD Jabar Harus Bisa Jelaskan Kasus Dana 15M, www.detik.com , diakses pada 21 Januari 2011.

Keberadaan saksi pelapor sangat diperlukan dalam menindaklanjuti adanya suatu perbuatan tindak pidana korupsi, dan peran serta saksi pelapor sebaiknya dimulai dari kesadaran diri

(41)

pribadi, keluarga, lingkungan dan seluruh lapisan masyarakat untuk dapat mematuhi aspek hukum dan sekaligus menjauhi perbuatan tindak pidana.

Proses hukum yang adil merupakan cita-cita dari pelaksanaan hukum acara.

Akan tetapi hal ini hanya dikaitkan dengan tersangka/terdakwa. Seperti dikemukakan oleh Tobias dan Petersen bahwa unsur-unsur minimal dari due process itu adalah:

“hearing, counsel, defense, evidence and a fair and impartial court”46 Kepedulian yang demikian besar kepada tersangka/terdakwa menimbulkan persepsi the pendulum has swung too far,47

Kebijakan peradilan pidana selama ini lebih mengutamakan perlindungan pelaku tindak pidana. Padahal peradilan pidana sebagai institusi yang berwenang menjatuhkan sanksi pidana pada orang yang melanggar hukum pidana seringkali menjadi tolok ukur penilaian terhadap watak penguasa dan atau masyarakatnya.

karena seolah-olah telah mengabaikan pihak lain yang terlibat dalam proses peradilan pidana, terutama saksi.

48

46 Marc Weber Tobias dan R. David Petersen, Pre-Trial Criminal Procedure, A Survey of Constitutional Rights, Charles Thomas Publisher, Chapter 3, seperti dikutip oleh Mardjono Reksodiputro dalam Hak-Hak Tersangka dan Terdakwa dalam KUHAP Sebagai Bagian dari Hak-Hak Warga Negara (Civil Rights), “ Hak Asasi Menusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta:

Lembaga Kriminologi UI, 1994), hal. 27.

47 Harkristuti Harkrisno, “Perlindungan Korban dan Saksi dalam Proses Pidana dan Urgensi Perlindungan bagi Mereka”, makalah disampaikan pada Seminar tentang Perlindungan Saksi yang diselenggarakan oleh Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan di Bekasi, 29 Oktober 2002.

48 Mudzakkir, Akses Publik Ke Sistem Peradilan Pidana, Makalah disampaikan pada Lokakarya tentang Akses Ke Peradilan yang diselenggarakan pleh Sentra HAM FHUI bekerjasama dengan Komisi Hukum Nasional RI di Jakarta,. 31 Juli 2002

Menurut Amara Raksasataya, kebijakan (policy) adalah sebagai suatu taktik dan strategi yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan. Oleh karena itu, suatu kebijakan (policy) harus memuat 3 (tiga) elemen penting yaitu :

(42)

1. Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai;

2. Taktik dan strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang diinginkan;dan

3. Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari taktik atau strategi. 49

Sementara, taktik dan strategi itu sendiri menurut Andi Hamzah adalah suatu metode, rencana untuk mencapai tujuan tertentu.50

Soedarto mendefenisikan kebijakan kriminal (politik kriminal) sebagai suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi dan memberantas kejahatan.

Sehubungan dengan itu diperlukan taktik atau strategi tertentu untuk dapat memberantas tindak pidana korupsi tersebut, setidaknya dapat mengurangi dan menghambat perkembangannya.

51 Kebijakan kriminal dapat diaplikasikan dalam 2 (dua) jalur yaitu jalur penal dan nonpenal.52

Kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana), berpusat pada dua masalah sentral, yaitu :53

1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana; dan

2. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.

Kebijakan nonpenal dimaksud sebagai upaya untuk menanggulangi kejahatan dengan menggunakan sarana lain selain hukum pidana. Dapat dikategorikan dalam

49 Amara Raksasataya, dalam M. Islam Irfany, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara Jakarta: Bina Aksara, 2002, hal 17-18.

50 Andi Hamzah, Kamus Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986, hal 550.

51 Soedarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1981, hal 114.

52 Ibid.

53 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung : Alumni, 1992), hal 158.

(43)

pendekatan nonpenal adalah pendidikan atau kerohanian dan lain-lain yang bertujuan untuk mencegah terjadinya kejahatan.54

Upaya penanggulangan kejahatan yang integral mengandung arti bahwa masyarakat dengan seluruh potensinya harus juga dipandang sebagai bagian dari kebijakan pidana.55

Mengenai tujuan penegakan hukum untuk mewujudkan keadilan dalam masyarakat, Niniek Supami berpendapat sebagai berikut :

Tujuan penegakan hukum harus dapat memberikan jaminan terlaksananya pemerataan keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia.

56

Menurut Evi Hartanti :

Keadilan dan hukum akan selalu terkait di dalam pergaulan hidup masyarakat. Keadilan dan hukum tidak dapat dipisahkan dari interaksi kehidupan manusia itu sendiri. Oleh karena itu, tidaklah mungkin ada suatu masyarakat tanpa keadilan dan hukum. Keadilan dan hukum merupakan dasar dari kehidupan manusia sehingga tugas mengadili yang dibebankan pada lembaga pengadilan merupakan suatu tugas yang memerlukan kecermatan dan kematangan baik dalam menyusun pertimbangan hukumnya maupun dalam menetapkan putusannya.

57

54 Ibid.

55 Adama Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Bandung, Alumni. 2006), hal 4.

56 Niniek Supami, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan ( Jakarta, Sinar Grafika, 2001), hal. 12.

57 Evi Hartanti, Op. Cit, hal. 1.

Hukum menetapkan apa yang harus dilakukan dan atau apa yang boleh dilakukan serta yang dilarang. Sasaran hukum yang hendak dituju bukan saja orang-orang yang nyata-nyata berbuat melawan hukum. Melainkan juga perbuatan hukum yang mungkin akan terjadi dan kepada alat perlengkapan negara untuk bertindak menurut hukum. Sistem bekerjanya hukum yang demikian merupakan salah satu bentuk penegakan hukum.

(44)

Korupsi itu merupakan kejahatan yang luar biasa (Extra Ordinary Crime), maka upaya pemberantasannyapun seyogyanya bersifat luar biasa (Extra Ordinary Measures).58. Hal ini bertujuan agar hukum mampu berperan dalam menciptakan kontrol aktifitas negara, karena kejahatan merupakan yang sistematik/ struktural/

terorganisir yang berkaitan dengan kekuasaan.59

Made Darma Weda berpendapat sebagai berikut :60

Menurut Barda Nawawi Arif :

Upaya penegakan hukum, walaupun tujuannya sangat mulia namun sangat intens dengan keadaan-keadaan yang kontradiktif. Dimana keadaan-keadaan tersebut dapat membawa dampak ke arah dehumanisasi hukum yang sangat kontra produktif dengan upaya pembangunan manusia seutuhnya yang sedang digalakkan pemerintah saat ini. Pemahaman terhadap ketentuan hukum merupakan syarat mutlak bagi para penegak hukum.

61

1. Ada keterpaduan (integralitas) antara politik kriminal dan politik sosial;

Penegakan hukum sebagai upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan, yaitu :

2.Ada keterpaduan (integralitas) antara upaya penanggulangan kejahatan dengan penal dan non penal.

Dalam kebijakan peradilan pidana untuk penanggulangan tindak pidana korupsi, saksi menempati posisi kunci. Menurut Surastini Fitriasih :62

Sebagai alat bukti utama, tentu dampaknya sangat terasa bila dalam suatu perkara tidak diperoleh saksi. Pentingnya kedudukan saksi dalam proses peradilan pidana telah dimulai sejak awal proses pidana. Harus diakui bahwa

58 Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Normatif, Teoritis, Praktik dan Masalahnya, (Bandung, PT. Alumni, 2007), hal 7.

59 Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum, (Bandung, CV. Mandar Maju, 2001), hal. 131.

60 Made Darma Weda, Kronik dalam Penegakan Hukum Pidana, (Jakarta, Guna Widya, 1999), hal 23.

61 Barda Nawawi Arif , Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1996) , hal 4.

62 Surastini Fitriasih, Op. Cit.

(45)

terungkapnya kasus pelanggaran hukum sebagian besar berdasarkan informasi dari masyarakat. Begitu pula dalam proses selanjutnya, ditingkat Kejaksaan sampai pada akhirnya di Pengadilan, keterangan saksi sebagai alat bukti utama menjadi acuan hakim dalam memutus bersalah atau tidaknya terdakwa.

Saksi jelas merupakan salah satu pihak yang berkepentingan dalam sistem peradilan pidana. Menurut Surastini Fitriasih :63

Pada umumnya saksi dalam kasus tindak pidana korupsi biasanya takut untuk memberikan kesaksiannya karena belum ada terdapat instrument hukum yaitu berupa perlindungan saksi yang memadai dalam perundang-undangan kita. Menurut Dominggus Silaban :

Dalam negara hukum yang menjunjung tinggi asas equality before the law, para saksi pun mempunyai hak untuk mendapat perlindungan sebagaimana halnya tersangka/terdakwa. Kontribusi saksi dalam proses peradilan pidana, selayaknya mendapatkan jaminan agar kesaksian mereka dapat diberikan dengan baik sehingga diharapkan peradilan pidana dapat dijalankan dengan layak untuk mewujudkan keadilan yang bersifat prosedural maupun substantif.

64

Posisi saksi yang demikian penting ini nampaknya sangat jauh dari perhatian masyarakat maupun penegak hukum.

Secara signifikan kita semua maklum bahwa para pelaku tindak pidana korupsi, terutama dalam kasus-kasus korupsi besar (big corruption) biasanya dilakukan oleh beberapa orang atau oleh orang-orang yang berpengaruh baik karena kekuasaannya (powers) maupun kemampuan finansialnya di dalam masyarakat.

65

63 Ibid.

64 http;//www. Blog-hukum.com (Dominggus Silaban), loc. Cit.

65 Ibid.

Dilihat dari KUHP, kedudukan saksi berada dalam posisi yang lemah. Dalam rangka mewujudkan peradilan pidana yang jujur

Referensi

Dokumen terkait

Haswandi : Tanggung Jawab Pelaku Tindak Pidana Korupsi Atau Ahli Warisnya Ditinjau Dari Aspek Hukum…, 2001 USU Repository © 2008... Haswandi : Tanggung Jawab Pelaku Tindak

Perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana perdagangan orang dapat diwujudkan dalam bentuk pemberian hak restitusi yang harus diberikan oleh pelaku tindak pidana

Perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana perdagangan orang dapat diwujudkan dalam bentuk pemberian hak restitusi yang harus diberikan oleh pelaku tindak pidana

Korban tindak pidana yang ditetapkan dalam keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Restitusi yang dimaksud berupa ganti kerugian atas kehilangan

Sama halnya dengan kompensasi, restitusi sebagai salah satu bentuk perolehan hak bagi korban yang diberikan pelaku tindak pidana ditindak lanjuti oleh lembaga yang berwenang akan itu

Kata Kunci: Perlindungan, Hak-Hak Korban Terorisme, UU No 31 Tahun 2014 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tanggung jawab pidana terhadap pelaku tindak pidana terorisme dalam

Pemberian Restitusi dan Kompensasi Penjelasan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 memberikan pengertian kompensasi, yaitu ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku

pelaku tindak pidana dinyatakan bersalah berdasarkan putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan pelaku tindak pidana dan/ atau Pihak Ketiga menitipkan uang restitusi di