• Tidak ada hasil yang ditemukan

UJIAN TENGAH SEMESTER: Victimologi

N/A
N/A
syarifah hasna

Academic year: 2024

Membagikan "UJIAN TENGAH SEMESTER: Victimologi"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

UJIAN TENGAH SEMESTER

Nama: Hafiz akbar Ritonga Npm: 2120010017

Mata Kuliah: Victimologi

Dosen: Prof. Dr Ediwarman, SH. M.Hum

1. a. Buatlah analisis Saudara mengenai faktor-faktor penyebab timbulnya korban.

b. Bagaimana kebijakan hukum pidana mengenai korban kejahatan yang bersifat konvensional, uraikan berikut dengan contoh.

2. a. Bagaimana sistem pemidanaan dalam konsep RUU KUHP mengenai perlindungan hukum terhadap korban.

b. Coba Saudara jelaskan bagaimana secara kongkrit mengenai The Prosedural Right Model

dan The Service Model dalam pengaturan hukum pidana mengenai korban kejahatan.

3. a. Buatlah analisis Saudara mengenai sistem pemberian restitusi dan kompensasi terhadap korban kejahatan pembunuhan.

b. Bagaimana menurut Saudara paradigma dalam mempelajari kejahatan.

4. a. Buatlah analisis Saudara mengenai keadilan terhadap korban dan jelaskan jenis keadilan apa yang idealnya dalam perlindungan hukum terhadap korban.

b. Buatlah analisis Saudara mengenai teori-teori perlindungan hukum terhadap korban.

5. a. Buatlah analisis Saudara mengenai bentuk-bentuk perlindungan hukum terhadap korban kejahatan. b. Coba Saudara jelaskan tujuan perlindungan hukum bagi korban dan bagaimana menurut hukum jika

pelaku kejahatan tidak mampu membayar ganti rugi kepada korban, apa yang menjadi landasan

hukumnya.

(2)

1. a. faktor-faktor penyebab timbulnya korban

- Penyimpangan Perilaku Hukum (Deviation Behavior of Law).

- Disintegrasi dari Peraturan Hukum (Disintegration of Rules of Law).

- Faktor Politik, Ekonomi, Sosbud, dan Kamtib (Political, Economic, Social and Cultural, Security and Other Factors).

D

i s i n te gr a s i d a r i P e r a t u r a n H ukum ( D i s i n te g r a ti on Rof u le s of L aw ) . 1. Keabsahan Cenderung Goyah (the legality tends to be shaky).

2. Efektifitas Hukum yang Lemah (the law effectivity which is weak).

3. Bobot Hukum yang Merosot (the quality of law which decreases).

Faktor Politik, Ekonomi, Sosbud, dan Kamtib (Political, Economic, Social and Cultural, Security and Order Factors).

Faktor yang menyebabkan timbulnya korban antara lain : 1. Faktor Politik (political factor).

2. Faktor Ekonomi (economic factor).

3. Faktor Sosbud (social and cultural factor) . 4. Faktor Kamtib (security and order factor).

Separovic mengemukakan beberapa faktor penyebab terjadinya korban (Victim) :

✓ F a k t or P e r s on a l , termasuk keadaan biologis (usia, jenis kelamin, keadaan mental) dan psikologis (agresivitas, kecerobohan, dan keterasingan).

✓ F a k t or S o s ia l , misalnya imigran, kelompok minoritas, pekerjaan perilaku jahat dan hubungan antar pribadi.

Faktor Situas iona l, misalnya situasi komplik, tempat dan waktu

b. Korban tindak pidana perkosaan selain mengalami penderitaan secara fisik juga mengalami penderitaan secara psikis yang membutuhkan waktu lama untuk memulihkannya. Mengingat penderitaan yang dialami korban tindak pidana perkosaan tidak ringan dan membutuhkan waktu yang tidak singkat untuk bisa memulihkannya, maka aparat penegak hukum berkewajiban memberikan perlindungan terhadap korban tindak pidana perkosaan yang diimplementasikan dalam peraturan perundang- undangan sebagai produk hukum yang memihak korban.

Dalam konteks perlindungan terhadap korban kejahatan, adanya upaya preventif maupun represif yang dilakukan, baik oleh masyarakat maupun pemerintah (melalui aparat penegak hukumnya), seperti pemberian perlindungan/pengawasan dari berbagai ancaman yang dapat membahayakan nyawa korban, pemberian bantuan medis, maupun hukum secara memadai, proses pemeriksaan dan peradilan

2. a. Dalam RUU KUHAP hak-hak tersebut sudah sebagian diatur, yakni hak atas penerjemah dalam pasal 167 RUU KUHAP, hak penggantian biaya di pasal 223 RUU KUHAP dan hak bebas dari pertanyaan menjerat dalam pasal 155 RUU KUHAP, sehingga lembaga- lembaga lainnya yang terkait dengan sistem peradilan pidana juga berperan secara konsisten dalam pemenuhan hak ini. Intinya hak-hak tersebut tidak mesti di mohonkan melalui LPSK, namun juga dapat di akses oleh saksi korban yang berperan dalam peradilan Pidana kepada Penyidik, Penuntut Umum maupun Pengadilan. Oleh karena perlu memasukkan ketentuan hak- hak saksi korban secara lebih memadai dalam RUU KUHAP dengan menambahkan ketentuan hak-hak saksi untuk:

a. mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;

b. mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;

(3)

c. mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;

d. mendapat nasihat hukum;

e. berpartisipasi dalam peradilan

b. Pengaturan terhadap perlindungan korban dapat menggunakan model hak-hak prosedural (The Procedural Rights Model) dan model pelayanan (The Services Model).

Model hak-hak prosedural (The Procedural Rights Model) memberikan kemungkinan kepada korban untuk dilibatkan dalam setiap tahapan proses peradilan. Dalam model ini, korban dapat diberikan hak untuk melakukan penuntutan pidana atau membantu kejaksaan untuk dihadirkan dalam setiap tingkat peradilan yang kepentingannya terkait, termasuk hak untuk mengadakan perdamaian.

Sedangkan model pelayanan (The Services Model) menekankan pada pemberian kompensasi sebagai sanksi pidana yang bersifat restitutif dan dampak-dampak pernyataan korban sebelum pidana dijatuhkan. Menurut Stephen Schafer, terdapat lima sistem pemberian restitusi dan kompensasi terhadap korban kejahatan, yaitu:

1. Ganti kerugian bersifat keperdataan yang diberikan melalui proses perdata 2. Kompensasi bersifat keperdataan yang diberikan melalui proses pidana.

3. Restitusi bersifat keperdataan dan bercampur dengan sifat pidana yang diberikan melalui proses pidana. Salah satubentuk restitus ini misalnya denda kompensasi (compensatoryfinel Denda ini merupakan kewajiban yang dikenakan kepada terp dana sebagai suatu bentuk pemberian ganti kerugian kepada korban di samping pidana lain yang seharusnya dikenakan

4. Kompensasi bersifat keperdataan yang diberikan melalui proses pidana dan disokong oleh negara. Kompensasi ini meskipun diberikan melalui proses pidana, namun tetap menapakan lembaga keperdataan murni tetapi negara yang menanggung ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku.

5. Kompensasi bersifat netral yang diberikan melalui prosedur khusus. Sistem ini diterapkan dalam hal korban memerlukan ganti kerugian namun pelaku tidak mampu membayar ganti kerugian tersebut.

3. a. Restitusi adalah suatu tindakan pemulihan; pemulihan segalanya kepada pemiliknya yang sah; tindakan bagaimana membuat kebaikan atau memberikan yang sepadan atas tiap kerugian, kerusakan, luka-luka atau derita, dan pemberian ganti rugi (Hutauruk, 2013). Kompensasi adalah ganti kerugian oleh pihak pemerintah.

Perlindungan hukum terhadap hak-hak korban tindak pidana perlu dilaksanakan secara terpadu dan menyeluruh dengan memperhatikan asas Perlindungan Saksi dan Korban yaitu: penghargaan atas harkat dan martabat manusia; rasa aman;

keadilan; tidak diskriminatif; dan kepastian hukum. Pemerintah perlu melakukan pemantauan, evaluasi dan pelaporan terhadap pelaksanaan peraturan perundang- undangan yang telah diberlakukan termasuk pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelaksanaan pemberian kompensasi, restitusi dan bantuan terhadap korban tindak pidana sebagai

(4)

bagian dari pemenuhan perlindungan terhadap hak-hak korban tindak pidana.

Mekanisme pemberian kompensasi dan restitusi terhadap korban tindak pidana memerlukan peningkatan kinerja dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban sesuai kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang- undangan. Diharapkan LPSK dapat menjalankan kewenangannya sesuai dengan prosedur pemberian kompensasi, restitusi dan bantuan termasuk memperpanjang atau menghentikan pemberian bantuan setelah mendengarkan keterangan dokter, psikiater, atau psikolog. Pemberian kompensasi dan restitusi hendaknya dupayakan setelah semua dokumen yang diperlukan memenuhi persyaratan dengan memperahtikan rasa keadilan; tidak diskriminatif; dan kepastian hukum bagi korban tindak pidana.

b. Perspektif adalah susunan pengertian-pengertian atau makna secara sistematis tentang objek dan kejadian, di mana perspektif ini mempengaruhi pengertian kita dalam melihat dunia dan masalah-masalah di dalamnya. Perspektif merupakan suatu sudut pandang kita dalam melihat realita yang ada sehingga perspektif memiliki cakupan ruang yang begitu luas. Dan dalam melihat realita ini, akan timbul suatu pertanyaan mengenai kebenaran dari realita tersebut. Oleh karena itu dibutuhkan suatu usaha untuk melakukan suatu penelusuran dan pencarian kebenaran (scientific inquiry).

Penelusuran dan pencarian kebenaran dari suatu realita yang memiliki sifat-sifat ilmiah ini akan membentuk suatu perangkat pengertian-pengertian yang disebut sebagai paradigma. Berbeda dengan perspektif, paradigma memiliki cakupan ruang yang lebih sempit dan lebih khusus yang dianggap sebagai hasil dari studi suatu kategori khusus gejala sosial (reaksi-reaksi sosial). Oleh karena itu, paradigma lebih bersifat mendalam dan lebih bersifat teknis tentang suatu gejala tertentu. Meskipun memiliki intisari yang berbeda, perspektif dan paradigma memiliki suatu persamaan dalam hal memperhatikan dan memelihara prinsipnya, yakni dasar-dasar yang akan mempengaruhi kesimpulan- kesimpulan yang akan ditarik dan penemuan baru yang akan dibuat. Keduanya sama- sama memiliki fokus perhatian dalam menentukan masalah dan pencarian solusi.

Pemahaman kita dalam kehidupan sehari-hari mengenai kejahatan dipengaruhi oleh perspektif-perspektif yang menerangkan sifat-sifat umum dari suatu organisasi kemasyarakatan, terutama dalam hal hubungan antara hukum dengan masyarakat. Dalam penelusuran dan pencarian kebenaran tentang kejahatan itu, seorang pakar kriminologi dipengaruhi oleh paradigma-paradigma yang memperinci fokus dan metode yang tepat bagi kriminologi, di mana penggunaan teori-teori kriminologi sebagai landasan harus dibarengi dengan pemahaman tentang perspektif dan paradigma yang mempengaruhinya.

Simecca dan Lee (dikutip daro Robert F. Mejer, 1977, p. 21) [3] memaparkan bahwa terdapat tiga perspektif dan paradigma tentang hubungan hukum dan organisasi kemasyarakatan. Tiga perspektif tersebut adalah Konsesus, Pluralis, dan Konflik. Tiga perspektif ini merupakan suatu keseimbangan yang bergerak dari konservatif menuju liberal dan akhirnya ke sebuah perspektif radikal. Selain itu terdapat tiga paradigma yang digunakan dalam memahami gejala-gejala (reaksi sosial), yaitu Paradigma Positivis, Interaksionis, dan Sosialis.

(5)

.

4. a. Restorative justice ini merupakan pendekatan dengan mengedepankan upaya menyelesaikan konflik dengan melibatkan korban, pelaku, keluarga, masyarakat, pekerja sosial, Balai Pemasyarakatan dan tentu penegak hukum. Penyelesaian dilakukan dengan dialog untuk menemukan keadilan bagi semua pihak, bukan saja bagi korban tetapi pelaku dan masyarakat. Penyelesaiannya dilakukan secara informal dan tentunya ada komitmen dari pelaku untuk tidak mengulangi tindak pidananya, dan membayar ganti kerugian atau tanpa membayar ganti kerugian atau ada komitmen lain atas kesepakatan bersama.

Restorative justice ini merupakan pendekatan untuk “menggantikan”

pendekatan retributive dan pendekatan rehabilitative. Pendekaan retributivesudah mulai banyak ditinggalkan karena dinilai tidak sesuai dengan dengan nilai-nilai kemanusiaan karena lebih menekankan pada efek jera dan balas dendam. Pendekatan ini masih melekat dalam-dalam di kalangan masyarakat kita, bahkan dikalangan pemerintah dan penegak hukum. Sementara itu pendekatan rehabilitative menekankan pada rehabilitasi atau perbaikan pada diri pelaku sehingga pelaku bertobat atau pulih dan tidak mengulangi lagi perbuatannya setelah mengikuti proses perbaikan ini di Lembaga Pemasyarakatan. Namun pendekatan ini pun tidak memberikan jalan keluar yang adil bagi korban serta ditemukan sejumlah fakta pelaku-pelaku yang residivis atau mengulangi lagi kejahatannya.

b. Sebelum membahas teori perlindungan hukum menurut para ahli, penting untuk diketahui bahwa perlindungan hukum dapat diartikan dengan upaya melindungi yang dilakukan pemerintah atau penguasa dengan sejumlah peraturan yang ada. Dengan kata lain, perlindungan hukum adalah realisasi dari fungsi hukum dalam memberikan perlindungan.

Dalam mendefinisikan perlindungan hukum para ahli memiliki pandangan yang

berbeda. Berikut lima teori perlindungan hukum menurut para ahli. Diungkapkan Hadjon, perlindungan hukum adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subjek hukum

berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan. Lebih lanjut, Hadjon mengklasifikasikan dua bentuk perlindungan hukum bagi rakyat berdasarkan sarananya, yakni perlindungan preventif dan represif.

Arti perlindungan preventif adalah rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan pendapatnya sebelum keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif untuk mencegah terjadinya sengketa.Kemudian, perlindungan represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Perlindungan hukum adalah suatu jaminan yang diberikan oleh negara kepada semua pihak untuk dapat melaksanakan hak dan kepentingan hukum yang dimilikinya dalam kapasitas sebagai subjek hukum.

5. a. Secara teoritis, bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan dapat diberikan dalam berbagai cara, bergantung pada penderitaan/kerugian yang di derita oleh korban. Sebagai contoh, untuk kerugian yang sifatnya mental/psikis tentunya bentuk ganti rugi dalam bentuk bukan materi/uang tidaklah memadai apabila tidak disertai dengan upaya pemulihan mental korban. Sebaliknya, apabila korban hanya menderita kerugian secara materiil (seperti, harta bendanya hilang) pelayanan yang sifatnya psikis terkesan terlalu berlebihan. Oleh karena itu, dengan mengacu pada beberapa kasus kejahatan yang pernah terjadi, ada beberapa

(6)

bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan yang lazim diberikan, antara lain sebagai berikut:

1. Pemberian Restitusi dan Kompensasi

Penjelasan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 memberikan pengertian kompensasi, yaitu ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya, sedangkan restitusi, yaitu: ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga. Restitusi dapat berupa:

a. Pengembalian harta milik;

b. Pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan; atau c. Penggantian biaya untuk tindakan tertentu.

Sampai sekarang di Indonesia belum ada suatu lembaga yang secara khusus menangani masalah pemberian kompensasi terhadap korban kejahatan, seperti yang dilakukan di beberapa negara maju.

2. Konseling

Pada umumnya perlindungan ini diberikan kepada korban sebagai akibat munculnya dampak negatif yang sifatnya psikis dari suatu tindak pidana. Pemberian bantuan dalam bentuk konseling sangat cocok diberikan kepada korban kejahatan yang menyisakan trauma berkepanjangan, seperti pada kasus-kasus menyangkut kesusilaan.Sebagai contoh dalam kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga atau kasus pemerkosaan yang menimbulkan trauma berkepanjangan pada korban, umumnya korban menderita secara fisik, mental, dan sosial. Selain menderita secara fisik, korban juga mengalami tekanan secara batin misalnya karena merasa dirinya kotor, berdosa, dan tidak punya masa depan lagi. Lebih parah lagi, sering kali ditemukan korban perkosaan memperoleh pengucilan dari masyarakat karena dianggap membawa aib bagi keluarga dan masyarakat sekitarnya. Dengan memerhatikan kondisi korban seperti di atas, tentunya bentuk penampingan atau bantuan (konseling) yang sifatnya psikis relatif lebih cocok diberikan kepada korban daripada hanya ganti kerugian dalam bentuk uang.

b. Peraturan tentang restitusi yang terdapat dalam 7 undang-undang tidak banyak berperan dalam memenuhi hak-hak korban. Restitusi yang diatur dalam undang-undang tersebut tidak memberikan jaminan yang utuh bahwa korban dapat menerima restitusi pasca putusan pengadilan. Hal ini disebabkan karena lemahnya upaya paksa yang dijatuhkan pada terpidana jika tidak memenuhi restitusi. Bahkan ada undang-undang yang sama sekali tidak mengatur jika terpidana tidak melaksanakan kewajiban restitusi pasca diputuskan oleh pengadilan. Hanya Undang-Undang No. 21/2007 yang memiliki upaya paksa, sementara undang-undang lain tidak memberikan upaya paksa jika terpidana tidak mau membayar restitusi. Upaya paksa yang diberikan oleh UU No. 21/2007 jika terpidana tidak memenuhi kewajiban restitusi adalah JPU menyita harta benda milik terpidana dan menjualnya yang hasilnya diserahkan kepada korban atau keluarga korban atau ahli warisnya. Apabila terpidana tidak mampu

(7)

membayar karena ketiadaa harta yang bisa disita maka diganti dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 tahun penjara. Sementara itu, dalam UU No. 11/2012, ditegaskan bahwa jika pelaku tindak pidana mengingkari pembayaran ganti kerugian yang sudah disepakati dalam proses diversi, maka pengingkaran tersebut membawa konsekwensi kasus tersebut akan dilanjutkan dengan menggunakan sistem peradilan pidana.

Jika dibandingkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maka, restitusi sudah dimasukkan sebagai salah satu jenis hukuman yaitu dimasukkan dalam pidana tambahan yang diatur dalam Pasal 70-72. Dalam Pasal 70 disebutkan bahwa pidana terdiri dari pidana pokok, pidana tambahan dan pidana yang bersifat khusus. Dalam Pasal 72 disebutkan bahwa salah satu jenis pidana tambahan adalah ganti kerugian. Dengan demikian jelas, KUHP telah memasukkan salah satu jenis pidana adalah ganti kerugian atau yang lebih dikenal dengan restitusi. Bunyi lengkap ketiga pasal yang disebutkan di atas sebagai berikut

:

Pasal 70

Pidana terdiri atas:

1. pidana pokok;

2. pidana tambahan; dan

3. pidana yang bersifat khusus untuk Tindak Pidana tertentu yang ditentukan dalam

Undang-Undang.

Pasal 71

(1) Pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 huruf a terdiri atas:

1. pidana penjara;

2. pidana tutupan;

3. pidana pengawasan;

4. pidana denda; dan 5. pidana kerja sosial.

(2) Urutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menentukan berat atau ringannya pidana.

Pasal 72

(1) Pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 huruf b yang dapat dijatuhkan kepada pembuat terdiri atas:

1. pencabutan hak tertentu;

2. perampasan Barang tertentu dan/atau tagihan;

3. pengumuman putusan hakim;

4. pembayaran ganti rugi;

5. pencabutan izin tertentu; dan

6. pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat.

(2) Pidana tambahan untuk percobaan dan pembantuan adalah sama dengan pidana tambahan untuk Tindak Pidananya.

(3) Pidana tambahan bagi Anggota Tentara Nasional Indonesia yang melakukan Tindak Pidana dalam perkara koneksitas dikenakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi Tentara Nasional Indonesia.

(8)

Namun demikian bukan berarti ketentuan tentang ganti kerugian ini bukan tidak ada masalah.

Ganti kerugian sebagai salah satu jenis sanksi pidana yang dianut dalam R-KUHP tidak memberikan penjelasan lebih lanjut soal besaranya. Berbeda halnya dengan pidana denda, R- KUHP memberikan pengaturan yang sangat rinci, termasuk konsekwensi jika tidak membayar denda.

(9)

Referensi

Dokumen terkait

Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tidak ditentukan sanksi bila pelaksanaan putusan pemberian kompensasi dan/atau restitusi tidak dilakukan, sebab

laundry ,kerugian konsumen akibat kelalaian pelaku usaha jasa laundry .Bentuk tanggung jawab pelaku usaha pada konsumen adalah dengan memberikan kompensasi atau ganti rugi

Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tidak ditentukan sanksi bila pelaksanaan putusan pemberian kompensasi dan/atau restitusi tidak dilakukan, sebab

laundry ,kerugian konsumen akibat kelalaian pelaku usaha jasa laundry .Bentuk tanggung jawab pelaku usaha pada konsumen adalah dengan memberikan kompensasi atau ganti rugi

Pasal 28 : (1) Masyarakat adat memiliki hak untuk mendapatkan ganti kerugian, dengan cara-cara termasuk restitusi atau, jika ini tidak memungkinkan, kompensasi yang layak dan

laundry ,kerugian konsumen akibat kelalaian pelaku usaha jasa laundry .Bentuk tanggung jawab pelaku usaha pada konsumen adalah dengan memberikan kompensasi atau ganti rugi

Beberapa hak korban kejahatan, yaitu: (1) Hak untuk memperoleh ganti kerugian atas penderitaan yang dialaminya; Pemberian ganti kerugian ini dapat diberikan oleh pelaku atau

Restitusi merupakan hak korban yang harus diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku, dapat berupa harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan dan penderitaan atau