• Tidak ada hasil yang ditemukan

Urgensi pemberantasan tindak pidana korupsi

Dalam dokumen DAVID SUDARSONO /HK (Halaman 62-72)

BAB I PENDAHULUAN

B. Kedudukan Saksi Pelapor Tindak Pidana Korupsi Dalam

1. Urgensi pemberantasan tindak pidana korupsi

Keberadaan Inpres Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi di Indonesia, telah mendorong berbagai insiatif-inisiatif di lingkungan Pemerintahan Pusat sampai ke daerah. Melalui Inpres ini, Presiden Republik Indonesia mengamanatkan untuk melakukan langkah-langkah upaya strategis dalam rangka mempercepat pemberantasan korupsi, salah satunya dengan menyusun Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN-PK 2004-2009).108 Dokumen RAN-PK 2004-2009 menekankan kepada upaya pencegahan, penindakan, upaya pencegahan dan penindakan korupsi dalam rehabilitasi dan rekonstruksi Daerah Istimewa Aceh dan Sumatera Utara, serta pedoman pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan RAN PK. Dengan demikian, RAN-PK diharapkan menjadi acuan dalam upaya pemberantasan korupsi bagi setiap lini pemerintahan di tingkat Pusat dan Daerah.109

Perkembangan yang menarik berkaitan dengan upaya pencegahan korupsi di Indonesia, terjadi baik pada tingkat kebijakan pemerintah, pembentukan dan konsolidasi kelembagaan hingga kian kritisnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya pemberantasan korupsi. Kebijakan pemerintah dimaksud tidak hanya telah dirumuskan dalam Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi tetapi juga

108 www.muhammad-yusuf, Urgensi Perlunya Memberikan Perlindungan Terhadap Saksi, diakses pada tanggal 29 Juni 2011. Beliau adalah seorang Ketua Kejaksaan Negeri Bogor.

109 Ibid.

beberapa daerah telah mengembangkan Rencana Aksi Daerah Pemberantasan Korupsi, dan mempelopori usaha-usaha mengembangkan kebijakan inovatif yang terbukti mampu mencegah praktik korupsi di dalam birokrasi pemerintahan. Di sejumlah kota dan kabupaten, ada inovasi lokal untuk mewujudkan Tata Pemerintahan yang Baik dalam bentuk pelayanan satu atap atau one stop service seperti dilakukan di Kota Surabaya, Kabupaten Sragen, maupun perbaikan pelayanan publik seperti di Kabupaten Jembrana Bali, Kabupaten Musi Banyuasin Sumsel dan lainnya.110

Namun, keberadaan RAN-PK yang seharusnya menjadi acuan dari seluruh instansi Pemerintah, pada tahun terakhir pelaksanaannya belum dapat diasumsikan telah dilaksanakan seluruhnya oleh Pemerintah Pusat yang terkait. Hal ini disebabkan karena upaya-upaya tersebut dilakukan secara terpisah-pisah, meskipun pada akhirnya masing-masing Kementerian / Lembaga telah bekerja dalam rangka pemenuhan butir-butir kegiatan sebagaimana isi RAN-PK 2004-2009.

111

Dengan diratifikasinya UNCAC oleh Republik Indonesia melalui UU No. 7 Tahun 2006, maka perlu dilakukan penyesuaian-penyesuaian kembali langkah-langkah strategis yang diperlukan dalam rangka pemberantasan korupsi di Indonesia.

Berbagai inisiatif yang ada seperti Strategi Pencegahan KPK, Gap Analysis UNCAC dan RAN-PK 2004-2009 perlu diperkaya dengan masukan-masukan berupa perkembangan dalam upaya pemberantasan korupsi pada umumnya maupun upaya

110 Ibid.

111 Ibid.

implementasi UNCAC pada khususnya, sehingga menghasilkan strategi pemberantasan korupsi yang lebih komprehensif yang dapat dijadikan sebagai acuan bagi seluruhnya.112 Strategi Nasional tersebut ditujukan untuk melanjutkan, mengkonsolidasi dan menyempurnakan berbagai upaya dan kebijakan pemberantasan korupsi agar mempunyai dampak yang konkrit bagi peningkatan kesejahteraan, keberlangsungan pembangunan berkelanjutan dan konsolidasi demokrasi. Strategi dimaksud harus dirumuskan melalui pelibatan aktif dari berbagai pemangku kepentingan, seperti masyarakat sipil dan kalangan dunia usaha, selain peran aktif dari pemerintahan. Berkenaan dengan itu, komitmen politik yang lebih kuat, strategi yang lebih sistematis dan komprehensif serta perumusan kebijakan yang lebih fokus dan konsolidatif untuk mendorong dan meningkatkan percepatan pemberantasan korupsi seyogianya harus senantiasa dilakukan oleh pemerintah dan para pemangku kepentingan lainnya.113

Menurut Lawrence M.Friedman kalau ingin lebih mengetahui soal penegakan hukum maka harus difahami benar soal sistem hukum yang dikemukakan terdapat tiga unsur, yaitu substansi, struktur dan kultur hukum.114

112 Ibid.

113 Ibid.

114 www.muhammad-yusuf, Urgensi Perlunya Memberikan Perlindungan Terhadap Saksi, diakses pada tanggal 29 Juni 2011.

Dalam upaya pemberantasan korupsi melalui tiga pendekatan ini.

a. Substansi Hukum

Substansi hukum mencakup aturan-aturan hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan. Memang luas makna hukum itu. Kalangan sarjana hukum sendiri masih belum tunggal kata soal apa makna hukum. Immanuel Kant: Jurists were still searching for a definition of law.115 Selain itu ada pula Herman Kantorowicz “a body of social rules prescribing external conduct and considered justicable…” Hukum dimaknai oleh The Macmilan Dictionary: The laws consist of body of rules that have been produced by legislation in Parliament (statute law), judicial decision (common law), and regulations made by the public service under the terms of Acts of Parliament.116

Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan arti hukum sebagai: 1.

Peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa, pemerintah, atau otoritas; 2. undang-undang, peraturan, dan sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat, 3. patokan (kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa tertentu, 4. Keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim; vonis.117

Keberadaan hukum yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi sangat penting sebab tidak mungkin suatu tindak pidana dapat dihukum

115 Ibid.

116 Ibid.

117 Departemen Penddidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar bahasa Indonesia, (Penerbit Balai Pustaka, Jakarta: 2004).

apabila tidak ada hukum yang mengaturnya. Sejumlah peraturan perundang-undangan yang terkait dengan upaya pemberantasan korupsi antara lain sebagai berikut:

1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negera yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme

3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

4. Peraturan Pemerintah Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

5. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

6. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

7. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang

b. Struktur Hukum

Struktur Hukum menurut Friedman dimaksudkan sebagai institusi-institusi penegakan hukum termasuk penegak hukumnya. Dalam kaitan dengan tindak

pidana korupsi berbagai upaya pemerintah telah dilakukan untuk memberantas tindak pidana korupsi baik institusi yang memang selama ini telah ada dalam sistem hukum Indonesia maupun terhadap lembaga yang dibentuk khusus bertujuan memberantas tindak pidana korupsi.118

e. melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

Sejak zaman kemerdekaan berbagai institusi hukum dibentuk khusus untuk memerangi korupsi. Diantaranya adalah tim pemberantasan korupsi yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 228 tahun 1967. Memang di antara beberapa lembaga yang dibentuk yang paling dikenal dalam era sekarang adalah KPK (Komisi Pemberantas Tindak Pidana Korupsi) yang dibentuk atas dasar Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002.

Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:

a. koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;

b. supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;

c. melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;

d. melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan

119

118www.muhammad-yusuf, Loc. Cit

119 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam melaksanakan tugas koordinasi, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang :

a. mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;

b. menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;

c. meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait;

d. melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan

e. meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.120

Masyarakat memiliki harapan yang besar terhadap keberadaan KPK yang terbukti dengan banyaknya pengaduan yang diajukan kepada lembaga ini.

Walaupun demikian tidak berarti masyarakat tidak beranggapan terdapat berbagai kekurangan terhadap lembaga ini. Beberapa kekurangan itu antara lain: sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki baik dari segi kuantitas maupun dari sisi kualitas. Kritik lainnya, lembaga ini hanya ada di Jakarta yang diharapkan mampu menangani perkara-perkara korupsi yang terdapat diseluruh Indonesia. Selain itu, ada sebagian masyarakat yang beranggapan KPK bersikap diskriminatif dalam

120 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

menangani perkara-perkara yang ada. Terakhir, masyarakat beranggapan KPK seringkali mengembalikan proses hukum tindak pidana korupsi kepada daerah.

Kelemahan-kelemahan ini dapat sebagai penghambat dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut.

c. Kultur Hukum

Kultur hukum dimaksudkan bagaimana cara berfikir dan cara bertindak baik dari aparat hukum ataupun dari masyarakat. Dalam kaitan dengan tindak pidana korupsi adalah bagaimana kultur (hukum) aparat dalam menangani tindak pidana korupsi. Apakah aparat hukum sendiri telah menjadikan hukum sebagai kultur mereka atau hanya sebatas retorika yang tidak menemukan ending.121

Cara berfikir aparat penegak hukum juga sangat berpengaruh terhadap berhasil tidaknya upaya kita memberantas tindak pidana korupsi. Aparat yang berfikir untuk mendapatkan keuntungan jangka pendek hanya memperuncing permasalahan dan semakin menyuburkan korupsi. Hal ini dikarenakan patut Apabila aparat telah menjadikan hukum sebagai kultur, sebagai budaya, sebagai pedoman hidup mereka maka kita akan mendapatkan aparat hukum yang tidak bersifat kompromi terhadap para pelanggar hukum, termasuk didalamnya para koruptor. Sebaliknya, sulit sekali memberantas tindak pidana korupsi apabila aparat hukum merupakan bagian dari mata rantai yang telah sedemikian bermasalahnya.

121 www.muhammad-yusuf, Urgensi Perlunya Memberikan Perlindungan Terhadap Saksi, diakses pada tanggal 29 Juni 2011.

diduga aparat itu akan bersedia melakukan kerjasama dengan para koruptor sepanjang mendatangkan keuntungan bagi dirinya.122

Cara berfikir dan cara bertindak dari aparat hukum dan masyarakat ini sangat menentukan corak pemberantasan tindak pidana korupsi suatu negara.

Menjadi tugas tidak ringan adalah bagaimana merubah pola fikir aparat dan masyarakat agar terhindar dari pemikiran bahwa ketika mereka tidak berlaku korup, maka orang lain yang akan melakukannya. Artinya, ada suatu pola fikir bahwa korup itu merupakan hal biasa. Memang terjadi kesenjangan antara pola fikir dengan pola tindak dalam urusan korupsi ini. Hasil penelitian lembaga Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia bahwa masyarakat umumnya menentang adanya praktek korupsi. Mereka menganggap korupsi

Cara berfikir dan bertindak masyarakat juga memberikan kontribusi besar terhadap berhasil tidaknya upaya memberantas tindak pidana korupsi. Sepanjang masyarakat berfikir apapun yang mereka lakukan tidak memberikan pengaruh terhadap upaya pemberantasan korupsi maka selama itu pula peran masyarakat tidak dapat diharapkan. Artinya, cara fikir demikian melahirkan sikap apatis dalam penegakan hukum dan dipertahankannya praktek-praktek kolaborasi ditengah masyarakat yang melahirkan tindakan-tindakan yang korup. Tindakan-tindakan korup itu dimulai dari hal-hal sederhana sampai kepada persoalan-persoalan serius.

122 wwww. artikel-hukum, Pentingnya Perlindungan Saksi, Pelapor Dan Korban Sunday, 16 January 2011 17:31 administrator Artikel

sebagai masalah sosial yang serius yang disamakan dengan ”penyakit yang harus diberantas.” Namun pada kenyataanya ketika ditanya apa yang akan mereka lakukan ketika menghadapi berbagai situasi korupsi yang kongkrit, mereka memandang ”korupsi sebagai sesuatu yang normal dan akan membayar.”123

Realitas penegakan hukum atas tindak pidana korupsi di Indonesia yang kerap menampilkan kesan tebang pilih dan juga parsial terbatas pada para pelaku delik dalam level kedudukan dan perbuatan yang sebenarnya hanya sebagai salah satu mata rantai kecil dalam lingkaran utuh kontruksi perbuatan sebagaimana limitasi delik yang sistemik, yang melibatkan aktor-aktor lainnya dalam level kedudukan dan perbuatan yang sesungguhnya memegang peranan yang lebih besar dalam keterwujudan delik tersebut, mau tidak mau berulang kali mengusik nurani keadilan bagi sebuah bangsa.124

Masalah keadilan dan letak keadilan tersebutlah yang secara intens diperdebatkan dalam realitas penegakan hukum (pemberantasan) tindak pidana korupsi di Indonesia yang cenderung dipandang tebang pilih dan parsial tersebut.

Klimaks dari perspektif penegakan hukum atas tindak pidana korupsi yang nir-keadilan tersebut seolah menjadi semakin nyata ketika perspektif umum dan awam dari masyarakat yang menilai penegakan hukum tersebut dalam arah dan esensi yang tebang pilih dan parsial, ternyata berbanding lurus dengan fakta-fakta (hukum) yang terungkap di persidangan yang kemudian secara integral

123 Ibid

124 Ibid.

terformulasikan dalam putusan pengadilan. Sebuah fakta sahih yang ternyata kemudian tidak kunjung mengarah juga pada terpenuhinya aspek keadilan secara komprehensif, yang sesungguhnya akan terealisasikan dengan utuh pada saat keseluruhan pelaku delik dalam sebuah konstruksi perbuatan yang notabene telah dikualifisir sebagai rumusan delik (korupsi) dalam putusan pengadilan terhadap

“salah seorang pelaku” yang telah diajukan dan didakwa di muka persidangan tersebut juga ikut diseret dan diadili di muka persidangan.

2. Peran saksi pelapor dalam tindak pidana korupsi

Dalam dokumen DAVID SUDARSONO /HK (Halaman 62-72)

Dokumen terkait