• Tidak ada hasil yang ditemukan

Asas-Asas Perlindungan Hukum

Dalam dokumen DAVID SUDARSONO /HK (Halaman 52-62)

BAB I PENDAHULUAN

A. Asas-Asas Perlindungan Hukum

Mengenai hal asas-asas perlindungan hukum saksi pelapor dalam tindak pidana korupsi dapat dilihat dari berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain:

1. Asas Retroaktif Menurut UU Nomor 39 Tahun 1999 dan UU Nomor 26 Tahun 2000

Masyarakat selalu mengalami perubahan" dan hukum selalu mengikuti perkembangan masyarakat. Dalam konteks yang demikian, hukum seharusnya tidak perlu tertinggal dengan perkembangan masyarakat. Akan tetapi kondisi yang tercipta adalah hukum selalu tertinggal dari perkembangan masyarakat sehingga peristiwa-peristiwa yang sebenamya merupakan perbualan melawan hukum tidak dapat diatasi hanya karena hukumnya tidak ada atau belum ada Kondisi ini tercipta karena hokum yang dikembangkan lebih ditekankan kepada hukum tertulis, yang pembuatan dan pemberlakuannya dilakukan melalui prosedur tertentu dan memakan waktu yang tidak pendek.82 Meningkatnya kualitas hidup, tercapainya tujuan kemasyarakatan dan kemanusiaan dan dampak negatif perkembangan dunia dapat berupa munculnya kejahatan yang mengancam kehidupan kemasyarakatan dan kemanusiaan.83

82 Agus Raharjo, Probrematika Asas Retroakif Dalam Hukum Pidana (Purwokerto:

Fakultas Hukum Universitas Jenderal Sudirman-2006), hal. l

83 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung Alumni, 1986), hal. 94

Romli Atmasasmita mengatakan bahwa asas-asas hukum dan norma-norma serta lembaga-lembaga pranata yang mendukung hukum pidana masih bersifat konservatif terlihat dari masih dipertahankannya tanpa kecuali asas legalitas , asas neb is in idem, asas non retroaktif dan asas kesalahan.84

Asas retroaktif sebenarnya akan berhenti jika aparat penegak hukum berpegang dan berpedoman pada ketentuan dalam Pasal 1 ayat (l) dan (2) KUHP,

Pemikiran ini menjadi lebih tajam jika dikaitkan dengan persoalan keadilan bagi para korban kejahatan, dalam konteks hukum akan mengabaikan salah satu fungsinya dengan membiarkan ketidakadilan bagi para korban dengan menguntungkan pelaku kejahatan.

Mengenai perkembangan salah satu konsekuensi dari asas fundamental dalam hukum pidana yang berkaitan dengan berlakunya hukum pidana secara surut berkaitan dengan asas retroaklif (berlaku surut) menjadi sangat penting untuk dikaji.

Salah satunya adalah karena adanya tuntutan korban terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di masa lalu yang menuntut keadilan terhadap pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida.

85

karena pasal tersebut membatasi pengertian retroaktif.86

84Romli Atmasasmita, “Pengaruh Konvensi Internasional Terhadap Perkembangan Asas-asas Hukum Pidana Nasional", Makalah yang disampaikan pada Seminar, Asas-asas Hukum Pidana Nasional, Kerjasama UNDIP dan BPHN DEPKEH HAM RI, padaa tanggal 26 April 2006, hal. l-2.

85R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politea, 1994), hal.27. Dalam Pasal 1 ayat (l) KUHP: ..Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang yang terdahulu dari pada perbuatan itu Dalam ayat (2) disebutkan: Jikalau undang-undang yang terdahulu dari pada perbuata itu dilakukan, maka kepada tersangka dikenakan ketentuan yang menguntungkan baginya

86 Budi Prastowo, Asas Non Retroaktivitus Dalam Perubahan Perundang-Undangan Pidana, artikel Artikel dalam Jurnal Hukum Pro Justitia, YoL 24, No- 2, Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Bandung, No. 20 X, hal. l7l-181

Barda Nawawi Arief,

memasukkannya dalam persoalan sumber hukum.87 Retroaktif berarti berlaku surut dan ini berarti berlaku untuk pembicaraan “ada”, yang berarti hokum transitoir atau tidak ada peraturan pidana sebelum perbuatan dilakukan.88

Persoalan retroaktif itu sendiri muncul sebagai konsekuensi diterapkannya asas legalitas.89

Berdasarkan praktik hukum pidana internasional, asas retroaktif diberlakukan terhadap beberapa peristiwa tertentu, yang pada akhirnya praktek ini mempengaruhi pembuatan ketentuan penyimpangan atau pengecualian dmi asas non retroaktif pada instrumen hukum intemasional.90 Mahkamah pidana Internasional Nuremberg Tahun 1946 dan Tokyo Tahun 1948 mengadili penjahat perang pada Perang Dunia II,91 Internatianal criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTR)92 dan International Crirninal Tribunal for Rwanda (ICTR)93

87 Barda Nawawi Ariel, Kapita Selekta Hukam Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hal.3 dan hal. 8

88 Ibid., hal. 5

89 J.E. Sahetapy, "Tanggapan Tertradap Pembaharuan Hukum Pidana Nasional", Artikel dalam Majalah Pro Justitia, Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Bandung, No. 3 Tahun VII Juli 1989, hal. 12

90 Pasal 15 ayat (2) ICCPR merupakan contoh dari praktek Mahkamah Pidana Internasional yang mempengaruhi isi pasal tersebut

91 Niken Savitri, “Pengaruh Mahkamah Pidana Intemasionat Ad Hoc Terhadap Pembentukan Intemational Criminal Court”, Artikel dalam Majalah Huhtm Pro Justitia, Tahun XVIII No. 3 Juli 2010, FH IINPA & Bandung, hal. 28-29- Mahkamah Nurcmberg Tahun 1946 merupakan Mahkamah Pidana Intemasional yang dibentuk berdasarkan Piagam London tanggal 8 Agustus 1945 sebagai upaya untuk menghindari kegagalan mengadili penjahat perang sebagaimana terjadi pada pingaditan penjahat perang pada Perang Dunia I.

92 Ari Siswanto, Yurisdiksi Material Mahkanah Kejahatan Internasional, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2005), hal. 4-6. ICTY merupakan Pengadilan Pidana Internasional ad hoc yang dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB melalui Resolusi No. 827/1993 untuk mengadili pemimpin Serbia Slobodan Milosevic yang didakwa telah melakukan genoside terhadap etnik yang mendiami wilayah Slovenia,-Kroasia, Bosnia Herzegovina dan Kosovo.

merupakan contoh penerapan asas retroaktif.

93 Ibid., hal. G8. ICTR merupakan Pengadilan Pidana Internasional Ad hoc yang dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB pada Tahun 1994 untuk mengadili pelaku genoside di Rwanda Suku Hutu

Dalam sejarah dan praktik perkembangair hukum pidana di Indonesia, asas retroaktif masih tetap eksis meskipun terbatas hanya pada tindak pidana tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa dasar pikiran pelarangan pemberlakuan asas retroaktif sebagaimana tersebut di atas relatifdan terbuka untuk diperdebatkan, apalagi dengan adanya berbagai perkembangan jaman menuntut peranan hukum, khususnya hukum pidana semakin diperluas. Selain itu, pemberlakuan asas retroaktif juga menunjukkan kekuatan asas legalitas besertra konsekuensinya telah dilemahkan dengan sendirinya.

2. Asas Persamaan Kedudukan di Hadapan Hukum

Negara Indonesia menjunjung tinggi HAM yang menjamin segala hak warga negara bersamaan kedudukannya dihadapan hukum dan pemerintahan.94 Suatu negara hukum menurut Sri Soemantri, harus memenuhi unsur-unsur seperti: Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar pada hukum atau peraturan perundang-undangan; Adanya jaminan terhadap HAM warga negara;

Adanya pembagian kekuasaan dalam negara; Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan.95

Dihubungkan dengan pernyataan di atas, terutama “Adanya jaminan terhadap HAM warga negara", maka dapat disimpulkan bahwa dalam setiap konstitusi suatu negara hukum haruslah ditemukan adanya jaminan terhadap HAM khususnya untuk

yang mayoritas berupaya untuk melenyapkan suku Tutsi yang minoritas. Konflik ini telah berlangsung lama terhitung sejak Tahun 1959 hingga terbentuknya ICTR

94Pasal 27 ayat (l) UUD 1945 ditegaskan: "segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintaban dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya (amandemen kedua).

95 Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara, (Bandung: Alumni, 1992), ha1.29

warga negaranya sendiri. HAM itu sendiri meliputi beragam aspek kehidupan manusia mulai dari hak dalam bidang politik, hak untuk hidup, hak tentang kebebasan berbicara" hak dalam bidang hukum dan lain-lain. Dalam negara hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu tanpa membedakan latar belakangnya sehingga semua orang memiliki hak untuk diperlakukan sama di hadapan hukum (equality before the law).

Asas persamaan di hadapan hukum merupakan asas yang sangat penting dalam proses peradilan pidana. Dalam proses peradilan pidana di Indonesia hakim harus bersikap tidak memihak. Dalam sistim "saling berhadapan", pihak terdakwa yang didampingi pengacaranya sedangkan di pihak lain terdapat penuntut umum yang bertindak atas nama negara. Selain penuntut umum, ada pula pihak kepolisian yang memberikan data tentang hasil penyidikan (sebelum pemeriksaan hakim).96

saling tumpang tindih apabila penegak hukum menerapkan asas persamaan di hadapan hukum.

selain itu, terdapat saksi-saksi, baik yang memberatkan maupun yang meringankan terdakwa.

Asas persamaan di hadapan hukum dalam penyidikan dan pemeriksaan di muka sidang pengadilan dapat memberikan jaminan kepastian hukum untuk melindungi, baik kepentingan negara maupun kepentingan terdakwa serta korban. H.

Soeharto, mengatakan, Individu memiliki kepentingan yang berbeda dalam masyarakat akan tetapi dalam konteks asas persamaan kedudukan di hadapan hukum, masing-masing kepentingan dan keinginan dapat berjalan secara harmonis tanpa perlu

97

96 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sapta Artha Jaya 1996), hal. 63

KUHAP telah merumuskan sejumlah hak bagi terdakwa yang melindunginya dari berbagai kemungkinan pelanggaran HAM sebagaimana diatur dalam Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 KUHAP. Sedangkan perhatian terhadap korban tindak pidana tampak dari pengaturan dari KUHAP yang merumuskan hak-hak korban dalam Pasal 93 sampai dengan Pasal 101 KUHAP. Perumusan sejumlah hak dalam KUHAP tersebut, menurut Soeharto, kepedulian kepada tersangka/terdakwa sedemikian tingginya sehingga menimbulkan persepsi bahwa “the pendulum has swung too far” maksudnya perlindungan itu telah berayun atau berjarak terlalu jauh.

Oleh karena itu, harus diperhatikan pihak-pihak yang terlibat dalam proses peradilan pidana terutama saksi dan korban. Termasuk saksi korban dengan bersandarkan pada asas persamaan di hadapan hukum (equalitiy before the law) yang menjadi salah satu prasyarat dalam suatu negara hukum. Sudah sewajarnya jika saksi dan korban dalam proses peradilan pidana diberi perangkat hukum untuk menjamin perlindungan hak-haknya oleh Negara.98

Persamaan dihadapan hukum atau equality before the law adalah salah satu asas terpenting dalam hukum modem. Asas ini menjadi salah satu sendi doktrin Rule of Law yang juga menyebar pada negara-negara berkembang seperti Indonesia.

Perundang-undangan Indonesia mengadopsi asas ini sejak masa kolonial lewat Burgelijlre Wetboek (KUHPerdata) dan Wetboek van Koophandel voor Indonesie (KUH Dagang) pada 30 April 1847 melalui Stb. 1847 No. 23 tetapi pada masa

97 H. Soeharto, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, dan Korban Tindak Pidana Terorisme Dalam Sistim Peradilan Pidana Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2007), hal. l2.

98 Ibid., hal. 13.

kolonial itu, asas ini tidak sepenuhnya diterapkan karena politik pluralisme hukum yang memberi ruang berbeda bagi hukum Islam dan hukum adat disamping hukum kolonial.99

Asas persamaan dihadapan hukum bergerak dalam payung hukum yang berlaku umum (general) dan tunggal. Ketunggalan hukum itu menjadi satu wajah utuh di antara dimensi sosial lain (misalkan terhadap ekonomi dan sosial). Persamaan

"hanya" di hadapan hukum seakan memberikan sinyal di dalamnya bahwa secara sosial dan ekonomi orang boleh tidak mendapatkan persamaan. Perbedaan perlakuan

"persamaan" antara di dalam wilayah hukum, wilayah sosial dan wilayah ekonomi itulah yang menjadikan asas persamaan dihadapan hukum tergerus ditengah dinamika sosial dan ekonomi.100

Sebagai dasar filosofi asas persamaan kedudukan di hadapan hukum, dinyatakan bahwa manusia diciptakan oleh Sang Pencipta dilengkapi dengan hak-haknya. Oleh karena itu hak-hak tersebut melekat kepada jati diri manusia sebagai hak yang sangat mendasar atau asasi yang dikenal dalam istilah saat ini adalah HAM.

Sebagai manifestasi dari hak-hak yang sama ialah asas persamaan kedudukan di hadapan hukum (equalitiy before the law) dan juga termasuk asas praduga tidak bersalah (persumption of innocence). Persamaan di hadapan hukum harus diartikan secara dinamis dan tidak diartikan secara statis. Artinya kalau ada persamaan di hadapan hukum bagi semua orang maka harus diimbangi juga dengan persamaan

99 Ibid

100 http: //yancearizonawordpress.conr / 2008 / 05 / 13 / penamaan – dihadapan - hukum /, diakses tanggal 05 Agustus 2011.

perlakuan (equal treatment) bagi semua orang. Jika ada dua orang atau lebih yang berperkara atau bersengketa" maka bagi aparat penegak hukum, harus memperlakukan sama di antara pihak-pihak yang berperkara tersebut.101

Persamaan di hadapan hukum diartikan secara dinamis, memberikan jaminan adanya akses untuk memperoleh keadilan (access to justice) bagi semua orang tanpa memperdulikan latar belakangnya. Perolehan pembelaan dari seorang advokat untuk memperoleh bantuan hukum adalah hak asasi manusia yang sangat mendasar bagi setiap orang dan oleh karena itu merupakan salah satu syarat untuk memperoleh keadilan bagi semua orang (justice for all).102

Menurut Yesmil Anwar dan Adang ada sepuluh asas dalam sistim peradilan pidana di Indonesia berdasarkan KUHAP. Asas-asas tersebut adalah:103

101 H. Soeharto, Op. Cit., hal. 13-14

102 Ibid.

103 Yesmi Anwar dan Aqdang, Op. Cit., hal. 67

1. Perlakuan yang sama di hadapan hukum tanpa diskriminasi apapun;

2. Asas praduga tidak bersalah;

3. Hak untuk memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi;

4. Hak untuk memperoleh bantuan hukum;

5. Hak kehadiran terdakwa di muka pengadilan;

6. Peradilan yang bebas dan dilakukan dengan cepat dan sederhana;

7. Peradilan yang terbuka untuk umum;

8. Pelanggaran atas hak-hak warga negara (penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan) harus didasartan pada undang-undang dan dilakukan dengan surat perintah tertulis;

9. Hak seseorang tersangka untuk diberikan bantuan tentang pra-sangkaan dan pendakwaan terhadapnya; dan

10. Kewajiban pengadilan untuk mengendalikan putusannya.

Asas persamaan atau kesederajatan di muka hukum ini berarti tidak ada pembedaan perlakuan terhadap siapapun juga dalam sistim peradilan di Indonesia.

Asas persamaan di hadapan hukum ini juga terkandung dalam Pasal 4 Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ditegaskan berikut ini:

1. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.

2. Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan rmtuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana cepat, dan biaya ringan.104

perlakuan". Berdasarkan hal tersebut, nyatalah dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara, tidak dibenarkan diskriminasi, perbedaan apakah kedudukannya sebagai saksi, korban, tersangka, terdakwa, baik tentang warna kulit, suku, ras, agama, kaya atau miskin dan lain-lain. Singkatnya setiap orang sama di hadapan hukum, namun Kemudian dalam Penjelasan angka 3 huruf a KUHAP ditegaskan: "Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan perbedaan

104 Pasal 4 Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Yesmil Anwar dan Adang, mengatakan, “Realitas memperlihatkan hal yang berbeda”.105

Persamaan didepan hukum setidaknya merupakan betapa hukum menempatkan setiap orang siapa pun dia dari mana pun dia dan berlatar belakang apa pun dia harus ditempatkan dalam kedudukan yang sama di hadapan hukum. Asas persamaan di hadapan hukum itulah yang menjadikan hukum sebagai sarana pencapaian keadilan. Adanya persamaan itulah, maka hukum itu harus ditaati oleh siapa pun karena hanya lewat hukum akan ada ketertiban, ketenteraman, dan keadilan.106

pembatasan-pembatasan HAM.

Asas persamaan di hadapan hukum penting diterapkan dalam proses beracara.

Jaminan dan perlindungan terhadap HAM dalam peraturan hukum beracara memiliki arti penting karena sebahagian besar dalam rangkaian proses dari hukum acara pidana menjurus kepada pembatasan-pembatasan HAM seperti penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan, penyidikan, dan pemeriksaan yang pada hakikatnya terjadi

107

105 Ibid., hal. 68

106 htp: // radarlampung. co. id / read. / opini / 4890 keadilan – bermata – satu – ala – hukum -indonesia diakses tanggal 22 Juli 201l.

107 Erni Widhayanti, Hak-Hak Tersangka/Terdahwa di Dalam KUHAP, (Yogyakarta: Liberty, l998), hal. 34. Lihat juga: Sudibyo Triatrrojo, Pelaksana Penahanan dan Kemungkinan yang Ada dalam KUHAP, (Bandung: Alumni, 1982), hal. 13

B. Kedudukan Saksi Pelapor Tindak Pidana Korupsi Dalam Sistem Peradilan

Dalam dokumen DAVID SUDARSONO /HK (Halaman 52-62)

Dokumen terkait