BAB I PENDAHULUAN
C. Urgensi Perlindungan Saksi Pelapor Dalam Tindak Pidana
2. Perlindungan saksi pelapor tindak pidana korupsi
Perlindungan saksi pelapor merupakan elemen penting dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, umumnya tindak pidana korupsi dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kesempatan, kewenangan ataupun sarana yang dimungkinkan oleh jabatan yang diperolehnya. Dengan demikian pada sebagian Sebagaimana dapat dilihat dalam kisah tentang seorang yang bernama Endin melaporkan perbuatan pidana yang diduga dilakukan oleh beberapa orang hakim. Kemudian, hakim tersebut melakukan ”serangan balik” dengan mengadukan Endin telah melakukan tindak pidana pencemaran nama baik. Sang hakim bebas dari hukuman, sementara sang pelapor dihukum pengadilan karena terbukti melakukan tindak pidana yang dituduhkan. Demikianlah kisah tragis sang pelapor yang memberikan pesan negatif bagi penegakan hukum di Indonesia.
Tidak banyak orang yang bersedia mengambil risiko untuk melaporkan suatu tindak pidana jika dirinya, keluarganya dan harta bendanya tidak mendapat perlindungan dari ancaman yang mungkin timbul karena laporan yang dilakukannya. Begitu juga dengan saksi, jika tidak mendapat perlindungan yang memadai, akan enggan memberikan keterangan sesuai dengan fakta yang dialami, dilihat dan dirasakannya sendiri.
148 Absennya Perlindungan Saksi di Sri Lanka: AS-143-2007, AS-147-2007
besar kasus korupsi dilakukan oleh pembuat keputusan bukan pada tingkat bawah. Dalam posisi semacam ini, apabila seorang yang katakanlah pegawai bawahan mengetahui bahwa atasannya melakukan tindak pidana korupsi, kemungkinan besar ia enggan melaporkan kasus tersebut karena khawatir akan mengancam pekerjaannya yang sudah jelas berada dibawah si pelaku tindak pidana korupsi. Tanpa adanya perlindungan hukum terhadap orang-orang seperti ini, kemungkinan besar kasus-kasus korupsi yang besar tidak akan pernah terungkap. Dalam hal keberhasilan suatu proses peradilan pidana sangat tergantung pada alat bukti yang berhasil dimunculkan di pengadilan, utamanya berkenaan dengan saksi.
Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai, SH, LL.M. antara lain mengatakan "bahwa program perlindungan saksi dan pelapor dalam perkara TIPIKOR pada dasarnya dimaksudkan antara lain untuk :
1. Melindungi saksi dan pelapor dari kerawanan-kerawanan dan intimidasi sehingga kedepan perlu dibentuk adanya pengamanan pengadilan (court security);
2. Saksi dan pelapor mengalami kesukaran dalam mengakses informasi mengenai proses pengadilan sehingga perlu diperhatikan mengenai sistem informasi pengadilan;
3. Saran dan transportasi khusus bagi saksi dan pelapor selama proses pengadilan;
A. 4. Belum diperhatikan mengenai kebutuhan saksi dan pelapor selama proses pengadilan.
Perlindungan merupakan segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada Saksi dan atau Korban yang wajib dilaksanakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Sebagai jaminan terhadap perlindungan saksi dan pelapor tarhadap kasus korupsi yaitu dari tahap peristiwa baru terjadi sampai dengan pasca persidangan, diperlakukan gambaran mengenai bentuk perlindungan. Dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban telah mengatur mengenai hal-hal tersebut, yaitu :
1) Pasal 5 ayat (1) dan (2) 2) Pasal 6
Korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat, selain berhak atas hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak untuk mendapatkan:
(a) bantuan medis
(b) bantuan rehabilitasi psiko-sosial 3) Pasal 7 ayat (1), (2),dan (3)
(a) Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa:
(1) hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat;
(2) hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindakpidana.
(b) Keputusan mengenai kompensasi dan restitusi diberikan oleh pengadilan.
(c) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan restitusi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
4) Pasal 8
Perlindungan dan hak Saksi dan Korban diberikan sejak tahap penyelidikan dimulai dan berakhir sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
5) Pasal 9 ayat (1), (2), dan (3)
(a) Saksi dan/atau Korban yang merasa dirinya berada dalam ancaman yang sangat besar, atas persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara tersebut scdang diperiksa.
(b) Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memberikan kesaksiannya secara tertulis yang disampaikan di hadapan pejabat yang berwenang dan membubuhkan tanda tangannya pada berita acara yang memuat tentang kesaksian tersebut.
(c) Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat pula didengar kesaksiannya secara langsung melalui sarana elektronik dengan didampingi oleh pejabat yang berwenang.
6) Pasal 10 ayat (1), (2), dan (3)
(a) Saksi, Korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.
(b) Seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.
(c) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap Saksi, Korban, dan pelapor yang memberikan keterangan tidak dengan itikad baik.149
5) Mendapat penerjemah;
Dalam Pasal 5 UU Perlindungan Saksi dan Korban seorang saksi dan korban berhak:
1) Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya;
2) Serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikannya;
3) Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;
4) Memberikan keterangan tanpa tekanan;
149 Pasal 4 UU Perlindungan Saksi dan Korban
6) Bebas dari pertanyaan yang menjerat;
7) Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
8) Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;
9) Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
10) Mendapat identitas baru;
11) Mendapatkan tempat kediaman baru;
12) Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
13) Mendapat nasihat hukum; dan/atau
14) Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.150
150 Pasal 5 UU Perlindungan Saksi dan Korban
BAB III
PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM SAKSI PELAPOR TINDAK PIDANA KORUPSI DIKAITKAN DENGAN
UU NOMOR 13 TAHUN 2006
A. Pengaturan Lembaga Perlindungan Saksi Pelapor dalam Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia sebelum UU Nomor 13 Tahun 2006
Masalah perlindungan korban dan saksi di dalam proses peradilan pidana merupakan salah satu permasalahan yang menjadi perhatian dunia internasional. Hal ini dapat dilihat dengan dibahasnya masalah perlindungan korban kejahatan dalam Kongres PBB VII Tahun 1985 tentang “The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders” di Milan, Italia disebutkan bahwa “Victims right should be perceived as an integral aspect of the total criminal justice system.” (Hak-hak Korban seharusnya menjadi bagian yang integral dari keseluruhan sistem peradilan pidana)151
151 UN Congress, Seventh Report, New York, 1986, hal. 147. Dikutip oleh Supriyadi Widodo Eddyono dari dalam makalahnya berjudul, Pemetaan Legislasi Indonesia Terkait Dengan Perlindungan Saksi dan Korban, Jakarta, 2005, hal. 1
Dalam Kongres PBB ini diajukan rancangan Resolusi tentang Perlindungan Korban ke Majelis Umum PBB. Rancangan Resolusi ini kemudian menjadi Resolusi Majelis Umum PBB No. 40/34 tertanggal 29 November 1985 tentang “Declaration of Basic Principles of Justice for Victim of Crime and Abuse of Power.”
Saksi juga merupakan faktor utama di dalam membuktikan kebenaran dalam suatu proses persidangan. Hal ini tergambar jelas dalam Pasal 184-185 KUHAP yang menempatkan keterangan saksi di urutan pertama di atas alat bukti lainnya. Urutan ini merujuk pada alat bukti yang pertama kali diperiksa dalam tahap pembuktian di persidangan. Mengingat kedudukan saksi sangat penting dalam proses peradilan, tidak hanya dalam proses peradilan pidana, namun juga proses peradilan yang lainnya, dan tidak adanya pengaturan mengenai hal ini, maka dibutuhkan suatu perangkat hukum khusus yang mengatur mengenai perlindungan terhadap saksi.
Pengalaman empirik di Indonesia menjelaskan bahwa masalah perlindungan Saksi dan korban menjadi masalah yang sangat krusial. Persoalan yang utama adalah banyaknya saksi yang tidak bersedia menjadi saksi ataupun tidak berani mengungkapkan kesaksian yang sebenarnya karena tidak adanya jaminan yang memadai, terutama jaminan atas hak-hak tertentu ataupun mekanisme tertentu untuk bersaksi.152
Selain itu, hak-hak korban atas perkara-perkara tertentu juga tidak diberikan.153
152 Proses persidangan pengadilan HAM ad-hoc untuk kasus Timor Timur, dimana banyak saksi dari Tim-Tim yang akhirnya memilih untuk tidak mau datang ke Indonesia untuk menjadi saksi karena ada pengalaman dari beberapa saksi sebelumnya yang mengalami intimidasi psikologis selama proses pemberian kesaksian.
153 Putusan pengadilan HAM ad-hoc untuk kasus pelanggaran HAM berat di Timor Timur, dimana tidak ada satupun putusan yang menyebutkan tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi meskipun sudah terbukti ada pelanggaran dan terdakwa dinyatakan bersalah.
Ketidakmauan saksi untuk memberikan keterangan di persidangan tidak hanya terjadi di dalam kasus HAM, tetapi juga terjadi di dalam kasus-kasus seperti
kasus kekerasan terhadap perempuan, kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), terorisme, korupsi, pencucian uang dan anak.
Saat ini, belum ada peraturan yang secara khusus mengatur mengenai perlindungan terhadap saksi dan korban. Yang ada hanya beberapa Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksana dari undang-undang tertentu, seperti Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Saksi, Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim Dalam Perkara Tindak Pidana Terorisme, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus Bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang, dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat.
Keberadaan dari beberapa Peraturan Pemerintah seperti disebutkan di atas mempunyai ruang lingkup yang sempit, karena peraturan-peraturan tersebut hanya berlaku untuk kasus-kasus tertentu dan tidak berlaku untuk semua jenis kasus. Di dalam pelaksanaannya, adanya beberapa Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai perlindungan terhadap saksi tidak menjamin bahwa saksi dan korban akan memperoleh hak-haknya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Tidak diberikannya hak-hak saksi dan korban yang secara tegas telah dinyatakan dalam ketentuan perundang-undangan dapat menimbulkan ketidakpercayaan Saksi dan Korban bahwa hak-hak mereka akan dilindungi ketika mereka berpartisipasi dalam proses peradilan untuk mendukung penegakan hukum.
Berkenaan dengan adanya ketidakpercayaan saksi dan korban, maka adanya satu instrumen yuridis yang mengatur tentang perlindungan Saksi dan Korban dalam bentuk undang-undang sangat penting adanya. Tujuannya bukan hanya semata-mata untuk mendukung proses peradilan dan penyelesaian perkara secara lebih adil dan kompeten, tetapi juga untuk menunjukkan adanya tanggung jawab negara terhadap warga negaranya yang telah mengalami berbagai tindak pelanggaran hukum.154
154 Artikel 25 Universal Declaration of Human Rights : “Everyone has the right to…..
ecessary social services, and the right to security in the event of unemployment, sickness, disability, idowhood, old age or other lack of livehood in circumtances beyond his control.”
Sejauh ini sebelum disahkannya UU Nomor 13 Tahun 2006 terdapat 3 (tiga) Peraturan Pemerintah yang terkait dengan Perlindungan Saksi/Pelapor dari tiga jenis tindak pidana yaitu, Tindak Pidana Korupsi, Pelanggaran HAM Berat, dan Tindak Pidana Pencucian Uang.
1. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 memberikan peran serta masyarakat dalam pelaporan dan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi diwujudkan dalam bentuk antara lain mencari, memperoleh, memberikan data atau informasi tentang tindak pidana korupsi dan hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggungjawab terhadap pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Setiap informasi yang diberikan masyarakat sebagai pelapor dalam adanya tindak pidana korupsi dapat dilihat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 yang menyebutkan bahwa:
(1) Setiap orang, Organisasi Masyarakat atau Lembaga Swadaya Masyarakat berhak mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi serta menyampaikan saran dan pendapat kepada penegak hukum dan atau komisi dengan perkara tindak pidana korupsi.
(2) Penyampaian informasi, saran dan pendapat atau permintaan informasi harus dilakukan secara bertanggungjawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, norma agama, kesusilaan dan kesopanan.155
Selajutnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 menyebutkan bahwa:
(1) Informasi, saran atau pendapat dari masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, harus disampaikan secara tertulis dan disertai:
a. data mengenai nama dan alamat pelapor, pimpinan Organisasi Masyarakat, atau pimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat
155 Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
dengan melampirkan foto kopi kartu tanda penduduk atau identitas diri lain; dan
b. keterangan mengenai dugaan pelaku tindak pidana korupsi dilengkapi dengan bukti permulaan.
(2) Setiap informasi, saran atau pendapat dari masyarakat harus diklarifikasi dengan gelar perkara oleh penegak hukum.156
156 Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Dalam Pasal 5 PP Nomor 71 Tahun 2000 menyebutkan bahwa hak dan tanggung jawab masyarakat dalam memperoleh perlindungan hukum, yaitu:
(1) Setiap orang, Organisasi Masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) berhak atas perlindungan hukum baik mengenai status hukum maupun rasa aman.
(2) Perlindungan mengenai status hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak diberikan apabila hasil penyelidikan atau penyidikan terdapat bukti yang cukup yang memperkuat keterlibatan pelapor dalam tindak pidana korupsi yang dilaporkan.
(3) Perlindungan mengenai status hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) juga tidak diberikan apabila terhadap pelapor dikenakan tuntutan dalam perkara lain.
Berdasarkan PP Nomor 71 Tahun 2000 ini, pihak yang berkewajiban untuk memberikan perlindungan terhadap pelapor yang terkait dengan tindak pidana korupsi adalah Aparat Penegak Hukum dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Pasal 6 PP Nomor 71 Tahun 2000 disebutkan bahwa bentuk Perlindungan Hukum dalam hal perlindungan saksi yang diberikan kepada pelapor ada dua macam, yaitu Penegak Hukum berkewajiban merahasiakan identitas pelapor, atau isi saran atau pendapat yang disampaikan. Yang kedua, Apabila diperlukan, maka Penegak Hukum maupun Komisi dapat memberikan pengamanan fisik terhadap
pelapor maupun keluarganya. Sedangkan mekanisme dan tata cara pemberian perlindungan hukum dan fisik terhadap pelapor oleh aparat penegak hukum dan komisi tidak dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah ini.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban Dan Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat
Setiap saksi dan korban dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia berhak atas perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror dan kekerasan pihak mana pun.157 Perlindungan tersebut wajib dilakukan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan secara cuma-cuma.158
Perlindungan dalam PP Nomor 2 Tahun 2002 merupakan suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun, yang diberikan Perlindungan terhadap Korban dan Saksi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Korban dan Saksi dalam Pelanggaran HAM Yang Berat (selanjutnya disebut PP Nomor 2 Tahun 2002).
157 Lihat Pasal 39 ayat (1) UU Nomor 15 Tahun 2002.
158 Lihat Pasal 39 ayat (2) UU Nomor 15 Tahun 2002.
pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.159
Dapat dikatakan bahwa PP Nomor 2 Tahun 2002, yang mengatur mengenai perlindungan saksi dan korban merupakan produk hukum yang tidak dapat digunakan secara maksimal. Hal ini disebabkan kedudukan peraturan pemerintah yang berada di bawah Undang-undang, sehingga secara yuridis peraturan pemerintah
PP Nomor 2 Tahun 2002 memberikan perlindungan sejak tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan sampai pemeriksaan di sidang pengadilan. Perlindungan yang dimaksud di dalam PP Nomor 2 Tahun 2002 meliputi perlindungan fisik dan mental.
Korban dan Saksi tidak dikenai biaya apapun atas perlindungan yang diberikan kepadanya.
Perlindungan yang menonjol dari PP Nomor 2 Tahun 2002 adalah perlindungan tentang adanya perahasiaan identitas korban atau saksi dan adanya mekanisme pemberian keterangan pada saat sidang di pengadilan tanpa bertatap muka dengan tersangka.
Di dalam PP Nomor 2 Tahun 2002 secara khusus juga memberikan perhatian kepada Korban. Korban diberikan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Untuk selanjutnya, mekanisme pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi terhadap Korban pelanggaran HAM berat diatur dalam PP Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran HAM Berat.
159 http://syafiie.blogspot.com/, M. Safi’is, Perlindungan dan Hak Saksi Pelanggaran HAM Berat di Indonesia, di kutip pada hari Senin, 19 Desember 2011
tidak dapat digunakan untuk pemenuhan hak-hak saksi dan korban ketika berhadapan dengan Undang-undang, dalam hal ini KUHAP yang mengatur hal yang berbeda dengan peraturan pemerintah tersebut.
Sedangkan saksi dalam aturan yang sama didefinisikan sebagai orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan tentang perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang ia dengar sendiri, lihat sendiri, dan alami sendiri, yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun. Ancaman, gangguan, teror dan kekerasan yang dimaksud ialah segala bentuk perbuatan memaksa yang bertujuan menghalang-halangi atau mencegah seseorang, sehingga baik langsung atau tidak langsung mengakibatkan orang tersebut tidak dapat memberikan keterangan yang benar untuk kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan
Secara umum sebenarnya definisi saksi dalam pelanggaran HAM berat sama dengan definisi saksi yang ada dalam KUHAP. Persamaan definisi ini sebagai bagian dari konsekwensi bahwa hukum acara yang digunakan dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat adalah KUHAP. Pasal 10 dalam UU No. 26 tahun 2000 dinyatakan bahwa dalam hal tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini, hukum acara atas perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana (KUHAP).
Dalam Pasal 1 angka 35 KUHAP menyatakan bahwa saksi adalah adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Saksi bisa merupakan saksi korban dan saksi bukan korban. Saksi korban pada hakekatnya adalah korban yang menjadi saksi. KUHAP juga menjelaskan tentang tentang saksi yang memberatkan terdakwa (a charge) dan saksi yang meringankan terdakwa (a decharge). Pihak lain yang dapat dipersamakan dengan saksi adalah seorang ahli tertentu yang memberikan keterangan untuk kepentingan pemeriksaan perkara disidang pengadilan, tetapi dalam KUHAP dinyatakan pemberian keterangan ini sebagai bagaian dari alat bukti yang dikenal dengan keterangan ahli.
Sebagaimana diamanatkan oleh UU Pengadilan HAM, PP Nomor 2 Tahun 2002 mengatur mengenai tata cara perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam pelanggaran HAM berat. Menurut PP ini dalam rangka memberikan rasa aman baik secara fisik maupun mental kepada Saksi dan Korban dari ancaman, gangguan, teror dan kekerasan dari pihak manapun, merupakan suatu bentuk pelayanan yang wajib diberikan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan. Pemberian rasa aman ini dilakukan mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan di sidang pengadilan.
Menurut PP Nomor 2 Tahun 2002 ini, bentuk perlindungan yang diberikan meliputi tiga hal:
a. Perlindungan atas keamanan pribadi korban atau saksi dari ancaman fisik dan mental
b. Perahasiaan identitas korban atau saksi
c. Pemberian keterangan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa bertatap muka dengan tersangka.160
Tetapi di dalam PP Nomor 2 Tahun 2002 yang dikeluarkan Pemerintah dan DPR untuk memuat pasal-pasal yang tidak implementatif. Dalam PP Nomor 2 Tahun 2002 mengenai perlindungan terhadap korban dan saksi ini tidak diatur tentang bagaimana cara penegak hukum, khususnya jaksa dalam memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban, mengingat jaksa sendiripun dalam kenyataannya juga Pemberian perlindungan dapat dilakukan berdasarkan dua mekanisme yaitu yang pertama, aparat penegak hukum dan penegak keamanan dengan inisiatifnya sendiri memberikan pelindungan terhadap Saksi dan Korban, apabila dilihatnya kondisi Saksi dan Korban membutuhkan perlindungan. Yang kedua, permohonan untuk diberikan perlindungan diajukan oleh Saksi atau Korban.
Apabila mekanisme yang ditempuh adalah yang kedua, maka permohonan tersebut diajukan kepada tiga instansi yang berbeda untuk tiga tahapan peradilan yang berbeda pula. Pada tahapan penyelidikan, permohonan diajukan kepada Komnas HAM. Untuk tahapan penyidikan dan penuntutan, maka Jaksa yang berwenang. Yang terakhir, pada tahap pemeriksaan di persidangan, Hakim yang berwenang.
160 PP No. 2 tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran HAM Yang Berat
mengalami kerepotan untuk mengamankan diri dan keluarganya, apalagi untuk memberikan perlindungan terhadap orang lain.161
Contoh yang dapat dikemukakan adalah apa yang ditulis oleh Sylvia de Bertodano (Barrister, London, Former Defence Counsel before the International Criminal Tribunal for former Yugoslavia (ICTY) : Former member of the Public Defence Office East Timor : Member of the Journalist Editorial Committee) yang mengutip laporan dari reporter khusus Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk
Sedangkan jika berbicara tentang dukungan fasilitas sarana dan prasarana rasanya hanya Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) yang mempunyai atau memenuhi persyaratan dimaksud. Namun jika dilihat dari kenyataan di Iapangan
Sedangkan jika berbicara tentang dukungan fasilitas sarana dan prasarana rasanya hanya Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) yang mempunyai atau memenuhi persyaratan dimaksud. Namun jika dilihat dari kenyataan di Iapangan