BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Manusia adalah makluk sosial. Sebagai makluk sosial, manusia mempunyai kecenderungan untuk selalu berhubungan dengan manusia yang lain.1 Dengan demikian setiap orang tidak mungkin hidup sendiri tanpa membutuhkan bantuan orang lain. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang beraneka ragam, seseorang pasti membutuhkan jasa dan hasil kerja orang lain. Untuk itulah manusia saling berhubungan satu sama lain.
Hubungan yang dijalin oleh manusia ada yang berakibat hukum dan ada yang tidak berakibat hukum. Hubungan yang berakibat hukum disebut hubungan hukum, karena menimbulkan hak dan kewajiban secara timbal balik, yang harus dilaksanakan oleh pihak yang bersangkutan dengan itikat baik.
Dengan demikian Anak merupakan salah satu tujuan dari suatu perkawinan yaitu untuk meneruskan keturunannya, anak merupakan unsur yang penting serta mutlak bagi suatu keluarga yang menginginkannya, agar supaya ada generasi penerusnya. Sebagaimana telah kita ketahui bahwa anak selalu dilihat sebagai penerus generasinya, juga dipandang sebagai wadah dimana semua harapan orang tuanya kelak di kemudian hari ditumpahkan dan dipandang sebagai pelindung orang tuanya kelak apabila orang tua sudah tidak mampu lagi secara fisik untuk mencari nafkah serta sebagai ahli waris dalam pewarisan hartanya. Pewarisan adalah suatu bagian yang sangat
1Soepomo, Bab-Bab tentang hukum adat, cetakan ke-14, Pradya Paramita, Jakarta, 1996, Hal 79
penting dan tidak diabaikan begitu saja. Di Indonesia mempuanyai berbagai suku dengan hukum adat yang berbeda-beda, tentu saja cara penyelenggaraan pewarisan juga berbeda, hal ini tergantung dari adat istiadat daerah masing- masing. Proses pewarisan atau beralihnya barang-barang warisan dari pewaris kepada ahli waris, baik berlangsung semenjak pewaris masih hidup maupun setelah pewaris meninggal dunia. Baik hukum adat hukum waris BW maupun hukum Islam, memiliki ketentuan mengenai hak waris. Ketiganya memiliki kekuatan yang sama, artinya seseorang bisa memilih hukum mana yang akan dipakai untuk menentukan pewarisan bagi anak angkat.
Bila menggunakan lembaga adat, penentuan waris bagi anak angkat tergantung kepada hukum adat yang berlaku. Bagi keluarga yang parental, Jawa misalnya pengangkatan anak tidak otomatis memutuskan tali keluarga antara anak itu dengan orangtua kandungnya.2 Oleh karenanya, selain mendapatkan hak waris dari orangtua angkatnya, dia juga tetap berhak atas waris dari orang tua kandungnya. Berbeda dengan di Buru selatan, pengangkatan anak merupakan kewajiban hukum yang melepaskan anak tersebut dari keluarga asalnya ke dalam keluarga angkatnya.Anak tersebut menjadi anak kandung dari yang mengangkatnya dan meneruskan kedudukan dari bapak angkatnya. Menurut Soepomo “Hukum adatwaris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengatur barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda
2Budiarto,Op. Cit,Hal 54
(imateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada keturunannya.3
Dalam pengertian pewarisan tersebut memperlihatkan, adanya tiga unsur yang penting yaitu :
1. Seorang peninggal warisan atau pewaris yang pada waktu meninggalnya Meninggalkan harta kekayaan;
2. Seorang atau beberapa orang ahli waris yang berhak menerima kekayaan yang ditinggalkan itu atau pewaris;
3. Harta warisan atau harta peninggalan yaitu harta yang ditinggalkan dan sekaligus beralih kepada ahli waris.
Ketiga unsur ini pada proses pelaksanaan penerusan atau pengoperan kepada yang berhak menerima selalu menimbulkan persoalan sebagai berikut:
1. Unsur pertama menimbulkan persoalan bagaimana dan sampai dimana hubungan seorang (pewaris) dengan kekayaannya dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan dimana di peninggal warisan itu berada;
2. Unsur kedua manimbulkan persoalan bagaimana dan sampai dimana harus ada tali kekeluargaan antara peninggal warisan dan ahli waris;
3. Unsur ketiga menimbulkan persoalan, bagaimana dan sampai dimana wujud kekayaan yang beralih itu dipengaruhi oleh sifat lingkungan
4. kekeluargaan dimana si peninggal warisan dan ahli waris bersama-sama berada.
3Soepomo, Op. Cit, Hal 99
Anak angkat adalah seseorang yang bukan keturunan dua orang suami istri yang dipelihara dan diperlakukan sebagai anak angkat keturunannya sendiri:
Pada umumnya pengangkatan anak dilakukan karena alasan-alasan sebagai berikut :
a. Tidak mempunyai keturunan;
b. Tidak ada penerus keturunan;
c. Menurut adat perkawinan setempat;
d. Hubungan baik dan tali persaudaraan;
e. Rasa kekeluargaan dan peri kemanusiaan;
f. kebutuhan tenaga kerja;4
Dengan adanya pengangkatan anak, maka status anak angkat akan berubah dimana anak yang bukan anak kandung sendiri secara lahir batin dianggap sebagai anak kandungnya berarti anak tersebut mendapat pengakuan yang sama seperti halnya anak kandung. Satu hal yang menarik tentang kedudukan anak angkat dalam pembagian warisan. setiap anak mempunyai hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya. Sedangkan kedudukan anak angkat antara satu daerah dengan daerah yang lain di Indonesia terdapat perbedaan.
Di bidang hukum kewarisan sampai saat ini belum ada satu sistem hukum waris yang mengatur mengenai masalah pewarisan bagi seluru Warga Negara Indonesia, sehingga hukum waris yang berlaku si Indonesia terdiri atas hukum waris menurut Hukum Perdata Barat, Hukum Islam dan Hukum
4Surojo Wignjodipuro,pengantar dan asas-asas hukum adat, Haji Masangung, Jakarta, 1990, Hal 20
Adat. Secara khusus, hukum waris adat meliputi keseluruhan asas, norma dan keputusan/ketetapan hukum yang bertalian dengan proses penerusan serta peralihan harta benda (materiil) dan harta cipta (nonmateriil) dari generasi yang satu ke generasi berikutnya5. Salah satu cara terbentuknya harta warisan adalah dengan adanya harta perkawinan.
Sistem hukum kewarisan adat di Indonesia sangat berkaitan dengan tiga sistem kekerabatan yaitu sistem kekerabatan matrilineal, patrilineal dan parental. Sistem kekerabatan matrilineal merupakan garis keturunan ibu, sistem kekerabatan patrilineal dapat di lihat dari garis keturunan ayah, sedangkan sistem kekerabatan parental melihat garis keturunan ayah dan ibunya.6 Salah satu daerah di Buru Selatan yang kehidupan adat-istiadatnya masi begitu dominan adalah Desa Waemulang. Desa waemulang merupakan salah satu Desa di Kabupaten Buru Selatan Kecamatan Leksula yang memiliki adat-istiadat yang beragam. Hal ini deapat dilihat dari eksistensi masyarakat yang majemuk.
Dalam pembagian warisan anak angkat pada masyarakat adat Desa Waemulang di atur berdasarkan Hukum Adat terutama dengan memperhatikan garis keturunan patrilineal yakni garis keturunan yang di tarik melalui bapak, yang mana kedudukan anak angkat laki-laki yang pertama lebih di utamakan dibandingkan kedudukan anak yang kedua. Dalam pembagian warisan tersebut, hanya anak pertama yang di angkat yang dapat diperhitungkan untuk mendapatkan harta bawaan bapak yang dibawa dalam
5Effendi Perangin,hukum waris, cetakan ke x,Raja Grafindo Persada, Jakarta 2011, hlm 3
6R. Wirojono Prodjodikoro,Hukum Waris di Indonesia, Jakarta: Sumur Bandung , 1980, hlm 10
perkawinan. Terdapat pada Daerah Buru Selatan khususnya Pengangkatan anak telah memutuskan pertalian keluarga antara anak yang diangkat dengan orang tuanya sendiri. Anak angkat masuk kehidupan rumah tangga orang tua yang mengambilnya dan mendapatkan warisan dari orang tua angkatnya, sebagai anggota rumah tangganya, untuk Daerah Buru selatan, Perbuatan mengangkat anak adalah perbuatan hukum yang melepaskan anak itu di pertalian keluarganya dengan orang tuanya sendiri dan memasukkan anak itu kedalam keluarga bapak angkatnya, sehingga anak tersebut berkedudukan sebagai anak kandung untuk meneruskan keturunan bapak angkatnya. Dari uraian di atas, pembagian waris bagi anak angkat menarik untuk diteliti, maka penulis terdorong untuk mengadakan penulisan dengan judul: HARTA WARISAN ANAK ANGKAT DI DESA WAEMULANG KABUPATEN BURU SELATAN KECAMATAN LEKSULA
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasar latar belakang yang dikemukakan diatas, maka permasalahan yang penulis inggin diangkat dan dibahas didalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut: Bagaimana hak anak angkat sebagai pewaris tunggal terhadap harta warisan orang tua angkatnya di desa waemulang?
C. TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui dan menganalisismengenai hak anak angkat sebagai pewaris tungal terhadap harta warisan orang tua angkatnya didesa waemulang.
2. Sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Pattimura.
D. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat penelitian yang ingin diperoleh diklaifikasikan dalam 2 kelompok yaitu:
1. Manfaat teoritis
Penulisan diharapkan dapat memberikan dalam sisi akademis khususnya study ilmu hukum dan khususnya ranah hukum adat dalam masyarakat adat. Serta menjadi bahan masukan bagi pihak yang berkompeten dalam mengataur hak waris dalam masyarakat adat.
2. Manfaat praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi penelitian, hak anak angkat terkait harta warisan didesa waemulang. Manfaat bagi penelitian adalah penelitian mendapatkan pengetahuan dan pengalaman tentang pelaksanaan dan ritual yang dilakukan masyarakat adat waemulang.
E. KERANGKA KONSEPTUAL 1. Perkawinan
Perkawinan adalah ikatan sosial atau ikatan perjanjian hokum antar pribadiyang membentuk hubungan kekerabatan dan yang merupakan suatu pranata dalam budaya setempat yang meresmikan hubungan antar pribadi yang biasanya intim dan seksual.7 Umumnya perkawinan dijalani dengan maksud untuk membentuk keluarga. Tergantung budaya setempat bentuk perkawinan bisa berbeda-beda dan tujuannya bisa berbeda-beda juga. Tapi umumnya perkawinan itu ekslusif dan mengenal konsep perselingkuhan sebagai pelanggaran terhadap perkawinan.
Perkawinan adalah kata benda turunan dari kata kerja dasar kawin.8 kata itu berasal dari kata jawa kuno ka-awin atau ka-ahwin yang berarti dibawa, dipikul, dan diboyong; kata ini adalah bentuk pasif dari kata jawa kuno awin atau ahwin; selanjutnya kata itu berasal dari kata vini dalam Bahasa Sanskerta. Untuk mendapatkan keturunan,Untuk mengangkat derajat dan status social baik pria mau pun wanita,Mendekatkan kembali hubungan kerabat yang sudah renggang,Agar harta warisan tidak jatuh ke orang lain.
7Hadikusuma Hilman,hukum perkawinan adat,cetakan ke-1, Bandung, 1997.
8Teer Haar dalam muhamad Isna Wahyudi,1990 hlm 2
2. Status Anak a. Anak Sah
Menurut hukum adat anak sah adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan bapak ibu yang sah, Oleh karena itu sejak dalam kandungan hingga anak tersebut lahir sampai dengan anak tersebut tumbuh di dalam masyarakat adat akan selalu diadakan ritual khusus untuk mendoakan keselamatan anak tersebut.9 Dalam hukum adat tidak memberikan pengertian tentang apa yang dimaksud dengan anak luar kawin. Dengan berpegang pada rumusan pengertian anak sah menurut hukum adat diatas, maka dapat dirumuskan bahwa yang termaksud anak luar kawin adalah anak yang tidak memenuhi kriteria sebagai anak sah, yakni anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah, dimana anak tersebut dilahirkan diri seorang wanita yang tidak mempunyai ikatan perkawinan yang sah denganpria yang menghamilinya.
Anak sah adalah yang lahir dalam dan akibatperkawinan yang sah. Paling tidak ada dua bentuk kemungkinan: anak sah lahir akibat perkawinan yang sah dan anak yang lahir dalam perkawinan yang sah.
Dengan adanya Akta Lahir atas namaanak yang bersangkutan, dibuktikan bahwa dari hasil pernikahan yang sah tersebut telah lahir dari bapak dan ibu yang namanya disebut dalam akta lahir tersebut. Dengan demikian, anak yang disebut dalam akta kelahiran, memiliki hubungan nasab dengan orang tua (ayah dan ibu) yang namanya tercantum dalam akta lahirnya.
Menurut undang-undang perkawinan, status anak dibedahkan menjadi dua
9Bushar Muhamad, Pokok-Pokok Hukum Adat, Jakarta, PT Pradnya Paramita,2006, Hal 5
yakni anak yang sah dan anak yang dilahirkan diluar perkawinan. Anak sah menurut pasal 42 undang-undang perkawinan adalah “anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkwinan yang sah”. Dari rumusan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut, bahwa termaksud dalam golongan anak sah menurut pasal 42 undang-undang perkawinan adalah:
1. Anak yang dibenihkan dan dilahirkan dalam perkawinan yang sah
2. Anak yang dibenihkan sebelum perkawinan dan dilahirkan dalam perkawinan yang sah.
3. Anak yang dibenihkan dalam perkawinan yang sah dan dilahirkan setelah perkawinan itu putus.
Anak yang dilahirkan diluar perkawinan seringkali disebut dengan istilah anak luar kawin atau anak tidak sah. Pasal 43 ayat (1) undang-undang perkawinan tidak memberikan pengertian tentang apa yang di maksud dengan anak luar kawin. Dengan berpegang pada rumusan pasal 42 undang-undang perkawinan diatas, maka dapat dirumuskan bahwa termaksud anak luar kawin adalah anak yang tidak memenuhi kriteria sebagi anak sah.
b. Anak Angkat
Anak angkat adalah anak orang lain yang dijadikan anak dan secara lahirbatin diperlakukan seakan-akan sebagai anak kandung sendiri “ada kecintaan/kesayangan”.10Dalam hukum adat dikenal 2 macam pengangkatan anak yaitu :
10Tamakiran, Asas-Asas Hukum Waris, Puionir jaya, Bandung, 1972, Hal 52
a. Pengangkatan anak yang dilakukan secara terang dan tunai, artinya pengangkatan anak dilakukan secara terbuka dihadiri segenap keluarga, pemuka adat (terang) dan seketika itu juga diberikan pembayaran uang adat (tunai). Akibat hukum putus, hubungan hukum antara anak tersebut dengan orang tua aslinya.
b. Pengangkatan anak secara tidak terang dan tidak tunai, artinya pengangkatan anak dilakukan secara diam-diam tanpa mengundang keluarga seluruhnya atau hanya dihadiri oleh keluarga tertentu dan tidak dihadiri oleh pemuka adat atau desa, dan tidak dengan pembayaran uang adat.11
Pada hakekatnya, anak merupakan generasi muda dari suatu keluarga yang mempunyai tujuan secara umum untuk meneruskan keturunan keluarganya. Dalam sebuah keluarga, anak kandung mempunyai peran dan kedudukan penting dalam sebuah keluarga, antara lain sebagai penerus silsilah keluarga, meneruskan keturunan, dan melestarikan harta kekayaan keluarganya.Tetapi tidak semua keluarga, khususnya dalam kehidupan masyarakat adat, yang dapat menikmati karunia mengandung dan membesarkan seorang anak sampai besar.Keadaan-keadaan seperti itu memaksa keluarga bila ingin mempunyai penerus maka harus mengangkat seorang anak.Anak angkat dalam pengertian hukum adat dapat kitaambil dari berbagai pendapat para Sarjana hukum adat, antara lain:
11ING Sugangga, Hukum Waris Adat, Universitas Diponegoro, Semarang, Februari, 1995, Hal 35
Imam Sudiyat dalam bukunya Hukum Adat Sketsa Asas, tertulis bahwa pengangkatan anak yang terdapat di seluruh Nusantara, ialah perbuatan memungut/mengangkat anak dari luar ke dalam kerabat, sehingga terjalin suatu ikatan sosial yang sama dengan ikatan kewangsaan biologis.12Menurut pendapat Imam Sudiyat, perbuatan pengangkatan anak dalam hukum anak terjadi apabila terciptanya ikatan sosial antara anak angkat dan keluarga angkatnya.Menurut pandangan Hilman Hadi Kusuma, ia mengartikan anak angkat sebagai anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orang tua angkat dengan resmi menurut hukum adat setempat, dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan atau pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga. Pendapat Hilman Hadi Kusuma mengartikan anak angkat yang sah adalah anak orang lain yang telah diakui oleh keluarga angkat dan hukum adat setempat.
Sedangkat pendapat Soerojo Wignjodipuri telah memberikan batasan bahwa mengangkat anak adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri sedemikian rupa, sehingga antara orang yang memungut anak dan anak yang dipungut itu tumbul suatu kekeluargaan yang sama seperti ada antara orang tua dengan anak kandungnya sendiri.13Dalam pendapat Soerojo menegaskan bahwa dalam pengangkatan anak tidak hanya
12Imam Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, cet.ke-4 Yogyakarta: Liberty, 2000, Hal 102
13Soerojo Wignjodipero, Pengantar dan Asas-Asas HukumAdat,Bandung: Alumni, 1973, Hal 118
sebatas mengangkat atau mengakui, tetapi keluarga angkat harus memberlakukan anak angkat tersebut seperti anak kandungnya sendiri.
3. Warisan
Warisan adalah harta peninggalan yang ditinggalkan pewaris kepada ahli waris. Warisan merupakan segala sesuatu peninggalan bisa asset dan bisa utang yang ditinggalkan oleh pewaris orang yang meninggal dan diwasiatkan kepada Ahli waris.Wujud warisan tersebut dapat berupa harta yang bergerak dan harta tidak bergerak dan termasuk jugadiwarisi utangkewajiban.
Harta yang bergerak seperti kendaraan, logam mulia, setifikat deposito dan lain sebagainya. Harta tidak bergerak seperti rumah dan tanah. Utang seperti utang kepada pihak bank, saudara dan lain sebagainya. Jadi warisan tidak selalu hal-hal yang indah yang dapat mensejahterakan yang mewarisinya, namun berupa tangung jawab yang belum selesai yang harus diselesaikan oleh ahli warisnya. Warisan dapat menyelesaikan masalah atau justru dapat menambah masalah dalam keluarga besar. Hal tersebut dapat terjadi karena perbedaan pendapat mengenai pembagian tanggung jawab hingga pembagian harta waris.
Terkait dengan pembagian warisan, pewaris tidak boleh seenaknya sendiri dalam membagi waris. Ahli waris juga tidak bisa menuntut untuk minta bagian tertentu atau lebih besar. Kita perlu tahu bahwa waris juga ada aturan mainnya dan hukumnya. Pada saat membuat surat wasiat, pewaris harus tahu aturan pembagian waris menurut hukum waris. Pembagian waris menurut
hukum selalu berusaha membagi secara adil. Terkadang kata adil tidak sama dengan kesamaan, contoh yang terjadi di desa waemulang kecamatan leksula kabupaten buru selatan, dimana seorang pewaris memiliki 2 orang anak , 1 perempuan dan 1 laki-laki, sistim waris desa waemulang anak laki-laki yang mendapat bagian lebih banyak dibandingkan anak perempuan.Pembagian waris memang membutuhkan kesabaran, kehati-hatian dan disesuaikan dengan hukum adat yang berlaku di desa waemulang. Oleh karenanya selalu konsultasi dengan para toko-toko yang ada di desa waemulang misalnya, seperti ketua adat, kepala desa dan majelis jemaat.
Para ahli tersebut akan membantu membuat perhitungan yang akurat, adil dalam membagi harta dan legal secara hukum. Warisan yang aman, adil dan legal tentu saja dapat menjadi berkah bagi ahli waris. Selalu komunikasikan berbagai hal pada masing-masing ahli waris untuk mendapatkan pemahaman yang sama. Dengan saling menjaga kepercayaan tersebut selain akan mencapai hasil mufakat mengenai hak waris, juga akan senantiasa menjaga hubungan persaudaraan yang tetap erat antara anggota keluarga yang lainnya. Dengan selalu didasari dengan niat baik akan menghasilkan keputusan yang baik untuk masing-masing ahli waris.
4. Hukum waris adat
Hukum waris adat meliputi aturan-aturan dan keputusan-keputusan hukum yang bertalian dengan proses penerusan/pengoperan dan peralihan/perpindahan harta kekayaan materiil dan non materiil dari generasi
ke generasi. Pengaruh aturan-aturan hukum lainnya atas lapangan hukum waris atas lapangan hukum waris dapat diwariskan sebagai berikut:
a. Hakpurba/pertuanan/ulayat masyarakat hukum adat yang bersangkutan membatasi pewarisan tanah.
b. Kewajiban dan hak yang timbul dari perbuatan-perbuatan kredit tetap berkekuatan hukum setelah si pelaku meninggal.
c. Transaksi-transaksi seperti jual gadai harus dilanjutkan oleh ahli waris.
d. Struktur pengelompokkan wangsa/anak, demikan pula bentuk perkawinan turut bentuk dan isi perkawinan.
e. Perbuatan-perbuatan hukum seperti adpsi, perkawinan ambil anak, pemebrian bekal/modal berumah-tangga kepada pengantin wanita, dapat pila dipandang sebagai perbuatan dilapangan hukum waris; hukum waris dalam arti luas, yaitu penyelenggaraan, pemindah tanganan, dan peralihan harta kekayaan kepada generasi berikutnya.14
Istilah waris didalam kelengkapan istilah hukum waris adat diambil alih dari bahasa Arab yang telah menjadi bahasa Indonesia, dengan pengertian bahwa didalam hukum waris adat tidak semata-mata hanya akan menguraikan tentang waris dalam hubungannya dengan ahli waris, tetapi lebih luas dari itu.15
Sebagaimana telah dikemukakan diatas hukum waris adat adalah hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan azas-azas
14Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Yogyakarta: Liberty, 1981, Hal 151
15Ibid., hlm 7
hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan ahli waris serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada ahli waris. Hukum waris adat sesungguhnya adalah hukum penerusan harta kekayaan dari suatu generasi kepada keturunannya.Dalam hal ini dapat diperhatikan bagaimana pendapat para ahli hukum adat dimasa lampau tentang hukum waris adat.Ter Haar menyatakan:
hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi ke generasi.16
Dengan demikian hukum waris itu mengandung tiga unsur yaitu adanya harta peninggalan harta warisan, adanya pewaris yang meninggalkan harta kekayaan dan adanya ahli waris atau waris yang akan meneruskan pengurusannya atau yang akan menerima bagiannya.17
Soepomo menyatakan:Hukum adat waris membuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda barang-barang yang tidak berwujud benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya18. Dengan demikian hukum waris ituu memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur cara penerusan dan peralihan harta kekayaan (berwujud atau tidak berwujud) dari pewaris kepada para warisnya. Cara penerusan dan peralihan harta kekayaan itu dapat
16Ibid., hlm 7
17Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung: Mandar Maju,2003, Hal 211
18Soepomo, bab-bab tentang hukum adat, cetakan ke 14, pradya paramita, jakarta, 1996.
Hal 79
berlaku sejak pewaris masih hidup atau setelah pewaris meninggal dunia. Jadi bukanlah sebagaimana yang diungkapkan Wirjono:
“...pengertian “warisan” ialah, bahwa warisan itu adalah soal apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.”19
Jadi, warisan menurut Wirjono adalah cara penyelesaian hubungan hukum dalam masyarakat yang melahirkan sedikit banyak kesulitan sebagai akibat dari wafatnya seorang manusia, dimana manusia yang wafat itu meninggalkan harta kekayaan. Istilah warisan diartikan sebagai cara penyelesaian bukan diartikan pada bendanya. Kemudian cara penyelesaian itu sebagai akbat dari kematian svveorang, sedangkan Hilman Hadikusuma mengartikan warisan itu adalah bendanya dan penyelesaian harta bemda seseorang kepada warisnya dapat dilaksanakan sebelum ia wafat20.
Hukum waris adat itu mempunyai corak dan sifat-sifat tersendiri yang khas Indonesia, yang berbeda dari hukum Islam maupun hukum barat.Sebab perbedaannya terletak dari latar belakang alam fikiran bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila dengan masyarakat yang bhineka tunggal ika.Latar belakang itu pada dasarnya adalah kehidupan bersama yang bersifat tolong- menolong guna mewujudkan kerukunan, keselarasan dan kedamaian didalam hidup.21
19Ibid., hlm 8
20Hilman Hadikusuma. Op. Cit, Hal 20
21Ibid., hlm 9
Hukum adat waris di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh susunan masyarakat kekerabatannya yang berbeda. Sebagaimana dikatakan Hazairin bahwa: “Hukum waris adat mempunyai corak sendiri dari alam pikiran
masyarakat yang tradisional dengan bentuk kekerabatan yang sistem keturunannya patrilineal, matrilineal, parental atau bilateral, walaupun pada bentuk kekerabatan yang sama belum tentu berlaku sistem kewarisan yang sama.Bangsa Indonesia yang murni alam fikirannya berazas kekeluargaan dimana kepentingan hidup yang rukun damai lebih diutamakan dari sifat-sifat kebendaan dan mementingkan diri sendiri. Jika pada belakangan ini nampak sudah banyak kecenderungan adanya keluarga-keluarga yang mementingkan kebendaan dengan merusak kerukunan hidup kekerabatan atau ketetanggan maka hal itu merupakan suatu krisis akhlak, antara lain disebabkan pengaruh kebudayaan asing yang menjajah alam fikiran bangsa Indonesia.22
Istilah waris didalam kelengkapan istilah hukum waris adat diambil alih dari bahasa Arab yang telah menjadi bahasa Indonesia, dengan pengertian bahwa didalam hukum waris adat tidak semata-mata hanya akan menguraikan tentang waris dalam hubungannya dengan ahli waris, tetapi lebih luas dari itu.
22Hilman Hadikusuma,Hukum Waris, Hal 8
F. METODE PENELITIAN
Dalam suatu penelitian, metode merupakan salah satu faktor utama dalam suatu permasalahan yang akan dibahas, dimana metode penelitian merupakan cara utama yang bertujuan untuk mencapai tingkat ketelitian jumlah dan jenis yang akan dicapai.
1. Jenis penelitian
jenis penelitan ini adalah yuridis empiris, dalam penelitian atau pengkajian yuridis empiris, kegiatan untuk menjelaskan hukum tidak diperlukan dukungan data atau fakta-fakta sosial, sebab yuridis empiris tidak mengenal data atau fakta sosial yang dikenal hanya bahan hukum, jadi untuk menjelaskan hukum tersebut hanya digunakan konsep hukum dan langkah- langkah yang ditempuh adalah langkah normatif.
2. Jenis masalah
Jenis masalah yang dipergunakan dalam penelitian ini, yaitu jenis konseptual. jenis konseptual terkait dengan konsep atau pengertian- pengertian.
3. Jenis bahan hukum
Jenis bahan hukum yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah bahan- bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.
a. Bahan hukum primer:
Bahan hukum primer ialah bahan hukum utama yang dipakai dalam penulisan ini mencakup:
1. Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
2. Undang-undang Republik Indonesia No 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia undang-undang No 23 Tahun 2002 Tentang perlindungan anak
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 9 Tahun 1975 Tentang pelaksana Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
b. Bahan hukum sekunder:
Bahan- bahan yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer dan dapat menganalisis hasil-hasil penelitian para sarjana seperti buku kepustakaan hukum, pendapat para ahli hukum, serta sumber lainnya yang dapat membantu dalam penulisn proposal ini yakni berkaitan dengan harta warisan terkait anak angkat.
c. Bahan Hukum Tersier:
Bahan hukum yang menunjang dan memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Adapun bahan hukum tersier berguna untuk menjelaskan dan mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yaitu kamus hukum, kamus bahasa indonesia 4. Teknik pengumpulan dan analisis bahan hukum
Teknik analisis dilakukan dengan mengumpulkan bahan hukum, kemudian melakukan pengolahan, pengkonstruksian dan penganalisaan bahan hukum secara menyeluruh. Akhir analisis akan memberikan jawaban atas permasalahan yang diangkat dalam penulisan ini.
G. SISTEMATIKA PENULISAN
Dalam penelitian hukum ini penulis mencoba mengadakan penulisan yang secara keseluruhan pembahasan terbagi dalam empat bab yaitu:
BAB I Pendahuluan, terdiri dari.
A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah C. Tujuan Penelitian D. Manfaat Penelitian E. Kerangka Konseptual F. Metode Penelitian G. Sistematika Penulisan
BAB II Tinjauan Pustaka dimana bab ini akan ditinjau lebih dalam mengenai warisan terhadap anak angkat.
BAB III Hasil dan pembahasan bab ini akan menjelaskan hasil dari penelitian yang penulis lakukan.
BAB IV Penutup terdiri dari A. Kesimpulan
B. Saran