• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Kedudukan Anak Angkat Perempuan Terhadap Harta Warisan Di Kalangan Etnis Tionghoa Suku Hainan Di Kota Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Kedudukan Anak Angkat Perempuan Terhadap Harta Warisan Di Kalangan Etnis Tionghoa Suku Hainan Di Kota Medan"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Negara Republik Indonesia terdiri dari beribu–ribu kepulauan yang mempunyai berbagai suku bangsa, bahasa, agama dan adat istiadat yang memiliki perbedaan walaupun ada juga persamaannya. Demikian pula mengenai ketentuan tentang pewarisannya terdapat banyak perbedaan, namun ada juga persamaannya. Hukum adat tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat di berbagai daerah di Indonesia. Hal ini disebabkan karena setiap anggota masyarakat di masing-masing daerah tersebut selalu patuh pada hukum adat, yang merupakan hukum tidak tertulis, hukum tersebut telah mendarah daging dalam hati sanubari anggota masyarakat yang dapat tercermin dalam kehidupan di lingkungan masyarakat tersebut.1

Negara Republik Indonesia sampai sekarang ini masih berlaku hukum waris yang bersifat pluralistik, yaitu :

1. Hukum Waris Adat, untuk warga negara Indonesia asli.

2. Hukum Waris Islam, untuk warga negara Indonesia asli di berbagai daerah dari kalangan tertentu yang terdapat pengaruh hukum agama Islam.

3. Hukum Waris Barat, untuk warga negara Indonesia keturunan Eropa dan Cina, yang berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata.2

1Adityo Ariwibowo, Sistem Pewarisan Masyarakat Adat di Indonesia, http://adityoariwibowo.wordpress.com/, diakses Maret 2013.

(2)

Dalam hal membicarakan hukum waris juga tidak terlepas dari masalah hukum keluarga. Hukum keluarga dimaksud adalah hukum yang mengatur hubungan antar individu dalam sebuah keluarga. Di Indonesia, hukum keluarga diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku ke 1 (satu). Ketentuan lain yang mengatur tentang sebuah keluarga dapat dilihat dalam ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), yang dimuat dalam Pasal 28B ayat (1) yang menentukan bahwa: ”setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui keturunan yang sah.”3

Ketentuan di atas jelas menunjukkan bahwa, keluarga dapat diartikan sebagai suatu wadah yang dipergunakan dalam rangka pembinaan dan kesejahteraan setiap orang dan merupakan sarana untuk dapat melanjutkan silsilah keluarga dengan mempunyai keturunan, yakni seorang anak dengan jalan melakukan perkawinan yang sah. Perkawinan yang sah dimaksud adalah sebagaimana yang ditentukan dalam ketentuan yang berlaku dalam hal ini Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (UU No. 1 Tahun 1974).

Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 menentukan bahwa “perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KetuhananYang Maha Esa”. Dari pengertian tersebut tergambar tujuan dari dilakukannya perkawinan, yaitu membentuk keluarga yang bahagia, dan adanya hubungan yang erat dengan keturunannya.

(3)

Kemudian di dalam sebuah keluarga tiada lengkap tanpa adanya anak yang lahir dari hubungan perkawinan di maksud. Kehadiran seoarang anak akan melengkapi kebahagiaan sebuah keluarga. Anak merupakan sebuah tumpuan harapan bagi kedua orang tuanya. Keberadaan anak adalah wujud keberlangsungan sebuah keluarga dan juga merupakan keinginan mengembangkan keturunan adalah naluri setiap manusia.

Apabila dalam sebuah keluarga telah dikaruniai seorang anak, hendaknya dalam keluarga tersebut juga memperhatikan kepentingan seorang anak baik secara rohani, jasmani, maupun perkembangan dalam lingkungan sosialnya. Namun demikian, dalam kenyataannya tidak semua orang yang membentuk keluarga secara sah tersebut dianugerahi dengan kehadiran seorang anak, karena bahkan ada pasangan suami isteri yang telah menikah bertahun-tahun belum dikaruniai keturunan atau tanpa kehadiran seorang anak. Bahkan, di dalam masyarakat tanpa kehadiran seorang anak dianggap sebagai aib yang menimbulkan rasa kurang percaya diri bagi pasangan suami isteri.

(4)

Secara etimologi yaitu, Muderis Zaini mengatakan bahwa pengangkatan anak berasal dari kata “adoptie” bahasa Belanda atau “adopt” bahasa Inggris. Pengertian dalam bahasa Belanda menurut kamus hukum, berarti pengangkatan seorang anak untuk sebagai anak kandungnya sendiri.4 Lebih lanjut mengutip Kamus Umum Bahasa Indonesia, Muderis Zaini mengemukakan bahwa anak angkat, yaitu anak orang lain yang diambil dan disamakan dengan anaknya sendiri. Sedangkan dalam ensiklopedia umum disebutkan bahwa pengangkatan anak adalah suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam pengaturan perundang-undangan.5

Perbuatan pengangkatan anak bukanlah merupakan perbuatan yang terjadi pada suatu saat, seperti halnya dengan penyerahan barang, melainkan merupakan suatu rangkaian kejadian hubungan kekeluargaan yang menunjukkan adanya cinta kasih, kesadaran yang penuh dan segala akibat yang ditimbulkan dari pengangkatan anak tersebut. Arif Gosita mengatakan bahwa masalah pengangkatan anak menurut proporsi yang sebenarnya secara dimensional demi pengayoman di bidang hukum dan kesejahteraan sosial yang bersangkutan, patut disambut dan dihargai.6

Keberadaan anak angkat di tengah masyarakat adat yang dilakukan oleh keluarga tertentu, nampaknya menjadi fenomena yang cukup menarik untuk dapat

4Muderis Zaini,Adopsi Suatu Tinjauan dari Segi Tiga Sistem Hukum, Bina Akasara, 1999, hal.85.

5Ibid., hal. 4.

(5)

diperbincangkan dalam khasanah keilmuan dewasa ini. Anak merupakan amanat dari Tuhan yang maha kuasa, yang diberikan agar dapat dipelihara secara lahir dan bathin oleh keluarga. Seorang anak memang layak hidup dengan segala kebutuhan yang diusahakan oleh kedua orang tua kandung, karena memang sudah menjadi tanggung jawabnya. Namun demikian, keadaan tersebut sering kali tidaklah dapat dirasakan oleh beberapa anak yang mungkin karena salah satu atau kedua orang tuanya telah tiada. Kemungkinan ini menimbulkan keadaan hidup si anak tidak lagi selayak anak yang lain, yang masih mempunyai orang tua kandung. Keadaan seperti ni, dapat pula terjadi dengan adanya kemungkinan karena kedua orang tua kandung memang tidak mampu secara ekonomi membiayai hidup si anak.

Beberapa sebab lain dapat pula terjadi, sehingga oleh keluarga lain kemudian diambil untuk dijadikan anak angkat. Pengangkatan anak oleh keluarga tertentu pada akhirnya mempunyai akibat-akibat yang mungkin terjadi di kemudian hari keberadaan anak angkat dalam keluarga memungkinkan adanya ikatan emosional yang tinggi, yang tidak lagi memisahkan antara satu dengan yang lain. Sehingga, pada saatnya anak angkat dapat diperhitungkan sebagai orang yang berhak mendapatkan harta orang tua angkat setelah meninggal. Inilah akibat yang dimaksud terjadi di kemudian hari. Berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini, bahwa keberadaan anak angkat tersebut di atas mempunyai kedudukan terhadap harta warisan.

(6)

bawah generasi yang diadopsi, seperti anak laki-laki dari seorang saudara laki-laki, kemudian lebih jauh, anak laki-laki dari dari sepupu laki-laki dari paman, karena nantinya anak adopsi dan anak-anak adoptan sendiri akan berada dalam generasi yang sama.

Pengangkatan anak yang ada di Indonesia sekarang, memang telah dimulai sejak lama. Dalam masyarakat yang memiliki adat tertentu, telah lama dijumpai praktek pengangkatan anak ini. Hanya saja, motivasi dan cara serta akibat pengangkatan anak tersebut berbeda-beda antara masyarakat yang satu dengan yang lain. Praktek pengangkatan anak telah lama melembaga di berbagai suku bangsa di tanah air, akan tetapi disatu aturan hukum yang mengatur mengenai hal itu sampai saat ini belum memadai. Padahal pelaksanaan pengangkatan anak atau adopsi di Indonesia diselenggarakan bukan hanya dengan memperhatikan kepentingan orang tua angkatnya saja, tetapi juga dengan memperhatikan kepentingan dan kesejahteraan anak yang akan dijadikan sebagai anak angkat. Oleh karena itu, untuk menjamin kepastian hukum dari pelaksanaan pengangkatan anak tersebut, maka hal ini diatur dalam undang-undang.

(7)

mengeluarkan Staatblad Nomor 129 yang mengatur masalah adopsi bagi golongan masyarakat Tionghoa (Pasal 5 – Pasal15).7

Namun dalam KUH Perdata tidak mengatur tentang lembaga pengangkatan anak yang berlaku bagi anak angkat Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa, yang ada hanya pengakuan anak luar kawin yang disahkan. Diberlakukannya KUH Perdata bagi golongan Tionghoa, khususnya mengenai hukum keluarga sudah tentu menimbulkan dilema bagi masyarakat Tionghoa. Hal tersebut berkenaan dengan tidak diaturnya lembaga adopsi di dalam KUH Perdata. Masyarakat Tionghoa yang telah mengenal lembaga adopsi berdasarkan hukum keluarga Tionghoa sebelum berlakunya KUH Perdata sangat kental dengan tradisi adopsi, terutama bagi keluarga yang tidak mempunyai anak atau tidak memiliki keturunan laki-laki demi meneruskan eksistensi marga keluarga dan pemujaan atau pemeliharaan abu leluhur. Hidayat MZ mengatakan hal ini dalam upacara kematian biasanya anak laki-laki tertua yang membawa foto orang tuanya yang meninggal dan pada saat mengadakan pertemuan (musyawarah) keluarga apabila orang tua sudah tidak ada, anak laki-laki tertua yang memimpin jalannya musyawarah.8

Jadi dalam hal ini pengangkatan anak pada masyarakat Etnis Tionghoa tradisi pengangkatan anak lebih didominasi oleh faktor penyebab ketiadaan anak laki-laki yang menjadi generasi penerus keluarga dan pemelihara abu leluhur seta berhak atas harta warisan. Namun berdasarkan yurisprudensi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta,

7Soeroso,Perbandingan Hukum Perdata,Sinar Grafika, Jakarta, 1999, hal 178.

(8)

tanggal 29 mei 1963 No. 917/1963 jo putusan Pengadilan Negeri Jakarta 17 Oktober 1963 No. 588 menyatakan bahwa “pengangkatan anak di kalangan masyarakat Tionghoa di Indonesia tidak lagi terbatas pada pengangkatan anak laki-laki namun telah diperbolehkan juga pengangkatan terhadap anak perempuan”. Sebagaimana juga dinyatakan dalam SEMA No. 2 Tahun 1979 jo SEMA No. 6 Tahun 1983 terkait dengan yurisprudensi terhadap pengangkatan anak perempuan”. Dengan kata lain hal ini membawa akibat hukum bahwa anak angkat perempuan juga berhak atas harta warisan dari orang tua angkatnya.

Selain itu, dalam masyarakat etnis Tionghoa juga terdapat suatu kebiasaan dalam pengangkatan anak, di mana pengangkatan anak menurut masyarakat WNI keturunan Cina atau Tionghoa menurut Henson yang dikutip Risko Al Windo El Jufri kebanyakan berdasarkan sebagai berikut :

a. Apabila anak yang akan diangkat berasal dari lingkungan keluarga sendiri atau kerabat dari orang yang mengangkat maka pada umumnya pengangkatan dilakukan secara diam-diam yang dirahasiakan oleh anggota keluarga. Artinya tanpa diadakan acara syukuran tapi diketahui oleh ketua adat dan ketua RT setempat.

(9)

acara syukuran. Maksudnya agar sewaktu-waktu anak tersebut tidak dapat ditarik oleh orang tua kandungnya.9

Adapun fakta yang terjadi dilapangan bahwa pengangkatan anak tersebut pada umumnya dilakukan dengan tradisional tanpa melalui Pengadilan setempat. Menghadapi dilema tersebut, bahwa tidak selalu perbuatan yang diatur itu berarti dilarang atau dibolehkan, tetapi harus dilihat secara kasuistis.10 Dalam hal ini pembentuk Undang-undang tidak mungkin mengatur seluruh kegiatan kehidupan manusia secara lengkap dan tuntas. Dalam praktek secara garis besar dalam pembagian warisan, semua orang Tionghoa termasuk di wilayah Kota Medan, akan membagi warisannya secara kekeluargaan sesuai dengan hukum adat masing-masing.

Formalitas dan aspek hukum hanya diperlukan kalau ada pihak-pihak yang keberatan dengan cara pembagian seperti itu. Jadi yang diutamakan adalah asas kekeluargaan, bukan aspek hukumnya, kalau semua anggota menerima, semua selesai tanpa perlu formalitas dan aturan hukum, kecuali untuk pengalihan hak atas tanah yang memerlukan akta notaris. Dalam hal anak pungut, kalau anak pungut tersebut diadopsi secara sah, baik laki-laki ataupun perempuan, hak warisnya akan disamakan dengan hak anak kandung. Namun yang menjadi masalah adalah aturan pembagian warisan tersebut, di mana antara Tionghoa Totok dan Tionghoa Peranakan ada

9Risko Al Windo El Jufri, Kedudukan Anak Angkat Dalam Hukum Waris Adat Pada Masyarakat Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa Di Kota Jambi, PPS, Universitas Niponegoro Semarang, 2010, hal 8.

(10)

perbedaan mendasar, tetapi tidak ada patokan yang pasti yang dapat dijadikan rujukan.

Mengenai perbedaan dalam masyarakat Tionghoa Totok dan Tionghoa Peranakan menurut Hidayat Z.M, selain mengenai aturan warisan juga terdapat perbedaan lainnya :

Dalam pendidikan terdapat juga perbedaan. Banyak diantara orang-orang Tionghoa peranakan menyesuaikan diri dengan setiap situasi baru. Mereka banyak yang telah masuk agama Kristen Katholik dan Kristen Protestan, di samping sekolah-sekolah umum. Mereka juga sering terpengaruh oleh pendidikan dan pola kehidupan sosio-budaya asli masyarakat Indonesia. Terlihat dari usahanya untuk mencapai suatu status sosial yang terhormat dalam masyarakat, dengan berusaha untuk mencapai perguruan-perguruan tinggi dengan hasil sebaik mungkin. Mereka lebih menghargai orang-orang terpelajar. Tidaklah demikian bagi orang-orang Tionghoa Totok, yang lebih menghargai orang yang sukses dalam usaha perdagangan atau industri (materialistis). Bagi orang-orang Tionghoa peranakan pendidikan formil mempunyai arti yang sangat penting.11

Pada masyarakat Tionghoa peranakan umumnya akan membagikan semua harta secara sama rata terhadap semua anaknya baik laki-laki maupunpe rempuan, termasuk anak angkat yang diadopsi secara sah. Akan tetapi, pada prakteknya, anak-anak yang sudah kaya biasanya tidak mengambil haknya atau hanya mengambil sebagian, sisanya diberikan kepada saudara kandungnya yang kurang mampu (miskin). Anak angkat yang tidak diadopsi sekalipun, asal dari bayi ikut keluarga tersebut umumnya akan diberikan warisan yang sama dengan anak kandungnya.

Sementara itu, Tionghoa Totok (yang lahir dari Tiongkok) atau generasi kedua atau ketiganya yang masih memegang tradisi daerah asal orang tuanya, hak waris

(11)

antara anak laki-laki dan perempuan tidak sama dimana hak waris anak laki-laki lebih besar dari anak perempuan. Pada prakteknya, aturan ini tidak sepenuhnya dilaksanakan secara konsekuen, karena sebagian Tionghoa Totok melakukan pembagian warisan sama seperti Tionghoa Peranakan, tanpa membedakan anak laki-laki dan perempuan.

Berdasarkan hasil penelitian di Kota Medan diketahui terdapat beberapa suku dari etnis Tionghoa yang menjadi warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa, suku hokkian, haka, tio chiu, kong hu dan suku Hainan. Suku Hainan berasal dari pulau Hainan yang terletak di wilayah China. Walaupun terdiri dari berbagai suku etnis Tionghoa dan terdapat perbedaan dialek, namun memiliki kebiasaan adat yang sama.

Data penelitian sementara juga menunjukkan bahwa dalam hal pengangkatan anak dikenal 2 model pengangkatan anak, yaitu ;

1. Pengangkatan anak yang dilakukan dimana anak angkat tidak menetap bersama orang tua angkat namun tetap tinggal bersama orang tua kandungnya.

2.

Pengangkatan anak yang dilakukan dimana anak angkat tersebut menetap

bersama orang tua angkatnya dan telah putus hubungan antara anak kandung dengan orang tua kandungnya tersebut.

Adanya model pengangkatan anak di kalangan etnis Tionghoa khususnya suku

(12)

Medan. Penelaahan ini nantinya akan dilakukan melalui suatu penelitian dengan judul “Kedudukan Anak Angkat Perempuan Terhadap Harta Warisan Dalam Etnis

Tionghoa Suku Hainan Di Kota Medan”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dikemukakan beberapa permasalahan yang akan dikaji lebih lanjut antara lain sebagai berikut:

1. Bagaimanakah syarat-syarat dan prosedur pengangkatan anak perempuan pada masyarakat Etnis Tionghoa Suku Hainan di Kota Medan ?

2. Bagaimanakah kedudukan anak angkat perempuan dalam hukum waris yang berlaku bagi warga negara Indonesia etnis Tionghoa Suku Hainan?

3. Bagaimana akibat hukum dari pengangkatan anak perempuan tersebut terhadap hubungan dengan orang tua kandung dan orang tua angkat dalam hal nafkah, pemeliharaan dan warisan ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui syarat-syarat dan prosedur pengangkatan anak perempuan pada masyarakat Etnis Tionghoa Suku Hainan di Kota Medan.

(13)

3. Untuk mengetahui akibat hukum dari pengangkatan anak perempuan tersebut terhadap hubungan dengan orang tua kandung dan orang tua angkat dalam hal nafkah, pemeliharaan dan warisan.

D. Manfaat Penelitian

Pelaksanaan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun praktis, seperti yang dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut: 1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbang saran dalam ilmu pengetahuan hukum pada umumnya, dan hak waris dan hukum perwarisan pada khususnya, terutama mengenai hak waris dan kedudukan anak angkat perempuan terhadap harta warisan dalam etnis Tionghoa suku Hainan di Kota Medan.

2. Secara Praktis

(14)

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran dan pemeriksaan yang telah penulis lakukan baik di kepustakaan penulisan karya ilmiah Magister Hukum, maupun di Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan maupun tesis pada beberapa universitas lainnya, sejauh yang diketahui ditemukan adanya penelitian maupun hasil penelitian yang mengangkat topik pengangkatan anak dan hak waris etnis Tionghoa, yaitu antara lain penelitian dengan judul :

1. “Peranan Notaris Pada Lembaga Pengangkatan Anak”, Oleh Tetty Ruslie Naulibasa, Mahasiswa Magister Kenotariatan, Sekolah Pascasarjana USU Medan, Tahun 2008.

2. “Perlindungan Hukum Terhadap Hak Waris Anak Angkat Warganegara Indonesia Keturunan Tionghoa Sehubungan Dengan Surat Waris Yang Dibuat Oleh Notaris". Oleh Iman Immanuel Sinaga, NIM. B4B 004 203, Mahasiswa Magister Kenotariatan, Undip Semarang, Tahun 2005.

3. “Pengaruh Surat Penetapan Pengadilan Atas Pengangkatan Anak Bagi Pegawai Negeri Sipil Muslim Dalam Daftar Gaji (Studi Kasus di Pengadilan Agama Medan)”, oleh Mayasari, NIM. 102111020, Mahasiswa Magister Kenotariatan, Program Pascasarjana USU Medan, tahun 2012.

(15)

Dalam Etnis Tionghoa Suku Hainan Di Kota Medan belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, penelitian yang dilakukan ini adalah asli adanya. Kondisi ini dapat diartikan bahwa secara akademik penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kemurniannya, karena belum ada yang melakukan penelitian dengan lokasi penelitian dan objek yang sama dengan judul penelitian ini.

F. Kerangka Teori Dan Konsep

1. Kerangka Teori

Penulisan suatu karya ilmiah seperti halnya tesis tentunya memerlukan suatu kerangka teori atau kerangka pikir yang mendasari penulisan. Kerangka teori dimaksud adalah pemikiran teoritis yang digunakan dalam menganalisis permasalahan yang dikaji dalam hal ini kedudukan anak angkat perempuan dalam terhadap harta warisan orang tua angkatnya. Jadi kerangka pemikiran merupakan hal yang esensial pada kegiatan penelitian yang memberikan landasan argumentasi dan dukungan dasar teoritis (konsepsional) dalam rangka pendekatan pemecahan masalah yang dihadapi atau yang menjadi objek penelitian.

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi,12 dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.13 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu

(16)

kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.14

Apabila dikaitkan dengan judul penelitian ini yang berkaitan dengan ketentuan hukum waris khususnya dalam masyarakat Tionghoa kerangka teori yang sebagaimana dikemukakan oleh Eugen Ehrlich seperti dikutip Soerjono Soekanto bahwa “…hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di masyarakat.”15 Ehrlich juga menyatakan bahwa, hukum positif hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, dalam istilah antropologi dikenal sebagai pola-pola kebudayaan (culture pattern).16

Friedman yang dikutip Soerjono Soekanto menyatakan; legal substanceadalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sebuah sistem.17 Substansi juga berarti produk yang dihasilkan, mencakup keputusan yang dikeluarkan, aturan baru yang disusun. Substansi juga mencakup hukum yang hidup (living law), dan bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang atau law in books.18

Berdasarkan teori di atas, jelaslah bahwa hukum merupakan suatu kaedah atau norma yang berfungsi untuk mengatur berbagai kepentingan dan tuntutan didalam masyarakat. Sebagaimana diketahui bahwa setiap warga memiliki kepentingan dan tuntutan yang harus disesuaikan antara warga masyarakat yang satu dengan yang 14M. Solly Lubis,Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80 15Eugen Ehrlich dalam Soerjono Soekanto,Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat, Rajawali, Jakarta, 1985, hal. 19.

16Soerjono Soekanto,Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Rajawali, 1991, hal. 37. 17Ibid., hal 14

(17)

lainnya. Pokok-pokok ajaran madzab historis yang diuraikan Von Savigny dan beberapa pengikutnya dapat disimpulkan sebagai berikut :

a. Hukum ditemukan tidak dibuat. Pertumbuhan hukum pada dasarnya adalah proses yang tidak disadari dan organis, oleh karena itu perundang-undangan adalah kurang penting dibandingkan dengan adat kebiasaan.

b. Karena hukum berkembang dari hubungan-hubungan hukum yang mudah dipahami dalam masyarakat primitif ke hukum yang lebih kompleks dalam peradaban modern kesadaran umum tidak dapat lebih lama lagi menonjolkan dirinya secara langsung, tetapi disajikan oleh para ahli hukum yang merumuskan prinsip-prinsip hukum secara teknis. Tetapi ahli hukum tetap merupakan suatu organ dari kesadaran umum terikat pada tugas untuk memberi bentuk pada apa yang ia temukan sebagai bahan mentah (Kesadaran umum ini tampaknya oleh Scholten disebut sebagai kesadaran hukum). Perundang-undangan menyusul pada tingkat akhir; oleh karena ahli hukum sebagai pembuat undang-undang relatif lebih penting daripada pembuat undang-undang.

(18)

sangat penting untuk mengikuti evolusi Volkgeist melalui penelitian hukum sepanjang sejarah.19

Roscoe Pound memandang hukum sebagai realitas sosial yang mengatur warga masyarakatnya. Definisi Roscoe Pound yang menyatakan bahwa dalam kehidupan setiap orang dalam masyarakat akan memiliki tiga tuntutan, yaitu :

a. Untuk menguasai harta benda dan kekayaan alam termasuk tanah. b. Untuk dapat memperoleh pemenuhan keuntungan.

c. Adanya jaminan terhadap campur tangan orang lain yang dapat menimbulkan gangguan.

Tuntutan dan kepentingan manusia tersebut mengalami perkembangan sehingga muncul adanya 2 teori yang menyatakan bahwa manusia sebagai makhluk individu (teori kodrat, teori psikologis) dan teori yang menyatakan manusia sebagai makhluk sosial (teori historis, teori positif, dan teori sosiologis). Dengan lahirnya beberapa peraturan hukum positif di luar KUH Perdata sebagai konsekuensi dari asas-asas hukum yang terdapat dalam lapangan hukum kekayaan dan hukum perikatan inilah diperlukan kerangka teori yang akan dibahas dalam penelitian ini, dengan aliran hukum positif yang analitis dari Jhon Austin yang mengatakan bahwa :

Hukum itu sebagai a command of the lawgiver (perintah dari pembentuk undang-undang atau penguasa), yaitu suatu perintah mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan, hukum dianggap sebagai suatu sistem

(19)

yang logis, tetap, dan bersifat tertutup (closed logical system). Hukum secara tegas dipisahkan dari moral dan keadilan tidak didasarkan pada penilaian baik-buruk.20

Menurut Jhon Austin sebagimana dikutip Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, apa yang dinamakannya sebagai hukum mengandung di dalamnya suatu perintah, sanksi kewajiban dan kedaulatan. Ketentuan-ketentuan yang tidak memenuhi unsur-unsur tersebut tidak dapat dikatakan sebagaipositive law, tetapi hanyalah merupakan

positive morality. Unsur perintah ini berarti bahwa pertama satu pihak menghendaki agar orang lain melakukan kehendaknya, kedua pihak yang diperintah akan mengalami penderitaan jika perintah itu tidak dijalankan atau ditaati, ketiga perintah itu adalah pembedaan kewajiaban terhadap yang diperintah, keempat, hal ketiga hanya dapat terlaksana jika yang memerintah itu adalah pihak yang berdaulat.21

Hukum mengatur perilaku manusia dalam setiap hubungan hukum yang dilakukannya termasuk dalam hal pengangkatan anak. Tata hukum bertitik tolak dari pemahaman tentang tanggung jawab manusia dan perlindungan hak-hak manusia sebagai subjek hukum. Sejak seorang anak dilahirkan hidup adalah subjek hukum termasuk anak yang kehidupannya dalam suatu keluarga merupakan anak angkat.

Anak merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Kuasa yang diberikan kepada pasangan suami isteri sebagai pelengkap dalam kebahagiaan rumah tangganya. Di dalam diri seorang anak terkandung harapan dari orang tua untuk dapat

20Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2002, hal. 55.

(20)

berperan sebagai penerus keturunan dan sekaligus sebagai penerus cita-cita agar dapat tumbuh dan berkembang dengan sehat dan baik, secara fisik, mental maupun sosialnya.

Harapan pasangan suami isteri sebagai orang tua akan terwujud apabila pasangan suami isteri tersebut dikaruniai keturunan (anak). Memiliki keturunan (anak) merupakan tujuan utama bagi pasangan suami isteri untuk dapat melengkapi kebahagiaan hidup perkawinannya. Oleh karena itu, pasangan suami isteri yang telah lama menikah namun belum juga dikaruniai keturunan (anak), maka solusinya adalah dengan mengangkat anak.

Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa :

Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.

(21)

Di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, Pasal 1 angka 1 disebutkan Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, kedalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan.

Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 2 nya disebutkan Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat.

Pengangkatan anak juga dapat diartikan sebagai suatu tindakan mengambil anak orang lain untuk dipelihara dan diperlakukan sebagai anak kandung sendiri, berdasarkan ketentuan-ketentuan yang disepakati bersama dan sah menurut hukum yang berlaku di masyarakat yang bersangkutan.22 Perumusan ini adalah perumusan umum untuk pengangkatan anak yang mempunyai beberapa bentuk perwujudan yang berkaitan dengan situasi dan kondisi masyarakat tertentu pihak-pihak yang bersangkutan. Selanjutnya apabila masalah pengangkatan anak ini diamati menurut

(22)

proporsi yang sebenarnya secara dimensional, maka akan ditemukan hal-hal yang menjadi perhatian pengangkatan anak dan menyangkut hukum pengangkatan anak.

Adapun motif atau alasan pengangkatan anak di Indonesia antara lain: 1. Ingin mempunyai keturunan, ahli waris

2. Ingin mempunyai teman untuk dirinya sendiri atau untuk anaknya karena kesepian;

3. Ingin mewujudkan rasa sosial, belas kasihannya terhadap orang lain, bangsa lain yang dalam kesulitan hidup sesuai dengan kemampuannya;

4. Adanya peraturan perundang-undangan yang memungkinkan pelaksanaan pengangkatan anak;

5. Adanya orang-orang tertentu yang menganjurkan pengangkatan anak untuk kepentingan pihak tertentu.23

Kenyataan sosial yang tidak dapat lagi dipungkiri ialah bahwa pengangkatan anak merupakan salah satu aspek dalam hubungan antar bangsa dan anak negara. Pengangkatan anak semacam itu menimbulkan masalah baru yaitu masalah pengangkatan anak antar negara.

Pengangkatan anak dalam masyarakat Tionghoa juga memiliki ketentuan tersendiri dimana menurut hukum adat Tionghoa, seharusnya yang masuk dalam preferensi pertama diadopsi adalah keluarga sedarah dari generasi yang tepat dibawah generasi orang yang mengangkat anak (abdotan), seperti anak laki-laki dari seorang saudara laki-laki, kemudian lebih jauh, anak laki-laki dari sepupu laki-laki dari

(23)

paman, karena nantinya anak adopsi dan anak adoptan sendiri, akan berada dalam generasi yang sama. Dengan demikian, tampak bahwa adopsi tidak bisa dilangsungkan terhadap sembarang orang, seperti misalnya mengadopsi anak laki-lakinya sendiri, atau pamannya, sebab akan terjadi kekacauan dalam hubungan kekeluargaan.

Kebiasaan lain dari adopsi menurut hukum adat Tionghoa adalah adanya larangan mengangkat anak dari keluarga lain, yang tampak dari dipakainya nama keluarga yang lain. Namun demikian, dalam prakteknya ternyata banyak muncul adopsi atas anak-anak yang memakai nama keluarga lain.

Dalam hal pengangkatan anak juga tidak terlepas dari adanya akibat hukum yang menyangkut dengan harta warisan. Pasal 11 Staatblad Tahun 1917 Nomor 129 menyebutkan “Pengangkatan anak mempunyai akibat hukum bahwa orang yang akan diangkat sebagai anak (baik anak laki-laki ataupun perempuan) itu memperoleh nama marga dari orang tua angkat nya dalam hal marganya berbeda dengan marga orang yang diangkat sebagai anak”. Pengangkatan anak mengakibatkan putusnya hak-hak keperdataan yang berkaitan dengan garis keturunan antara oang tua kandung.

(24)

Meskipun sudah ditentukan dalam pembagian waris pada masyarakat golongan Tionghoa diberlakukan KUH Perdata, namun dalam kenyataannya sebagian besar masyarakat Tionghoa lebih memilih pembagian harta warisan secara hukum adat.

2. Konsepsi

Konsepsi merupakan definisi operasional dari intisari objek penelitian. Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian dan penafsiran dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu, dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian ini. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, dirumuskan serangkaian kerangka konsepsi atau definisi operasional sebagai berikut :

1. Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang bertujuan untuk memberi status/kedudukan kepada seorang anak orang lain yang sama seperti anak kandung dalam hal ini yang dilakukan menurut kebiasaan masyarakat warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa. Pengangkatan anak juga diartikan sebagai suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seseorang anak dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua yang sah/walinya yang sah/orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan kekuasaan keluarga orang tua angkat berdasarkan putusan/penetapan Pengadilan Negeri.24

(25)

2. Anak angkat ialah anak yang diangkat dengan mengambil anak atau dijadikan anak oleh orang lain sebagai anaknya. Anak angkat itu mungkin seorang anak laki-laki atau seorang anak perempuan.25

3. Anak angkat perempuan adalah anak perempuan yang diangkat oleh suatu keluarga etnis Tionghoa baik yang berasal dari warga negara Indonesia keturunan Tionghoa maupun dari warga negara Indonesia lainnya.

4. Etnis Tionghoa adalah warga negara Indonesia keturunan Tionghoa yang dalam hal ini berasal suku Hainan. Dalam hal ini masyarakat Etnis Tionghoa diartikan sebagai sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama.26 Tionghoa adalah masyarakat yang berasal dari timur asing (China) yang bermukim di wilayah Indonesia baik telah menjadi warga negara Indonesia atupun belum.27 Dengan kata lain, etnis Tionghoa adalah suatu perkumpulan/komunitas yang berasal timur asing (China) yang masuk dan bermukim di wilayah Indonesia kemudian secara langsung disamakan sebagai warga negara Indonesia ataupun kemudian hari atas inisiatif sendiri bermaksud menjadi warga negara Indonesia.

5. Suku Hainan adalah salah satu suku bangsa dari Etnis Tionghoa yang berasal dari China bagian Selatan dan telah bermukim lama di Indonesia termasuk di wilayah Kota Medan.

25B. Bastian Tafal,

Pengangkatan Anak Melalui Hukum Adat serta Akibat-Akibat Hukumnya Di Kemudian Hari, Rajawali, Jakarta, 1983, hal . 45. Lihat Pasal 1 angka 9 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

26

W. J. S. Poerwadarminta.,Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1986, hal 564

(26)

6. Hukum waris adalah hukum waris yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan berlaku bagi Etnis Tionghoa.

G. Metode Penelitian

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Rancangan penelitian tesis ini merupakan penelitian yang menggunakan penelitian deskriptif analitis yang menguraikan/memaparkan sekaligus menganalisis tentang kedudukan anak angkat perempuan dalam terhadap harta warisan orang tua angkat di dalam masyarakat etnis Tionghoa. Penelitian ini merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya.28 Menggambarkan masalah-masalah hukum dan menganalisa masalah-masalah tersebut, sehingga dapat ditarik kesimpulan.

Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan yuridis empiris dengan didukung oleh penelitian lapangan terhadap etnis Tionghoa khususnya suku Hainan di Kota Medan. Namun demikian, penelitian ini juga didasarkan pada dasar normatif, yaitu penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum, yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai pijakan normatif, yang berawal dari premis umum kemudian berakhir pada suatu kesimpulan khusus. Hal ini dimaksudkan untuk menemukan kebenaran-kebenaran baru (suatu tesis) dan kebenaran-kebenaran induk (teoritis).

(27)

Pendekatan yuridis empiris disebut demikian karena penelitian ini merupakan penelitian lapangan namun juga tidak terlepas dari data kepustakaan dan dokumen yang ditujukan atau dilakukan hanya pada peraturan perundang-undanagn yang relevan dengan permasalahan yang diteliti atau dengan perkataan lain melihat hukum tidak dari aspek normatif yang kemudian dihubungkan dengan data dan kebiasaan yang hidup di tengah-tengah masyarakat.

2. Lokasi dan Populasi Penelitian

Lokasi Penelitian yang ditentukan adalah di Kota Medan khususnya terhadap Etnis Tionghoa dari suku Hainan dengan populasi penelitian meliputi seluruh warga Etnis Tionghoa dari suku Hainan dan Pengurus Yayasan Laut Selatan Cabang Medan yang merupakan yayasan suku Hainan di Kota Medan dan Pejabat Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Medan. Kemudian dari keseluruhan diambil Populasi beberapa sampel yang dijadikan responden dan informan penelitian seperti Etnis Tionghoa yang mengangkat anak dan para pengurus yayasan suku Hainan di Kota Medan.

3. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data

(28)

dengan objek penelitiannya sehingga dapat menambah khasanah dalam menganalisis data dan menyajikan hasil penelitian.

Sumber data berasal dari penelitian kepustakaan (library research) yang diperoleh dari :

1. Bahan hukum primer, yang terdiri dari : a. Peraturan perundang-undangan

b. Teori hukum perkawinan dan keluarga

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang berkaitan dengan bahan hukum primer, misalnya buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan, tulisan para ahli, makalah, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan peneltian ini.

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang bersifat menunjang bahan hukum primer dan sekunder untuk memberikan informasi tentang bahan hukum sekunder, misalnya majalah, surat kabar, kamus hukum, kamus bahasa Indonesia. Selain itu, sebagai data sekunder juga dilakukan penelitian lapangan (field research) dimaksudkan untuk memperoleh data sekunder yang tidak diperoleh dalam penelitian untuk mendukung analisis permasalahan yang telah dirumuskan.

Dalam penelitian tesis ini dipergunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut :

a. Penelitian kepustakaan (library research)

(29)

peraturan perundang-undangan yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti serta tulisan-tulisan yang terkait dengan kedudukan anak angkat perempuan dalam terhadap harta warisan orang tua angkatnya dalam masyarakat etnis Tionghoa.

b. Penelitian Lapangan (field research)

Penelitian lapangan ini dimaksudkan untuk memperoleh data primer yang berkaitan dengan materi penelitian yaitu tentang kedudukan anak angkat perempuan dalam terhadap harta warisan orang tua angkat dalam masyarakat etnis Tionghoa.

Penelitian lapangan (field research) dimaksudkan untuk memperoleh data sekunder yang tidak diperoleh dalam penelitian untuk mendukung analisis permasalahan yang telah dirumuskan. Data sekunder tersebut diperoleh dari wilayah Kota Medan. Metode yang digunakan yaitu wawancara dengan narasumber baik responden maupun informan. Responden yaitu menyatakan responden merupakan pemberi informasi yang diharapkan dapat menjawab semua pertanyaan.29 Informan adalah sumber informasi untuk pengumpulan data. Informan juga dapat didefinisikan sebagai orang yang dianggap mengetahui dan berkompeten dengan masalah objek penelitian.30

4. Alat Pengumpulan Data

Berdasarkan metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, maka alat pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut :

29Herman Warsito, Pengantar Metodologi Penelitian, Buku Panduan Mahasiswa, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997, hal. 71,

(30)

a. Studi Dokumen yaitu dengan meneliti dokumen-dokumen yaitu tentang pengangkatan anak. Dokumen ini merupakan sumber informasi yang penting yang berhubungan dengan kedudukan anak angkat perempuan dalam terhadap harta warisan orang tua angkatnya dalam masyarakat etnis Tionghoa di Kota Medan.

b. Wawancara31 dengan menggunakan pedoman wawancara (interview quide)32. Wawancara dilakukan terhadap responden dengan menggunakan pedoman wawancara yang telah dipersiapkan sebelumnya. Wawancara ini dilakukan dengan cara terarah maupun wawancara bebas dan mendalam (depth interview).

5. Analisis Data

Metode analisis data digunakan dalam penelitian ini ditujukan untuk menarik kesimpulan dari hasil pembahasan yang sudah terkumpul digunakan metode normatif kualitatif. Normatif, karena penelitian ini bertolak dari peraturan yang ada sebagai normatif hukum positif sedangkan kualitatif, dimaksudkan analisis data yang bertitik tolak pada usaha penemuan asas-asas dan informasi-informasi.

Data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan selanjutnya akan dipilah-pilah guna memperoleh pasal-pasal yang berisi kaedah-kaedah hukum maupun berbagai ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan yang mengatur masalah kedudukan anak angkat perempuan terhadap harta warisan etnis Tionghoa, kemudian

31Herman Warsito,Op.Cit,hal 71.

(31)

disistematisasikan sehingga menghasilkan suatu klasifikasi yang selaras dengan permasalahan yang ditelaah dalam penelitian ini akan dijawab.33

Walaupun dalam penelitian ini nantinya akan bersinggungan dengan perspektif disiplin ilmu lainnya, namun penelitian ini tetap merupakan penelitian hukum, karena perspektif disiplin lain hanya sekedar alat bantu.34 Dengan demikian, jelaslah bahwa data yang telah terkumpul akan dianalisis secara kualitatif yaitu menafsirkan menganai kedudukan anak angkat perempuan terhadap harta warisan Etnis Tionghoa dari suku Hainan di Kota Medan. Penarikan kesimpulan dilakukan melalui induktif.

33Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta 2002. hal.. 24.

Referensi

Dokumen terkait

Subyek dalam asuhan ini adalah Ny „‟N‟‟ G2P1A0 26 minggu kehamilan normal dengan nyeri punggung di PBM Dyah Ayu Amd.Keb Mojoagung jombang Hasil : asuhan kebidanan

Ketahanan ideologi diartikan sebagai kondisi dinamik kehidupan ideologi bangsa Indonesia yang berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan kekuatan nasional

10,5 g/ha memiliki daya kendali yang berbeda dengan herbisida paraquat 900 g/ha dan penyiangan mekanis sehingga dapat diketahui bahwa herbisida 1,8-cineole tidak mampu menyamai

7.2 Kondisi untuk penyimpanan yang aman, termasuk ketidakcocokan Bahan atau campuran tidak cocok. Pertimbangan untuk nasihat lain •

Sesuai dengan permasalahan yang di kemukakan diatas, secara umum tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui sejauh mana penerapan model pembelajaran Cooperative

Berda- sarkan uraian tersebut, dapat disim- pulkan bahwa kemampuan komu- nikasi matematis siswa pada kelas yang menggunakan pembelajaran berbasis masalah lebih tinggi

Gender is defi ned as the social construction of differences in the roles, functions and responsibilities between women and men resulting from socio-cultural construction and

Hasil Wawancara dengan Bapak Sartono, S. I selaku guru Fiqih kelas VIII di MTs Ismailiyyah Nalumsari Jepara pada tanggal 25 Agustus 2016.. Dalam menerapkan strategi penilaian