• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "BAB I"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Teknologi informasi dan komunikasi telah merubah perilaku masyarakat dan peradaban manusia secara global. Pada era globalisasi, pelaku usaha mulai mengembangkan usaha mereka dengan memanfaatkan teknologi sebagai sarana usaha. Kegiatan perdagangan dengan memanfaatkan internet ini dikenal dengan istilah electronic commerce, atau disingkat e-commerce, dalam pemasaran transaksi jual beli melalui internet dan transaksi melalui media elektronik juga diatur dalam Undang-undang Nomor 19 tahun 2016 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik selanjutnya disebut UUITE. Saat ini jual beli melalui internet sering dilakukan masyarakat karena merupakan kegiatan rutinitas yang dapat dilakukan.

Jual beli adalah salah salah satu bentuk kegiatan yang melibatkan penjual dan pembeli. Suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Tidaklah berbeda dengan perjanjian pada umumnya, yaitu suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melakukan suatu hal. Lalu ciri yang membedakan kontrak perjanjian Jual Beli online dari kontrak lain pada umumnya adalah bahwa kesepakatan tidak diberikan dalam bentuk tertulis maupun lisan, melainkan melalui komunikasi dengan media elektronik.

(2)

Pada Pasal 1 angka 6 UUITE mengatur bahwa penyelenggaraan sistem elektronik adalah pemanfaatan sistem elektronik oleh penyelenggara negara, orang, badan usaha, dan/atau masyarakat. Dalam hal ini penyelenggara sistem elektronik adalah orang badan usaha, dan/atau masyarakat dengan sistem Cash On Delivery (selanjutnya disingkat COD).

COD merupakan cara untuk mengatasi permasalahan tersebut karena penjual dan pembeli dapat bertemu secara langsung. Sistem COD dapat berjalan ketika penjual dan pembeli berada disuatu wilayah yang sama dan setelah kedua belah pihak menyepakatinya perjanjian yang telah dibicarakan sebelumnya.

Dalam jual beli dengan sistem COD penjual akan memuat produk atau barang yang akan dijualnya melalui foto produknya dengan mencantumkan spesifikasi barang, harga dan nomor penjual.

Selanjutnya, Pasal 15 ayat (1) UUITE mengatur bahwa sistem penyelenggara elektronik harus menyelenggarakan sistem elektronik secara andal dan aman serta bertanggung jawab terhadap beroperasinya sistem elektronik sebagaimana mestinya. Hal tersebut menyatakan bahwa penggunaan jasa COD yang seharusnya aman karena pembeli langsung membayar barang di tempat.

Pasal 1320 KUH Perdata juga sebagai dasar pengaturannya sehingga apa yang menjadi syarat sah nya perjanjian dalam sistem COD antara pembeli dengan penjual dapat diakui keabsahannya jika keempat syarat sahnya perjanjian dipenuhi dalam perjanjian jual beli secara online maka telah terjadi perikatan diantara mereka yang menimbulkan hubungan hukum yang berakibat timbulnya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak.

(3)

Dengan melakukan pembayaran dengan metode transfer pembeli akan mentransfer sejumlah uang ke rekening penjual, setelah penjual menerima uang tersebut, maka penjual akan mengirimkan barang ke alamat pembeli. Sehingga dalam transaksi ini pembeli tidak mengetahui secara pasti kualitas dan kuantitas barang yang dijual. Hal tersebut dapat menimbulkan kekecewaan serta kerugian yang ditanggung oleh pihak pembeli.

Berbeda jika penjual dan pembeli dapat bertemu secara lansung, mereka akan melakukan transaksi di suatu tempat sesuai dengan perjanjian. Sehingga pembeli dapat melihat langsung apakah barang yang dijual seperti yang diiklankan atau terdapat cacat yang tidak disebutkan dalam iklan sehingga apabila pembeli merasa dibohongi, transaksi tersebut dapat dibatalkan.

Dalam jual beli online banyak pembeli yang merasa dirugikan karena barang yang dijual terdapat cacat yang tidak disebutkan, barang dengan merek terkenal namun ternyata mesin atau komponennya adalah barang palsu, atau barang yang dijual sudah rusak total sebelum dijual. Maka untuk menanggulangi hal tersebut pihak pembeli berhak mendapatkan perlindungan akan produk yang dijual belikan. Sehingga posisi pembeli tidak berada pada posisi yang lemah.

Pemberitaan yang diberitakan di iNewsSumsel.id edisi 16 Juni 2021 memberitakan mengenai kasus COD kembali berujung keributan. Peristiwa yang terjadi di Kecamatan Mekar Baru, Kabupaten Tanggerang viral di media sosial.

Konsumen mengancam memborgol kurir karena pesanannya tidak sesuai.

(4)

Konsumen kesal karena pesanan CCTV bohlamnya berisi botol air mineral.

Konsumen marah dan meminta agar uang dikembalikan1.

Berdasarkan pemberitaan iNewsSumsel.id diketahui bahwa konsumen merasa dirugikan dengan adanya sistem COD. Karena itulah perlindungan konsumen perlu diterapkan. Perlindungan konsumen diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK), sehingga dimaksudkan menjadi landasan hukum bagi para pembeli dalam melakukan aktifitas jual beli. Dalam UUPK penjual disebut pelaku usaha dan pembeli adalah konsumen. Masalah perlindungan konsumen semakin gencar dibicarakan. Permasalahan ini tidak akan pernah habis dan akan selalu menjadi bahan perbincangan di masyarakat. Selama masih banyak konsumen yang dirugikan, masalahnya tidak akan pernah tuntas. Oleh karena itu, masalah perlindungan konsumen perlu diperhatikan.

Hukum perlindungan konsumen merupakan salah satu bagian dari hukum konsumen yang memuat berbagai asas-asas dan kaidah-kaidah yang memiliki sifat mengatur serta melindungi kepentingan bagi para konsumen2. Mengatur dan melindungi konsumen agar mereka tidak selalu menderita kerugian dan berada pada posisi yang lemah akibat ulah pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab hukum atas barang yang ditawarkan atau diperjual belikan. Perlunya perlindungan hukum konsumen tidak lain karena lemahnya posisi konsumen dibandingan pelaku usaha.

1 MNC Portal. 2021. Kasus-Kasus COD Viral, dari Samurai hingga disiram air di Palembang. https://www.google.com/amp/s/sumsel.inews.id/amp/berita/kasus-kasus-cod-viral- dari-samurai-hingga-disiram-air-di-palembang diakses pada tanggal 22 Agustus 2021.

2Celina Tri Siwi Kristiyantin, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 67.

(5)

Hal ini yang membuat penulis tertarik untuk mengkaji judul tentang “Tanggung Jawab Para Pihak Dalam Perjanjian Jual Beli Online Dengan Sistem Cash On Delivery (COD)”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana bentuk perjanjian jual beli online dengan sistem COD?

2. Bagaimana bentuk tanggung jawab para pihak dalam perjanjian jual beli online dengan sistem COD?

C. Tujuan Penelitian

Memperhatikan rumusan masalah yang dikemukakan di atas, maka tujuan penulisan ini adalah :

1. Mengetahui bagaimana bentuk perjanjian jual beli online dengan Sistem COD.

2. Mengetahui bagaimana bentuk tanggung jawab pelaku usaha dan perlindungan konsumen dalam jual beli dengan sistem COD dalam UUPK dan UUITE.

3. Sebagai salah satu persyaratan akademik untuk memperoleh gelar sarjna pada Fakultas Hukum Universitas Pattimura.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini hendaknya dapat memberi manfaat, baik secara teoritis maupun praktis.

1. Manfaat Teoritis

(6)

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan pengetahuan dan referensi dalam fokus kajian hukum terutama mengenai perjanjian jual beli secara online dengan sistem COD.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan bagi masyarakat tentang legalitas dan perlindungan hukum dalam transaksi jual beli online dengan sistem COD, sehingga masyarakat dapat melakukan transaksi jual beli online dengan sistem COD dengan aman.

E. Kerangka Konseptual 1. Perjanjian Jual Beli

Ada berbagai macam jenis perjanjian yang dapat dibuat oleh para pihak.

Hal ini sesuai dengan asas kebebasan berkontrak yang dianut Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH Perdata) yang memungkinkan para pihak membuat dan mengadakan perjanjian yang melahirkan kewajiban apa saja, selama dan sepanjang prestasi yang wajib dilakukan tersebut bukanlah sesuatu yang terlarang, salah satu perjanjian yang dapat dibuat adalah perjanjian jual beli.

Pasal 1457 KUH Perdata, yang dimaksud dengan jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.

Jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikat dirinya

(7)

untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan3.

Perjanjian jual beli adalah suatu proses kesepakatan antara pihak pertama dengan pihak kedua yang mengikat kedua belah pihak untuk memberikan sesuatu.

Pihak penjual Memberikan suatu benda kepada pihak pembeli. Pembeli memiliki kewajiban membayar harga yang telah dijanjikan dan disepakati untuk menebus barang yang diinginkan4.

Menurut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, dalam jual beli senantiasa terdapat dua sisi hukum perdata yaitu hukum kebendaan dan hukum perikatan.

Dikatakan demikian karena pada sisi hukum kebendaan, jual beli melahirkan hal bagi kedua belah pihak atas tagihan yang berupa penyerahan kebendaan pada satu pihak dan pembayaran harga jual pada pihak lainnya.

Syarat sah perjanjian telah diatur dalam ketentuan KUH Perdata pada Pasal 1320. Perjanjian dianggap sah dan mengikat secara penuh bagi para pihak yang membuatnya sejauh tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku5. Dalam pasal tersebut, ditegaskan bahwa syarat sah perjanjian meliputi 4 unsur:

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya:

Dengan sepakat dimaksudkan bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu,

3Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan Kesembilan Belas (Jakarta : Intermasa, 2002), hlm.

52

4Redaksi RAS, Tip Hukum Praktis : Tanah dan Bangunan, (Depok : Raih Asa Sukses, 2009), hlm. 24

5Sitti Nurjannah, “Lembaga Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen’, Jurisprudentie: Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum 3.1 (2016): 119-125

(8)

juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Cara mengutarakan kehendak ini bisa bermacam-macam. Dapat dilakukan secara tegas atau secara diam- diam, dengan tertulis atau dengan tanda.

Jika suatu perjanjian dibuat oleh dua pihak yang tidak tinggal di kota yang sama dan percakapanpun tidak dilakukan secara lisan, tetapi dengan surat atau telegram, maka timbul pertanyaan, kapan saat terjadinya perjanjian itu. Untuk itu, dikenal beberapa teori-teori yaitu: teori pernyataan, teori pengiriman, teori pengetahuan dan teori penerimaan6.

Menurut teori pernyataan, perjanjian telah ada pada saat telah ditulis surat jawaban penerimaan. Menurut teori pengiriman, perjanjian sudah tercipta pada saat surat jawaban penerimaan telah dikirimkan. Sedangkan menurut teori pengetahuan, saat terjadinya perjanjian itu tidak pada saat penawaran dan penerimaan itu dinyatakan, tetapi setelah kedua pihak itu mengetahui pernyataan masing-masing. Jadi baru setelah pihak yang memberikan penawaran membaca surat atau telegram dari pihak yang memberikan penerimaan. Dan yang terakhir menurut teori penerimaan.

Menurut teori penerimaan, saat lahirnya perjanjian, yaitu pada saat diterimanya surat jawaban. Tidak perduli apakah surat itu sudah dibaca atau belum.

Selanjutnya menurut pasal 1321 KUH Perdata, kata sepakat harus diberikan secara bebas, dalam arti tidak ada paksaan, penipuan dan kekhilafan. Jika ada unsur paksaan atau penipuan maka perjanjian menjadi batal. Sedangkan kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya perjanjian,

68 Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tantang Benda dan Hukum Perikatan (Bandung : Nuansa Aulia, 2008), hlm. 92.

(9)

kecuali jika kekhilafan itu mengenai hakikat barang yang menjadi pokok perjanjian.7

Kesepakatan kehendak dalam hal ini dimaksudkan agar suatu kontrak dianggap sah oleh hukum, maka kedua belah pihak mesti ada kesesuaian pendapat tentang apa yang diatur oleh kontrak tersebut. Oleh hukum umumnya diterima teori bahwa kesepakatan kehendak itu ada jika tidak terjadinya salah satu unsur-unsur sebagai berikut:

a. Paksaan (dwaang, duress) b. Penipuan (bedrog, fraud) c. Kesilapan (dwaling, mistake)

Sebagaimana pada Pasal 1321 KUH Perdata menentukan bahwa kata sepakat tidak sah apabila diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Syarat kecakapan yang dimaksud adalah bahwa pihak yang melakukan kontrak haruslah orang yang oleh hukum memang berwenang membuat kontrak tersebut. Sebagaimana dalam Pasal 1330 KUH Perdata menentukan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan, kecuali undang-undang menentukan bahwa ia tidak cakap.

Unsur kedua adalah kecakapan untuk membuat suatu perikatan.

Menurut pasal 1329 KUH Perdata : setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikata, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tak cakap.

7Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tantang Benda dan Hukum Perikatan (Bandung : Nuansa Aulia, 2008), hlm. 93.

(10)

Ini kemudian dijelaskan batasan umur mengenai cakap hukum dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menjelaskan batasan usia cakap seseorang yakni berumur 18 Tahun atau telah menikah sesuai dengan apa yang telah ditetapkan dalam Pasal 47.

Sebelumnya usia cakap dewasa dalam KUH Perdata adalah 21 tahun, dan saat ini sudah tidak berlaku lagi karena diatur dalam perundang-undangan yang baru yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun 19748.

Menurut pasal 1330 KUH Perdata, yang tidak cakap untuk membuat perjanjian ada tiga golongan, yaitu:

1. Anak yang belum dewasa

2. Orang yang berada dibawah pengampunan 3. Perempuan bersuami

Sekarang ini, setelah dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963 dan setelah berlakunya Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, tinggal dua golongan yang tidak cakap membuat perikatan, yaitu anak yang belum dewasa dan orang yang berada di bawah pengampuan.

c. Suatu hal tertentu

Mengenai suatu hal tertentu maksudnya ialah bahwa objek perjanjian harus tertentu, setidak-tidaknya harus dapat ditentukan. Dan, barang-

8Istiqamah, Hukum Perdata: Hukum Orang dan Keluarga, (Makassar: Alauddin University Press, 2014), h.41.

(11)

barang yang akan ada di kemudian hari pun dapat menjadi obyek suatu perjanjian.9

Dengan syarat suatu hal tertentu dimaksudkan bahwa suatu kontrak haruslah berkenaan dengan hal tertentu. Mengenai hal ini dapat ditemukan dalam Pasal 1332 KUH Perdata yang menentukan bahwa: “hanya barang- barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu perjanjian.” Sedangkan Pasal 1333 KUH Perdata menentukan bahwa

“Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya”. Hal tersebut menunjukkan tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan/dihitung.

d. Suatu sebab yang halal

Keempat ialah sebab yang halal. Pengertian sebab yang halal ialah bukan hal yang menyebabkan perjanjian, tetapi isi perjanjian itu sendiri. Isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, maupun ketertiban umum.

Suatu kontrak haruslah dibuat dengan maksud/alasan yang sesuai hukum yang berlaku. Jadi tidak boleh dibuat kontrak untuk melakukan hal- hal yang bertentangan dengan hukum. Dan isi perjanjian tidak dilarang oleh Undang-Undang atau tidak bertentangan dengan kesusilaan/ketertiban umum. Para ahli hukum telah sepakat bahwa yang dijadikan syarat umum yang sifatnya mendasar terhadap sahnya suatu perjanjian adalah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata.

9Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tantang Benda dan Hukum Perikatan (Bandung : Nuansa Aulia, 2008), hlm. 95.

(12)

Dua syarat pertama, disebut syarat subyektif, karena menyangkut subyeknya atau para pihak yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat terakhir adalah mengenai obyeknya disebut syarat obyektif. Dalam hal suatu perjanjian dibuat tidak memenuhi syarat subyektif (sepakat dan cakap), maka perjanjian itu dapat dibatalkan, sedangkan jika syarat obyektif tidak dipenuhi maka perjanjian itu batal dengan sendirinya demi hukum.

2. Konsep Jual Beli Secara Bayar Di Tempat

Menurut Ahmad Yusron Arif10 jual beli secara COD merupakan jual beli di mana penjual dan pembeli mengawali dengan perjanjian untuk bertemu di suatu tempat. Kemudian penjual menyerahkan barang, dan si pembeli memeriksa barang tersebut. Jika pembeli puas, uang diserahkan. Secara singkat sistem ini menganut prinsip “ada uang, ada barang”. Dulu, sistem COD mengharuskan penjual dan pembeli bertemu secara langsung di tempat yang sudah disepakati sebelumnya, tetapi sekarang ada cukup banyak modifikasi dari sistem pembayaran di tempat.

Misalnya dengan melakukan sistem COD yang dilakukan oleh kurir pengiriman barang.

Istilah COD biasanya kita temui di toko online, forum jual beli, situs e- commerce dan lain sebagainya. Transaksi menggunakan metode COD biasanya dilakukan apabila lokasi penjual dengan pembeli cukup dekat, seperti di kota atau di provinsi yang sama. Sedangkan apabila jaraknya jauh maka menggunakan

10Ahmad Yusron Arif, Pengertian COD (Cash on Delivery), Blogspot.com http://cheapauto-insurance174.blogspot.com/2015/08/pengertian-dan-manfaat-cod-cash-

on_22.html diakses pada 22 Agustus 2021

(13)

metode pengiriman barang yang mana sebelumnya pembeli harus menyelesaikan biaya pembelian/ transfer11.

COD dapat memberikan keuntungan bagi pihak pembeli ataupun penjual.

Di mana pembeli memang menjadi pihak yang lebih diuntungkan. Pembeli dapat memeriksa barang yang dipesan baru kemudian membayarnya. Di lain pihak yaitu penjual, layanan COD ini juga dapat menguntungkan. Karena pasalnya layanan COD ini tentunya bisa menjadi jaminan mengenai kualitas dari online shop. Selain itu juga mampu mendatangkan pembeli dalam jumlah besar asalkan keterangan atau deskripsi yang diberikan tidak menipu.

Walaupun sistem pembayaran COD ini banyak diminati, perlu diketahui sistem pembayaran ini mempunyai beberapa kekurangan dan kelebihan, sebagai berikut12:

a. Kelebihan Jual Beli Secara COD

Ada beberapa keuntungan yang dapat diperoleh bagi pihak penjual dan pembeli dalam melakukan metode pembayaran COD. Beberapa kelebihan sistem pembayaran COD tersebut sebagai berikut:

1) Untuk Penjual: pada sistem pembayaran ini, COD menjadi salah satu strategi marketing untuk dapat meningkatkan penjualan produk karena banyak sekali konsumen yang menyukai metode pembayaran ini. Dalam banyak kejadian, metode COD ini mampu meningkatkan kepercayaan calon pembeli atas reputasi penjualan.

11Ahmad Yusron Arif, Pengertian COD (Cash on Delivery), Blogspot.com http://cheapauto-insurance174.blogspot.com/2015/08/pengertian-dan-manfaat-cod-cash-

on_22.html diakses pada 22 Agustus 2021

12Setiawati Gulo. Transaksi E-Commerce Dengan Sistem Cash On Delivery Dalam Perspektif Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia. Skripsi. (Jambi: Universitas Jambi, 2021). hlm. 35

(14)

2) Untuk Pembeli: dengan adanya metode pembayaran ini bagi konsumen dapat meningkatkan kenyamanan tersendiri karena pihak pembeli bisa memeriksa kondisi barang secara langsung, sampai menghindari penipuan atau kondisi barang yang tidak sesuai dengan pesanan.

b. Kekurangan Jual Beli Secara COD

Walaupun sistem pembayaran ini banyak diminati oleh banyak orang, namun COD memiliki kekurangan tersendiri. Berikut ini beberapa kekurangan metode COD:

1) Sistem pembayaran ini bisa dirasa merugikan saat di mana suatu transaksi ternyata dibatalkan oleh pihak pembeli dengan berbagai alasan. Tentunya hal ini akan menghabiskan waktu, tenaga dan biaya penjual.

2) Biasanya, sistem pembayaran COD menggunakan uang tunai, sehingga penjual memiliki resiko menerima pembayaran uang palsu.

3) Jika menggunakan jasa pengiriman, memiliki resiko barang tidak sesuai dengan pesanan.

4) Jangkauan layanan pada metode COD umumnya sangat terbatas, yaitu hanya mempu dilakukan oleh pembeli dan penjual yang ada dalam satu kota yang sama.

3. Perlindungan Konsumen

Pada dasarnya terjadinya kontrak jual-beli antara pihak penjual dan pembeli adalah pada saat terjadinya persesuaian kehendak dan pernyataan antara

(15)

keduanya dan juga dengan barang dan harga yang menjadi obyek jual-beli tersebut, meskipun barang tersebut belum ada di depan mata dan belum diserahterimakan. Setiap orang berhak menentukan kontrak yang mereka buat tanpa terikat oleh suatu apapun karena dalam jual beli hukum kontrak ada beberapa asas yang wajib dilaksanakan yaitu: membuat atau tidak membuat perjanjian mengadakan perjanjian dengan siapapun, menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratan, dan menentukan bentuknya perjanjian secara tertulis atau lisan.

Menurut Rahayu Hartini13 Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

Di dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara yaitu: konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya.

Pasal 4 UUPK mendefinisikan konsumen sebagai “setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.

Pada hukum perlindungan konsumen yang termasuk obyek jual beli sebagai berikut:

a. Barang adalah setiap benda baik berwujud atau tidak berwujud baik bergerak atau tidak bergerak dapat dihabiskan maupun tidak dihabiskan

13Rahayu Hartini, Hukum Komersial, (Malang: Universitas Muhammadiyah, 2006), hlm.

210

(16)

yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan oleh konsumen.

b. Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan konsumen baik pengertian barang dan jasa ini tidak dibatasi oleh undang-undang misalnya jasa dalam bidang kesehatan atau medis, pendidikan baik secara umum maupun agama, konsultasi, dan lain-lain14.

Sebagai perbandingan dengan pengertian perlindungan konsumen sebagaimana diatur dalam UUPK, berikut akan dibahas pengertian hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen. Hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen merupakan dua bidang yang sulit dipisahkan dan ditarik batasnya. Pada intinya hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang menyatu dan tidak dapat dipisahkan.

Selanjutnya dalam UUPK diatur mengenai hak dan kewajiban pihak konsumen maupun pelaku usaha sebagai berikut15:

a. Hak dan Kewajiban Konsumen 1) Hak Konsumen

Hak-hak konsumen menurut ketentuan Pasal 4 UUPK adalah:

a) Hak asas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

14Halim Barkatullah, Hukum Perlindungan Konsumen (Bandung, Nusa Media, 2010), hlm. 12

15H. Syahruddin Nawi, Hak dan Kewajiban Konsumen Menurut UU NO.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Pleno De Jure, Vol 7 No. 1, 2018, hlm 1-8.

(17)

b) Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c) Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

d) Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

e) Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f) Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g) Hak untuk diperlakukan atau dilayanai secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

h) Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

i) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan lainnya.

2) Kewajiban Konsumen

Kewajiban-kewajiban konsumen yang diatur dalam Pasal 5 UUPK adalah:

a) membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamtan;

(18)

b) beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;

c) Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d) Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

b. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

Pelaku usaha memiliki hak dan kewajiban. Pengaturan hak-hak dan kewajiban-kewajiban pelaku usaha dapat bersumber pada peraturan perundangan yang bersifat umum dan juga perjanjian/kontrak yang bersifat khusus.

1) Hak Pelaku Usaha:

Hak pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPK adalah:

a) hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

b) hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;

c) hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

d) hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

(19)

e) hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan lainnya.

2) Kewajiban Pelaku Usaha

Kewajiban-kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7 UUPK adalah:

a) beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b) memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

c) memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

d) menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

e) memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

f) memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

g) memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian

(20)

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah penelitian hukum yuridis normatif. Menurut Peter Mahmud Marzuki jenis penelitian hukum secara yuridis normatif yaitu suatu penelitian terutama mengkaji bahan-bahan hukum, ketentuan-ketentuan hukum positif, asas-asas menjawab isu hukum yang dihadapi.16 Penelitian hukum normatif nama lainnya adalah penelitian hukum doktrinal yang disebut juga sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen karena penelitian ini dilakukan atau ditunjukkan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain.17

2. Sifat Penelitian

Sifat Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bersifat deskriptif.

Penelitian ini dilakukan di mana pengetahuan dan atau teori tentang objek yang akan diteliti telah ada lalu kemudian dipakai guna memberikan gambaran mengenai objek penelitian secara lebih lengkap dan menyeluruh.

3. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan konseptual (conseptual approach) dan pendekatan perundang-undangan (statute approach) .

Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin- doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Pendekatan perundang-undangan

16Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media, Cetakan 1, Jakarta, 2005, hlm. 16

17Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Cetakan ke-8, PT.

Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 14

(21)

dilakukan untuk menelaah semua peraturan perundang-undangan dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.

4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum

Bahan hukum dapat dibedakan menjadi 3, yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier18. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan sumber bahan hukum sebagai berikut :

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yang digunakan meliputidari KUH Perdata, UUITE, UUPK dan Undang – Undang Perdagangan.

b. Bahan Hukum Sekunder

Dalam penelitian ini bahan hukum sekunder yang digunakan meliputi buku-buku ilmiah di bidang hukum, makalah-makalah, jurnal ilmiah, artikel ilmiah.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.

Dalam penelitian ini, bahan hukum tersier yang digunakan meliputi, kamus Hukum, Wikipedia, situs internet yang berkaitan dengan perjanjian jual beli online19.

5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Mengenai teknis dan metode pengumpulan data penelitian yang penulis gunakan dalam penulisan ini adalah Penelitian Kepustakaan (Library Research) yaitu dengan cara mempelajari dan meneliti literatur yang berhubungan dengan

18Ibid

19Ibid

(22)

penulisan ini. Dalam penelitian kepustakaan, penulis mengumpulkan data dan mempelajari buku-buku, tulisan-tulisan dari berbagai pihak dan instansi yang tersebar dalam bentuk surat kabar, majalah, makalah, dan bahan bacaan yang relevan dengan penelitian ini.

6. Teknik Analisis Bahan Hukum

Dalam pengolahan bahan hukum dilakukan dengan cara menyusun kembali, meneliti dan memeriksa bahan-bahan hukum yang telah diperoleh agar dapat tersusun secara sistematis. Kemudian data-data yang diperoleh tersebut dijabarkan dalam bentuk kalimat dan kata-kata. Dalam hal ini, penulis menggunakan metode analisis kualitatif.

(23)

G. Sistematika Penulisan Skripsi 1. Bagian Awal, terdiri dari :

a. Halaman Judul

b. Lembaran Pengesahan c. Lembaran Keaslian Naskah d. Ucapan Terima Kasih e. Abstrak

f. Daftar Isi

2. Bagian Inti, terdiri dari : BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah C. Tujuan Penelitian D. Manfaat Penelitian E. Kerangka Konseptual F. Metode Penelitian G. Sistematika Penulisan.

BAB II BENTUK PERJANJIAN JUAL BELI ONLINE DENGAN SISTEM CASH ON DELIVERY (COD)

A. Perjanian Jual Beli Online

B. Bentuk Perjanian Jual Beli Online Dengan Sistem Cash On Delivery (COD)

(24)

BAB III BENTUK TANGGUNG JAWAB PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN JUAL BELI ONLINE DENGAN SISTEM CASH ON DELIVERY (COD)

A. Tanggung Jawab Pelaku Usaha dalam Perjanjian Jual Beli Online Dengan Sistem COD

B. Perlindungan Hukum Bagi Konsumen dalam Perjanjian Jual Beli Online Dengan Sistem COD

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran

3. Bagian Akhir, terdiri dari : a. Daftar Pustaka

(25)

Referensi

Dokumen terkait

Selain pengaturan mengenai hak beragama sebagai bagian dari hak asasi manusia dalam konstitusi sebagaimana disebutkan diatas yaitu dalam ketentuan pasal 28E ayat 1 2, dan pasal 28 I