• Tidak ada hasil yang ditemukan

DIMENSI SOSIAL DALAM PARADIGMA PEMBANGUNAN DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "DIMENSI SOSIAL DALAM PARADIGMA PEMBANGUNAN DI INDONESIA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

DIMENSI SOSIAL

DALAM PARADIGMA PEMBANGUNAN DI INDONESIA Oleh : Syahrituah Siregar, SE, MA

Universitas Lambung Mangkurat Abstract

It has been 65 years since its declaration of independence Indonesia conducting development efforts and still facing problems, especially inequality. Several regions, especially in western part has been developed along with the emergence of numbers of rich people. Meanwhile, there are still many underdeveloped regions and the poor in rural and urban areas. Social based development mandatory (integrating social capital, humanity, and economy) has actually been stated in republic of Indonesia constitution. The formal declaration of that mandatory in the state constitution established long before the issuance of International Covenant of Economic, Social, and Cultural Rights by United National or even Millennium Development Goals (MDGs). The essences of the covenant and MDGs contents are in line with Indonesian Constitutional Economic System (SEKI) constructed from the values of Pancasila and UUD’45. Therefore, the covenant and MDGs must not have been a “new thing” for Indonesian. The inconsistence in implementation of SEKI happened as a result of some problems. The source of problems coming from external factor is globalization trend, while from internal factors is the lack of necessary and sufficient conditions. Above those two problems are the low quality and ethics people in elite and grass root behave.

Keywords: social based, development mandatory, inconsistence

Pendahuluan

Sampai dengan tahun 2011 sudah lebih dari 65 tahun Indonesia merdeka. Sepanjang waktu itu bangsa ini sudah melaksanakan berbagai usaha dalam pembangunan. Akan tetapi, berbagai permasalahan dan tantangan masih terus menghadang, seperti masih melekatnya ciri keterbelakangan, yaknii kemiskinan dan ketimpangan ditengah keberhasilan pembangunan pada sisi lain. Kemajuan memang telah ditunjukkan dengan tumbuhnya perkotaan dan pesatnya peningkatan pendapatan kelompok masyarakat kaya. Meskipun demikian, hasil pembangunan belum sepenuhnya dinikmati secara merata oleh masyarakat .

Jika dikaitkan dengan dimensi yang lebih luas maka pembangunan yang ada telah gagal

(2)

ekonomi, pembangunan juga harus memperhatikan modal sosial masyarakat serta kulaitas hidup, minimal yang tergambar dari ukuran Index Pembangunan Manusia (IPM) yang nota bene, Indonesia tertinggal dari bangsa-bangsa lain di Asia Tenggara pada khususnya. Kualitas lingkungan, lebih parah lagi, sangat diabaikan dalam proses pembangunan. Alam hanya dikeruk kekayaannya tanpa dindahkan kelestraian dan keseimbangannya. Akibatnya acap terjadi bencana.

Arti hakiki pembangunan itu sendiri, menurut Goulet (Astroulakis, 2010) adalah pemenuhan naluri manusia yang bersifat universal: Kebutuhan dasar, harga diri, dan kemerdekaan memilih. Selama ini arah pembangunan hanya dipacu untuk mengejar kemakmuran materiil yang ternyata tidak menyentuh semua kalangan. Sementara itu harkat dan martabat bangsa cenderung diabaikan. Padahal pembangunan seharusnya ditujukan untuk membangun harkat dan martabat manusianya (people Centered). Untuk itulah penting paradigma pembangunan yang berdimensi sosial untuk menghantarkan bangsa pada kemuliaan dalam tata kehidupan beradab.

Isu Paradigma Pembangunan

Berbagai tantangan yang dihadapi mengharuskan adanya perubahan dalam paradigma pembangunan yang ada. Damanhuri (2010) menunjukkan berbagai tantangan abad 21, diantaranya, pertama, perkembangan pasca runtuhnya komunisme. Di satu sisi ini seakan menegaskan pembenaran atas desakan liberalisasi, deregulasi, dan globalisasi perekonomian hingga demokratisasi politik. Fukuyama menyatakan era ini sebagai “the end of history”. Disisi lain kita belajar bawa kesuksesan New Industrialized Countries (NIC) yang berada di Asia adalah karena negara-negara tersebut melaksanakan pembangunannya dengan model yang khas. Tidah semata patuh dengan arus globalisasi. John Naisbitt menyebutnya sebagai “the Asian Way”.

Kedua, adanya proses transisi yang lain, yakni hegemoni AS secara politik dan militer bersamaan dengan fenomena the decline of America karena defisit ganda dibidang anggaran dan

(3)

neraca perdagangan. Hutang negara ini sudah sangat luar biasa sehingga sangat membenani anggaran pembangunannya.

Ditengah isu Global Warming yang begitu mengkhawatirkan model-model pembangunan juga didesak untuk memperhatikan kelangsungan lingkungan. Istiliah sustainable development terangkat kembali disertai dengan istilah-istilah lain yang terkait seperti sustainable growth, green econoomy, green society, green GDP, green Budget, dan lain-lain. Sustainable development (SD)-pembangunan berkelanjutan- adalah penggunaan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan namun dengan tetap menjaga agar nasib generasi ke depan tidak terkorbankan (Strange and Bayley, 2008). Sustainable Growth (SG)-pertumbuhan berkelanjutan- bermakna secara singkat menjadi lebih besar secara berkesinambungan (Daly and Townsend, 1993). Terlepas dari perbedaan tersebut semangat untuk tetap tumbuh dan tetap membangun dengan memperhatikan generasi ke depan baik lingkungan maupun sosial adalah esensinya (Strange & Bayley, 2008; Ravago, Raumasset & Balisacan, 2009), sehingga model dan kebijakan yang mengarah pada pencapaian pembangunan berkelanjutan menjadi keperluan medesak.

Karakteristik model berkelanjutan memiliki kesamaan umum yaitu fleksibel dan seimbang (dalam hal ekonomi, sosial dan lingkungan). Keterlibatan internasional dan pola adaptasi dilakukan dengan berbasis pada data dan riset yang mendalam serta berkelanjutan pada lintas bidang (multi field) (Benecke, 2008; Strange and Bayley, 2008; Unescap, 2010). Oleh karenanya, indikator pembangunan harus mampu menyatukan indikator-indikator tradisional dari aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan menjadi indikator keberlangsungan (sustainability). Tiga segmen tersebut sangat terkoneksi erat sebagaimana terlihat pada gambar berikut:

(4)

Gambar 1. Koneksi Aspek Sosial, Manusiawi, dan Ekonomi Sumber : http://www.sustainablemeasures.com/node/89

Amanat Dimensi Sosial Dalam Pembangunan

Di dunia internasional pendekatan pembangunan berdimensi sosial dijamin dengan adanya Kovenan internasional tentang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang dikeluarkan PBB sejak 1966. RI meratifikasinya lewat UU No. 11 tahun 2005. Hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang dijamin dalam kovenan ini meliputi hak atas pekerjaan (Pasal 6), hak untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan menyenangkan (Pasal 7), hak untuk membentuk dan ikut serikat buruh (Pasal 8), hak atas jaminan sosial, termasuk asuransi sosial (Pasal 9), hak atas perlindungan dan bantuan yang seluas mungkin bagi keluarga, ibu, anak, dan orang muda (Pasal 10), hak atas standar kehidupan yang memadai (Pasal 11), hak untuk menikmati standar kesehatan fisik dan mental yang tertinggi yang dapat dicapai (Pasal 12), hak atas pendidikan (Pasal 13 dan 14), dan hak untuk ikut serta dalam kehidupan budaya (Pasal 15).

Secara lebih mutakhir, koreksi atas model pembangunan yang kurang memperhatikan aspek sosial juga disuarakan oleh lembaga internasional. Dalam rangka Millenium Development Goals (MDGs), UNDP mencanangkan perbaikan indikator kesejahteraan bagi masyarakat, meliputi: Eradicate Extreme Poverty and Hunger; Achieve Universal Primary Education;

(5)

Promote Gender Equality and Empower Women; Reduce Child Mortality; Improve Maternal Health; Combat HIV/AIDS, Malaria, and Other Diseases; Ensure Environmental Sustainability;

and Develop a Global Partnership for Development

Hal yang kurang disadari sebagian besar kalangan adalah bahwa hal yang disepakati secara internaional tersebut isinya secara substantif sudah terdapat dalam UUD’45 yang telah lebih dahulu lahir. Jika kita kembali pada basis konstitusi maka semuanya sudah kita miliki sebagai acuan tujuan berbangsa dan bernegara. Jadi Kovenan hak Ekosob dan MDGs bagi bangsa Indonesia merdeka lebih sekedar membantu secara teknis dalam penjabarannya. Hal ini sejalan dengan amanat konstitusi UUD’ 45 yang menjamin kesejahteraan rakyat dalam berbagai aspek..

The founding fathers telah meletakkan identitas Sistem Ekonomi Konstitusional Indonesia (SEKI) dalam Pancasila dan UUD 45 yang secara jelas mengandung mentalitas atau aqidah patriotik (berjuang dan berkorban untuk kejayaan sesama) dalam berekonomi. Disinilah terletak paradigma pembangunan ekonomi Indonesia yang sebenarnya. Prinsip yang dikandungnya terdiri dari kolektivisme atau kerjasama dan kebersamaan atau brotherhood (tolong-menolong dalam persaudaraan). Terkandung pula prinsip kedaulatan ekonomi yang terimplikasi dalam keadulatan pangan, kedaulatan energi, dan kedaulatan sektor/sumberdaya strategis. Tak kalah penting, prinsip otoritas dan kewajiban negara dalam menjamin keadilan sosial dan kemakmuran rakyat. Dengan ini pemerintah harus bijak memperlakuan jenis barang, sebagai komoditas bisnis atau non bisnis, dan menetapkan batasan penguasaan asset.

Kesemuanya dipastikan hanya untuk kemakmuran rakyat karena negeri ini bukan untuk asing atau untuk golongan investor saja.

Dasar-dasar SEKI adalah Pancasila, Pembukaan UUD ’45, UUD ’45 beserta penjelasannya khususnya: Pasal 33*) ayat 1,2, dan 3, Pasal 27 ayat 2 dan Pasal 34. selain itu juga menjadi dasar SEKI adalah GBHN dan Tap MPR No.XVI/1998 tentang Politik Ekonomi Bagi Demokrasi Ekonomi.

(6)

SEKI bersifat khas dan berbeda dengan arah sistem global yang dominan saat ini, yakni Neoliberal. Perbedaan inilah yang menjadi tantangan bagi kelangsungan pembangunan kendati ada pendapat tentang keniscayaan “berbeda” dalam Neolib seperti dikemukakan Mac Ewan (dalam Mubyarto, 1999):Contrary to the claims of its proponents, there are alternatives to the neo-liberalism course, and these alternatives are far preferable in term of immediate and long term consequences. Akan tetapi, faham yang didukung kekuatan full mesin ekonomi-politik ini tidak tinggal diam membiarkan dominasinya terancam dengan cara pandangnya terhadap kehidupan setiap sistem perekonomian. Neo-Liberalism, in its extreme or revised form, presents us with a view of the world in which there are only two choices, an economy organized by markets or an economy organized by a dictatorial –or at best inept and inefficient- static bureaucracy (Mac Ewan dalam Mubyarto, 1999).

Tingkat Aktualisasi Nilai Sosial Yang Rendah

Mahatma Ghandi pernah menyatakan bahwa dunia sesungguhnya cukup menyediakan bagi kebutuhan manusia tapi tidak bagi ketamakan manusia. Runtuhnya blok timur telah menjadikan kapitalisme barat menjadi sentral politik ekonomi global yang dominan. Lebih dari itu, negara kapitalis terutama AS telah begitu kesetanan dalam usaha menguasai dunia (intisari The Confessions of an Economic Hit Man, John Perkins, 2005). Dengan mengusung faham Neoliberal mereka menggunakan kekuatan ekonomi, politik, institusi, intelijen dan bahkan kriminal untuk tujuan ekspansif korporasi.

Ini terjadi karena sistem kapitalisme yang self-destructive tidak mampu menjamin kesejahteraan kecuali kemakmuran semu diatas ketidakadilan dan eksploitasi. Negara kapitalis (AS) adalah negara yang sedang dalam keadaan kelaparan akibat kerapuhan fondasi riilnya (hutang AS terbesar di Dunia). Meski nampak besar dan kokoh namun keadaannya rentan dan rapuh untuk segera runtuh. Oleh karenanya keadaan ini memaksa ekonomi mereka harus ekspansive agar tetap survive. Caranya adalah dengan mencipakan imperialisme ekonomi lewat

(7)

hutang, investasi, dan berbagai mekanisme globalisasi dan liberalisasi. Indonesia adalah salah satu sasaran empuk karena SDAnya yang melimpah dan sebagai sebuah pasar yang besar. Dalam kunjungannya ke Indonesia pada 2011 Obama mengatakan bahwa tujuannya adalah untuk menjaga kelangsungan ekonomi dan employment. Sebagai hasilnya, sesuai tuduhan asosiasi perusahaan persawat di Eropa, Obama berhasil memaksa Lion Air membeli ratusan pesawat dari AS.

Globalisasi dan tekanan eksternal ini menjadi tantangan penerapan paradigma pembangunan berbasis sosial di Indonesia. Sebenarnya kritik terhadap globalisasi yang melembagakan ketimpangan di satu sisi dan melegitimasi penghisapan sistematis di sisi lain telah disampaikan berbagai ahli seperti Paul Krugman ataupun Jeffry Sach (Prasetyantoko, 2001).

Namun, selama pelaku bisnis dan pengambil kebijakan hanya mengusung kepentingannya sendiri maka sistem ini tidak akan berubah sebelum menuju kehancurannya.

Penelitian Kakwani dkk (2004) menjelaskan secara lugas, growth (tingkat pertumbuhan) sama sekali tidak bertanggung jawab atas pengentasan kemiskinan dengan segala dimensinya.

Pengurangan kemiskinan ditentukan Poverty Equivalent Growth Rate. Ini suatu proporsi yang besarnya berbeda-beda antar negara, tergantung tingkat perekonomian dan kesenjangan (inequality) yang dimiliki. Jangan harapkan pertumbuhan efektif untuk mengurangi kemiskinan kecuali kebijakan-kebijakan untuk mengurangi kesenjangan telah berjalan.

Neoliberal adalah faham yang anti akan proteksi dan subsidi tapi mendorong privatisasi dan liberalisasi. Untuk mengamankan tujuan tersebut diciptakan kondisi agar terjadi rekonstruksi ekonomi dan amandemen konstitusi. Hal ini biasa dikamuflase melalui issue-issue universal seperti good governance, reformasi & demokrasi dan otonomi daerah yang mudah diterima berbagai kalangan. Tujuan sebenarnya hanya untuk melicinkan jalan bagi masuknya ekspansi Trans Nasional Corporation (TNC), Multi National Corporation (MNC) dan kepentingan negara- negara maju. Artinya, dibalik implementasi konsep yang sudah diakui tersebut terdapat resiko

(8)

pemilik modal dan “konco-konco”nya menggunakan celah dan menentukan arah untuk meraup keuntungan pribadi (Fakih,2003).

Dalam kancah internasional, pedoman perekonomian setiap negara diarahkan untuk beralih pada kesepakatan dan ratifikasi perjanjian global baik melalui WTO, APEC, IMF, WB dan sebagainya. Ini tidak aneh karena organisasi-organisasi ekonomi internasional telah menjadi ridden horse korporasi global tersebut.

Kontras dengan hal tersebut, dalam SEKI demi pemenuhan kepentingan orang banyak, kesejahteraan, dan keadilan, diterapkan kebersamaan dan semangat kekeluargaan. Pendekatan ini memandang subsidi, proteksi dan campur tangan pemerintah sebagai suatu keniscayaan.

Anup Shah (up dated 2011) mengemukakan adanya resiko yang besar dari pengaruh ketimpangan. Dalam masyarakat demokratis yang sangat rapuh, ketimpangan akan merubah orang baik menjadi jahat. In Fragile Democracies, Inequality “turn good people to evil”. Sebagai kesimpulan akan kondisi faktual dibanyak Negara, Shah mengemukakan bahwa: demokrasi yang kita jalankan ternyata jauh lebih rapuh dari apa yang kita sadari; dalam kondisi adanya kekosongan kekuasaan (pen.:termasuk secara de fakto dan atau kepemimpinan yang lemah secara fungsional) dimana ketimpangan ekonomi terjadi dan dibiarkan semakin parah maka akan secara serius mengancam keberlangsungan demokrasi.

Dengan adanya pengaruh berbagai faktor tersebut, landasan yuridis dalam berekonomi pada kenyataannya secara historis tidak pernah dilaksanakan secara konsisten. Oleh karenanya keterpurukan ekonomi yang membawa pada krisis karakter bangsa tidak bisa dipikulkan tanggung jawabnya pada kekurangan landasan yuridis tersebut semata. Sebaliknya, terbukanya peluang yang lebar bagi penyimpangan dan pengkhianatan atas PS dan UUD’45 dalam kehidupan ekonomi menandakan bahwa landasan ini tidak memiliki mekanisme komprehensif dalam mengawal tujuan-tujuan yang diinginkannya. Pancasila dan UUD’45, jelas berisi cita-cita luhur bangsa namun daya dukungnya (supporting capacity) nya tidak tersedia secara otomatis.

(9)

•TantanganTantanganEksternal: Eksternal: Arus

ArusGlobalGlobal •KualitasKualitasdandanEtikaEtika SDM

SDMdidiTingkatTingkatelitelit

&

& bawahbawah

•Masalah Internal:

Necessry

•& Sufficient Conds

•DimensiDimensiSosialSosialyang yang Rendah

Rendahdlmdlm Pembgn Pembgn PENGKHIANATAN PENGKHIANATAN

Gambar 2. Sumber Masalah Implementasi Paradigma Pembangunan Indonesia

Banyak pendapat untuk mengarahkan manajemen perekonomian Indonesia menuju kemandirian dan ketinggian martabat bangsa. Akan tetapi kebanyakan dikembangkan dengan tidak memperhatikan esensi cita luhur yang terkandung dalam sistem ekonomi berkarakter Indonesia. Para ilmuan dan praktisi lebih faham akan perdagangan bebas, kebebasan mobilitas modal, dan kemitraan negara dalam kelembagaan global ketimbang mengelaborasi apa yang menjadi necessary and sufficient condition bagi terujudnya cita cita luhur ekonomi konsititusional Indonesia. Akibatnya terjadi amandemen pasal-pasal ekonomi yang selanjutnya hanya berbuah ketidakpastian dan keterpurukan kamandirian bangsa.

Sebagai contoh begitu lemahnya elit masyarakat sendiri dalam memahami karakter ekonomi nasional adalah dari cuplikan proses amandemen berikut ini. Dalam draft naskah amandemen ini aspek ekonomi dan kesejahteraan ditempatkan secara tersendiri pada Bab 18 pasal 85 dan 86. Ayat-ayat terkait keuangan dan ketenagakerjaan ditempatkan terpisah.

(10)

Terdapat sejumlah perubahan redaksional atas pasal dan ayat yang mempengaruhi pemaknaan dan implementasi. Sebagai contoh, Ps 27 (2) UUD’45 yang asli berbunyi: Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Disini terkandung makna tugas dan tanggung jawab nyata pemerintah melalui kebijakannya untuk mendorong tersedianya kesempatan kerja yang mencukupi bagi rakyat. Timbangan atas kondisi dan jenis pekerjaan serta imbalan adalah harus layak menurut nilai kemanusiaan.

Meskipun ayat diatas sangat memadai sebagai acuan konstitusional mendasar, namun dalam draft amandemen ke-5 dirubah menjadi Ps 71 (1) berbunyi: Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.

Dengan ini maka bekerja atau menganggur menjadi persoalan individual kecuali hak itu mendapat halangan. Frase hubungan kerja pada tataran konstitusi cenderung mati dan tidak berkembang karena telah memiliki makna khusus.

Selanjutnya, Ps 33 (3): Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ayat ini sangat memadai sebagai acuan pokok model ekonomi konstitusional Indonesia. Ini dirubah menjadi Ps 85 (3): Seluruh kekayaan alam dan lingkungan yang terkandung dalam wilayah kedaulatan, hak- hak berdaulat dan kewenangan Indonesia, baik di darat maupun di laut, termasuk dasat laut dan tanah di bawahnya serta udara diatasnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar- besar kemakmuran rakyat.

Terasa upaya susah payah untuk merumuskan batasan kekayaan alam dan lingkungan dalam otoritas negara. Akan tetapi, perubahan ini menjadi kontraproduktif dan miskin makna dibanding aslinya, kecuali tambahan udara yang cukup relevan. Menyebut tanah didasar laut berarti mengabaikan kandungan selain tanah seperti kilang minyak lepas pantai dan lain-lain.

Kelucuan ini bertambah dengan adanya Ps 85 (5) yang berbunyi: Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang. Ayat seperti ini yang terdapat diberbagai tempat sebaiknya justru dikurangi dan diganti dengan ide-ide substantif yang relevan.

(11)

Kesimpulan

Berdasarkan uraian tentang fakta perkembangan konsep dan praktik pembangunan terbukti bahwa paradigma pembangunan traditional dengan mengedepankan pertumbuhan telah gagal. Arti hakiki pembangunan untk mengangkat harkat dan martabat manusia hanya dapat dicapai jika paradigma pembangunan memiliki orientasi yang jelas pada kualitas dimensi sosial.

Secara konseptual paradigma pembangunan Indonesia memiliki basis sosial yang kuat secara formal namun dalam praktiknya nilai-nilai tersebut sering dilanggar. Alasan substansial maupun fakta empiris yang ada menunjukkan hal ini hanya dapat dicapai dengan merevitalisasi amanat pembangunan dalam konstitusi Indonesia sendiri. Langkah ini harus disertai dengan membangun daya dukung yang mampu menjamin konsistensi dalam implementasi cita-cita luhur dan mekanisme yang terkandung didalamnya, sehingga tidak ada pengkhianatan dan penyimpangan.

Daftar Pustaka

Astroulakis, Nikos. 2010. The Development Ethics Paradigm: Ethical Goals and Strategies for an Authentic Development. Working Paper for the EuroMemo: 16th Workshop on Alternative Economic Policy in Europe, University of Crete, 24-26 September 2010 Benecke, D. W (ed.) 2008, The Social and Ecological Market Economy – A Model for Asia?,

Dieter W. Benecke, GTZ, Eschborn

Daly, Herman E, & Townsend, Kenneth N, 1993, Valuing The Earth: Economy, Ecology, Ethics, MIT Press

Damanhuri, Didin S. 2010. Ekonomi Politik dan Pembangunan. IPB Press, Bogor.

Fakih, Mansour. 2003. LSM di Persimpangan Jalan. SMERU Institute edisi 08/Okt-Des 2003.

Kakwani, N. , S. Khandker and H. Son (2004) “Pro-Poor Growth: Concepts and Measurements with Country Case Studies” International Poverty Centre Working Paper 1

(12)

Mubyarto. 1999. Dengan Ekonomi Pancasila Menyiasati Globalisasi.

http://www.ekonomirakyat.org. Accessed: Agustus 2007.

Perkins, John, 2005. The Confessions of an Economic Hit Man. Berret Kohler Publishers Inc, San Francisco

Shah, Anup, accessed, November 2011. Poverty Around The world dalam http://www.globalissues.org/article/4/poverty-around-the-world

Strange, Tracey & Bayley, Anne, 2008, Sustainable Development: Linking Economy, Society, Environment, OECD

Unescap, The Paths to Green Growth, viewed 18 November 2010, http://www.greengrowth.org/ggtracks.asp

http://www.sustainablemeasures.com/node/89:

Referensi

Dokumen terkait

karbon, dalam kasus ini bertempat di PT. Perkebunan Nusantara IX Ngobo, sebagai salah satu penghasil karet utama di Jawa Tengah. Menganalisis potensi emisi gas rumah

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kepemilikan oleh dewan berpengaruh negatif pada kedua periode dengan ukuran pasar, kompetensi komite audit berpengaruh

Hasil pengukuran menunjukkan bahwa brokoli yang disimpan pada suhu rendah dengan konsentrasi etanol 10% (Sr E10) dapat mempertahankan warna hijau sampai hari

Dari penelitian-penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya, penelitian ini bermaksud untuk memberikan informasi baru mengenai penentuan sumur yang paling prospek

Akuntan Muda Halaman 5 Pendekatan dalam perhitungan fair value dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu pendekatan pasar, pendekatan pendapatan dan pendekatan

2011:54).Peneliti memilih jenis penelitian ini karena penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mendeskripsikan hasil analisis estimasi kebangkrutan dengan pendekatan

Akuisisi (takeover) - perusahaan membeli saham perusahaan lain dengan jumlah tertentu sehingga memiliki saham mayoritas dan mengambil alih kendali manajemen - merupakan salah

Komite Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya terkait kemajuan dari realisasi hak atas kesehatan oleh pemerintah Indonesia. Kelompok Kerja Bisnis dan Hak Asasi