• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II - Repository IAIN PAREPARE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "BAB II - Repository IAIN PAREPARE"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dengan pelaku usaha jual beli sepeda motor bekas di Parepare, sedangkan penelitian yang akan saya lakukan fokus pada analisis permasalahan mengenai implementasi UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Hubungan Dengan Pelaku Usaha Jual Beli Sepeda Motor Bekas Di Parepare)” (Disertasi Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Parepare, 2018), hal. Sementara itu, penelitian yang akan saya lakukan adalah melakukan kajian terhadap perilaku pelaku usaha jasa angkutan yang mematuhi UU No.

Dengan demikian, hukum perlindungan konsumen atau hukum konsumen dapat diartikan sebagai seperangkat peraturan hukum yang mengatur hak dan kewajiban konsumen dan badan usaha yang timbul dalam pemenuhan kebutuhannya. Dalam konteks bisnis, pada bagian terakhir ayat tersebut memuat perintah perlindungan konsumen yang menyatakan bahwa pelaku usaha dan konsumen dilarang saling menganiaya atau merugikan satu sama lain. Asas ini dimaksudkan agar pelaku usaha dan konsumen menjunjung hukum dan mencapai keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara memberikan kepastian hukum.

Oleh karena itu, pelaku usaha wajib mencantumkan label produk agar konsumen sadar akan adanya unsur-unsur yang dapat membahayakan keselamatan dan keamanannya. Menolak dan/atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan, atau. Terkait dengan hal tersebut, Pasal 19 ayat (1) UUPK secara tegas menjamin bahwa pelaku usaha memberikan ganti rugi atau kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian kepada konsumen sebagai akibat dari dikonsumsinya barang dan/atau jasa yang diproduksi atau diperdagangkan.

Pada dasarnya, jika dicermati, ketentuan ini hanya diperuntukkan bagi pelaku usaha lain dan bukan untuk konsumen secara langsung.

Pelaku Usaha

Prinsip ini menekankan agar pelaku usaha bersikap adil terhadap konsumen dengan tidak memberikan perlakuan yang berbeda antara konsumen satu dengan konsumen lainnya, terutama berdasarkan suku, agama, dan ras. Keadilan dalam konsep pemenuhan hak konsumen dalam bertransaksi antara pelaku usaha dengan konsumen harus menerapkan berbagai norma moral dan etika yang berlaku di masyarakat antara lain kebenaran, kejujuran dan keadilan, sehingga apabila terjadi ketidakadilan terhadap konsumen maka pelaku usaha harus dimintai pertanggungjawaban 12. Faktor ini penting bagi konsumen karena konsumen dapat mengetahui segala informasi terkait produk dan/atau jasa yang ingin dibelinya.

Selain itu sikap ini juga akan meningkatkan kepercayaan konsumen, sehingga konsumen akan semakin loyal dalam menggunakan barang dan/atau jasa yang ditawarkan. orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum, yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan di wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian untuk melakukan kegiatan usaha di domain ekonomi yang berbeda.13. 1) Hak atas pembayaran sesuai dengan kesepakatan mengenai syarat dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; 2) Hak atas perlindungan hukum terhadap tindakan konsumen yang beritikad buruk; 3) Hak untuk membela diri sesuai untuk penyelesaian hukum sengketa konsumen; 4) Hak untuk memulihkan nama baik apabila secara hukum terbukti bahwa kerugian konsumen bukan disebabkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; 5) Hak yang diatur dalam ketentuan hukum lainnya.

Hak pelaku usaha untuk menerima pembayaran berdasarkan kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan menunjukkan bahwa pelaku usaha tidak dapat menuntut syarat lebih atas barang dan/atau jasa yang disediakannya. 14 Republik Indonesia, Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999, Bab III Hak dan Kewajiban, Pasal 6. konsumen tidak atau kurang mematuhi harga yang berlaku umum untuk barang dan/atau jasa yang sama. Apabila suatu barang dan/atau jasa mempunyai kualitas yang lebih rendah dibandingkan dengan barang sejenis, maka para pihak dalam praktiknya menyepakati harga yang lebih rendah.

Kewajiban pelaku usaha Pasal 7 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah mengatur kewajiban bagi pelaku usaha, yaitu: 1) Memiliki itikad baik dalam menjalankan kegiatan usahanya; 2) Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur ​​mengenai kondisi dan garansi barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan mengenai penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; 3) memperlakukan atau melayani konsumen secara adil dan jujur ​​serta tidak diskriminatif; 4) Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan baku mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; 5) Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba suatu barang dan/atau jasa tertentu serta memberikan jaminan dan/atau garansi terhadap barang yang diproduksi dan/atau diperdagangkan; 6) Pemberian ganti rugi, ganti rugi dan/atau penukaran, apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan konsumen tidak sesuai dengan perjanjian.15. Kewajiban pelaku usaha untuk mempunyai itikad baik dalam menjalankan kegiatan usaha merupakan salah satu asas yang diakui dalam hukum kontrak. Bagi masing-masing pihak dalam perjanjian, terdapat kewajiban untuk melakukan penyelidikan dalam batas wajar pihak lain sebelum menandatangani kontrak, atau masing-masing pihak harus cukup berhati-hati dalam menyelesaikan kontrak dengan itikad baik.

Dalam peraturan perundang-undangan perlindungan konsumen, itikad baik nampaknya lebih ditekankan pada pelaku usaha, karena mencakup seluruh tahapan dalam pelaksanaan kegiatan usahanya, sehingga dapat diartikan bahwa kewajiban pelaku usaha untuk mempunyai itikad baik dimulai sejak barang tersebut dibeli. dirancang/diproduksi hingga tahap pasca penjualan, sebaliknya konsumen hanya diwajibkan beritikad baik pada saat bertransaksi pembelian barang dan/atau jasa.

Maslahah

Menurut Romli SA, kemaslahatan yang dimaksudkan ialah kemaslahatan yang menjadi matlamat syariah bukan faedah yang berlandaskan nafsu dan nafsu manusia semata-mata. Menurut maslahat Al-Gazali ialah menjaga tujuan syariah, tujuan syariah terhadap manusia merangkumi lima perlindungan iaitu memelihara dan melindungi keperluan manusia dalam bidang agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Yang dimaksud dengan manfaat jenis ini ialah manfaat yang menjelaskan dengan jelas dan mengakui keberadaannya, dengan kata lain manfaat yang diakui oleh Syar'i dan ada dalil yang jelas untuk memelihara dan melindunginya.

Termasuk dalam maslahah ini adalah segala kemaslahatan yang dijelaskan dan disebutkan dalam nash, seperti kelestarian agama, jiwa, keturunan, akal dan harta. 20Nadia farikhati., “Analisis Maslahah Mursale Perlindungan Konsumen Deposito Sesuai Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan” “Skripsi Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) ) Surakarta”, hal. Yang dimaksud dengan manfaat jenis ini adalah manfaat yang tidak secara tegas diakui oleh syariat, juga tidak ditolak oleh syariat dan dianggap palsu, namun secara substantif masih sejalan dengan kaidah hukum universal.

Sebagai contoh dasar undang-undang percukaian yang telah ditetapkan oleh kerajaan.22 Faedah ini selaras dengan tujuan Syara’ yang boleh dijadikan asas untuk merealisasikan kebaikan yang diingini manusia dan mengelakkan kemudaratan. Secara mutlak, maslahah mursalah ditafsirkan oleh usul fiqh sebagai kemaslahatan yang tidak disyariatkan secara hukum oleh syar'i, dan tidak ada dalil syar'i yang menjelaskan atau membatalkannya. Menurut Al-Ghazâli, al Maslahah al Mursalah boleh dijadikan dalil dengan syarat: (1) Maslahah sesuai dengan jenis perbuatan syar’a/ketentuan syariat Islam.

Permasalahan baru yang masih belum dapat dipastikan, dibenarkan atau ditolak, dan melibatkan kemaslahatan, diakhiri dengan maslahah mursalah yang berkaitan dengan masalah muamalat, bukan berkaitan ibadah. Alasan al-Syatibi memberi tentang menggunakan maslahah mursalah sebagai dalil penetapan hukum bagi masalah muamalat adalah kerana masalah muamalat boleh dikurangkan kepada rasionalnya, manakala masalah ubudiyah atau ibadah tidak boleh dikurangkan kepada rasionalnya. Penggunaan maslahah mursalah sebagai dalil penetapan hukum hanya terpakai kepada keperluan yang bersifat dharuri dan haji.

Menentukan kemaslahatan sesuatu tindakan yang nantinya akan dijadikan asas pertimbangan dalam membuktikan meslaheh murselah. 26.

Maslahah

Menurut Izzu al-Din bin Abd Salam, untuk mengukur kebenaran maslahah dan mafsadah dunia ini boleh diketahui dengan akal (ra'yu) dengan melihat kepada matlamat akhir akibat yang akan ditimbulkannya. Perkara ini penting untuk diketahui kerana kadangkala manusia sering tersilap dalam penilaiannya, kadangkala apa yang dianggap sebagai maslahah sebenarnya adalah mafsadah. Oleh itu, kriteria untuk membezakan antara keduanya dilihat dari akibat akhir yang akan ditimbulkannya.

Jika suatu perbuatan mendatangkan akibat positif maka disebut mafsade, sedangkan jika akibat suatu perbuatan negatif maka disebut mafsade. Namun perlu diperhatikan bahwa yang dimaksud dengan akibat tindakan di sini adalah tujuan akhir dari tindakan tersebut, bukan akibat sementara yang ditimbulkannya. Oleh karena itu, walaupun kadang-kadang maslaha tampak seperti mafsada, namun karena tujuan utamanya adalah untuk kebaikan, maka disebut juga maslahah.27 2.3 Tinjauan Konseptual.

Tinjauan konseptual diperlukan sebagai wadah untuk memperjelas subjudul agar tidak terjadi salah tafsir dalam pembahasan skripsi ini.

Implementasi

UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

Perlindungan Konsumen

Pelaku usaha

Usaha jasa angkutan

Kerangka Pikir

Implementasi

Sebaliknya jika kelompok sasaran bersifat heterogen maka pelaksanaan program akan relatif lebih sulit karena tingkat pemahaman masing-masing anggota kelompok sasaran terhadap program berbeda-beda. Program yang bertujuan untuk memberikan pengetahuan atau bersifat kognitif akan lebih mudah dilaksanakan dibandingkan program yang bertujuan untuk mengubah sikap dan perilaku masyarakat. Misalnya implementasi UU No. 14 Tahun 1992 tentang lalu lintas dan angkutan jalan sulit dilaksanakan karena menyangkut perubahan perilaku masyarakat dalam berlalu lintas.

Artinya, semakin jelas dan rinci isi suatu kebijakan, maka akan semakin mudah untuk mengimplementasikannya, karena akan lebih mudah bagi para pelaksana untuk memahaminya dan menerjemahkannya ke dalam tindakan nyata. Kegagalan program seringkali disebabkan oleh kurangnya koordinasi vertikal dan horizontal antar instansi yang terlibat dalam pelaksanaan program. Salah satu penyebab terjadinya kasus korupsi di negara-negara dunia ketiga, khususnya Indonesia, adalah rendahnya komitmen pejabat publik dalam menjalankan tugas dan pekerjaannya.

Program yang memberikan peluang keterlibatan masyarakat yang luas akan memperoleh dukungan yang relatif lebih besar dibandingkan program yang tidak melibatkan masyarakat. Masyarakat akan merasa terkucil atau terasing jika hanya menjadi penonton program di lingkungannya. Masyarakat yang terbuka dan terdidik lebih mudah menerima program reformasi dibandingkan masyarakat yang masih tertutup dan tradisional.

Selain itu, kemajuan teknologi juga akan membantu keberhasilan pelaksanaan program, karena program tersebut dapat disosialisasikan dan dilaksanakan dengan bantuan teknologi modern.

Maslahah

29 Zainal Azwar., "Ushul Fiqh Al-Gazalis tanker om Al-Maslahah Al-Mursaya (Exploratory Study of the Book of al-Mustashfa min 'Ilmi al-Ushul af Al-Gazali)", (Jurnal Fitrah, Vol. 1, 1, januar - juni 2015), s.

Bagan kerangka pikir

Referensi

Dokumen terkait

8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yang termuat dalam Pasal 2 huruf e yaitu “Perlindungan konsumen bertujuan menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan

Karena hal tersebut, adanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap para konsumen yang merasa dirugikan hak-haknya oleh para pelaku usaha.1