Untuk memahami mengapa beberapa orang lebih mudah untuk ditolong dibandingkan yang lain, para peneliti telah menyelidiki ciri-ciri kepribadian yang relatif stabil serta suasana hati dan keadaan psikologis yang membuat mereka lebih mudah untuk ditolong. Keinginan untuk mengurangi rasa bersalah dapat mengarahkan kita untuk membantu orang yang telah kita sakiti, atau mencoba meringankannya dengan “tindakan kebaikan”. Seorang altruis sejati tidak mempertimbangkan apa pun kecuali kebutuhan orang yang membutuhkan, perilaku altruistik sehari-hari sering kali bergantung pada karakteristik orang yang membutuhkan.
Orang yang menarik secara fisik lebih mungkin menerima bantuan. Menurut uraian Menurut Sears, Freedman dan Peplau (1996), faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku altruistik adalah membantu orang yang berhak mendapatkan bantuan, membantu orang yang dicintai, membantu orang yang membutuhkan, faktor kesusahan dan perasaan empatik diri sendiri, perasaan bersalah, suasana hati, situasi, penolong dan faktor kepribadian.
Aspek-Aspek Perilaku Altruistik
Individu yang memiliki sifat altruistik senang membantu orang lain dan memberikan sesuatu yang bermanfaat ketika orang lain berada dalam kesulitan karena dapat menimbulkan perasaan positif pada diri penolong. Individu yang memiliki sifat altruistik mempunyai sikap seseorang yang suka beramal, gemar bersedekah atau bermurah hati kepada orang lain yang membutuhkan bantuannya tanpa mengharapkan imbalan apa pun dari orang yang dibantunya. Individu yang mempunyai sifat altruistik selalu berusaha untuk bersikap perhatian, selalu berusaha agar orang lain tidak mempunyai masalah.
Perilaku tersebut bermanfaat bagi orang lain yang sedang menerima atau menerima pengobatan guna memenuhi kebutuhan atau keinginan orang lain. Perilaku tersebut dapat berupa barang ataupun hal lainnya. Bagi mahasiswa misalnya menawarkan bantuan kepada mahasiswa lain mengerjakan tugas salah satu mata kuliah. Goleman (2001) menjelaskan empati adalah kemampuan mengetahui perasaan orang lain, kesadaran akan perasaan orang lain terhadap kebutuhan dan minatnya, ciri-ciri empati yang tinggi adalah memahami orang lain dengan minat aktif terhadap kepentingannya, orientasi pelayanan, pengembangan orang lain. , dan pengembangan hubungan timbal balik. Empati membutuhkan ketenangan dan penerimaan tertentu sehingga sinyal emosional halus orang lain dapat diterima dan ditiru oleh otak emosionalnya sendiri.
Siswa yang mempunyai empati yang tinggi akan lebih mudah bagi siswanya untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain. Tidak ada keinginan untuk menerima imbalan apa pun kecuali dilakukan semata-mata untuk kepentingan orang lain. Cohen (2003) mengemukakan bahwa seseorang yang memiliki perilaku altruistik adalah individu yang memiliki ciri-ciri perilaku memberi, empati, dan sukarela.
Dari beberapa pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa orang yang mempunyai perilaku altruistik adalah orang yang suka memberi, bisa bekerja sama, menyumbang, membantu orang lain, bertindak jujur, murah hati, empati, suka rela dan mempertimbangkan hak dan kesejahteraan orang lain. .
Pengertian Kecerdasan Emosional
Sawaf (Guntur, 2005) menyatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk merasakan, memahami dan secara efektif menerapkan kekuatan dan kepekaan emosional sebagai sumber energi dan pengaruh manusia. Kecerdasan emosional memerlukan penilaian perasaan untuk belajar merasakan perasaan pada diri sendiri dan perasaan orang lain serta menyikapinya dengan tepat, menerapkan energi emosional secara efektif dalam kehidupan sehari-hari. Lebih lanjut Waruwu (2003) menyatakan bahwa kecerdasan emosional pada hakikatnya merupakan komponen yang menjadikan seseorang cerdas dalam memanfaatkan emosi. Ia melanjutkan, emosi manusia berada pada ranah perasaan yang mendalam, naluri sensasi emosi yang tersembunyi, yang jika diakui dan dihormati, memberikan kecerdasan emosional pemahaman yang lebih dalam dan lengkap tentang diri sendiri dan orang lain.
Goleman (2001) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai kemampuan seseorang yang terdiri dari berbagai kemampuan untuk mampu memotivasi diri sendiri, bertahan dari frustasi, mengendalikan kebutuhan atau dorongan hati, tidak berlebihan dan bebas dari stres. Goleman juga menambahkan bahwa kecerdasan emosional merupakan sisi lain dari kecerdasan kognitif yang berperan dalam aktivitas manusia. Howes dan Herald (dalam Guntur, 2005) menyatakan bahwa kecerdasan emosional pada hakikatnya adalah komponen yang menjadikan seseorang cerdas dalam menggunakan wilayah perasaan yang mendalam, naluri tersembunyi dan sensasi emosional yang jika dikenali dan dihormati, memberikan kecerdasan emosional yang lebih dalam. dan pemahaman yang lebih mendalam tentang diri sendiri, diri sendiri, dan orang lain.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang dalam menggunakan atau mengendalikan emosi, baik dalam dirinya maupun dalam menghadapi orang lain, dan menggunakannya secara efektif untuk memotivasi diri dan menahan tekanan, serta mengendalikan diri untuk mencapai hasil. . Hubungan yang produktif dan produktif dapat mengatur suasana hati dan mencegah stres mengganggu kemampuan berpikir dan membaca. Kecerdasan emosional terlihat jelas dalam segala hal yang dilakukan dan konon perkembangan kecerdasan emosional yang terhambat akan memisahkan tubuh dari pikiran dan jiwa. Dalam hal ini masyarakat khususnya remaja secara perkembangan mampu mengetahui dan memahami keadaan, kesulitan dan sumber daya intuitifnya melalui kesadaran emosional yaitu mengenali emosi diri sendiri dan dampaknya, penilaian diri yang akurat yaitu mengetahui kelebihan dan keterbatasan diri. dan rasa percaya diri, yaitu keyakinan terhadap nilai diri, diri sendiri, dan kemampuan diri sendiri, sehingga kecerdasan emosional dapat membantu seseorang menerima dan mengelola emosinya, memahami emosi orang lain, sehingga dapat terjalin hubungan yang baik antar manusia.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa fungsi kecerdasan emosional adalah menyatukan pikiran dan jiwa dalam kaitannya dengan perilaku sehari-hari.
Faktor Kecerdasan Emosional
Sulit bagi individu untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dan juga sulit bagi mereka untuk memahami keinginan dan keinginan orang lain. Bersikap ramah, sopan, hormat dan disukai orang lain dapat menjadi indikator positif bagaimana siswa mampu menjalin hubungan dengan orang lain. Keluarga adalah perekat yang menyatukan struktur dasar dunia kita, sehingga saling mencintai dan mendukung dalam keluarga adalah cara untuk mendapatkan kekuatan dalam menumbuhkan kecerdasan emosional.
Komunikasi membantu anak mengungkapkan perasaannya dengan kata-kata sebagai upaya mengatasi konflik dan kesulitan, sehingga kebutuhan anak terpenuhi, mengajarkan nuansa komunikasi emosional dalam menghadapi segala permasalahan dengan mengajarkan bahasa emosional non verbal, berekspresi dengan baik kepada orang lain. dan diri sendiri. Berdasarkan uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa faktor-faktor yang mendorong kecerdasan emosional terdiri dari faktor internal yaitu faktor yang terdapat dalam diri individu, dan faktor eksternal yang berasal dari lingkungan seperti keluarga, hubungan dengan teman dalam kelompok, hubungan dengan teman sebaya. Goleman (2001) menempatkan kecerdasan personal pada definisi dasar kecerdasan emosional yang dikemukakannya dan memperluas kemampuan tersebut menjadi lima kemampuan utama, yaitu.
Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk menikmati diri sendiri, melepaskan kecemasan, depresi atau hinaan dan akibat-akibatnya, serta kemampuan untuk pulih dari perasaan stres. Individu yang memiliki kapasitas empati lebih mampu mempersepsikan isyarat-isyarat sosial yang menunjukkan apa yang dibutuhkan orang lain, membuatnya lebih menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain, dan lebih tanggap terhadap orang lain. Semakin baik dia bisa terbuka terhadap emosinya sendiri, mengenali dan mengakui emosinya sendiri, semakin baik dia bisa membaca perasaan orang lain.
Dengan keempat keterampilan tersebut, seseorang dapat berkomunikasi dengan orang lain secara efektif, kemampuan menyelesaikan masalah bersama-sama lebih ditekankan dibandingkan konfrontasi sepele yang justru dapat dihindari. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek kecerdasan emosional meliputi: mengenali emosi, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, membangun hubungan yang efektif, kemampuan mengelola perasaan, kemampuan mengatasi stres. Berdasarkan aspek-aspek kecerdasan emosional di atas, seseorang yang dikatakan memiliki kecerdasan emosional yang baik adalah individu yang dapat mengenali emosinya, mengelola emosi tersebut agar terhindar dari stres, dapat memotivasi dirinya sendiri, berempati terhadap orang lain dan dapat membangun hubungan yang efektif (Goleman, 2001). ).
Ciri-Ciri Individu yang Memiliki Kecerdasan Emosional
Menggunakan keinginan terdalam seseorang untuk menggerakkan dan membimbing seseorang menuju tujuan. Motivasi membantu seseorang untuk mengambil inisiatif, bertindak dengan sangat efektif dan bertahan meskipun mengalami kegagalan dan frustrasi. Yakni merasakan apa yang dirasakan orang lain, mampu memahami sudut pandang orang lain, membina hubungan saling percaya dan harmonis dengan berbagai tipe orang. Mampu mengelola emosi dengan baik dalam berhubungan dengan orang lain dan membaca situasi dan jaringan sosial dengan cermat, berinteraksi dengan lancar, menggunakan keterampilan tersebut untuk mempengaruhi, mengarahkan, dan menyelesaikan perselisihan, serta bekerjasama untuk bekerja dan bekerja dalam tim.
Hubungan Antara Kecerdasan Emosional dengan Perilaku Altruistik pada Remaja
Altruisme merupakan tindakan sukarela yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk membantu orang lain tanpa mengharapkan imbalan apa pun, kecuali mungkin perasaan telah melakukan suatu perbuatan baik (Sears, Freedman, Peplau, 1996). Salah satu faktor penentu perilaku altruistik adalah suasana hati, karena seseorang dalam suasana hati yang baik akan cenderung membantu dan menangani situasi darurat dengan tepat. Menurut Goleman (Sabiq & Djalali, 2012), seseorang yang memiliki suasana hati yang baik adalah kemampuan mengenali emosi diri sendiri, kemampuan mengenali emosi orang lain (empati) dan mengelola emosi yang merupakan aspek kecerdasan emosional.
Kecerdasan emosional adalah kemampuan memotivasi diri sendiri dan mengelola emosi ketika berinteraksi dengan orang lain, serta menggunakan perasaan tersebut untuk memandu pikiran dan tindakan. Seseorang yang memiliki kecerdasan emosional yang baik akan tercermin dalam perilakunya sehari-hari, termasuk perilaku altruistik. Pendapat lain yang dapat mendukung pernyataan sebelumnya diungkapkan oleh Baron (Sarwono & Meinarno, 2012) yang mengatakan bahwa suasana hati yang di dalamnya terdapat unsur emosi seseorang dapat bersifat.
Emosi seseorang dapat mempengaruhi kecenderungan untuk menawarkan bantuan. Emosi positif umumnya meningkatkan perilaku menolong. Namun jika situasinya ambigu (ambigu), maka orang yang bahagia cenderung beranggapan tidak ada urgensinya sehingga tidak membantu. Dengan emosi negatif, seseorang yang sedih cenderung tidak bisa membantu. Namun jika membantu dapat meningkatkan mood seseorang, maka seseorang akan memberikan pertolongan (Sarwono & Meinarno, 2012). Dimana salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku altruistik adalah keadaan pikiran, yaitu cara orang bertindak membantu sesuai dengan suasana hati (emosi).
Kerangka Konseptual
Hipotesis