8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada pengantar bab ini merupakan uraian dari isi bab 2 Tinjauan Pustaka, yang meliputi : teori bencana tanah longsor, risiko bencana longsor yang terbagi menjadi ancaman dan kerentanan, mitigasi bencana longsor, penelitian terdahulu dan sintesa pustaka
2.1 Bencana Tanah Longsor
Berdasarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 2007, bencana merupakan rangkaian atau proses peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan terjadinya kerugian harta benda, kerusakan lingkungan, dampak psikologis dan korban jiwa manusia. Tanah longsor merupakan salah satu bencana alam yang sering terjadi pada daerah tropis dengan curah hujan yang tinggi. Menurut BNPB (2007), bencana longsor adalah gerakan massa tanah atau batuan akibat terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng. Longsor juga merupakan gerakan massa berupa tanah, batu, timbunan atau material campuran lainya ketika gaya penahan longsornya lebih kecil dibandingkan gaya pendorong di sepanjang bidang longsor kritis (Christady, 2012).
Tabel 2. 1 Diskusi Teori Bencana Longsor
Sumber Teori Definisi Bencana Longsor
BNBP (2007) Bencana longsor adalah gerakan massa tanah atau batuan akibat terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng
Christady (2012) Gerakan massa berupa tanah, batu, timbunan atau material campuran lainya ketika gaya penahan longsornya
9
Sumber Teori Definisi Bencana Longsor
lebih kecil dibandingkan gaya pendorong di sepanjang bidang longsor kritis
Sumber : Hasil Pustaka, 2021 Dari kedua teori di atas, dapat disimpulkan bahwa tanah longsor merupakan bencana alam yang terjadi akibat adanya gangguan pada kestabilan tanah dan menyebabkan bergeraknya massa tanah. Tanda atau gejala akan terjadinya bencana tanah longsor antara lain (1) tebing rapuh dan mulai berjatuhannya kerikil;
(2) muncul mata air baru; (3) longsor biasanya terjadi setelah hujan; (4) muncul retakan-retakan pada lereng yang sejajar dengan arah tebing (Adiyoso, 2018).
2.2 Risiko Bencana Longsor
Dalam menentukan proses dan keadaan – keadaan risiko bencana perlu dilakukannya penilaian risiko. Smith dan Petley (2009) mendefinisikan penilaian risiko (risk assessement) sebagai suatu proses evaluasi tentang pentingnya risiko, baik secara kuantitatif atau kualitatif. Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Penanggulangan Bencana No. 2 Tahun 2012, risiko bencana didefinisikan sebagai potensi kerugian yang muncul akibat bencana pada suatu daerah dan dalam waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat.
Menurut Noor (2014), penentuan risiko bencana terbagi menjadi dua faktor antara lain faktor bahaya yang didefinisikan sebagai ancaman dari kejadian alam.
Ancaman dari alam tersebut merupakan potensi kerusakan yang timbul akibat dari proses peristiwa alam pada suatu daerah. Kemudian yang kedua yaitu faktor kerentanan yang merupakan ketidakmampuan masyarakat dan suatu wilayah dalam menahan akibat yang diperoleh dari peristiwa alam yang terjadi sehingga mengakibatkan kerugian yang berdampak pada masyarakat dan wilayah tersebut.
Kerentanan dapat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, kondisi sosial bulaya maupun kondisi geografis wilayahnya. Sedangkan menurut Nurjanah et al., (2012),
10 risiko bencana adalah kombinasi antara kerawanan atau ancaman bencana dan kerentanan bencana yang memiliki pemicu.
Tabel 2. 2 Diskusi Teori Risiko Bencana
Sumber Teori Definisi Risiko Bencana
Smith dan Petley (2009) Penilaian risiko (risk assessement) sebagai suatu proses evaluasi tentang pentingnya risiko, baik secara kuantitatif atau kualitatif
Nurjanah et al., (2012) Kombinasi antara kerawanan dan kerentanan bencana yang memiliki pemicu.
Noor (2014) Faktor penentu risiko bencana terbagi menjadi dua, faktor pertama yaitu faktor bahaya yang didefinisikan sebagai ancaman dari kejadian alam.
Faktor kedua yaitu yang merupakan ketidakmampuan masyarakat dan suatu wilayah dalam menahan akibat yang diperoleh dari peristiwa alam yang terjadi sehingga mengakibatkan kerugian yang berdampak pada masyarakat dan wilayah tersebut.
Sumber : Hasil Pustaka, 2021 Dari teori di atas, dapat disimpulkan risiko bencana merupakan suatu penilaian potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan teori Nurjanah et al., (2012) dan Noor (2014) yang disimpulkan bahwa dalam menilai risiko bencana terbagi menjadi kajian ancaman atau kerawanan (hazard) dan kajian kerentanan (vulnerability).
Menurut Nurjanah et al., (2012), suatu bencana dapat terjadi diakibatkan dari berbagai unsur antara lain unsur bahaya dan kerentanan. Seperti contoh masyarakat yang bertempat tinggal pada daerah yang memiliki kondisi lereng
11 yang curam, akan terdampak jika bencana longsor terjadi didaerah tersebut , sehingga masyarakat tersebut akan lebih rentah terhadap ancaman bencana longsor dibandingkan dengan masyarakat yang tinggal pada kondisi lereng yang datar. Sedangkan risiko bencana adalah konsekuensi yang muncul akibat terjadinya bencana tanah longsor. Oleh sebab itu, penilaian dan tingkat risiko besar atau kecil ditentukan oleh karakteristik dari tingkat kerentanan dan tingkat bahayanya.
2.2.1 Ancaman Bencana Longsor
Ancaman atau bahaya merupakan salah satu komponen penyusun risiko bencana. Menurut BNBP (2012), ancaman merupakan suatu kejadian, peristiwa atau fenomena yang dapat menimbulkan bencana, kerusakan dan kerugian.
Tingkat ancaman tergantung pada tempat dan sifat kejadian serta kemungkinan waktu kejadian bencana (Noor, 2014). Peta ancaman memiliki informasi berupa tingkatan, lokasi dan waktu kejadian. Peta ancaman menentukan wilayah dan memberi informasi berupa lokasi kejadian, besaran dan intensitas peristiwa tanpa adanya informasi waktu kejadian (Rijanta et al., 2018). Peta bahaya atau ancaman gerakan tanah diperoleh dari tumpang susun peta dari beberapa parameter, antara lain curah hujan, intensitas guncangan tutupan lahan vegetasi, kondisi kelerengan, dan jarak sesar/patahan.
Menurut Widiastutik (2018), penentuan tingkat ancaman longsor terbagi menjadi dua, yaitu variabel intristik (pengontrol) yang terdiri dari kemiringan lereng, tipe batuan, jenis tanah dan kedalaman tanah. Yang kedua variabel ekstrinstik (pemicu), antara lain curah hujan. Menurut Faizana (2015), penentuan tingkat ancaman bencana tanah longsor dilakukan dengan cara menggabungkan dan pembobotan parameter penggunaan lahan, curah hujan, jenis tanah dan kelerengan. Sedangkan menurut Priyono (2015), proses penentuan tingkat ancaman longsor dilakukan dengan pengkelasan parameter longsor yaitu menggunakan variabel lereng. Selain itu, yang digunakan untuk mengetahui tingkat ancaman longsor selain kemiringan lereng antara lain struktur tanah, kedalaman tanah, tekstur tanah, pelapukan batuan penggunaan lahan dan curah hujan.
12 Tabel 2. 3 Diskusi Teori Penentuan Tingkat Ancaman Longsor
Sumber Teori Penentuan tingkat ancaman longsor Rijanta et al., (2018) 1. Curah hujan.
2. Intensitas guncangan, 3. Jarak sesar/patahan 4. Tutupan vegetasi 5. Kondisi kelerengan
Widiastutik, dkk (2018) A. Variabel intrinsic (pengontrol) : 1. Kemiringan lereng,
2. Tipe batuan, 3. Jenis tanah, 4. Kedalaman tanah.
B. Variabel ekstrinsik (pemicu) (1) curah hujan.
Faizana, dkk (2015) 1. Kelerengan
2. Jenis Tanah 3. Curah Hujan 4. Penggunaan Lahan Priyono dan Utami (2015) 1. Kemiringan Lereng
2. Kedalaman Tanah 3. Tekstur Tanah 4. Pelapukan Batuan 5. Penggunaan Lahan 6. Curah Hujan
Sumber : Hasil Pustaka, 2021 Dari uraian di atas dapat diketahui dalam menentukan tingkat ancaman longsor dalam suatu daerah perlu adanya parameter-parameter penelitian. Ketiga teori memiliki pendapat yang beragam, namun secara keseluruhan yang memengaruhi dalam penentuan tingkat ancaman longsor merupakan kondisi jenis tanah, kedalaman tanah, kemiringan lereng, tutupan vegetasi/penggunaan lahan dan curah hujan. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa bencana ancaman longsor dapat diketahui melalui karakteristik fisik dasar dari suatu wilayah.
13 2.2.2 Kerentanan Bencana Longsor
Kerentanan merupakan suatu kondisi ketidakmampuan masyarakat dalam menghadapi ancaman bencana. Berdasarkan PERKA BNPB Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana, kerentanan bencana tanah longsor memiliki empat indeks penyusun yaitu: indeks kerentanan sosial, indeks kerentanan ekonomi, indeks kerentanan fisik dan indeks kerentanan lingkungan. Kerentanan sosial terdiri dari kepadatan penduduk, rasio jenis kelamin, rasio kemiskinan, rasio orang cacat dan rasio kelompok umur.
Kerentanan Ekonomi terdiri dari luas lahan produktif dan kontribusi PDRB per sektor. Kerentanan fisik terdiri dari rumah, fasilitas umum dan fasilitas kritis.
Kerentanan Ekonomi terdiri dari luas lahan produktif dan kontribusi PDRB per sektor. Serta kerentanan lingkungan yang terdiri dari hutan lindung, hutan alam, hutan bakau dan semak belukar. Dari indeks tersebut akan menggambarkan kondisi masyarakat yang mengarah dan menyebabkan ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman bencana baik itu dari kondisi fisik yang dimiliki, sosial, ekonomi dan lingkungannya.
Menurut Faizana (2015), penentuan kerentanan longsor terdiri dari 4 indikator yaitu kerentanan lingkungan, kerentanan ekonomi, kerentanan demografi, sosial dan budaya, kerentanan fisik. Kerentanan fisik yaitu persentase jaringan jumlah bangunan, persentase kawasan terbangun, persentase jaringan telekomunikasi, persentase jaringan jalan, dan persentase jaringan listrik.
Kemudian untuk kerentanan demografi, sosial dan budaya terdiri dari persentase penduduk usia lanjut, persentase penduduk usia balita, persentase penduduk miskin dan kepadatan penduduk. Kerentanan ekonomi terdiri dari jumlah sarana ekonomi dan penduduk bekerja serta luas lahan produktif. Kerentanan lingkungan antara lain luas lahan rawa dan luas lahan hutan.
Sedangkan Wiyono dkk (2018), penentuan kerentanan longsor terbagi menjadi dua yaitu kerentanan fisik dan kerentanan sosial. Kerentanan fisik terdiri dari jumlah fasilitas kritis, fasilitas umum dan jumlah rumah. Kerentanan sosial terdiri dari rasio kelompok umur rentan, rasio penduduk cacat, rasio penduduk miskin, rasio jenis kelamin dan kepadatan penduduk.
14 Tabel 2. 4 Diskusi Teori Penentuan Tingkat Kerentanan Longsor
Sumber Teori Penentuan Tingkat Kerentanan
Longsor Peraturan Kepala BNPB Nomor 2
Tahun 2012
A. Indeks kerentanan sosial 1. Kepadatan penduduk 2. Rasio jenis kelamin 3. Rasio kemiskinan 4. Rasio orang cacat, dan 5. Rasio kelompok umur rentan B. Indeks kerentanan ekonomi
1. Luas lahan produktif 2. PDRB
C. Indeks kerentanan fisik 1. Rumah
2. Fasilitas Umum 3. Fasilitas Kritis
D. Indeks kerentanan lingkungan 1. Hutan lindung
2. Hutan alam 3. Hutan bakau 4. Semak belukar.
Faizana (2015) A. Kerentanan fisik yaitu
1. persentase jaringan jumlah bangunan,
2. persentase kawasan terbangun, 3. persentase jaringan
telekomunikasi,
4. persentase jaringan jalan, dan 5. persentase jaringan listrik
B. Kerentanan demografi, sosial dan budaya terdiri dari
1. persentase penduduk usia lanjut.
15
Sumber Teori Penentuan Tingkat Kerentanan
Longsor
2. Persentase penduduk usia balita 3. Persentase penduduk miskin 4. Kepadatan penduduk
C. Kerentanan ekonomi terdiri dari 1. jumlah sarana ekonomi.
2. jumlah penduduk bekerja 3. luas lahan produktif
D. Kerentanan lingkungan antara lain 1. luas lahan rawa dan
2. luas lahan hutan.
Wiyono, dkk (2018) A. Kerentanan fisik terdiri dari 1. jumlah fasilitas kritis., 2. jumlah fasilitas umum, dan 3. jumlah rumah
B. Kerentanan sosial terdiri dari 1. rasio kelompok umur rentan, 2. rasio penduduk cacat,
3. rasio penduduk miskin, 4. rasio jenis kelamin, dan 5. kepadatan penduduk.
Sumber : Hasil Pustaka, 2021 Berdasarkan teori-teori di atas, beberapa pakar dan peraturan memiliki pendapat yang beragam dalam penentuan tingkat kerentanan longsor. Dalam hal ini, menurut peraturan Kepala BNBP nomor 2 tahun 2012 penentuan tingkat kerentanan longsor terbagi menjadi 4 parameter yaitu indeks kerentanan fisik, kerentanan sosial, kerentanan ekonomi dan kerentanan lingkungan. Sama halnya dengan pendapat Faizana (2015). Berdasarkan ketiga teori tersebut dapat disimpulkan variabel dari indeks kerentanan fisik yaitu jumlah rumah, fasilitas umum dan fasilitas kritis. Variabel dari indeks kerentanan sosial yaitu kepadatan penduduk, rasio penduduk miskin, rasio penduduk cacat dan rasio penduduk umur
16 rentan. Variabel dari kerentanan ekonomi yaitu lahan produktif dan jumlah penduduk bekerja. Variabel dari kerentanan lingkungan yaitu luas lahan rawa dan luas lahan sawah. Setiap variabel tersebut akan menggambarkan kondisi ketidakmampuan masyarakat dalam menghadapi ancaman bencana di masing- masing indeks kerentanan.
2.3 Mitigasi Bencana Longsor
Berdasarkan Undang–Undang No. 24 Tahun 2007, mitigasi didefinisikan sebagai serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Sedangkan menurut Noor (2014), Mitigasi bencana adalah suatu kegiatan yang mengantisipasi terjadinya bencana dengan penggunaan early warning system, identifikasi kebutuhan dasar dan sumber-sumber yang ada, koordinasi dengan pihak-pihak terkait, serta penyediaan anggaran dan alternatif tindakan. Kegiatannya yang mengurangi potensi bencana antara lain penyusunan regulasi seperti pemantauan dan pengembangan, penyusunan database, penyusunan peta kerentanan bencana, pengaturan tata guna lahan, dan perencanaan perencanaan tata ruang. Sehingga dapat dikatakan mitigasi bencana merupakan usaha untuk mengurangi risiko bencana dan mengantisipasi terjadinya bencana, maka mitigasi bencana perlu dilakukan pada tahap sebelum terjadinya bencana.
Kusumasari (2014) menjelaskan terdapat dua jenis mitigasi untuk mengurangi risiko bencana, antara lain :
1. Mitigasi struktural, merupakan langkah dalam melakukan pengurangan risiko melalui pembangunan atau perubahan lingkungan fisik berdasarkan dengan penerapan solusi yang dirancang. Kegiatan ini mencakup penanggulangan infrastruktur untuk keselamatan hidup, sistem pemulihan, modifikasi fisik, konstruksi pembatas atau sistem pendeteksi, konstruksi tempat tinggal masyarakat, modifikasi struktur, relokasi, langkah-langkah pengaturan, dan kode bangunan, serta ketahanan konstruksi. Selain itu dilakukannya pemasangan sistem peringatan dini longsor, pengelolaan jenis tanaman yang
17 digunakan, pembangunan saluran air dan pembangunan dinding penahan tanah.
2. Mitigasi non struktural, meliputi pengurangan risiko melalui modifikasi proses-proses perilaku manusia atau alam, tanpa membutuhkan penggunaan struktur yang dirancang. Di dalam teknik ini terdapat langkah-langkah regulasi, pengendalian lingkungan, modifikasi perilaku, melakukan pelatihan dan simulasi bencana longsor, program pendidikan, dan kesadaran masyarakat,
Tabel 2. 5 Komparasi Teori Mitigasi Bencana
Sumber Teori Mitigasi Bencana
Noor (2014) Kegiatan mengantisipasi terjadinya
bencana melalui
(1) penggunaan early warning system, (2) identifikasi kebutuhan dasar dan
sumber-sumber yang ada,
(3) koordinasi dengan pihak-pihak terkait, serta
(4) penyediaan anggaran dan alternatif tindakan
Kegiatannya yang mengurangi potensi bencana antara lain penyusunan regulasi seperti
(1) pemantauan dan pengembangan, (2) penyusunan database,
(3) penyusunan peta kerentanan bencana,
(4) pengaturan tata guna lahan, dan (5) perencanaan perencanaan tata ruang Coppola dalam Kusumasari (2014) A. Mitigasi struktural
(1) penanggulangan infrastruktur untuk keselamatan hidup,
(2) sistem pemulihan,
18
Sumber Teori Mitigasi Bencana
(3) modifikasi fisik, konstruksi pembatas atau sistem pendeteksi, konstruksi tempat tinggal masyarakat, modifikasi struktur,
(4) langkah-langkah pengaturan, kode bangunan dan relokasi
(5) ketahanan konstruksi.
(6) pembangunan dinding penahan tanah
(7) pembangunan saluran air
(8) pengelolaan jenis tanaman yang digunakan, dan
(9) pemasangan sistem peringatan dini longsor.
B. Mitigasi non struktural,
(1) program pendidikan, dan kesadaran masyarakat
(2) langkah-langkah regulasi,
(3) melakukan pelatihan dan simulasi bencana longsor,
(4) modifikasi perilaku, (5) pengendalian lingkungan
Sumber : Hasil Pustaka, 2021 Berdasarkan dari kedua teori tersebut, dalam melakukan pengurangan risiko bencana dapat dengan merencanakan mitigasi bencana longsor yang terbagi menjadi dua bagian yaitu mitigasi struktural berupa pembangunan atau perubahan lingkungan fisik dan mitigasi non-struktural berupa regulasi dan modifikasi proses-proses perilaku manusia. Menurut Rosaliana, dkk (2020), teknik mitigasi bencana longsor untuk daerah tingkat risiko tinggi dan menengah adalah teknik mitigasi struktural dan non struktural, sedangkan untuk daerah tingkat risiko rendah adalah mitigasi non struktural. Menurutnya, pada daerah dengan tingkat
19 risiko tinggi perlu adanya suatu pembangunan fisik untuk memitigasi bencana longsor seperti mengatur system drainase yang tepat pada daerah lereng, melakukan penanaman vegetasi khususnya pada kawasan rawan bencana longsor, serta pembangunan sistem terasering. Selain itu, diperlukan pula mitigasi non struktur seperti penyediaan informasi dan peta bencana bagi masyarakat serta pembentukan lembaga penanggulangan bencana, agar masyarakat yang berada pada daerah tingkat risiko tinggi dapat mengantisipasi jika bencana terjadi. Lalu pada daerah dengan tingkat risiko sedang juga perlu adanya mitigasi struktural dan non struktural seperti penanaman vegetasi untuk memperkuat kestabilan lereng dan struktur tanah untuk mencegah terjadinya longsor dan juga membentuk lembaga penanggulangan bencana untuk mengantisipasi bencana terjadi.
Sedangkan pada daerah tingkat risiko rendah yang diperlukan hanya berupa mitigasi bencana non struktural agar masyarakat tetap mewaspadai adanya potensi bencana.
Kemudian menurut Saputra (2016), mitigasi struktural dilakukan pada kawasan yang memiliki tingkat risiko tinggi sedangkan mitigasi non-struktural dilaksanakan pada kawasan yang memiliki tingkat risiko sedang. Pada daerah risiko tinggi menurutnya perlu ada pembangunan fisik untuk mengurangi pergerakan tanah dan sebagai dinding penahan lereng untuk mencegah terjadinya longsor yaitu Mechanically Stabilized Earth (MSE) dan juga menentukan jalur serta tempat evakuasi. Sedangkan pada daerah tingkat risiko sedang diperlukan mitigasi non struktural yaitu berupa pembuatan aturan/regulasi seperti aturan pemanfaatan lahan dan pengurangan kepadatan serta aktivitas penduduk.
Dari kedua teori di atas dapat disimpulkan mitigasi bencana berdasarkan dengan tingkat risiko yaitu berada pada tabel berikut.
Tabel 2. 6 Kegiatan Mitigasi Bencana Berdasarkan Tingkat Risiko No. Tingkat Risiko Kegiatan Mitigasi Bencana
1. Tinggi Mitigasi Struktural dan Non
Struktural
2. Sedang Mitigasi Non Struktural
3. Rendah Mitigasi Non Struktural
Sumber :Hasil Pustaka, 2021
20 2.4 Penelitian Terdahulu
Terdapat banyak penelitian terkait risiko dan mitigasi bencana longsor yang dilakukan di Indonesia. Pertama penelitian mengenai “Kajian Risiko Bencana Longsor Kecamatan Loano Kabupaten Purworejo” oleh Retno Widiastutik dan Imam Buchori yang mengkaji terkait karakteristik risiko longsor yang terdiri dari ancaman, kerentanan dan kapasitas. Penelitian tersebut menghasilkan penilaian risiko bencana dengan menggunakan metode penelitian terapan (applied research) dengan pendekatan kuantitatif. Kedua merupakan penelitian dengan judul Analisis Risiko Bencana Tanah Longsor, di Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng” oleh I Wayan Gede Eka Saputra, I.P.G.
Ardhana dan I Wayan Sandi yang mengkaji terkait risiko bencana longsor dengan mengetahui tingkat bahaya, kerentanan dan kapasitas. Selain itu, dalam penelitian ini juga melakukan perumusan strategi pengurangan risiko bencana tanah longsor sehingga menghasilkan analisis risiko dan strategi pengurangan risiko di Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng.
Ketiga yaitu penelitian dengan judul “Kajian Bentuk Mitigasi Bencana Longsor dan Tingkat Penerimaannya oleh Masyarakat Lokal” oleh Heru Setiawan yang meneliti terkait mitigasi bencana longsor dan tingkat penerimaannya. Hasil penelitian dalam penelitian tersebut menghasilkan program mitigasi bencana longsor yang terbagi mitigasi struktural dan non struktural yang direncanakan oleh pemerintah dan stakeholder yang lain. Berikut merupakan hasil telaah penelitian terdahulu dari ketiga penelitian tersebut.
21 Tabel 2. 7 Penelitian Terdahulu
Peneliti Judul Penelitian Tujuan Penelitian Variabel Metode Analisis
Retno Widiastutik dan Imam Buchori
Kajian Risiko Bencana Longsor Kecamatan Loano Kabupaten Purworejo
Mengkaji risiko bencana longsor, cakupan kajian meliputi karakteristik ancaman, kerentanan {sosial ekonomi &
fisik lingkungan, kapasitas (respon lingkungan)} serta risiko bencana.
Indeks ancaman yaitu
A. Variabel intrinsic (pengontrol) : (1) kemiringan lereng,
(2) tipe batuan, (3) tipe tanah, (4) kedalaman tanah.
B. Variabel ekstrinsik (pemicu) (1) curah hujan.
Pada indeks kerentanan yaitu
A. kerentanan sosial ekonomi terdiri dari (1) Jenis kelamin
(2) kepadatan penduduk (3) keluarga kurang sejahtera, (4) penyandang disabilitas, (5) kelompok umur rentan, (6) tingkat pendidikan rendah.
B. Kerentanan fisik lingkungan terdiri dari (1) penggunaan lahan dan
(2) fasilitas umum.
Penelitian terapan (applied research) dengan pendekatan kuantitatif. Pengolahan data menggunakan bantuan software ArcGIS dan SPSS.
I Wayan Gede Analisis Risiko mengetahui tingkat Indeks ancaman yaitu Metode pembobotan dan
22
Peneliti Judul Penelitian Tujuan Penelitian Variabel Metode Analisis
Eka Saputra, I.P.G.
Ardhana dan I Wayan Sandi Adnyana
Bencana Tanah
Longsor, di
Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng
ancaman, tingkat kerentanan dan tingkat kapasitas bencana tanah longsor di Kecamatan Sukasada serta merumuskan strategi pengurangan risiko bencana tanah longsor di Kecamatan Sukasada.
(1) potensi gerakan tanah (2) kemiringan lereng.
Pada indeks kerentanan A. Kerentanan fisik (1) jumlah rumah,
(2) jumlah fasilitas umum dan (3) fasilitas kritis.
B. Kerentanan sosial terdiri dari (1) jumlah penduduk,
(2) penduduk miskin, (3) penduduk cacat, (4) penduduk usia rentan.
C. Kerentanan ekonomi terdiri dari
(1) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan
(2) lahan produktif
D. Kerentanan lingkungan (1) semak belukar,
(2) hutan bakau/mangrove dan (3) hutan
Pada indeks kapasitas,
overlay tiga indeks yaitu ancaman atau bahaya, kerentanan dan kapasitas.
23
Peneliti Judul Penelitian Tujuan Penelitian Variabel Metode Analisis
(1) aturan dan kelembagaan penanggulangan bencana,
(2) peringatan dini
(3) pembangunan kesiapsiagaan, (4) pengurangan faktor risiko dasar, (5) pendidikan kebencanaan, dan (6). kajian risiko bencana
Heru Setiawan (2015)
Kajian Bentuk Mitigasi Bencana Longsor dan Tingkat Penerimaannya oleh Masyarakat Lokal
Bertujuan untuk mengetahui bentuk- bentuk mitigasi longsor
dan tingkat
penerimaannya oleh masyarakat lokal.
Bentuk Mitigasi Bencana Longsor A. Mitigasi Struktural
(1) sistem peringatan dini bencana longsor (EWS),
(2) membangun jalan dengan kontruksi beton.
(3) membangun saluran air
(4) memperkuat lereng di sisi kanan kiri jalan dengan material beton
(5) pembangunan pos kesehatan di lokasi rawan longsor,
(6) memasang papan peringatan longsor di jalan dan didaerah yang rawan terhadap longsor, dan
(7) membangun tempat-tempat evakuasi.
Analisis statistik diskriptif
24
Peneliti Judul Penelitian Tujuan Penelitian Variabel Metode Analisis
B. Mitigasi Non-Struktural
(1) melakukan penanaman pohon pada area yang gundul dan berlereng curam,
(2) melakukan pemetaan secara sederhana dan identifikasi terhadap masyarakat dan rumah yang termasuk dalam tingkat kerawanan yang tinggi ,
(3) melakukan simulasi bencana dengan melibatkan stakeholder lain yang terlibat dalam kegiatan kebencanaan,
(4) melakukan diseminasi tentang bencana tanah longsor dengan media poster atau film.
Sumber : Analisis Penulis, 2021
25 Berdasarkan dari tabel penelitian terdahulu di atas, terdapat komponen yang diadopsi oleh peneliti, antara lain pada penelitian pertama dan kedua yaitu penelitian mengenai Kajian Risiko Bencana Longsor Kecamatan Loano Kabupaten Purworejo oleh Retno Widiastutik dan Imam Buchori serta Analisis Risiko Bencana Tanah Longsor, di Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng oleh I Wayan Gede Eka Saputra, I.P.G. Ardhana dan I Wayan Sandi Adnyana, mengadopsi terkait metode analisis risiko bencana yang digunakan dalam kedua penelitian tersebut berupa penelitian terapan (applied research) dengan pendekatan kuantitatif dan pengolahan data menggunakan bantuan software ArcGIS serta menggunakan metode pembobotan dan overlay. Pada penelitian ketiga yaitu terkait mitigasi bencana longsor dengan judul penelitian “Kajian Bentuk Mitigasi Bencana Longsor dan Tingkat Penerimaannya oleh Masyarakat Lokal” oleh Heru Setiawan, di penelitian ini peneliti mengadopsi variabel yang digunakan untuk merumuskan strategi mitigasi bencana antara lain mitigasi struktural berupa sistem peringatan dini bencana longsor (EWS), memasang papan peringatan longsor di jalan dan didaerah yang rawan terhadap longsor, dan membangun tempat-tempat evakuasi serta mitigasi non-struktural berupa melakukan penanaman pohon pada area yang gundul dan berlereng curam, melakukan simulasi bencana dengan melibatkan stakeholder lain yang terlibat dalam kegiatan kebencanaan, dan melakukan diseminasi tentang bencana tanah longsor.
2.5 Sintesa Pustaka
Berdasarkan dengan kajian teori yang terdiri dari risiko bencana longsor yang terbagi menjadi ancaman dan kerentanan serta kajian terkait mitigasi bencana longsor yang membahas penentuan dalam merumuskan kajian tersebut menurut beberapa sumber, diskusi teori dan penelitian terdahulu, didapatkannya indikator dan variabel yang diadaptasi pada penelitian berdasarkan dengan intesitas variabel disebutkan dalam kajian teori sebanyak lebih dari dua dan berdasarkan dengan karakteristik wilayah Kota Balikpapan.
26 Berikut adalah sintesa dari tinjauan pustaka yang akan digunakan dalam penelitian strategi mitigasi bencana berdasarkan pemetaan risiko bencana longsor di Kelurahan Prapatan, Kota Balikpapan :
Tabel 2. 8 Sintesa Tinjauan Pustaka
Teori Indeks Indikator Variabel
Karakteristik Ancaman Longsor
- Kemiringan Lereng Kemiringan Lereng
- Jenis Tanah Jenis Tanah
- Kedalaman Tanah Kedalaman Tanah
- Curah Hujan Curah Hujan
- Tata Guna Lahan Hutan
Semak Belukar Kebun, Tegalan
Permukiman, Bangunan Lahan Kosong/Gundul Karakteristik
Kerentanan Longsor
Kerentanan Fisik
Jumlah Rumah Jumlah Rumah Permanen Jumlah Rumah Semi Permanen
Jumlah Rumah Non Permanen
Fasilitas Umum Jumlah Fasilitas Pendidikan Jumlah Fasilitas Peribadatan Jumlah Fasilitas Perdagangan dan Jasa Fasilitas Kritis Jumlah Fasilitas
Kesehatan Jumlah Fasilitas Perkantoran Kerentanan
Sosial
Kepadatan penduduk Jumlah Penduduk Luas Wilayah Rasio Penduduk
miskin
Jumlah Penduduk Miskin Jumlah Penduduk Total
27
Teori Indeks Indikator Variabel
Rasio Penduduk cacat Jumlah Penduduk Cacat Jumlah Penduduk Total Rasio Kelompok
Umur Rentan
Jumlah Penduduk Umur Rentan
Jumlah Penduduk Total Kerentanan
Ekonomi
Luas Lahan produktif Luas Lahan produktif Jumlah penduduk
bekerja
Jumlah Penduduk bekerja
Kerentanan Lingkungan
Luas lahan hutan Luas lahan hutan Luas lahan rawa Luas lahan rawa Risiko Bencana
Longsor
- - Ancaman Longsor
Kerentanan Longsor Strategi
Mitigasi Bencana
Mitigasi Struktural
Pembangunan
Infrastruktur Anti Bencana
Pembangunan dinding penahan tanah
Pembangunan saluran air Pemasangan papan peringatan longsor di jalan dan daerah yang risiko longsor tinggi
Pembangunan tempat- tempat evakuasi bencana Pemasangan sistem
peringatan dini longsor
Membangun sistem peringatan dini bencana longsor (EWS)
Mitigasi Non Struktural
Regulasi/Kebijakan Pemerintah
Kebijakan pengadaan RTH pada kawasan yang gundul
Regulasi pengaturan dan penataan kawasan rawan bencana
Program untuk meningkatkan
kapasitas masyarakat
Program pendidikan, dan kesadaran masyarakat Diseminasi tentang
28
Teori Indeks Indikator Variabel
dalam mitigasi bencana longsor
bencana longsor
Pelatihan dan simulasi bencana longsor
Sumber : Analisis Penulis, 2021