• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sabun

2.1.1 Pengertian Sabun

Sabun adalah bahan yang digunakan untuk mencuci dan mengemulsi.

Sabun merupakan pembersih yang dibuat dengan reaksi kimia antara kalium atau natrium dengan asam lemak dari minyak nabati atau lemak hewani. Sabun merupakan senyawa garam dari asam-asam lemak tinggi, seperti natrium stearat, C17H35COO-Na+. Aksi pencucian dari sabun banyak dihasilkan dari kekuatan pengemulsian dan kemampuan menurunkan tegangan permukaan dari air. Konsep ini dapat di pahami dengan mengingat kedua sifat dari anion sabun (Achmad, 2004).

2.1.2 Jenis Sabun

Sabun dapat dikategorikan berdasarkan wujud fisiknya, diantaranya:

a. Sabun padat

Sabun padat biasanya disebut sabun batang. Sabun ini biasanya mengandung alkali sodium hydroxide (NaOH). Sabun jenis ini dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan. Keunggulan sabun ini adalah lebih ekonomis, akan tetapi pemakaian sabun ini membutuhkan banyak air dan ada kemungkinan terkontaminasi bakteri yang dapat menimbulkan penyakit.

b. Sabun cair

Sabun cair menggunakan alkali yang berbeda dengan sabun padat, yaitu kalium hidroksida (KOH). Keunggulan dari sabun cair ini adalah lebih praktis, mudah larut dalam air, dan dapat dibawa kemana-mana.

2.1.3 Sifat – sifat Sabun

a. Sabun adalah garam alkali dari asam lemak sehingga akan dihidrolisis parsial oleh air. Karena itu larutan sabun dalam air bersifat basa.

CH3(CH2)16COONa + H2O →CH3(CH2)16COOH + OH-

b. Jika larutan sabun dalam air diaduk maka akan menghasilkan buih, peristiwa ini tidak akan terjadi pada air sadah. Dalam hal ini sabun dapat menghasilkan buih setelah garam-garam Mg atau Ca dalam air mengendap.

(2)

CH3(CH2)16COONa + CaSO4 → Na3SO4 + Ca(CH3(CH2)16COO)2

c. Sabun mempunyai sifat membersihkan. Sifat ini disebabkan proses kimia koloid, sabun (garam natrium dari asam lemak) digunakan untuk mencuci kotoran yang bersifat polar maupun non polar, karena sabun mempunyai gugus polar dan non polar. Molekul sabun mempunyai rantai CH3(CH2)16 yang bertindak sebagai ekor yang bersifat hidrofobik (tidak suka air) dan larut dalam zat organik sedangkan COONa+ sebagai kepala yang bersifat hidrofilik (suka air) dan larut dalam air ( Pratiwi,2013).

2.1.4 Reaksi Saponifikasi

Saponifikasi adalah reaksi yang terjadi ketika minyak/lemak di campur dengan larutan alkali. Dengan kata lain saponifikasi adalah proses pembuatan satuan yang berlangsung dengan mereaksikan asam lemak dengan alkali yang menghasilkan sintesa dan air serta garam karbonil (sejenis sabun) (Sumpena,2003).

Saponifikasi adalah reaksi hidrolisis antara basa-basa alkali dengan asam lemak yang akan menghasilkan gliserol dan garam yang disebut sebagai sabun.

Asam lemak yang digunakan yaitu asam lemak tak jenuh, karena memiliki paling sedikit satu ikatan ganda diantara atom-atom karbon penyusunnya dan bersifat kurang stabil sehingga sangat mudah bereaksi dengan unsur lain. Basa alkali yang digunakan yaitu basa-basa yang menghasilkan garam-garam basa lemah seperti NaOH, KOH, NH4OH, K2CO3 dan lainnya. Sabun menjadi produk yang berasal dari garam asam karboksilat yang tinggi (Sumpena, 2003).

Lemak Basa Sabun Gliserol

Sumber : Mauliawaty, 2021

Gambar 2.1 Reaksi saponifikasi

(3)

Proses saponifikasi merupakan reaksi pemutusan rantai trigliserida melalui reaksi dengan NaOH maupun KOH yang akan menghasilkan produk utama berupa sabun dan juga produk samping yang berupa gliserin (Jannah, 2009). Proses ini merupakan proses yang paling tua dan mudah di antara proses- proses yang ada, karena bahan baku untuk proses ini sangat mudah diperoleh, dari yang dulu hanya menggunakan lemak hewan, kini juga telah digunakan lemak nabati (Lubis, 2019).

Reaksi saponifikasi dimulai segera setelah larutan alkali dan minyak bercampur (Grosso, 2015). Mula-mula reaksi penyabunan berjalan lambat karena minyak dan larutan alkali merupakan larutan yang tidak saling campur (immiscible). Setelah terbentuk sabun maka kecepatan reaksi akan meningkat, sehingga reaksi penyabunan bersifat autokatalitik, dimana pada akhirnya kecepatan reaksi akan menurun lagi karena jumlah minyak sudah berkurang (Alexander, 1964 dalam Perdana dan Hakim, 2008).

Reaksi penyabunan merupakan reaksi eksotermis sehingga harus diperhatikan pada saat penambahan minyak dan alkali agar tidak terjadi panas yang berlebihan. Pada proses penyabunan, penambahan larutan alkali (KOH atau NaOH) dilakukan sedikit demi sedikit sambil diaduk dan dipanasi untuk menghasilkan sabun cair (Levenspiel, 1972 dalam Perdana dan Hakim, 2008).

2.1.5 Cara Pembuatan Sabun

Terdapat dua metode dalam pembuatan sabun berdasarkan suhu reaksi saponifikasi, yaitu Hot process (dengan suhu tinggi) dan Cold process (dengan suhu ruang atau rendah).

a. Hot process

Hot process merupakan metode pembuatan sabun yang menggunakan suhu tinggi pada reaksi saponifikasi. Proses ini diawali dengan pemanasan minyak kemudian dicampur dengan larutan basa dan diaduk hingga mencapai kondisi trace. Kemudian dilakukan pendinginan selama 1 jam. Jika sabun yang diinginkan berupa sabun cair, proses tersebut dilanjutkan dengan pengenceran dan kemudian sabun tersebut disaring untuk memisahkan sabun dengan kotorannya yaitu gliserol (Afrozi dkk., 2017). Pada proses ini keuntungan yang dimiliki adalah waktu proses yang digunakan lebih cepat dibandingkan metode Cold process, namun

(4)

pada proses ini memiliki kesulitan untuk menambahkan bahan segar seperti susu dan bubur (sari buah) karena mereka akan cenderung hangus ketika proses pemasakan.

b.Cold process

Cold process merupakan metode pembuatan sabun yang menggunakan suhu ruang dimana alkali digunakan sebagai basa dalam proses saponifikasi.

Larutan alkali dimasukkan ke minyak dan diaduk hingga mencapai kondisi trace.

Kemudian dilakukan pendiaman selama 4 – 6 jam sampai sabun memadat. Jika sabun yang diinginkan berupa sabun cair, proses tersebut dilanjutkan dengan pengenceran dan kemudian sabun tersebut disaring untuk memisahkan sabun dengan kotorannya yaitu gliserol (Prieto Vidal dkk., 2018). Keuntungan dari proses ini adalah dapat menambahkan berbagai additive dengan tidak menghawatirkan akan hangus namun untuk kekurangannya pada metode ini membutuhkan waktu yang cukup lama.

2.2 Sabun Mandi Cair 2.2.1 Definisi Sabun Mandi Cair

Sabun mandi cair adalah sediaan berbentuk cair yang digunakan untuk membersihkan kulit dibuat dari bahan dasar sabun yaitu dengan penambahan surfaktan, penstabil busa, pengawet, pewarna, dan pewangi yang diijinkan dan digunakan untuk mandi tanpa menimbulkan iritasi pada kulit (Anonim, 1996).

Keuntungan penggunaan sabun mandi cair yakni penggunaannya praktis karena kemasan berupa botol (wadah tertutup) sehingga mudah dibawa kemana-mana, selain itu sabun mandi cair tidak mudah terkontaminasi kuman dibandingkan dengan sabun padat, disisi lain kelembaban sabun cair lebih tinggi dibandingkan dengan sabun padat.

Sabun yang dibuat adalah sediaan surfactant-based type skin cleanser berwujud cairan kental transparan. Sediaan tersebut merupakan suatu campuran yang mengandung surfaktan dan bahan tambahan lainnya yang digunakan Bersama dengan air untuk mencuci dan membersihkan kotoran. (Kaneko dkk., 2001).

(5)

Suatu sediaan sabun cair dapat di formulasikan dengan bahan-bahan yakni : 1. Surfaktan primer

Yang berfungsi untuk detergensi dan pembusaan. Secara umum, surfaktan anionic digunakan karena memiliki sifat pembusaan yang baik. Selain itu, dapat pula digunakan surfaktan kationik, namun surfaktan ini memiliki sifat mengiritasi khususnya pada mata, sehingga perlu adanya kombinasi dengan surfaktan nonionik atau amfoter (Rieger, 2000).

2. Surfaktan Sekunder

Surfaktan yang bekerja mengatasi dan memperbaiki fungsi dari surfaktan primer berkaitan dengan detergensi dan pembusaan. Beberapa dari jenis surfaktan nonionic dapat digunakan karena busa yang dihasilkan lebih banyak dan stabil (Rieger, 2000).

3. Bahan aditif yakni bahan yang dapat menunjang formula dan memberikan karakteristik yang diharapkan pada sediaan. Bahan aditif tersebut umumnya : a. Pengatur viskositas, sabun cair biasanya diaplikasikan dengan pmpa pada wadah atau dituang langsung. Kekentaln sabun cair perlu diperhatikan karena kaitannya dengan preparasi, aplikasi dan aktivitas penghantaran (Buchmann, 2001).

b. Humektan, bahan ini dapat menambah fungsi sabun cair yaitu memberikan kesan lembut pada kulit. Hal tersebut dikarenakan konsumen yang tidak hanya menghendaki sabun cair untuk pembersih saja. Bisanya bahan yang digunakan yakni gliserin atau asam lemak bebas (Christiani, 2015).

c. Agen pengkelat, merupakan bahan yang dapat mengkelat ion Ca dan Mg pada saat pencucian dengan air sadah. Bahan pengkelat yang digunakan EDTA.

d. Pengawet, merupakan bahan aditif untuk mempertahankan sediaan sabun agar tahan terhadap jamur.

e. Pengharum, berfungsi menambah penerimaa sediaan oleh konsumen.

Pengharum yang digunkan tidak boleh mengganggu stabilitas dari produk akhir (Christiani, 2015).

(6)

2.2.3 Uji Karakter Fisik Sediaan Sabun Cair

Ada beberapa uji evaluasi sabun mandi cair sesuai SNI 4085:2017 dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tablel 2.1 Syarat mutu sediaan sabun mandi cair.

No. Kriteria uji Satuan Persyatratan

Jenis Sabun Jenis Deterjen 1. Keadaan :

- Bentuk - Bau - Warna

- - -

Cairan homogen Khas Khas

Cairan homogen Khas Khas

2. pH, 25oC - 8-11 6-8

3. Alkali bebas ( dihitung sebagai NaOH)

% Maks. 0,1 Tidak

dipersyaratkan

4. Bahan aktif % Min. 15 Min. 10

5. Bobot jenis, 25oC g/mL 1,01-1,10 1,01-1,10 6. Cemaran mikroba

Angka lempeng total

Koloni/g Maks. 1x105 Maks. 1x105

7. Bilangan penyabunan - 196-206 -

Sumber : (SNI 4085:2017)

1. Uji Organoleptis

Uji organoleptis sesaui SNI dimaksudkan untuk melihat tampilan fisik suatu sediaan yang meliputi bentuk yang homogen, warna khas dan bau khas.

2. Uji pH

Uji pH bertujuan mengetahui keamanan sediaan sabun apakah masuk dalam rentang pH kulit atau tidak sehingga saat digunakan tidak mengiritasi kulit. Pada SNI syarat sabun mandi dengan bahan dasar deterjen adalah 6-8.

3. Uji Alkali Bebas

Pengujian alkali bebas dilakukan untuk mengetahui keamanan sabun cair. Kadar alkali yang tinggi dapat menimbulkan kulit menjadi kering dan iritasi. Untuk yang bebasis sabun dipersyaratkan maksimal kadar alkali bebas 0,1% sedangkan ang berbasis deterjen tidak ada persyaratan.

(7)

4. Bahan Aktif

Bahan aktif yang diukur adalah jumlah senyawa dalam sabun yang tidak tersabunkan. Jumlah asam lemak yang tinggi dapat mengganggu emulsi sabun dan dapat menyebabkan kotoran pada sabun, sehingga diperlukan jumlah asam lemak bebas sesaui standar SNI.

5. Bobot jenis

Bobot jenis yang dipersyaratkan SNI untuk sediaan sabun mandi berbahan dasar deterjen maupun sabun adalah 1,01 – 1,10.

6. Cemaran mikroba

Cemaran mikroba digunakan untuk mengtahui apakah sediaan terdapat pertumbuhan mikroba patogen maupun non patogen. Sediaan yang tercemar menyebabkan ketidak stabilan sediaan dan dapat menimbulkan reaksi alergi saat penggunaan. Disini dipersyaratkan cemaran mikroba sabun dengan angka lempeng total maksimal 1x105 g/koloni.

2.3 Abu Sekam Padi

Sekam padi (rice husk/ rice hull) atau kulit gabah adalah bagian terluar dari bulir padi dan memiliki kandungan silika terbanyak dibandingkan dengan hasil samping pengolahan padi lainnya seperti dapat dilihat di Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Kandungan silika dalam produk samping padi

Komponen Silika (%)

Sekam 18,0-22,3

Dedak 0,2-0,3

Bekatul 0,6-1,1

Jerami 4,0-7,0

Sumber : (Luh, 1991).

(8)

Sumber : (Badan Penelitian Pengembangan Pertanian, 2017)

Gambar 2.2 Sekam Padi

Abu sekam padi adalah hasil pembakaran sekam padi terkontrol pada suhu tinggi (500-600℃) akan menghasilkan abu silika yang dimanfaatkan untuk berbagai proses kimia (Putro, 2007).

Sumber: (Tobing, 2017).

Gambar 2.3 Abu Sekam Padi

Secara umum penggunaan sekam di Indonesia masih terbatas yaitu sebagai media tanaman hias, pembakaran bata merah, alas ternak untuk unggas, kuda, sapi, kambing, dan kerbau. Di Indonesia dan Filipina, sekam padi juga dipakai dalam penetasan telur itik. Sebagai pupuk, sekam padi mempunyai nilai yang rendah karena kadar NPK-nya yang rendah. Tetapi penambahan abu sekam atau sekam ke dalam lahan memberikan pengaruh positif, terutama dalam penyerapan silika (Tangendjaja, 1991).

(9)

2.3.1 Komposisi

Sekam padi memiliki komposisi sebagai berikut:

Tabel 2.3 Komposisi sekam padi beserta zat organiknya

Komponen Kandungan (%)

Air 9,02

Protein kasar 3,03

Lemak 1,18

Serat Kasar 35,68

Abu 17,71

Karbohidrat kasar 33,71

Sumber : ( Suharno, 1979)

Abu sekam padi memiliki komposisi kimia sebagai berikut : Tabel 2.4 Komposisi kimia abu sekam padi

Kandungan Kadar (%)

SiO2 90,38

K2O 3,18

P2O5 1,61

CaO 1,24

SO3 1,02

Al2O3 0,88

CI 0,76

MnO 0,40

Fe2O3 0,40

TiO2 0,05

ZnO 0,02

Rb2O 0,01

Sumber : (Wahyuni dkk, 2015)

2.3.2 Morfologi Sekam Padi

Sekam padi merupakan lapisan keras yang meliputi kariopsis yang terdiri dari dua bentuk daun yaitu sekam kelopak dan sekam mahkota, dimana pada proses penggilingan padi, sekam akan terpisah dari butir beras dan menjadi bahan sisa atau limbah penggilingan. Sekam tersusun dari jaringan

(10)

serat-serat selulosa yang mengandung banyak silika dalam bentuk serabut- serabut yang sangat keras. Pada keadaan normal, sekam berperan penting melindungi biji beras dari kerusakan yang disebabkan oleh serangan jamur secara tidak langsung, melindungi biji dan juga menjadi penghalang terhadap penyusupan jamur. Selain itu sekam juga dapat mencegah reaksi ketengikan karena dapat melindungi lapisan tipis yang kaya minyak terhadap kerusakan mekanis selama pemanenan, penggilingan dan pengangkutan.

Sumber : Krishnarao, 1992

Gambar 2.4 Analisis SEM untuk lapisan epidermis (a) sekam padi, (b) sekam yang terbakar, dan (c) abu putih sekam padi

Gambar 2.5 merupakan hasil analisis dengan SEM (Scanning Electron Microscopy) dari bagian luar epidermis dari sekam padi, sekam padi terbakar, dan abu putih sekam padi (Krishnarao, 1992). sementara bulunya ditemukan retak. Struktur sekam padi dengan bulu halus pada bagian luar dapat dilihat pada Gambar 2.5(a) dimana butiran dalam jumlah besar tersebar di seluruh epidermis. Setelah pembakaran, sekam padi terlihat menyusut dan permukaannya menjadi lebih halus (Gambar 2.5(b)). Butiran kecil dan bulu pada bagian luar epidermis juga terlihat mengecil ukurannya. Pada abu putih sekam padi, walau sangat rapuh, tapi masih memiliki struktur aslinya (Gambar 2.5(c)). Butiran kecil yang terlihat pada Gambar 2.5(a) untuk sekam padi hampir menghilang.

2.3.3 Sifat Fisik Sekam Padi

Sekam padi sulit untuk dinyalakan dan tidak mudah terbakar dengan api di ruang terbuka kecuali udara ditiupkan kedalamnya. Sekam padi sangat tahan terhadap kelembaban dan dekomposisi jamur yang menyebabkan sekam padi sulit untuk terurai secara alami (Anonim, 2009).

(11)

Sekam padi memiliki masa jenis yang rendah yaitu 70-110 kg/m³, 145 kg/m³ ketika bergetar atau 180 kg/m³ dalam bentuk briket atau pellet (Anonim, 2009). Dengan demikian untuk penyimpanan dan transportasi, sekam padi membutuhkan volume besar, yang membuat transportasi jarak jauh menjadi tidak ekonomis. Ketika sekam padi dibakar kadar abu yang diperoleh adalah 17-26%, jauh lebih tinggi daripada bahan bakar lainnya (kayu 0,2-2%, batu bara 12,2%). Sekam padi memiliki nilai kalori tinggi rata- rata dari 3410 kkal / kg dan dapat digunakan sebagai salah satu sumber energi terbarukan (Anonim, 2009).

2.4 Minyak Goreng

2.4.1 Kandungan Minyak Goreng

Minyak goreng merupakan campuran dari berbagai senyawa dimana komposisi terbanyak dari minyak goreng adalah lemak. Selain lemak terdapat beberapa senyawa lain seperti zat warna (α dan β karoten yang berwarna kuning dan xantofil yang berwarna kuning kecoklatan), vitamin E, lesitin, sterol, asam lemak bebas, karbohidrat, dan protein (Heri Utami 2013).

Sumber: (Mauliawaty, 2021)

Gambar 2.5 Minyak Goreng

Berdasarkan ikatan kimia, lemak dalam minyak goreng terbagi menjadi dua bagian yaitu lemak jenuh dan lemak tak jenuh. Lemak jenuh merupakan asam lemak yang tidak memiliki ikatan rangkap diantara atom karbonnya sehingga disebut penuh dengan hirogen, sedangkan lemak tak jenuh merupakan asam

(12)

lemak yang memiliki satu atau lebih ikatan rangkap. Setiap jenis lemak mengandung asam lemak dengan rantai karbon panjang antara C12 – C18 , asam lemak tersebut mengandung lemak jenuh dan tak jenuh (Ketaren 1986).

Asam lemak jenuh yang terdapat pada minyak goreng umumnya terdiri dari asam miristat, asam palmitat, asam laurat, dan asam kaprat. Asam lemak tidak jenuh dalam minyak goreng mengandung asam oleat dan asam. Lemak atau minyak yang umum digunakan dalam pembuatan sabun adalah trigliserida yang terdiri dari tiga molekul asam lemak yang diesterifikasi menghasilkan sabun dan gliserol (Ketaren 1986).

2.4.2 Kandungan Minyak Goreng Kelapa Sawit

Umumnya minyak goreng mengandung senyawa β karoten, vitamin E, lesitin, sterol, asam lemak bebas, karbohidrat, dan protein (Putro & Utami, 2011).

Senyawa- senyawa ini ada didalam minyak goreng dengan jumlah yang sangat sedikit, komposisi terbanyak dari minyak goreng adalah lemak. Penggunaan minyak jelantah untuk pembuatan sabun dilakukan menggunakan minyak kelapa sawit. Komponen penyusun dan kandungan asam lemak minyak kelapa sawit dapat dilihat pada tabel 2.5 dan 2.6.

Tabel 2.5 Komponen Penyusun Minyak Kelapa Sawit

Komponen Komposisi (%)

Trigliserida 95,62

Asam Lemak Bebas 4,00

Air 0,20

Phosphatida 0,07

Karoten 0,03

Aldehid 0,07

Sumber : (Gunstone dan Padley 1997)

Tabel 2.6 Kandungan Asam Lemak dalam Minyak Kelapa Sawit

Kandungan Persentase (%)

Asam Palmitat 45

Asam Stearat 39

Asam Oleat 19

Asam Linoleat 11

Asam Linolenat -

Sumber : (Zahan dan Kano 2018)

(13)

Pada minyak kelapa yang merupakan asam lemak jenuh antara lain asam laurat, asam miristat, asam palmitat, asam kaproat, dan asam stearat. Sedangkan asam lemak tak jenuh dalam minyak kelapa adalah asam oleat. Asam lemak jenuh memberikan busa dengan konsisten, sementara asam lemak tak jenuh memberikan kelembaban, menutrisi, dan memelihara kulit (Novilla, Nursidika, & Mahargyani, 2017).

Minyak kelapa sawit mengandung asam lemak jenuh berantai pendek, maka dari itu akan menghasilkan sabun yang berbusa karena peningkatan kelarutan dalam air. Namun, asam lemak yang terdiri dari 10 karbon atau kurang dari itu, tidak diinginkan karena dapat mengiritasi kulit dan membuatnya menjadi kering. Asam lemak dengan rantai yang lebih panjang dapat meningkatkan sifat pembersih dan memberikan sabun yang lebih tahan lama (Vidal dkk., 2018).

2.5.3 Asam Lemak Bebas

Pada minyak goreng (minyak kelapa sawit) penggorengan berkali-kali akan menyebabkan peningkatan asam lemak bebas dalam minyak. Minyak yang mengandung asam lemak bebas yang tinggi disebut juga minyak jelantah. Minyak goreng biasa hanya memiliki kandungan asam lemak bebas kurang dari 15%, sedangkan minyak jelantah memiliki kandungan asam lemak bebas sebanyak 15 – 60% dengan viskositas atau kekentalan yang lebih besar dibanding minyak goreng biasa. Asam lemak bebas pada minyak dihasilkan dari proses hidrolisis yang disebabkan oleh interaksi antara minyak goreng dengan kadar air dalam makanan pada suhu tinggi, atau reaksi dengan uap air pada atmosfer (Panadare & Rathod, 2015).

Perubahan sifat fisika dan kimia yang tidak diinginkan pada minyak membatasi pemanfaatan lebih lanjut contohnya sebagai pembuatan sabun atau biodiesel. Analisis perubahan sifat fisika dan kimia pada minyak dilakukan oleh Knothe et al. dengan melihat kenaikan nilai viskositas, bilangan asam, dan asam lemak bebas dikarenakan proses hidrolisis dan oksidasi, dimana saat reaksi oksidasi dari udara akan terjadinya pembentukan hidrogen peroksida (Knothe &

Steindley, 2009). Maka dari itu, dibutuhkan pemurnian terlebih dahulu untuk proses pengaplikasian menggunakan minyak jelantah. Pemurnian dilakukan dengan penambahan adsorben, filtrasi, ekstraksi dengan pelarut yang sesuai,

(14)

teknik kromatografi, dan lain-lain. Pada sabun terkandung asam lemak bebas, namun hanya 1 – 8% dari total berat sabun yang dihasilkan (Vidal , Adigun, &

Pham, 2018). Kandungan asam lemak bebas akan meningkatkan kemampuan melembabkan kulit dan menambah busa pada sabun . Namun apabila kadar asam lemak bebas lebih dari persentase yang ditentukan akan dapat mengiritasi kulit dan menyebabkan pembersihan tidak maksimal (Bernecke & Maruska, 2013).

2.4.4 Pemurnian Minyak Goreng Jelantah

Pemurnian termasuk salah satu tahap pertama dari proses pemanfaatan minyak goreng jelantah. Tujuan utama dari pemurnian adalah untuk menurunkan asam lemak bebas dari kandungan minyak goreng jelantah, menghilangkan rasa serta bau yang tidak enak, warna yang kurang menarik dan memperpanjang daya simpan sebelum digunakan kembali (Wijayana dkk., 2005).

Adapun beberapa tahap proses pemurnian sebagai berikut (Ketaren ,1986):

1) Penghilangan kotoran

Penghilangan kotoran dalam minyak dilakukan dengan cara penyaringan yang bertujuan untuk menyaring partikel halus.

2) Netralisasi

Netralisasi adalah proses pemisahan asam lemak bebas dari minyak atau pereaksi lainnya sehingga dapat membentuk sabun. Selain itu penggunaan basa dapat membantu mengurangi zat warna dan kotoran yang berupa getah dan lendir dalam minyak.

3) Pemucatan (bleaching)

Pemucatan (bleaching) merupakan tahapan proses pemurnian untuk menghilangkan zat-zat warna (tokoferol yang teroksidasi, gugus aldehid dan amin yang tereduksi) dan bau yang tidak diinginkan dalam minyak, selain itu pada proses bleaching juga dapat menurunkan kandungan asam lemak bebas tergantung dari senyawa yang terdapat pada adsorben yang digunakan (Rio dkk. 2009).

Proses ini dilakukan dengan cara mencampurkan minyak dengan. Beberapa adsorben yang dapat digunakan pada proses ini diantaranya tanah serap, lempung aktif, arang aktif, atau dapat juga menggunakan bahan kimia.

(15)

2.5 Bentonit

Bentonit merupakan sejenis tanah liat atau lempung yang terdiri dari dari SiO2 dan Al2O3 yang merupakan penyusun utama serta senyawa-senyawa lain seperti CaO, MgO, Fe2O3 dan K2O yang mengandung air dan terikat secara kimia. Tanah liat jenis ini mempunyai sifat yang unik yaitu mengembang apabila dilarutkan dalam air. Bentonit adalah tanah liat yang berasal dari abu vulkanis yang komposisinya sebagian besar adalah mineral tanah liat smektit yaitu tanah liat yang bersifat plastik dan koloidal tinggi (Atikah, 2018).

Sumber: (zaimahwati, 2018).

Gambar 2.6 Bentonit

Bentonit berbentuk seperti bubuk halus padat yang berwarna merah kecoklatan, berjenis lempung yang mengandung mineral montmorillonit lebih dari 85% dan fragmen sisa terdiri dari campuran dari mineral kwarsa atau kristoballit, felispar, kalsit, gipsum, dan lain-lain. Pada kenyataannya, komposisi montmorillonit itu sendiri berbeda dari bentonit yang satu dengan bentonit yang lain dan kandungan elemennya bervariasi tergantung pembentukan alam. Secara fisik bentonit yang digunakan mempunyai ciri berwarna merah kecoklatan dan berbentuk bubuk/powder padat. Pada keadaan normal normal ruang-ruang kosong kristal bentonit terisi penuh oleh molekul air akibat proses hidrasi udara sekitar. Apabila molekul air tersebut terurai kemudian air meninggalkan rongga,

(16)

maka memberikan efek luas permukaan yang spesifik dari bentonit sehingga sifat mampu menyerap terutama terhadap molekul yang berukuran lebih kecil dari rongga. Karena hal tersebut, bentonit dikatakan mempunyai daya saring molecular (Atikah, 2018).

Penggunaan bentonit untuk keperluan suatu industri terutama berdasarkan sifat fisiknya. Di antaranya sifat fisik yang memegang peranan penting adalah kapasitas pertukaran ion atau kation, daya serap, luas permukaan, reologi, sifat mengikat dan melapis, serta plastisitas.

2.6 Adsorpsi

Adsorpsi merupakan proses pemisahan dimana komponen yang berasal dari fase fluida berpindah ke permukaan zat padat. Pada proses adsorpsi ada yang disebut sebagai adsorben dan adsorbat. Adsorben adalah zat penyerap, sedangkan adsorbat adalah zat yang diserap. Pada umumnya adsorben memiliki pori-pori yang sangat kecil sehingga luas permukaan bagian dalam lebih besar dibanding luas permukaan bagian luar adsorben. Pemisahan ini dapat terjadi dikarenakan adanya perbedaan bobot molekul atau polaritas yang menyebabkan sebagian molekul melekat pada permukaan tersebut lebih erat daripada molekul lainnya (Saragih 2008).

Adsorpsi dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu (Oscik dan I.L. 1994):

1. Adsorpsi Fisika

Adsorpsi fisika adalah adsorpsi yang terjadi karena adanya tarikan antara zat terlarut dengan adsorben lebih besar dari pada tarikan antara zat terlarut dengan pelarut, sehingga zat terlarut akan menempel pada permukaan adsorben.

2. Adsorpsi Kimia

Adsorpsi kimia terjadi diawali dengan adsorpsi fisika, yaitu partikel-partikel adsorbat terikat pada permukaan adsorben. Partikel yang menempel pada permukaan membentuk ikatan kimia (biasanya ikatan kovalen) dan cenderung mencari tempat yang dapat memaksimalkan bilangan koordinasi dengan substrat Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi proses adsorpsi, diantaranya (Cechinel, Guelli, dan Ulson 2013):

(17)

1. Ukuran molekul adsorbat

Ukuran molekul adsorbat dapat mempengaruhi proses adsorpsi. Molekul-molekul adsorbat yang dapat diadsorpsi adalah molekul yang diameternya lebih kecil atau sama dengan diameter pori adsorben,

2. Karakteristik Adsorben

Ukuran pori dan luas permukaan adsorben merupakan karakteristik penting adsorben. Semakin kecil ukuran pori adsorben maka luas permukaan adsorben semakin tinggi, sehingga jumla molekul yang teradsoprsi akan bertambah.

3. Temperatur

Faktor yang mempengaruhi temperatur proses adsorpsi adalah viskositas dan stabilitas termal senyawa serapan, seperti terjadi perubahan warna maupun dekomposisi, maka dilakukan pada titik didihnya. Untuk senyawa volatil, adsorpsi dilakukan pada temperature kamar atau temperatur yang lebih rendah.

Referensi

Dokumen terkait

Pewarna atau zat pewarna batik adalah zat warna tekstil yang dapat digunakan dalam proses pewarnaan batik baik dengan cara pencelupan maupun coletan pada suhu

Bahan pewarna Rhodamine B untuk warna merah dan Metanil Yellow untuk warna kuning, merupakan zat pewarna sintesis yang dilarang untuk produk makanan karena dalam bahan

Ketidakstabilan formulasi obat dapat dideteksi dalam beberapa hal dengan suatu perubahan dalam penampilan fisik, warna, bau, rasa, dan tekstur dari

Pengolahan air buangan secara kimia biasanya dilakukan untuk menghilangkan partikel-partikel yang tidak mudah mengendap (koloid), logam-logam berat, senyawa fosfor, dan zat

Reuse spent bleaching earth sebagai adsorben kembali pada proses pemucatan CPO pada industri minyak goreng tersebut (Wahyudi, 2000); Dengan proses aktivasi diharapkan

Tujuan utama dari proses pemurnian minyak sawit adalah untuk menghilangkan rasa serta bau yang tidak enak, warna yang tidak menarik dan memperpanjang masa simpan minyak

Lipstik termasuk dalam kosmetika golongan sediaan make-up atau dekoratif yang terbuat dari bahan dasar dan zat warna yang digunakan untuk mempercantik dan mempertegas warna bibir yaitu

2.1.4 Pewarna Kosmetik Menurut Peraturan Menkes RI No.376/MENKES/PER/VIII/1990 tentang bahan, zat warna, zat pengawet dan tabir surya pada kosmetik, zat warna adalah zat atau campuran