• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "BAB V"

Copied!
4
0
0

Teks penuh

(1)



BAB V PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dijelaskan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Menurut Imam Abu Hanifah istishna’ adalah jual beli terhadap barang pesanan, bukan terhadap pekerjaan pembuatan. Jadi jika pengrajin memberikan barang yang tidak dibuat sendiri olehnya, atau barang tersebut ia buat sebelum terjadinya akad tetapi sesuai dengan bentuk yang diminta, maka akad tersebut dibenarkan.

Menurut Imam Abu Hanifah waktu penyerahan barang dalam akad istishna tidak perlu disyaratkan atau ditentukan. Jika waktu penyerahan barang tersebut ditentukan, maka akan berubah menjadi akad salam di dalamnya. Beliau berpendapat demikian bukan tanpa alasan. Beliau berpendapat demikian justru karena beliau sangat manusiawi (memperhatikan kepentingan manusia), khususnya bagi kaum yang lemah agar tidak merasa tertekan oleh keterbatasan waktu.

2. Menurut Imam Syafi’i bahwa istishna’ adalah salah satu pengembangan prinsip bai’ as-salam, dimana objek pesanannya yaitu harus dibuat atau dipesan terlebih dahulu dengan ciri-ciri khusus, maksudnya barang tersebut dibuat oleh penjual setelah barang dipesan dengan diketahuinya jenis barang, tipe, jumlah, serta bentuk yang akan dipesan. Perbedaannya hanya pada sistem pembayarannya, salam pembayarannya dilakukan sebelum barang diterima dan istishna bisa diawal, ditengan atau diakhir pesanan.Dengan demikian, ketentuan istishna’

(2)

77

mengikuti ketentuan dan aturan akad salam, dan akad istishna’ bisa digunakan di bidang manufaktur dan kontruksi. istishna menurut Imam Syafi’i adalah salah satu praktek jual beli dalam bentuk akad salam, dengan demikian akad ini boleh dijalankan bila memenuhi berbagai persyaratan akad salam, sehingga harus ditentukan waktu penyerahan barang pesanana sebagaimana dalam akad salam, jika tidak maka akad itu menjadi rusak.

3. Implikasi perkembangan kedua mazhab tentang akad istishna di Indonesia, menurut Imam Abu Hanifah dalam akad istishna’ tidak menetukan jangka waktu penyerahan barang. Abu Hanifah memang ulama yang terkenal rasionalis.

Mungkin pemikiran beliau cocok untuk diaplikasikan oleh masyarakat pada masanya. Akan tetapi apabila pemikiran Abu Hanifah ini diaplikasikan pada masa sekarang maka tidak relevan jika diterapkan dalam perbankan syariah, karena pada kenyataanya praktik istishna pada masa sekarang, penentuan waktu penyerahan barang harus ditentukan sebagaimana pemikiran mazhab syafi’i dan penentuan jangka waktu antara pesanan dengan penyerahan barang menjadi suatu keharusan dalam setiap transaksi dan harus ditentukan secara jelas dan pasti di awal akad.

B. Saran

1. Bagi semua pihak yang hendak mengeluarkan atau menetapkan suatu pendapat diharapkan mampu mengemukakan dalil dan alasan yang lebih kuat, khususnya ulama atau pengikut yang sependapat dengan Imam Abu Hanifah (mazhab Hanafi) dan Imam Syafi’i (mazhab Syafi’i).

2. Bagi pelaku bisnis diharapkan dalam menggunakan jasa perbankan perlu memperhatikan setiap akad yang akan diterapkan dalam bertransaksi agar

(3)

78

terhindar dari riba’dan gharar dan praktik jual beli yang tidak sesuai dengan kaidah syariah yang berlaku dalam islam.

3. Dalam melakukan praktik jual beli Istishna’, alangkah baiknya para pihak memahami bentuk dan isi dari perjanjian jual beli tersebut. Semoga dengan adanya penelitian ini dapat menambah wawasan mengenai penerapan akad istishna’ yang sesuai dengan pedoman Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i sehingga dapat memberikan kemudahan dalam bertransaksi.

(4)

I

Referensi

Dokumen terkait

Tinjauan Mazhab Syafi’i Terhadap Jual Beli Pakaian Bekas Dalam karung di Pasar Tugu Pahlawan Surabaya Jual beli menurut Mazhab Syafi‟I adalah suatu akad yang mengandung tukar

Pandangan Imam Syafi‟i dengan transaksi vending machine di era kekinian dan jual beli mu‟athoh dengan relevansi pandangannya terhadap jual beli di era kekinian.19 Berdasarkan

Ganti rugi hanya boleh dikenakan pada transaksi (akad) yang menimbulkan utang piutang (dain) seperti salam, istishna, serta murabahah dan ijarah. Dalam akad mudharabah

memerlukan pihak orang lain untuk membuatkannya, dalam hal seperti itu dapat dilakukan melalui jual beli istishna’ yaitu akad jual beli dalam bentuk pemesanan, pembuatan

Penerapan akad istishna’ pada KPR syariah Aster Village Ciwastra di PT Royal Bridea Indonesia ditinjau dengan fatwa No 06/DSN – MUI/IV/2000 tentang jual beli

SBSN istishna, merupakan SBSN yang diterbitkan berdasarkan akad istishna, yaitu jual beli pemesanan aset oleh penerbit kepada investor sesuai spesifikasi tertentu

Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 06/DSN-MUI/VI/2000 tentang Jual Beli Istishna’ adalah akad jual beli dalam aplikasi pembuatan barang sesuai

Fenomena atau konsepakad istishna’ di Bank Syari’ah Mandiri Kantor Cabang Bandung pada praktiknya, akad istishna’ yang digunakan adalah istishna’ paralel, yaitu konsumen yang