• Tidak ada hasil yang ditemukan

Adab Bertetangga dalam Perspektif Islam

N/A
N/A
Rumah Qur'an Ibnu Mas'ud

Academic year: 2024

Membagikan "Adab Bertetangga dalam Perspektif Islam"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Adab-Adab Bermasyarakat Menurut Islam yang Sering Kali Terlupakan (1)

6 AGUSTUS 2021, 22:33

Sebagai agama yang rahmatan lil alamin, Islam bukan saja mengatur kehidupan individu tapi juga kehidupan bersosial. Di tengah berkembang pesatnya teknologi dan kehidupan yang semakin modern, terkadang adab-adab atau etika bersosial sering kali diabaikan.

Khususnya di masyarakat urban, semakin individualisnya kehidupan, tingginya kompetisi dalam bertahan hidup, hal-hal sederhana dalam interaksi sosial pun sering kali diabaikan. Padahal, sejak di bangku sekolah dasar pun kita sudah paham teori bahwa manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain.

Untuk itu, mari kita bahas kembali apa saja adab-adab bermasyarakat dalam Islam yang sudah seharusnya diamalkan oleh umat Islam. Hal ini khususnya adalah dalam bertetangga, karena bagian masyarakat terdekat dalam lingkungan kita adalah tetangga. Berikut ini adalah beberapa diantaranya yang bisa kita kembali ingat dan praktikan.

1. Bersikap Baik

Perintah berbuat baik dalam interaksi sosial sudah Allah jelaskan secara konkret dalam QS An-Nisa ayat 36. Disebutkan bahwa tetangga, orang-orang miskin, anak-

(2)

anak yatim di sekitar kita adalah orang-orang yang harus kita bantu dan berikan kebaikan untuk mereka.

“Beribadahlah kepada Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh.”

Selain itu, disebutkan juga dalam sebuah hadits, Dari Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah engkau memandang remeh suatu kebaikan sedikit pun juga walaupun engkau hanya bertemu saudaramu dengan bermuka manis.” (HR.Muslim)

Walaupun hanya dengan memberikan wajah ceria dengan senyum yang ikhlas, hal tersebut juga masuk dalam adab bersosial yang bisa kita lakukan kepada orang- orang di sekitar.

2. Menghargai Tetangga Walaupun Berbeda Keyakinan

Ajaran Islam dan teladan dari Rasulullah SAW tidak pernah mencontohkan kita untuk berbuat buruk kepada sesama manusia sekalipun ia non muslim, berbeda suku atau bangsa. Perintah berbuat baik, menghargai sesama justru ditunjukkan oleh Rasulullah SAW saat ia memperlakukan pamannya, memperlakukan

tetangganya yang non muslim dan berbuat buruk padanya, namun dibalas dengan kebaikan oleh Rasulullah.

Ini juga sejalan seperti yang ada dalam QS Al-Mutahanah ayat 8, “Allah tidak

melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.

Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”.

3. Tidak Mengganggu

Hindari hal-hal yang bisa mengganggu kenyamanan dan ketenangan hidup

bersosial. Misalnya terlalu keras menyalakan musik, berteriak-teriak atau bertengkar sehingga terdengar ke rumah tetangga, atau membuat makanan yang aromanya mengganggu penciuman.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi

wassallam bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir maka janganlah dia mengganggu tetangganya” (HR Bukhari & Muslim).

Manusia adalah makhluk sosial, satu dengan lainnya saling

bergantung dan membutuhkan. Seseorang akan merasa tentram

(3)

bila hidup bersama makhluk sejenisnya dan akan merasa kesepian manakala hidup sendirian.

Jika demikian keadaannya maka mau tidak mau seseorang harus memiliki perangai yang dengannya akan terwujud keberlangsungan hidup yang baik di tengah-tengah masyarakatnya.

Dalam hidup bermasyarakat setiap orang akan menghadapi manusia dengan berbagai corak dan watak yang berbeda-beda. Tentunya sebagai bagian dari masyarakat, seseorang ada kalanya menjadi pelaku (fa’il/

subjek) atau yang diperlakukan (maf’ul bihi/ objek). Terkadang memberi dan adakalanya diberi. Bila ingin menjadi anggota masyarakat yang baik, hendaklah berusaha memberikan yang terbaik bagi masyarakatnya.

Membimbing mereka kepada jalan kebaikan dan kemaslahatan serta mencegah mereka dari hal-hal yang membahayakan. Nabi n bersabda:

ِساَنلِل ْمُهُعَفْنَأ ِساَنلا ُرْيَخ

“Sebaik-baik manusia adalah yang paling berguna bagi manusia.” (HR.

Ath-Thabarani dan Ad-Daruquthni dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al- Albani t dalam Shahih Al-Jami’ no. 3289)

Apa yang manusia berikan kepadanya adalah salah satu dari dua perkara:

1. Kadang ia diperlakukan baik oleh mereka, maka hendaklah ia berterima kasih dan membalas kebaikan mereka. Nabi n bersabda:

َا ِرُكْشَي َل َساَنلا ِرُكْشَي َل ْنَم

“Orang yang tidak berterima kasih kepada manusia, berarti tidak bersyukur kepada Allah.” (Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 1954)

2. Adakalanya dia diperlakukan jelek, maka dalam kondisi seperti ini hendaknya dia bersabar. Nabi n telah memberi berita gembira kepada orang yang bersabar terhadap gangguan manusia dengan sabdanya (yang artinya): “Seorang mukmin yang bergaul dengan manusia dan bersabar atas gangguan mereka lebih baik daripada yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak bersabar terhadap gangguan mereka.” (Shahih Al-Adabul Al-Mufrad no. 300)

Akhlak yang Mulia dan Pengaruhnya dalam Pergaulan

Biasanya orang menilai baik dan buruknya seseorang dengan melihat perilaku kesehariannya. Mereka tidak akan menaruh simpati kepada seseorang sedalam apapun ilmunya dan sebesar apapun ketaatannya, manakala akhlak yang mulia tidak bisa tercermin dalam kehidupannya.

Memang benar, jika lahiriah seseorang tidak menunjukkan kebaikan, itu

(4)

merupakan bukti bahwa di batinnya ada kejelekan. Dahulu orang Arab mengatakan bahwa “Setiap bejana bila dituangkan akan mengeluarkan isinya masing-masing.”

Allah l di banyak ayat Al-Qur`an telah memerintahkan para hamba-Nya agar menghiasi diri mereka dengan akhlak yang mulia serta memberi berita gembira dengan surga. Allah l berfirman:

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan

amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang- orang yang berbuat kebajikan.” (Ali ‘Imran: 133-134)

Demikian pula Rasulullah n dalam banyak haditsnya menganjurkan

umatnya untuk menghiasi diri mereka dengan akhlak yang mulia. Sampai- sampai ketika beliau ditanya tentang sebaik-baik anugerah yang diberikan kepada seseorang, beliau menjawab: “Akhlak yang baik.” (Shahih Sunan Ibnu Majah no. 2789)

Seseorang bisa jadi tidak diberi kemudahan untuk banyak shalat malam dan puasa sunnah di siang hari. Namun bila baik akhlaknya, dia bisa menyusul dan mendapatkan derajat orang-orang yang melakukan shalat dan puasa. Nabi n bersabda:

ِمِئاَقْلا ِمِئاَصلا َةَجَرَد ِهِقُلُخ ِنْسُحِب ُكِرْدُيَل َنِم ْؤُمْلا َنِإ

“Sesungguhnya seorang mukmin mendapat derajat orang yang berpuasa dan shalat malam dengan sebab baiknya akhlak.” (HR. Abu Dawud dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Al-Jami’ no. 1932) Berbicara tentang akhlak yang mulia sangat luas cakupannya. Apa yang telah disebutkan kiranya telah cukup untuk mengingatkan kaum

mukminin supaya yang lalai terbangun dan yang lupa menjadi ingat.

Hendaklah seorang mengaca diri, apakah terhadap orang lain dia

berlemah lembut, berwajah ceria dan murah senyum?! Di mana dengan sikap itu mereka akan tenteram dengannya, suka berada di sisinya, dan mau bercengkrama dengannya. Mereka berlomba-lomba untuk

menemaninya dalam perjalanan. Jiwa mereka tenang dari kejahatannya sebagaimana mereka merasa aman pada harta dan kehormatan mereka.

Jual belinya mudah, ucapannya jujur, janjinya ditepati, dan tutur katanya baik. Tangannya terhindar dari kejahatan dan matanya tercegah dari khianat. Ucapan salamnya diberikan kepada pembantunya sebagaimana dia berikan kepada pemimpinnya. Wajahnya tersenyum ceria kepada orang yang tidak dia kenal seperti kalau ia tersenyum kepada rekan

(5)

sejawatnya. Kedengkian hatinya telah tercabut dan prasangkanya

terhadap saudaranya baik serta persaudaraannya tulus. Allah l berfirman:

“Dan orang-orang yang beriman lelaki dan perempuan sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan taat kepada Allah dan rasul-Nya mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (At-Taubah: 71)

(Diambil dari kitab Al-Mau’izhah Al-Hasanah karya Asy-Syaikh Abdul Malik Ramadhani dari hal. 4-23 secara ringkas)

Adapun hakikat akhlak yang baik dalam bergaul bersama masyarakat adalah seperti yang dikatakan oleh Abdullah bin Mubarak t yaitu: wajah yang lapang (tersenyum), memberikan kebaikan, dan menahan diri dari menyakiti orang. (lihat Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 2005)

Berikut ini penjelasannya:

– Berseri-serinya wajah di saat berjumpa dengan orang tidak diragukan lagi merupakan bentuk meresapkan kebahagiaan kepada orang lain serta menarik kecintaan mereka, di samping pelakunya juga akan mendapat pahala. Nabi n bersabda (yang artinya): “Janganlah kamu meremehkan kebaikan sekecil apapun, meski kamu berjumpa dengan saudaramu dengan wajah yang berseri-seri.” (Mukhtashar Shahih Muslim no. 1782).

Coba kita berangkat dari sesuatu yang mudah dan tidak membutuhkan modal yaitu tersenyum. Niscaya kita akan sampai kepada sesuatu yang tinggi. Tetapi jika yang seperti ini saja diremehkan, mana mungkin bisa melakukan yang lebih besar? Kita justru menyaksikan pemandangan yang sebaliknya. Banyak manusia bila berpapasan dengan orang bukannya menebar salam dan senyuman, bahkan menampilkan wajah cemberut dan muka yang berpaling. Bila kaum muslimin bakhil dengan adab yang seperti ini, adab mana lagi yang akan dijalankan?! Maka, orang yang mengikuti jalan Nabi n dan Salafush Shalih semestinya tahu bahwa ini merupakan salah satu jalan untuk diterimanya dakwah al-haq. Jadikanlah orang tertarik dan cinta dengan dakwah ini dan jangan membuat mereka lari. Sapalah orang yang berjumpa denganmu dan yang duduk semajelis denganmu, terutama mereka yang baru mengenal dakwah dan mulai tertarik dengan dakwah al-haq. Jangan bermuka sangar dan seram, karena hal itu akan memudaratkanmu dan kebenaran yang ada pada dirimu.

– Adapun memberikan kebaikan kepada orang maka sangat banyak bentuknya. Adakalanya dengan memberikan materi kepada orang yang membutuhkan, atau menyumbangkan tenaga, pikiran dan saran, atau apa saja yang bisa kita suguhkan dalam rangka mewujudkan maslahat

bersama.

(6)

Memang manusia pada umumnya memiliki sifat egois dan mementingkan diri sendiri. Namun watak yang tercela ini bukan berarti tidak bisa diobati.

Sesungguhnya membaca kisah-kisah keteladanan yang ada dalam Al- Qur`an, hadits, dan kitab-kitab sejarah para ulama Islam adalah salah satu jalan untuk seorang bisa meninggalkan sifat egois. Misalnya kisah Nabi Musa q ketika beliau lari dari Mesir, saat Fir’aun dan pasukannya hendak membunuhnya. Beliau berjalan kaki berhari-hari dengan rasa lapar yang luar biasa dan keletihan yang tiada tara. Sesampainya di Madyan, beliau melihat sekelompok manusia tengah memberi minum ternaknya. Di sana ada pula dua wanita penggembala yang tidak ikut berdesakan memberi minum ternaknya. Watak baik Nabi Musa q mendorongnya untuk membantu dua wanita yang lemah tadi untuk memberi minum ternak mereka, meski tubuhnya letih, pikirannya capek, dan perutnya kosong. Dibantunya dua wanita tadi tanpa meminta upah sedikitpun, padahal kondisinya sangat membutuhkan.

Demikian pula di masa khalifah Abu Bakr z. Manusia ditimpa kekeringan dan paceklik. Tatkala kondisi semakin parah, mereka datang kepada Abu Bakr dan mengatakan: “Wahai khalifah Rasulullah, langit tidak

menurunkan hujan dan tanah tidak bisa tumbuh. Sementara manusia memperkirakan akan binasa, lalu apa yang harus kita lakukan?”

Abu Bakr mengatakan: “Beranjaklah kalian dan bersabarlah! Sungguh aku berharap kalian tidak sampai memasuki sore melainkan Allah l akan melepaskan derita kalian.” Tatkala sore telah tiba, datang berita bahwa unta ‘Utsman telah datang dari Syam dan akan sampai Madinah besok pagi. Tatkala telah sampai, manusia keluar untuk menyambutnya.

Ternyata ada seribu unta yang membawa gandum, minyak, dan kismis, lalu berhenti di depan rumah ‘Utsman.

Para pedagang mendatanginya dengan mengatakan: “Juallah barang ini kepada kami, karena kamu tahu manusia sangat membutuhkannya!”

‘Utsman mengatakan: “Dengan penuh kecintaan. Berapa kalian mau memberi untung barang daganganku?”

Mereka mengatakan: “Setiap kamu beli satu dirham kami membeli darimu dua dirham.”

‘Utsman berkata: “Ada yang berani memberi untung kepadaku lebih dari ini?”

Mereka berkata: “Kami beli empat dirham.”

‘Utsman mengatakan: “Ada yang berani lebih dari ini?”

Mereka mengatakan: “Lima dirham.”

‘Utsman mengatakan: “Ada yang berani lebih dari ini?”

(7)

Mereka mengatakan: “Wahai Abu ‘Amr (‘Utsman), tidak ada di Madinah para pedagang selain kami? Siapa lagi yang akan bisa membeli dengan harga ini?”

‘Utsman mengatakan: “Sesungguhnya Allah telah memberi untung

kepadaku sepuluh setiap satu dirham. Apakah kalian bisa lebih?” Mereka mengatakan: “Tidak.”

‘Utsman berkata: “Sesungguhnya aku jadikan Allah l sebagai saksi bahwa aku telah menjadikan seluruh yang dibawa unta-unta ini adalah shadaqah untuk orang-orang fakir miskin dan yang membutuhkan.”

Ya, ‘Utsman z telah menjualnya kepada Allah l dengan laba yang tidak bisa dihitung oleh manusia. (lihat Al-Khulafa` Ar-Rasyidun wad Daulah Umawiyah hal. 75-76).

Masih adakah orang-orang seperti ‘Utsman dan para pedagang tadi yang bersegera untuk melepaskan krisis yang hampir menelan banyak korban, tanpa mereka mencari keuntungan duniawi setitikpun? Padahal kalau mereka ingin memanfaatkan kesempatan, niscaya mereka meraup keuntungan sebesar-besarnya. Keinginan untuk mendapat pahala dari Allah l dan tertanamnya sifat belas kasihan menghalangi mereka dari nafsu serakah. Apakah kiranya para saudagar kaya bisa mengambil

pelajaran dari ini?! Atau bahkan mereka akan tetap larut di atas kerakusan mereka serta menari-nari di atas penderitaan umat? Hanya kepada Allah l kita adukan nasib kita.

– Sedangkan yang ketiga adalah menghindarkan dari menyakiti orang.

Cukuplah jika seseorang belum bisa berbuat baik kepada orang untuk menahan dirinya dari mengganggu manusia, baik terhadap nyawa, harta, atau kehormatannya. Adalah Nabi n telah mengumumkan haramnya seorang muslim mengganggu orang lain di saat perkumpulan akbar yaitu ketika haji wada’ (haji perpisahan).

Siapa saja yang mengganggu orang lain dengan mengambil hartanya, menipu, mencerca dan semisalnya maka tidak dikatakan baik akhlaknya.

Akan semakin jelek manakala orang yang disakiti memiliki hak yang besar atasnya. Menyakiti kedua orangtua lebih besar dosanya daripada kepada orang lain. Mengganggu karib kerabat lebih jahat daripada kepada orang jauh. Demikian pula terhadap tetangga lebih besar dosanya daripada kepada selain tetangga.

Oleh karena itu Islam telah menentukan adanya hukum had seperti qishash bagi yang membunuh dengan sengaja, potong tangan bagi yang mencuri, hukuman dera bagi yang meminum khamr, dan lainnya. Ini semua dalam rangka menjaga kehormatan manusia agar tidak diganggu tanpa hak.

(8)

Bahkan orang-orang yang rentan untuk dizalimi seperti para budak, istri, anak-anak, orang fakir dan semisalnya, hak mereka telah dilindungi oleh syariat Islam. Kita ambil contoh, peristiwa Abu Mas’ud z ketika suatu hari budaknya lengah di saat menggembalakan kambingnya sehingga ada yang dimakan serigala. Abu Mas’ud z marah dan mencambuknya. Lalu dari belakang terdengar suara: “Wahai Abu Mas’ud, sungguh Allah lebih mampu untuk menghukum kamu daripada kamu menghukum budakmu!”

Abu Mas’ud z menoleh, ternyata itu adalah Rasulullah n. Abu Mas’ud z mengatakan: “Wahai Rasulullah, budak itu saya merdekakan ikhlas karena Allah!” Nabi n mengatakan: “Ketahuilah, jika kamu tidak melakukan

demikian niscaya kamu disentuh oleh api neraka.” (lihat Shahih Al-Adab Al-Mufrad no. 127)

Nabi n juga bersabda:

اًقُلُخ ْمِهِءاَسِنِل ْمُكُراَيِخ ْمُكُراَيِخَو اًقُلُخ ْمُهُنَس ْحَأ اًناَمْيِإ َنْيِنِمْؤُمْلا ُلَمْكَأ

“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang terbaik akhlaknya dan sebaik-baik kalian adalah orang yang terbaik akhlaknya terhadap istrinya.” (HR. At-Tirmidzi no. 1162 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t)

Referensi

Dokumen terkait

Asyhadu an 1ft ilftha ilhl Allah.. Adab adalah salu iSli!ah bahasa Arab yang berarli adal kebiasaan. Kala ini mcnunjukan pada sualu kebiasaan, elika, pola tingkah laku yang

Adab makan dan minum penting kepada semua bangsa terutamanya agama Islam yang meliputi semua aspek kehidupan.. Seseorang Muslim perlulah mengetahui adab dan aturan makanan yang

Jadi dalam penelitian ini akan membahas dampak hidup bertetangga dengan lokalisasi Gang Sadar terhadap keutuhan rumah tangga warga Desa Karangmangu yang

Latar belakang pemilihan "konsep adab dan Relevansinya dengan pendidikan Islam menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas" sebagai judul tesis ini, didasarkan terhadap

membahas tentang perspektif Pembaruan Pemikiran dalam

catatan ini berisi tentang kumpulan adab dalam islam untuk menjenguk orang

102 Implementasi Pendidikan Agama Islam dalam Pembentukan Adab pada Santri Kuttab Al-Fatih Gresik-Dwi Kurniawati 2023 5.3.2 Bagi siswa Siswa hendaknya memiliki adab yang baik bukan

Rina Yulianti, 2021.23 Adab Bermasyarakat adalah kewajiban pada diri seseorang berprilaku dengan prilaku tertentu baik dalam keadaan menyendiri maupun bersama kelompok, maka akan