Bahan untuk kompri
Jurusan Mu’amalah: Hukum Bisnis Islam di Indonesia Paket I: Mu’amalat Dasar
1. Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan Hukum Bisnis Islam.
2. Pengertian Mu‟amalat, Prinsip Mu‟amalat dan Ruang Lingkkup Fikih Mu‟amalat.
3. Pengertian Harta, Pembagian, Fungsi Harta dan Asas-asas Pemilikan.
4. Nazhriyat Al-‘Aqd: Terbentuknya Akad, Para Pihak, Akad dan Objek Akad.
5. Batal dan Sahnya Akad
6. Akibat Hukum Akad dalam Kaitannya dengan Isinya.
7. Terminasi AKad
8. Jenis-jenis Jual Beli dan Bentuk Akadnya.
9. Jual Beli Salam dan Istishna
10. Larangan-Larangan dalam Jual Beli 11. Gadai, Ijarah, dan Hutang Piutang Paket II: Mu’amalat Kontekstual
1. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Bisnis Islam 2. Al-Huquq (hak-hak) dalam Islam dan Jenisnya.
3. Riba versus Bunga Bank
4. Produk-Produk Bank Syari‟ah dan Perbedaan dengan bank Konvensional.
5. Mudharabah dalam Fikih dan Aplikasinya dalam Perbankan.
6. Murabahah dalam Fikih dan Aplikasinya dalam Perbankan 7. Musyarakah dalam Fikih dan Aplikasinya dan Perbankan.
8. Al-Ijarah dab Al-ijarah Muhtahia bit Al-Tamlik 9. Hawalah, Kafalah, Rahn, Sharf dan Ujarah.
10. Sengketa Ekonomi Syariah 11. Kedudukan Fatwa DSN
Paket III: Mu’amalat Kontemporer
1. Sejarah Pertumbuhandan Perkembangan Hukum Bisnis Islam
2. Kaedah-Kaedah Fiqhiyyah dalam Merespon Perkemabangan Mu‟amalat Kontemporer.
3. Asuransi Syari‟ah dalam Fikih dan Fatwa 4. Hukum Pasar modal Syari‟ah
5. MLM dalam tinjauan Fikih dan Fatwa MUI 6. Penukaran Valuta Asing (Sharf)
7. Arbitase Syari‟ah 8. Obligasi Syari‟ah 9. Reksadana Syari‟ah
10. Saham dan Surat-Surat Berharga Syari‟ah
Adapun materi-materi yang harus dikuasai oleh mahasiswa adalah :
1. Sejarah dan teori berlakunya hukum Islam di Nusantara 2. Dinamika lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 dan KIH
= UU No. 1 Tahun 1974 merupakan inisiatif pemerintah atau negara yang bertujuan untuk melakukan unifikasi hukum nasional di bidang perkawinan. Tanggapan yang muncul dari berbagai pihak bertujuan untuk menghapus semua pasal-pasal yang bertentangan dengan ajaran- ajaran Islam. Umat Islam memberikan reaksi keras, misalnya ormas- ormas Islam, tokoh-tokoh Islam dan demontrasi mahasiswa. Materi konflik berangkat dari substansi hukum yang bertentangan dengan hukum Islam. Disamping itu, ada dugaan bahwa undang-undang tersebut disusun orang-orang aktivis agama tertentu dengan sasaran menjalankan misi agama tertentu. Umat Islam menganggap bahwa kegiatan perkawinan adalah ibadah, sehingga pemerintahan wajib menjamin pelaksanaan ibadah warga negaranya, sesuai Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Substansi konflik juga bersifat ideologis, karena ada beberapa pasal dari Undang-Undang Perkawinan itu yang jelas-jelas menyimpang dari ajaran agama Islam dan karena itu Undang-Undang Perkawinan yang saat ini masih berlaku perlu dilakukan perubahan karena sudah tidak sesuai perkembangan dan kebutuhan masyarakat Islam. Jalan keluar dari konflik tersebut adalah kompromi dengan mengeluarkan pasal-pasal yang bertentangan dengan Islam, namun kewenangan perkawinan tetap dalam kompetensi peradilan agama.
Secara umum, prinsip pokok dalam hukum Islam adalah, meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan. Kedua, memberikan kemudahan dan menolak kesukaran. Pembaharuan hukum keluarga di
negara Muslim lainnya, terutama Turki dan Mesir, pada masa modern, memberikan kontribusi pembaharuan di Indonesia. Usaha pembaharuan ini diawali pada tahun 1960-an, yang menghasilkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ini. Namun, perlu juga diketahui, bahwa pada awal Indonesia merdeka sudah ada peraturan pencatatan nikah yang hanya berlaku untuk daerah Pulau Jawa dan Madura yang dikeluarkan pada tahun 1946.
Kemunculan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dilatarbelakangi oleh empat tujuan, yaitu: (1) membatasi dan bahkan menghapus pernikahan anak, (2) membatasi poligami, (3) membatasi hak sepihak dari talaq (talaq semena-mena). Dan (4) membangun persamaan hak untuk suami dan isitri. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 terdiri 14 bab dan 67 pasal sudah mengakomodir kebutuhan dan permasalahan yang terdapat dalam keluarga. Rincian Bab sebagai berikut:
a. Bab I: Dasar Perkawinan
b. Bab II: Syarat-Syarat Perkawinan c. Bab III: Pencegahan Perkawinan d. Bab IV: Batalnya Perkawinan e. Bab V: Perjanjian Perkawinan
f. Bab VI: Hak dan Kewajiban Suami Istri g. Bab VII: Harta Benda dalam Perkawinan
h. Bab VIII: Putusnya Perkawinan dan Akibatnya i. Bab IX: Kedudukan Anak
j. Bab X: Hak dan Kewajiban antara Orang Tua dan Anak k. Bab XI: Perwalian
l. Bab XII: Ketentuan-Ketentuan Lain m. Bab XIII: Ketentuan Peralihan n. Bab XIV: Ketentuan Penutup
Metode penetapan wajib pencatatan perkawinan, pencatatan talaq, dan pencatatan ruju’ berdasarkan pada takhshish al-qadla, siyasah syar’iyah, dan qiyas (analogi) terhadap al-Baqarah (2): 282 dan al- Talak (65): 2. Metode penetapan pembatasan kebolehan poligami pada an-Nisa‘ (4): 3 dan dihubungkan dengan an-Nisa‘ (4): 129, dan siyasah syar’iyah. Metode penetapan batasan umur minimal boleh kawin didasarkan pada inspirasi pandangan Syaukani, yang mengatakan bahwa kasus perkawinan ‘Aisyah adalah sebagai pengecualian. Metode penghapusan hak ijbar dalam perkawinan didasarkan pada pandangan Ibn Shubrumah. Metode keharusan perceraian di Pengadilan Agama didasarkan pada pandangan Az-Zahiri dan Syiah Imamiyah, yang menetapkan bahwa perceraian, sama dengan perkawinan, hanya terjadi dengan disaksikan oleh minimal dua orang saksi. Hal yang penting untuk diperhatikan, bahwa dalam menetapkan status hukum satu masalah, dalam kasus-kasus tertentu hanya dengan menggunakan salah satu metode pembaharuan di atas. Namun, dalam banyak kasus metode
yang digunakan adalah kumpulan dari dua atau lebih metode pembaruan15. Variatifnya metode pembaharuan hukum ini berkorelasi positif dengan dinamika perkembangan hukum keluarga itu sendiri (sustainable).
Lahir dan latar belakang KHI (Kompilasi Hukum Islam) = Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya muslim, dan konon merupakan yang terbesar di dunia. Hukum Islam sebagai tatanan hukum yang dipedomani dan ditaati oleh mayoritas penduduk dan masyarakat Indonesia adalah hukum yang telah hidup dalam masyarakat, dan merupakan sebagian dari ajaran dan keyakinan Islam yang eksis dalam kehidupan hukum nasional, serta merupakan bahan dan pembinaan dan pengembangannya.
Umat Islam Indonesia yang merupakan penduduknya mayoritas di negeri ini, salah satu upaya dalam rangka pengamalan syari’at Islam, adalah menjadikan hukum Islam itu sebagai hukum positif di Indonesia. Keberhasilan umat Islam untuk menjadikan hukum Islam sebagai hukum positif, antara lain telah nampak pada perumusan Pancasila sebagai landasan filosofis bangsa, sebagaimana tertuang dalam Piagam Jakarta, yang menegaskan bahwa negara Republik Indonesia berdasarkan kepada Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Landasan filosofis tersebut diikuti oleh dan merupakan rangkaian kesatuan dengan Piagam Jakarta, sebagaimana ditegaskan dalam Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959.
Setelah Indonesia merdeka, ditetapkan 13 kitab fikih sebagai referensi hukum materiil di pengadilan agama melalui Surat Edaran Kepala Biro Pengadilan Agama RI No. B/1/735 tanggal 18 Februari 1985. Hal ini dilakukan karena hukum Islam yang berlaku di tengah-tengah masyarakat ternyata tidak tertulis dan berserakan di berbagai kitab fikih berbeda-beda.
Akan tetapi penetapan kitab-kitab fikih tersebut juga tidak berhasil menjamin kepastian dan kesatuan hukum di pengadilan agama,.
Muncul persoalan krusial yang berkenaan dengan tidak adanya keseragaman para hakim dalam menetapkan keputusan hukum terhadap persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Berbagai hal dan situasi hukum Islam itulah yang mendorong dilakukannya kompilasi terhadap hukum Islam di Indonesia untuk menjamin kepastian dan kesatuan penerapan hukum Islam di Indonesia.
Hal ini disebabkan tidak tersedianya kitab materi hukum Islam yang sama. Secara material memang telah ditetapkan 13 kitab yang dijadikan rujukan dalam memutuskan perkara yang kesemuanya bermazhab Syafi’i. Akan tetapi tetap saja menimbulkan persoalan yang tidak adanya keseragaman keputusan hakim.
Bustanul Arifin adalah seorang tokoh yang tampil dengan gagasan perlunya membuat Kompilasi Hukum Indonesia. Gagasan-gagasan ini didasari pada pertimbangan-pertimbangan berikut:
1) Untuk berlakunya hukum Islam di Indonesia, harus ada antara lain hukum yang jelas dan dapat dilaksanakan oleh aparat penegak hukum maupun oleh masyarakat.
2) Persepsi yang tidak seragam tentang syari’ah menyebabkan hal- hal: 1. Ketidakseragaman dalam menentukan apa-apa yang disebut hukum Islam itu (maa anzalallahu), 2. Tidak mendapat kejelasan bagaimana menjalankan syari’at itu (Tanfiziyah) dan 3. Akibat kepanjangannya adalah tidak mampu menggunakan jalan-jalan dan alat-alat yang tersedia dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan perundangan lainnya.
3) Di dalam sejarah Islam, pernah ada tiga negara dimana hukum Islam diberlakukan (1). Sebagai perundang-undangan yang terkenal dalam fatwa Alamfiri, (2). Di kerjaan Turki Ustmani yang terkenal dengan nama Majallah al-Ahkam Al-Adliyah dan (3). Hukum Islam pada tahun 1983 dikodifikasikan di Subang.
UUD 1945 secara keseluruhan, baik naskah maupun isinya tidak bertentangan dan terdapat kesesuaian dengan prinsip-prinsip dalam hukum Islam. Keberhasilan berikutnya dalam upaya menjadikan hukum Islam sebagai hukum positif di Indonesia terlihat dengan terbentuknya lembaga dan instansi keagamaan, serta lahirnya perundang-undangan, antara lain seperti UU No. 1 Tahun 1974 tentenag Perkainan, Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia Tahun 1991.
Sebelum lahirnya Undang-Undang Perkawinan pemerintah mencoba menindaklanjuti pesan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970, proses ini membutuhkan waktu yang cukup lama, hingga akhirnya rancangan Undang-Undang Peradilan Agama dapat di ajukan dan disahkan dan di undangkan tanggal 29 Desember Tahun
1989 melalui lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 49.
Upaya ini bukanlah semata mata untuk memenuhi ketentuan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tetapi untuk memenuhi dan menghadirkan suatu Peradilan Agama seperti yang dikehendaki pasal 63 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan.
Pada tahun 1977 Mahkamah Agung mengeluarkan peraturan yang semakin memperkuat bagi kedudukan Pengadilan Agama, yaitu dengan diberikannya hak bagi Pengadilan Agama, yaitu dengan diberikannya hak bagi Pengadilan Agama untuk mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Peraturan tersebut semakin memperkokoh keberadaan Peradilan Agama.
Seiring dengan perjalanan waktu, kitab-kitab fiqh yang dipakai di Pengadilan Agama juga mulai tersaring dengan sendirinya sehingga tidak lagi tidak terbatas seperti sebelumnya. Penyaringan tersebut barangkali terjadi secara alami mengingat keterbatasan pengetahuan hakim yang bertugas di Pengadilan seperti di pondok pesantren dan madrasah. Akhirnya Surat Edaran Biro Peradilan Agama No.
B/I/735 Tanggal 18 Februari 1958 sebagai pelaksana PP No. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyyah di luar Jawa dan Madura menganjurkan hakim agama menggunakan sebanyak 13 kitab fiqh sebagai pedoman. Kitab-kitab tersebut adalah sebagai berikut:
a. Al-Bajuri;
b. Fathul Mu’in;
c. Asy-Syarkawi’ ala at-Tahrir;
d. Al-Qalyubi/al-Mahalli;
e. Fathu al-Wahhab wa Syarhuh;
f. At-Tuhfah;
g. Targhib al-Musytaq;
h. Al-Qawanin asy-Syar’iyyah li Sayyid bin Yahya;
i. Al-Qawanin asy-Syar’iyyah li Sayyid Shadaqoh Dachlan;
j. Asy-Syamsuri fi al-Faraid;
k. Bughyah al-Mustarsyidin;
l. Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al- Arba’ah;
m. Al-Mughni al-Muhtaj.
Dengan merujuk 13 buah kitab ini yang dianjurkan maka langkah ke arah kepastian hukum semakin nyata. Meskipun secara materi kitab-kitab tersebut terkenal keabsahannya, namun hal tersebut tidak memecahkan masalah yang ada. Justru menambah kesemrawutan rujukan hukum bagi Peradilan Agama.
3. Dinamika lahirnya UU Peradilan Agama
= Perjalanan kehidupan pengadilan agama mengalami pasang surut. Adakalanya wewenang dan kekuasaan yang dimilikinya sesuai dengan nilai-nilai Islam dan kenyataan yang ada dalam masyarakat. Pada kesempatan lain kekuasaan dan wewenangnya dibatasi dengan berbagai kebijakan dan peraturan perundang- undangan, bahkan seringkali mengalami berbagai rekayasa dari penguasa (kolonial Belanda) dan golongan masyarakat tertentu agar posisi pengadilan agama melemah.
Sebelum Belanda melancarkan politik hukumnya di Indonesia, hukum Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri telah mempunyai kedudukan yang kuat, baik di masyarakat maupun dalam peraturan perundang- undangan negara. Kerajaan-kerajaan Islam yang pernah berdiri di Indonesia melaksanakan hukum Islam dalam wilayah kekuasaannya masing-masing. Kerajaan Islam Pasal yang berdiri di Aceh Utara pada akhir abad ke 13 M, merupakan kerajaan Islam pertama yang kemudian diikuti dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam lainnya, misalnya: Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Ngampel dan Banten. Di bagian Timur Indonesia berdiri pula kerajaan Islam, seperti: Tidore dan Makasar. Pada pertengahan abad ke 16, suatu dinasti baru, yaitu kerajaan Mataram memerintah Jawa Tengah, dan akhirnya berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil di pesisir utara, sangat besar perannya dalam penyebaran Islam di Nusantara. Dengan masuknya penguasa kerajaan Mataram ke dalam agama Islam, maka pada permulaan abad ke 17 M penyebaran agama Islam hampir meliputi sebagian besar wilayah Indonesia (Muchtar Zarkasyi : 21).
Agama Islam masuk Indonesia melalui jaIan perdagangan di kota - kota pesisir secara damai tanpa melaIui gejolak, sehingga norma-norma sosial Islam dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat Indonesia bersamaan dengan penyebaran dan penganutan agama Islam oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Dengan timbulnya komunitas-komunitas masyarakat Islam, maka kebutuhan akan lembaga peradilan yang memutus perkara berdasarkan hukum Islam makin diperlukan. Hal ini nampak jelas dari proses pembentukan lembaga peradilan yang berdasarkan hukum Islam tersebut yakni:
Dalam keadaan tertentu, terutama bila tidak ada hakim di suatu wilayah tertentu, maka dua orang yang bersengketa itu dapat bertahkim kepada seseorang yang
dianggap memenuhi syarat. Tahkim (menundukkan diri kepada seseorang yang mempunyai otoritas menyelesaikan masaIah hukum) hanya dapat berlaku apabila kedua belah pihak terlebih dahulu sepakat untuk menerima dan mentaati putusannya nanti, juga tidak boleh menyangkut pelaksanaan pidana, seperti had (ketentuan hukum yang sudah positif bentuk hukumnya) dan ta 'zir (kententuan hukum yang bentuk hukumnya melihat kemaslahatan masyarakat).
Bila tidak ada Imam, maka penyerahan wewenang untuk pelaksanaan peradilan dapat dilakukan oleh ahlu al-hally wa al-aqdi (lembaga yang mempunyai otoritas menentukan hukuman), yakni para sesepuh dan ninik mamak dengan kesepakatan.
Tauliyah dari Imamah pada dasarnya peradilan yang didasarkan atas pelimpahan wewenang atau delegation of authority dari kepala negara atau orang-orang yang ditugaskan olehnya kepada seseorang yang memenuhi persyaratan tertentu. Dengan mengikuti ketiga proses pembentukan peradilan tersebut di atas, dapatlah diduga bahwa perkembangan qadla al- syar'i (peradilan agama) di Indonesia dimulai dari periode TAHKlM,- yakni pada permulaan Islam menginjakkan kakinya di bumi Indonesia dan dalam suasana masyarakat sekeliling belum mengenal ajaran Islam, tentulah orang-orang Islam yang bersengketa akan bertahkim kepada ulama yang ada. Kemudian setelah terbentuk kelompok masyarakat Islam yang mampu mengatur tata kehidupannya sendiri menurut ajaran barn tersebut atau di suatu wilayah yang pemah diperintah raja-raja Islam, tetapi kerajaan itu punah karena penjajahan, maka peradilan Islam masuk ke dalam periode tauliyah (otoritas hukum) oleh ahlu al-hally wa al- aqdi. Keadaan demikian ini jelas terlihat di daerah-daerah yang dahulu disebut daerah peradilan adat, yakni het inheemscherechtdpraak in rechtsstreeks bestuurd gebied atau disebut pula adatrechtspraak. Tingkat
terakhir dari . perkembangan peradilan agama adalah periode tauliyah dari imamah (otoritas hukum yang diberikan oleh penguasa), yakni setelah terbentuk kerajaan Islam,maka otomatis para hakim diangkat oleh para raja sebagai wali al-amri (Daniel S. Lev: 1-2).
Pengadilan Agama di masa raja-raja Islam diselenggarakan oleh para penghulu, yaitu pejabat administrasi kemasjidan setempat. Sidang - sidang pengadilan agama pada masa itu biasanya berlangsung di serambi masjid, sehingga pengadilan agama sering pula disebut "Pengadilan Serambi". Keadaan ini dapat dijumpai di semua wilayah swapraja Islam di seluruh Nusantara, yang kebanyakan menempatkan jabatan keagamaan, penghulu dan atau hakim, sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan pemerintahan umum.
Kelembagaan Peradilan Agama sebagai wadah, dan hukum Islam sebagai muatan atau isi pokok pegangan dalam menyelesaikan dan memutus perkara, tidak dapat dipisahkan. Dalam sejarah perkembangannya, kelembagaan peradilan agama mengalami pasang surut.
Pada masa kekuasaan kerajaan Islam lembaga peradilan agama termasuk bagian yang tak terpisahkan dengan pemerintahan umum, sebagai penghulu kraton yang mengurus keagamaan Islam dalam semua aspek kehidupan. Pada masa pemerintahan VOC, kelembagaan peradilan agama akan dihapuskan dengan membentuk peradilan tersendiri dengan hukum yang berlaku di negeri Belanda, namun kelembagaan ini tidak dapat betjalan karena tidak menerapkan hukum Islam.
Usaha-usaha untuk menghapuskan peradilan agama yang identik dengan hukum Islam, sudah dimulai sejak VOC mulai menginjakkan kaki di bumi Nusantara ini.
Usaha tersebut dengan cara mengurangi kewenangan peradilan agama sedikit demi sedikit. Pada tahun 1830 Pemerintah Belanda menempatkan peradilan agama di bawah pengawasan "landraad" (pengadilan negeri).
Hanya lembaga landraad yang berkuasa untuk memerintahkan pelaksanaan putusan pengadilan agama dalam bentuk "excecutoire verklaring" (pelaksanaan putusan). Pengadilan Agama tidak berwenang untuk menyita barang dan uang (Daud Ali : 223). Dan tidak adanya kewenangan yang seperti ini terns berlangsung sampai dengan lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ten tang Perkawinan.
Lahirnya firman Raja Belanda (Koninklijk Besluit) tanggal 19 Januari 1882 Nomor 24, Staatsblad 1882 - 152 telah mengubah susunan dan status peradilan agama.
Wewenang pengadilan agam.a yang disebut dengan
"preisterraacf' tetap daIam bidang perkawinan dan kewarisan, serta pengakuan dan pengukuhan akan keberadaan pengadilan agama yang telah ada sebelumnya (Achmad Rustandi: 2), dan hukum Islam sebagai pegangannya.
Berlakunya Staatsblad 1937 Nomor 116 telah mengurangi kompentensi pengadilan agama di Jawa dan Madura daIam bidang perselisihan harta benda, yang berarti masaIah wakaf dan waris hams diserahkan kepada pengadilan negeri. Mereka (Pemerintah Kolonial Belanda) berdalih, bahwa dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, hukum Islam tidak mendalam pengaruhnya pada aturan-aturan kewarisan dalam keluarga Jawa dan Madura serta di tempat-tempat lain di seluruh Indo¬nesia (Daniel S Lev: 35-36).
Pada tanggal 3 Januari 1946 dengan Keputusan Pemerintah Nomor lJSD dibentuk Kementrian Agama, kemudian dengan Penetapan Pemerintah tanggal25 Maret 1946 Nomor 5/SD semua urusan mengenai Mahkamah Islam Tinggi dipindahkan dari Kementrian Kehakiman ke dalam KementrianAgama. Langkah ini memungkinkan konsolidasi bagi seluruh administrasi lembaga-lembaga Islam dalam sebuah wadahlbadan yang besnat nasional. Berlakunya Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1946 menunjukkan dengan jelas maksud- maksud untuk mempersatukan administrasi Nikah, Talak dan Rujuk di seluruh wilayah Indonesia di bawah pengawasan Kementrian Agama (Achmad Rustandi: 3).
Usaha untukmenghapuskan pengadilan agama masih terus berlangsung sampai dengan keluarnya Undang- undang Nomor 19 Tahun 1948 dan Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentangTindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan-pengadilan Sipil, antara lain mengandung ketentuan pokok bahwa peradilan agama merupakan bagian tersendiri dati peradilan swapraja dan peradilan adat tidak turut terhapus dan kelanjutannya diatur dengan peraturan pemerintah. Proses keluarnya peraturan pemerintah inilah yang mengalami banyak hambatan, sehingga dapat keluar setelah berjalan tujuh tahun dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 (Muchtar Zarkasyi : 33 - 37).
Dengan keluarnya Undang -undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, maka kedudukan Peradilan Agama mulai nampakjelas dalam sistem peradilan di Indone¬sia.
Undang-undang ini menegaskan prinsip-prinsip sebagai berikut :
Pertama, Peradilan dilakukan "Demi Keadilan Berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa";
Kedua, Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Us aha Negara;
Ketiga, Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi.
Keempat, Badan-badan yang melaksanakan peradilan secara organisatoris, administratif, dan finansial ada di bawah masing-masing departemen yang bersangkutan.
Kelima, susunan kekuasaan serta acara dari badan peradilan itu masing-masing diatur dalam undang- undang tersendiri.
Hal ini dengan sendirinya memberikan landasan yang kokoh bagi kemandirian peradilan agama, dan memberikan status yang sarna dengan peradilan- peradilan lainnya di Indonesia.
Lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perka¬winan memperkokoh keberadaan pengadilan agama. Di dalam undang¬undang ini tidak ada ketentuan yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Pasa12 ayat (1) undang-undang ini semakin memperteguh pelaksanaan ajaran Islam (Hukum Islam).
Suasana cerah kembali mewarnai perkembangan peradilan agama di Indonesia dengan keluarnya Undang- undang Nomor 7 Tahun 1989 ten tang Peradilan Agama yang telah memberikan landasan untuk mewujudkan peradilan agama yang mandiri, sed~r~jat dan memantapkan serta mensejajarkan kedudukan peradilan agama dengan lingkungan peradilan lainnya.
Dalam sejarah perkembangannya, personil peradilan agama sejak dulu selalu dipegang oleh para ulama yang disegani yang menjadi panutan masyarakat sekelilingnya. Hal itu sudah dapat dilihat sejak dari proses pertumbuhan peradilan agama sebagai-mana disebut di atas. Pada masa kerajaan-kerajaan Islam, penghulu keraton sebagai pemimpin keagamaan Islam di lingkungan keraton yang membantu tug as raja di bidang keagamaan yang bersumber dari ajaran Islam, berasal dari ulama seperti KaBjeng Penghulu Tafsir Anom IV pada Kesunanan Surakarta. Ia pemah mendapat tugas untuk membuka Madrasah Mambaul Ulum pada tahun
1905. Demikian pula para personil yang telah banyak berkecimpung dalam penyelenggaraan peradilan agama adalah ulama-ulama yang disegani, seperti: KH. Abdullah Sirad Penghulu Pakualaman, KH. Abu Amar Penghulu Purbalingga, K.H. Moh. Saubari Penghulu Tegal, K.H.
Mahfudl Penghulu Kutoarjo, KH. Ichsan Penghulu Temanggung, KH. Moh. Isa Penghulu Serang, KH.Musta'in Penghulu T1;1ban, dan KH. Moh. Adnan Ketua Mahkamah Islam Tinggi tiga zaman (Belanda, Jepang dan RI) (Daniel S. Lev: 5-7). Namun sejak tahun 1970-an, perekrutan tenaga personil di lingkungan peradilan agama khususnya untuk tenaga hakim dan kepaniteraan mulai diambil dati alumni lAIN dan perguruan tinggi agama.
Dati uraian singkat tentang sejarah perkembangan peradilan agama tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa peradilan agama bercita-cita untuk dapat memberikan pengayoman dan pelayanan hukum kepada masyarakat. Agar pengayoman hukum dan pelayanan hukum tersebut dapat terselenggara dengan baik, diperlukan perangkat sebagai berikut :
Kelembagaan
Peradilan Agama yang mandiri sebagaimana lingkungan peradilan yang lain - yang secara nyata - didukung dengan sarana dan prasarana serta tatalaksana yang memadai dan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Materi Hukum
Hukum Islam sebagai hukum materiil peradilan agama yang dituangkan dalam ketentuan perundang-undangan yang jelas. Dimulai dengan Kompilasi Hukum Islam, yang selanjutnya perlu disempurnakan dan dikembangkan, kemudian hukum mengenai shadaqah dan baitul mal segera dibentuk. Demikian pula dengan hukum formil peradilan agama perlu dikembangkan.
Personil
Dalam melaksanakan tugas kedinasan ia sebagai aparat penegak hukum yang profesional, netral (tidak memihak) dan sebagai anggota masvarakat ia orang yang menguasai masalah keislaman, yang menjadi panutan dan pemersatu masyarakat sekelilingnya serta punya integritas sebagai seorang muslim.
4. Dinamika lahirnya UU Pengelolaan Zakat
= Sejak kedatangan Islam di Nusantara pada awal abad ke 7 M, kesadaran masyarakat Islam terhadap zakat pada waktu itu ternyata masih menganggap zakat tidak sepenting shalat dan puasa. Padahal walaupun tidak menjadi aktivitas prioritas, kolonialis Belanda menganggap bahwa seluruh ajaran Islam termasuk zakat merupakan salah satu faktor yang menyebabkan Belanda kesulitan menjajah Indonesia khususnya di Aceh sebagai pintu masuk.
Atas hal tersebut, Pemerintah Belanda melalui
kebijakannya Bijblad Nomor 1892 tahun 1866 dan Bijblad 6200 tahun 1905 melarang petugas keagamaan, pegawai pemerintah dari kepala desa sampai bupati, termasuk priayi pribumi ikut serta dalam
pengumpulan zakat. Peraturan tersebut mengakibatkan penduduk di bebe-rapa tempat enggan mengeluarkan zakat atau tidak
memberikannya kepada peng-hulu dan naib sebagai amil resmi waktu itu, melainkan kepada ahli agama yang dihormati, yaitu kiyai atau guru mengaji.
Pada saat yang sama masyarakat Aceh sendiri telah menggunakan sebagian dana zakat untuk membiayai perang dengan Belanda, sebagaimana Belanda membiayai perangnya dengan sebagian dana pajak. Sebagai gambaran, pengumpulan zakat di Aceh sudah dimulai pada masa Kerajaan Aceh, yakni pada masa Sultan Alaudin Riayat Syah (1539-1567). Pada Masa kerajaan Aceh penghimpunan zakat masih sa-ngat sederhana dan hanya dihimpun pada waktu ramadhan saja yaitu zakat fitrah yang langsung diserahkan ke Meunasah (tempat ibadah seperti masjid). Pada waktu itu sudah didirikan Balai Baitul Maal tetapi tidak dijelaskan fungsi spesifik dalam mengelola zakat melainkan sebagai lembaga yang mengurus keuangan dan perben- daharaan negara, yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Orang Kaya Seri Maharaja.
Ketika terdapat tradisi zakat dikelola secara individual oleh umat Islam.
K.H. Ahmad Dahlan sebagai pemimpin Muhammadiyah mengambil langkah mengorganisir pe-ngumpulan zakat di kalangan anggotanya.
Menjelang kemerdekaan, praktek pengelolaan zakat juga pernah dilakukan oleh umat Islam ketika Majlis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI), pada tahun 1943, membentuk Baitul Maal untuk mengorganisasikan pengelolaan zakat secara terkoordinasi. Badan ini dikepalai oleh Ketua MIAI sendiri, Windoamiseno dengan anggota komite yang berjumlah 5 orang, yaitu Mr. Kasman Singodimedjo, S.M. Kartosuwirjo, Moh.
Safei, K. Taufiqurrachman, dan Anwar Tjokroaminoto.
Dalam waktu singkat, Baitul Maal telah berhasil didirikan di 35 kabupaten dari 67 kabupaten yang ada di Jawa pada saat itu. Tetapi kemajuan ini menyebabkan Jepang khawatir akan munculnya gerakan anti-Jepang. Maka, pada 24 Oktober 1943, Jepang memaksa MIAI untuk membubarkan diri. Praktis sejak saat itu tidak ditemukan lagi lembaga pengelola zakat yang eksis.
Perhatian Pemerintah terhadap pengelolaan zakat ditunjukkan dengan mener-bitkan Peraturan Menteri Agama No. 4 Tahun 1968 tentang Pembentukan Badan Amil Zakat dan Peraturan Menteri Agama No 5 Tahun 1968 tentang Pembentukan Baitul Maal di tingkat pusat,
provinsi dan kabupaten/kotamadya. Keputusan terse-but dikuatkan oleh pernyataan Presiden Soeharto dalam acara Peringatan Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad Saw di Istana Negara 26 Oktober 1968 tentang kesediaan Presiden untuk mengurus pengumpulan zakat secara besar- besaran.
Namun demikian pernyataan tersebut tidak ada tindaklanjut, yang tinggal hanya teranulirnya pelaksanaan Peraturan Menteri Agama terkait dengan zakat dan baitul maal tersebut. Penganuliran Peraturan Menteri Agama No. 5 Tahun 1968 semakin jelas dengan lahirnya Instruksi Menteri Agama No 1 Tahun 1969, yang menyatakan pelaksanaan Peraturan Menteri Agama No 4 dan No 5 Tahun 1968 ditunda sampai batas waktu yang tidak ditentukan.
Dengan latar belakang tanggapan atas pidato Presiden Soeharto 26 Oktober 1968, 11 orang alim ulama di ibukota yang dihadiri antara lain oleh Buya Hamka menge-luarkan rekomendasi perlunya membentuk lembaga zakat ditingkat wilayah yang kemudian direspon dengan pembentukan BAZIS DKI Jakarta melalui keputusan Gubernur Ali Sadikin No. Cb-14/8/18/68 tentang pembentukan Badan Amil Zakat berdasarkan syariat Islam tanggal 5 Desember 1968.
Pada tahun 1969 pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden No. 44 tahun 1969 tentang Pembentukan Panitia Penggunaan Uang Zakat yang diketuai Menko Kesra Dr. KH. Idham Chalid. Perkembangan
selanjutnya di lingkungan pegawai kemente-rian/lembaga/BUMN dibentuk pengelola zakat dibawah koordinasi badan kero-hanian Islam setempat.
Keberadaan pengelola zakat semi-pemerintah secara nasional
dikukuhkan dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama No. 29 dan No. 47 Tahun 1991 tentang Pembinaan BAZIS yang diterbitkan oleh Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri setelah melalui Musyawarah Nasional MUI IV tahun 1990. Langkah tersebut juga diikuti dengan dikeluarkan juga Instruksi Men-teri Agama No. 5 Tahun 1991 tentang Pembinaan Teknis BAZIS sebagai aturan pelaksanaannya.
Baru pada tahun 1999, pemerintah melahirkan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Dalam Undang-Undang
tersebut diakui adanya dua jenis organisasi pengelola zakat yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk pemerintah dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibentuk oleh masyarakat dan dikukuhkan oleh
pemerintah. BAZ terdiri dari BAZNAS pusat, BAZNAS Propinsi, dan BAZNAS kabupaten/kota.
Sebagai implementasi UU Nomor 38 Tahun 1999 dibentuk Badan Amil Zakat Na-sional (BAZNAS) dengan Surat Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2001. Dalam Surat Keputusan ini disebutkan tugas dan fungsi BAZNAS yaitu untuk melakukan
penghimpunan dan pendayagunaan zakat. Langkah awal adalah
mengupayakan memudahkan pelayanan, BAZNAS menerbitkan nomor pokok wajib zakat (NPWZ) dan bukti setor zakat (BSZ) dan
bekerjasama dengan perbankan dengan membuka rekening penerimaan dengan nomor unik yaitu berakhiran 555 untuk zakat dan 777 untuk infak. Dengan dibantu oleh Kementerian Agama, BAZNAS menyurati lembaga pemerintah serta luar negeri untuk membayar zakat ke
BAZNAS.
Tingkat kesadaran masyarakat untuk berzakat melalui amil zakat terus ditingkat-kan melalui kegiatan sosialisasi dan publikasi di media massa nasional. Sejak tahun 2002, total dana zakat yang berhasil dihimpun BAZNAS dan LAZ mengalami pening-katan pada tiap tahunnya.
Selain itu, pendayagunaan zakat juga semakin bertambah bahkan menjangkau sampai ke pelosok-pelosok negeri. Pendayagunaan zakat
mulai dilaksanakan pada lima program yaitu kemanusiaan, pendidikan, kesehatan, ekono-mi, dan dakwah.
Pada tanggal 27 Oktober 2011, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menyetujui Undang-undang pengelolaan zakat pengganti Un-dang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 yang kemudian diundangkan sebagai UU Nomor 23 Tahun 2011 pada tanggal 25 November 2011. UU ini menetapkan bahwa pengelolaan zakat bertujuan (1) meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat dan (2) meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan
kemiskinan. Untuk mencapai tuju-an dimaksud, UU mengatur bahwa kelembagaan pengelola zakat harus terintegrasi dengan BAZNAS sebagai koordinator seluruh pengelola zakat, baik BAZNAS Provin-si, BAZNAS Kabupaten/Kota maupun LAZ.
Mandat BAZNAS sebagai koordinator zakat nasional menjadi momentum era Kebangkitan Zakat di Indonesia. Dengan berharap rahmat dan ridha Allah SWT, semoga kebangkitan zakat mampu mewujudkan stabilitas negara, membangun ekonomi kerakyatan, dan mengatasi kesenjangan sosial.
5. Dinamika lahirnya UU Perbankan Syari‟ah
= Bank pertama di Indonesia didirikan oleh pemerintah Hindia-
Belanda pada tahun 1824 dengan nama Nederlandsche Handel Maatschappij
(NHM). Pemerintah Hindia Belanda berperan sebagai salah satu pemegang saham utama. Bank tersebut didirikan untuk mengisi
kekosongan akibat lkuidasi Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC)
yang telah menugasai hampir seluruh kawasan Nusantara selama kurang
lebih dua abad (1602-1799), mengalami kebangkrutan. Saat ini NHM telah berubah nama menjadi Bank Ekspor Impor Indonesia (BEII), yang kemudian dimerger menjadi Bank Mandiri.
Setelah kemerdekaan Indonesia muncullah Undang-Undang
yang mengatur khusus tentang pokok-pokok perbankan, yaitu Undang- Undang No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan.
Termasuk
di dalamnya mengatur landasan dasar bagi perbankan Indonesia, yakni:
a. Tata perbankan harus merupakan suatu kesatuan sistem yang menjamin adanya kesatuan pimpinan dalam mengatur seluruh
perbankan di Indonesia serta mengawasi pelaksanaan kebijaksanaan moneter Pemerintah di bidang perbankan;
b. Memobilisasikan dan memperkembangkan seluruh potensi Nasional yang bergerak di bidang perbankan berdasarkan azas-azas demokrasi ekonomi;
c. Membimbing dan memanfaatkan segala potensi tersebut huruf b bagi kepentingan perbaikan ekonomi rakyat.
Kemudian pada tanggal 27 Oktober 1988, Menteri Koordinator
Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri Radius Prawiro mengumumkan serangkaian kebijakan baru yang merupakan paket
deregulasi di bidang Keuangan Moneter dan Perbankan (KMP). Paket kebijakan ini kemudian lebih dikenal dengan Pakto 88.
Adapun inti dari deregulasi perbankan melalui Pakto 88 ini adalah adanya kemudahan dalam pendirian bank- bank baru. Oleh karena itu semakin banyak munculnya bank-bank swasta nasional baru yang ikut meramaikan bisnis perbankan nasional. Era ini pula yang memberikan kemungkinan bagi pendirian perbankan dengan sistem bunga nol persen (zero interest).
Kemudian terbitlah Undang-Undang No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menimbang bahwa Undang-Undang No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan dan beberapa undang-undang di bidang perbankan lainnya yang berlaku pada saat itu, sudah tidak dapat mengikuti pekembangan pereknomian nasional maupun internasional.
Akan tetapi, walaupun diterbitkannya Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 peluang beroperasi bank syariah masih belum jelas. Karena dalam undang-undang ini hanya disebutkan dalam pasal 6 huruf m secara singkat mengenai perizinan bank untuk beroperasi dengan system bagi hasil, “Menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah.” Jadi yang membedakan bank dengan
prinsip bagi hasil dengan bank konvensional hanya dalam bentuk prinsip bagi hasil saja, sedangkan untuk ketentuan transaksi lainnya sama halnya dengan bank konvensional.
Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 inilah yang memperkenalkan istilah bagi hasil. Munculnya undang- undang ini menjadi landasan hukum untuk pendirian bank berdasarkan prinsip syariah di Indonesia pada saat itu.
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992, muncul dilatarbelakangi oleh terjadinya krisis ekonomi dan moneter yang berimbas pada krisis perbankan yang terjadi pada tahun 1998.
Dalam undang-undang ini, istilah bank syariah disebutkan dengan jelas. Seperti pada pasal 1 ayat 3 dan 4 disebutkan bahwa, (3) Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran; (4) Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran. Selanjutnya mengenai prinsip syariah juga dijelaskan dalam pasal 1 ayat 13.
Sepuluh tahun kemudian, terbitlah Undang-Undang No.
21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Undang- undang ini dilatarbelakangi oleh kebutuhan masyarakat akan jasa-jasa perbankan syariah yang semakin
meningkat, juga dengan pertimbangan
belumtersedianya peraturan khusus yang mengatur tentang perbankan syariah.Dalam undang-undang ini tercipta istilah yang berbeda untuk Bank Perkreditan Rakyat dengan prinsip syariah menjadi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Undang-undang ini juga menentukan tiga jenis bank, yaitu Bank Umum Syariah (BUS), Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS), dan Unit Usaha Syariah (UUS).
Pesatnya perkembangan lembaga-lembaga ekonomi yang berbasis
syariah perlu suatu landasan hukum nasional yang kuat untuk mendasari sistem operasionalnya, tidak hanya sebatas hukum fiqh semata. Kepastian hukum ini diperlukan agar lembaga ekonomi berbasis syariah diakui secara hukum oleh nasional. Dua bulan setelah dikeluarkannya UU No. 21 Tahun 2008, Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah yang bisa menjadi pegangan bagi hakim-hakim di Pengadilan Agama, selain dari UU No. 21 Tahun 2008, KUHPer, dan kitab-kitab klasik, dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah.
6. Keberadaan KHI dan UU No 4 1 Tahun 2004 yang berkaitan dengan wakaf
7. Wakaf Produktif dalam Fikih dan UU No. 41 Tahun 2004 8. Sengketa wakaf di Indonesia dan Penyelesaiannya
9. Kompilasi Hukum Ekonomi Syari‟ah 10. Hisab dan Rikyat di Indonesia 11. Fatwa dan Keberadaan MUI
12. DSN dan DPS dalam Pengembangan Hukum Ekonomi Syari‟ah.