Book · March 2022
CITATIONS
17
READS
10,299
14 authors, including:
Suhendi Syam Universitas Sebelas Maret 15PUBLICATIONS 87CITATIONS
SEE PROFILE
Sonny Kristianto
Universitas Wijaya Kusuma Surabaya 13PUBLICATIONS 41CITATIONS
SEE PROFILE
Dina Chamidah
Universitas Wijaya Kusuma Surabaya 50PUBLICATIONS 436CITATIONS
SEE PROFILE
All content following this page was uploaded by Suhendi Syam on 07 March 2022.
The user has requested enhancement of the downloaded file.
Belajar dan Pembelajaran
Suhendi Syam, Hani Subakti, Sonny Kristianto, Dina Chamidah Tri Suhartati, Nana Harlina Haruna, Joko Krismanto Harianja
Joni Wilson Sitopu, Yurfiah, Sukarman Purba, Sandra Arhesa
Penerbit Yayasan Kita Menulis
Copyright © Yayasan Kita Menulis, 2022 Penulis:
Suhendi Syam, Hani Subakti, Sonny Kristianto, Dina Chamidah Tri Suhartati, Nana Harlina Haruna, Joko Krismanto Harianja Joni Wilson Sitopu, Yurfiah, Sukarman Purba, Sandra Arhesa
Editor: Abdul Karim & Janner Simarmata Desain Sampul: Devy Dian Pratama, S.Kom.
Penerbit Yayasan Kita Menulis
Web: kitamenulis.id e-mail: [email protected]
WA: 0821-6453-7176 IKAPI: 044/SUT/2021
Katalog Dalam Terbitan Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang memperbanyak maupun mengedarkan buku tanpa Izin tertulis dari penerbit maupun penulis
Suhendi Syam., dkk.
Belajar dan Pembelajaran
Yayasan Kita Menulis, 2022 xiv; 158 hlm; 16 x 23 cm ISBN: 978-623-342-371-7 Cetakan 1, Januari 2022 I. Belajar dan Pembelajaran II. Yayasan Kita Menulis
Alhamdulillah, puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah Swt, sehingga buku Belajar dan Pembelajaran ini dapat diselesaikan dan diterbitkan dengan tepat waktu. Buku ini dibuat untuk memberikan pemahaman mengenai konsep belajar dan pembelajaran, tipe-tipe belajar, gaya dan masalah belajar, tujuan dan motivasi belajar, prinsip-prinsip pembelajaran, pendekatan pembelajaran, media pembelajaran, model pembelajaran, komunikasi pembelajaran, kurikulum, konsep dasar evaluasi pembelajaran, dan komponen-komponen pembelajaran.
Sehingga buku ini sangat penting menjadi sebuah landasan dalam memahami belajar dan pembelajaran. Buku ini sangat penting dipahami oleh para pembelajar, siswa, mahasiswa, guru, calon guru dan sebagainya.
Buku Belajar dan Pembelajaran ini sangat bermanfaat dalam dunia pendidikan karena dikaji secara mendalam dan lebih lengkap sehingga mampu memberikan pemahaman mengenai konsep, tipe, gaya, tujuan, prinsip, media, model-model pembelajaran, kurikulum bahkan pada tahap evaluasi pembelajaran. Selain itu belajar dan pembelajaran merupakan bagian terpenting dalam kehidupan manusia dalam memahami diri sendiri dan lingkungannya yang akan menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas.
Buku ini disajikan dengan struktur yang di bangun atas Sembelas pokok kajian bahasan, yang mencakup:
Bab 1 Konsep Dasar Belajar dan Pembelajaran Bab 2 Tipe-Tipe Belajar
Bab 3 Tujuan dan Motivasi Belajar
Bab 4 Prinsip-Prinsip Pembelajaran Bab 5 Pendekatan Pembelajaran Bab 6 Media Pembelajaran Bab 7 Model Pembelajaran Bab 8 Komunikasi Pembelajaran Bab 9 Kurikulum
Bab 10 Konsep Dasar Evaluasi Pembelajaran Bab 11 Komponen-Komponen Pembelajaran
Buku ini dibuat dengan sebaik mungkin, namun tetap disadari masih ada kekurangan sehingga dimungkinkan masih ada yang kurang sempurna.
Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik, masukan dan saran dari pembaca demi kesempurnaan buku ini.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua tim penulis yang telah berkolaborasi, bekerjasama, dan tim editor atas bimbingan dan kritik, sehingga buku ini telah berhasil diterbitkan sebagai buku referensi.
Semoga buku ini memberikan manfaat kepada para pembaca sekaligus memberikan sumbangan pemikiran bagi pengingkatan dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Medan, Januari 2022
Kata Pengantar ... v
Daftar Isi ... vii
Daftar Gambar ... xi
Daftar Tabel ... xiii
Bab 1 Konsep Dasar Belajar dan Pembelajaran 1.1 Pendahuluan ... 1
1.2 Arti Belajar dan Pembelajaran ... 2
1.2.1 Pengertian Belajar ... 2
1.2.2 Pengertian Pembelajaran ... 6
Bab 2 Tipe-Tipe Belajar 2.1 Pendahuluan ... 9
2.2 Hakikat Tipe Belajar Siswa ... 11
2.3 Macam-Macam Tipe Belajar Secara Umum ... 12
2.3.1 Tipe siswa yang visual (lebih mudah belajar melalui penglihatan) 13 2.3.2 Tipe siswa yang auditif (lebih mudah belajar melalui pendengaran) 13 2.3.3 Tipe siswa yang taktil (lebih mudah belajar melalui perabaan) ... 14
2.3.4 Tipe siswa yang olfaktoris (lebih mudah belajar melalui penciuman) .. 14
2.3.5 Tipe siswa yang gustative (lebih mudah belajar melalui kemampuan mencicipi) ... 14
2.3.6 Tipe belajar campuran (combinative) ... 15
2.4 Tipe-Tipe Belajar Secara Khusus ... 15
2.4.1 Tipe belajar sinyal (Conditioning ala Paviov) ... 16
2.4.2 Tipe belajar perangsang-reaksi dengan mendapat penguatan (Conditioning ala Skinner) ... 16
2.4.3 Tipe belajar membentuk rangkaian gerak-gerak (Chaining motorik) 17 2.4.4 Tipe belajar asosiasi verbal atau belajar menghubungkan (Chaining Verbal) ... 17
2.4.5 Tipe belajar diskriminasi yang jamak atau belajar berdasarkan diskriminasi (Multiple discrimination) ... 17
2.4.6 Tipe belajar konsep (concept learning) ... 17
2.4.7 Tipe belajar kaidah (rule learning) ... 18
2.4.8 Tipe belajar memecahkan masalah (problem solving) ... 18
Bab 3 Tujuan dan Motivasi Belajar
3.1 Pendahuluan ... 21
3.2 Perspektif Perkembangan Motivasi ... 22
3.2.1 Teori Penguatan Perilaku ... 22
3.2.2 Teori Kebutuhan ... 23
3.2.3 Teori Tujuan ... 24
3.2.4 Teori Motivasi Instrinsik ... 25
3.3 Tujuan dan Fungsi Motivasi ... 27
3.4 Stimulus dan Sosialisasi Motivasi Belajar ... 28
3.5 Strategi Untuk Mendorong Motivasi Belajar ... 29
3.5.1 Konflik Kognitif ... 29
3.5.2 Perubahan konseptual mengajar ... 30
3.5.3 Pemberian Apresiasi ... 31
3.5.4 Mendorong Siswa untuk Memotivasi Diri Sendiri ... 33
Bab 4 Prinsip-Prinsip Pembelajaran 4.1 Pendahuluan ... 35
4.2 Definisi Prinsip Pembelajaran ... 36
4.3 Definisi Prinsip Belajar Mengajar ... 40
4.3.1 Organisasi dan Struktur Materi Pelajaran ... 40
4.3.2 Motivasi ... 40
4.3.3 Penghargaan dan Penguatan ... 41
4.3.4 Teknik Instruksi ... 41
4.3.5 Transfer Pembelajaran ... 42
4.3.6 Perilaku Guru dan Prestasi Siswa ... 42
Bab 5 Pendekatan Pembelajaran 5.1 Konsep Pembelajaran ... 45
5.2 Jenis Pendekatan Pembelajaran ... 47
5.3 Strategi Pembelajaran ... 49
5.4 Pembelajaran Abad 21 Dalam Kurikulum ... 51
5.5 Teori-teori Konstruktivisme Tentang Belajar ... 53
Bab 6 Media Pembelajaran 6.1 Pendahuluan ... 57
6.2 Media Pembelajaran ... 58
6.2.1 Pengertian Media Pembelajaran ... 58
6.2.2 Manfaat Media Pembelajaran ... 59
6.2.3 Fungsi Media Pembelajaran ... 61
6.2.4 Peran Media Pembelajaran ... 61
6.2.5 Jenis-jenis Media Pembelajaran ... 63
6.2.6 Prinsip Media Pembelajaran ... 65
6.2.7 Pemilihan Media Pembelajaran ... 66
Bab 7 Model Pembelajaran 7.1 Pengertian Model Pembelajaran ... 69
7.2 Pemilihan Model Pembelajaran ... 70
7.3 Jenis-jenis Model Pembelajaran ... 71
7.3.1 Model Pembelajaran Berbasis Penelitian ... 71
7.3.2 Model Pembelajaran Berbasis Masalah ... 73
7.3.3 Model Pembelajaran Berbasis Proyek ... 77
7.4 Model Pembelajaran Kooperatif ... 80
Bab 8 Komunikasi Pembelajaran 8.1 Pendahuluan ... 85
8.2 Ketrampilan Dasar Mengajar ... 86
8.2.1 Pengertian Keterampilan Dasar Mengajar ... 86
8.2.2 Jenis Ketrampilan Dasar Mengajar ... 87
8.3 Keterampilan komunikasi (Interpersonal) ... 93
8.4 Keterampilan Pengelolaan Kelas ... 95
8.4.1 Pengertian keterampilan mengelola kelas ... 95
8.4.2 Tujuan Pengelolaan Kelas ... 95
8.4.3 Komponen Keterampilan Mengelola Kelas ... 96
8.4.4 Prinsip Penggunaan Keterampilan Mengelola Kelas ... 97
8.5 Pembelajaran Orang Dewasa ... 97
8.5.1 Pengertian Pendidikan Orang Dewasa ... 97
8.5.2 Prinsip orang dewasa belajar ... 98
8.5.3 Cara Mengembangkan Pembelajaran Orang Dewasa ... 98
8.5.4 Beda Proses Belajar Paedagogik dengan Andragogik ... 99
Bab 9 Kurikulum 9.1 Pendahuluan ... 101
9.2 Pengertian Kurikulum ... 101
9.3 Fungsi dan Tujuan Kurikulum ... 104
9.4 Komponen Kurikulum ... 109
9.5 Pengembangan Kurikulum ... 113
Bab 10 Konsep Dasar Evaluasi Pembelajaran
10.1 Pendahuluan ... 115
10.2 Pengertian Dasar Evaluasi Pembelajaran ... 116
10.3 Tujuan Evaluasi Pembelajaran ... 120
10.4 Prinsip -prinsip dalam Evaluasi Pembelajaran ... 121
10.5 Fungsi Evaluasi Pembelajaran ... 124
10.6 Langkah-langkah dalam Evaluasi Pembelajaran ... 126
10.7 Jenis Evaluasi Pembelajaran ... 127
Bab 11 Komponen-Komponen Pembelajaran 11.1 PendahuluanPengertian Komponen Pembelajaran ... 131
11.2 Tujuan Komponen Pembelajaran ... 132
11.3 Macam-macam Komponen Pembelajaran ... 132
11.3.1 Guru ... 133
11.3.2 Siswa ... 133
11.3.3 Tujuan Pembelajaran ... 134
11.3.4 Materi Pembelajaran ... 134
11.3.5 Metode Pembelajaran ... 134
11.3.6 Media Pembelajaran ... 135
11.3.7 Evaluasi Pembelajaran ... 135
11.4 Fungsi Masing-masing Komponen Pembelajaran ... 136
Daftar Pustaka ... 139
Biodata Penulis ... 151
Gambar 1.1: Komponen Pembelajaran ... 7 Gambar 9.1 komponen kurikulum ... 109
Tabel 3.1: Kondisi Manusia dan Implikasi Dari Teori Motivasi ... 6 Tabel 8.1: Perbedaan proses belajar paedagogik dan andragogic ... 99
Bab 1 Konsep Dasar Belajar dan Pembelajaran
1.1 Pendahuluan
Sebuah pengalaman yang mengalami perubahan dalam tingkah laku merupakan bagian dari belajar. Sehingga belajar mengakibatkan terjadinya interaksi melalui respon dan stimulus. Ketika adanya perubahan dalam tingkah lakunya maka dianggap dia belajar. Input dari belajar merupakan stimulus dan respon merupakan outputnya. Hasil belajar tergantung dari stimulusnya, jika stimulusnya baik maka kemungkinan hasil belajarnya pun akan baik. Begitu juga sebaliknya jika stimulusnya kurang baik maka kemungkinan hasilnya pun pasti kurang baik. Stimulus dapat berupa apa saja yang diberikan oleh guru kepada siswanya, sedangkan reaksi/tanggapan siswa terhadap stimulus disebut sebagai respon.
Hasil dari belajar merupakan adanya perubahan perilaku baik itu dari ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Ketiganya akan memengaruhi pengetahuan seseorang. Pengetahuan juga ditunjang oleh pengalaman dan kebiasaan. Setiap manusia memiliki sifat naluriah untuk belajar karena seyogyanya manusia memiliki sifat rasa ingin tahu yang tinggi. Naluriah itulah yang harus diarahkan kepada hal-hal yang baik dengan cara belajar yang tepat agar
memperoleh pengetahuan yang baik pula. Setiap individu harus belajar, karena melalui belajar manusia akan mampu menghadapi perubahan lingkungan yang selalu berubah setiap saat, dinamis dan penuh tantangan sehingga mampu memahami lingkungan dan dirinya sendiri.
1.2 Arti Belajar dan Pembelajaran
1.2.1 Pengertian Belajar
Setiap manusia memiliki naluri untuk belajar. Belajar adalah suatu proses yang ditandai oleh perubahan manusia, perubahan yang disebabkan oleh proses belajar dapat dinyatakan dalam berbagai bentuk seperti perubahan pengetahuan, pemahaman, sikap, perilaku, keterampilan, teknik, kebiasaan, dan perubahan lain yang ada pada orang yang belajar (Sudjana 2010).
Kegiatan sehari-hari bisa dijadikan sebagai belajar, baik itu di lingkungan rumah maupun sekolah. Belajar juga bisa dilakukan sendiri, orang lain, bahkan dengan guru. Belajar di lingkungan sekolah terdiri dari siswa dan guru, belajar melalui diri sendiri merupakan suatu proses sedangkan belajar melalui guru merupakan sebuah perilaku belajar tentang sesuatu hal.
Sedangkan belajar menurut Azhar (2014) menyatakan bahwa belajar adalah proses kompleks yang terjadi pada semua orang sepanjang hidupnya. Proses belajar terjadi sebagai hasil interaksi antara seseorang dengan lingkungannya, kapan saja, di mana saja. Ciri khas belajar adalah terjadi perubahan tingkah laku dalam diri seseorang yang mungkin disebabkan oleh perubahan tingkat pengetahuan, keterampilan, atau sikap. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku karena pengalaman.
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia bisa terus belajar kapanpun dan di manapun ia berada. Sehingga belajar dapat dikatakan bersifat umum, sehingga belajar bukan hanya sebuah perintah dalam memahami suatu hal tetapi belajar merupakan sebuah proses perubahan tingkah laku kepribadian seseorang (Setiawan 2017). Perubahan tingkah laku positif diharapkan setelah adanya proses belajar, sehingga menjadi sebuah aktivitas mental yang biasa dilakukan siswa. Adanya sebuah proses belajar jika siswa mengalami perubahan tingkah laku dalam kondisi sadar, perubahan yang relatif tetap dalam durasi waktu
yang lama, perubahan positif/menjadi lebih baik, perubahan yang mempunyai tujuan, dan perubahannya terjadi akibat adanya pengalaman dan latihan.
Berikut ini adalah pengertian belajar menurut beberapa ahli pendidikan dan psikologi (Hanafy 2014), yakni:
1. Belajar menurut B.F. Skinner
Definisi Skinner belajar adalah fasilitasi dan kesempatan, bersama dengan penguatan, bagi individu untuk menjadi lebih serius dan aktif dalam belajar mereka dengan penghargaan dan pujian dari guru untuk kinerja akademik mereka. ) dan respons aktif (respons yang berkembang dan terjadi sebagai akibat dari rangsangan tertentu yang dapat ditanggapi oleh organisme).
2. Belajar menurut Robert M. Gagne
Definisi belajar menurut Gagné adalah perubahan yang terjadi pada kemampuan seseorang setelah belajar sepanjang hayat yang disebabkan tidak hanya oleh proses pertumbuhan tetapi semata-mata oleh adanya stimulus yang bersamaan dengan proses belajar.Isi ingatan memengaruhi perubahan perilaku dari waktu ke waktu.
Belajar sangat dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal individu, faktor-faktor tersebut selalu berinteraksi untuk mencapai hasil belajar yang disebut keterampilan motorik (motor skills), tindakan), kemampuan intelektual, komunikasi verbal, strategi kognitif, dan sikap.
3. Belajar menurut Jean Piaget
Memahami belajar Piaget, khususnya belajar sebagai proses asimilasi dan penyesuaian hasil asosiasi dengan lingkungan dan pengamatan yang tidak sesuai antara informasi baru dan sebelumnya. Ada dua proses yang memengaruhi proses kognitif anak, yaitu proses asimilasi dan proses adaptasi. Asimilasi sebagai penyesuaian atau pencocokan informasi baru dengan informasi sebelumnya. Sebagai adaptasi menyusun dan merekonstruksi informasi lama dengan informasi baru untuk menghasilkan informasi yang lebih banyak dan lebih baik.
4. Belajar menurut Carl R. Rogers
Memahami pembelajaran Rogers, khususnya pembelajaran berdasarkan prinsip kebebasan dan perbedaan individu dalam pendidikan. Siswa akan lebih memahami satu sama lain dan dapat menerima apa yang diperlukan bagi mereka untuk secara bebas memilih dan bertindak sendiri dengan penuh tanggung jawab. Peran guru lebih penting daripada peran siswa dalam sebuah proses pembelajaran.
5. Belajar menurut Benjamin S Bloom
Pengertian belajar menurut Bloom adalah perubahan kualitas baik kognitif, emosional maupun psikologis dengan meningkatkan taraf hidup peserta didik, baik secara individu maupun sebagai anggota masyarakat sebagai makhluk Tuhan. Bloom mengamati bahwa kecerdasan anak-anak memiliki pengaruh. Anak-anak dapat menguasai tugas-tugas yang dihadapi di sekolah. Ada tiga taksa yang dikembangkan Bloom, yaitu ranah kognitif, afektif, dan psikologis.
Kemampuan tersebut akan menjadi milik anak setelah ia belajar melalui proses pendidikan.
6. Belajar menurut Jerume S. Bruner
Pengertian belajar menurut Bruner merupakan pengembangan kategori yang saling berhubungan sehingga setiap individu memiliki model yang unik mengenai alam dan pengembangan suatu sistem pengkodean (coding). Belajar dapat berjalan jika sudah adanya perubahan kategori-kategori baik itu pengubahan maupun kategori baru. Sehingga pendekatannya sering dikenal dengan istilah kategorisasi dalam belajar.
Belajar bisa dilaksanakan secara internal dan eksternal bisa diamati secara langsung dan tidak langsung. Hasil dari belajar akan mampu merespon berbagai situasi. Belajar bisa melalui hal-hal yang tidak nampak berupa keinginan, kepercayaan, harapan, sikap, dan lain-lain. Belajar seyogyanya mampu merubah perubahan kepribadian seseorang dalam bentuk sikap, kebiasaan, keterampilan, kecakapan, dan pengetahuan.
Menurut Abraham menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mendorong seseorang untuk belajar, yakni:
1. Memiliki rasa penasaran
2. Memiliki keinginan untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai dengan tuntutan zaman dan lingkungan.
3. Semua aktivitas manusia didasarkan pada kebutuhan yang harus dipenuhi, mulai dari kebutuhan biologis hingga aktualisasi diri.
4. Selalu meningkatkan apa yang sudah diketahui
5. Kemampuan untuk berintegrasi ke dalam masyarakat dan beradaptasi dengan lingkungan
6. Untuk mencapai cita-cita yang diinginkannya 7. Untuk mengisi waktu luang
Sedangkan menurut Sukmadinata (2019), faktor-faktor yang memengaruhi belajar tergantung pada diri sendiri atau di luar diri yang dipengaruhi oleh lingkungannya. Unsur-unsurnya meliputi: 1) aspek fisik meliputi kondisi fisik dan kesehatan individu; 2) aspek psikologis atau spiritual termasuk kesehatan psikologis, kapasitas intelektual, sosial dan psikologis serta kapasitas emosional dan kemampuan untuk hidup bersama; 3) status intelektual meliputi tingkat kecerdasan, bakat, dan penguasaan pengetahuan siswa; 4) Kondisi sosial meliputi hubungan antara siswa dengan orang lain, baik itu guru, teman, kerabat tetapi juga orang-orang di sekitar. Keberhasilan akademik muncul dari faktor eksternal yang memengaruhi kesejahteraan psikologis dan sosial siswa antara lain: 1) lingkungan keluarga; 2) lingkungan sekolah/kampus, dan 3) lingkungan masyarakat.
Setelah proses pembelajaran, hasilnya akan berupa perubahan perilaku siswa yang disebabkan oleh penguasaan beberapa materi yang diberikan dalam proses belajar mengajar, hasil lain dalam belajar berupa perubahan kognitif, afektif dan perubahan psikomotorik (Ngalim 2011). Selain itu, hasil belajar adalah perubahan tingkah laku dalam diri seseorang yang dapat kita amati dan ukur berupa pengetahuan, sikap dan keterampilan sehingga terjadi peningkatan dan perkembangan ke arah yang lebih baik dari sebelumnya yang belum diketahui. bagaimana mengetahuinya (Hamalik, 2006). ).
Tentunya keberhasilan dalam belajar sangat tergantung oleh faktor yang memengaruhinya yakni kondisi jasmani, rohani, materi, instrumental, dan
lingkungan. Melalui belajar manusia akan terampil yakni memiliki keahlian dalam menggunakan akal, pikiran dan ide kreatifitas dalam membuat sesuatu yang dapat menghasilkan sebuah nilai. Keahlian tersebut bisa berbentuk verbal maupun non verbal.
1.2.2 Pengertian Pembelajaran
Belajar adalah aspek yang kompleks, sama sekali tidak dapat dijelaskan dari aktivitas manusia dan merupakan produk dari interaksi terus-menerus antara perkembangan dan pengalaman hidup. Dalam pengertian yang kompleks, belajar adalah usaha sadar guru untuk mengajar siswanya (mengarahkan interaksi siswa dengan sumber belajar lain) untuk mencapai tujuan yang diinginkan (Trianto, 2010).
Belajar adalah proses interaktif antara siswa, guru, lingkungan dan semua sumber belajar yang menjadi sarana belajar untuk mencapai tujuan mengubah sikap dan pikiran masyarakat. Pembelajaran juga merupakan sebuah proses yang berkelanjutan dalam merubah pola pikir dan sikap. UUD no 20 tahun 2003 menyebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses belajar agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Suardi (2018) bahkan mengatakan bahwa pembelajaran dimulai dari lingkungan keluarga, pembelajaran dimulai sejak ia lahir dengan membawa bakat dan potensi masing-masing, kemudian ia mengembnagkan pengetahuannya sejak usia dini dilingkungan keluarganya, bahkan keluarga bisa dikatakan sebagai intansi/institusi dalam pembelajaran.
Hakikat dari pembelajaran yakni adanya proses interaksi siswa dengan lingkungan yang dapat merubah tingkah laku yang lebih baik. Pembelajaran dilakukan secara sadar oleh pendidik kepada peserta didik agar mau belajar berdasarkan minat dan kebutuhannya. Pendidik juga berperan sebagai fasilitator yang mendukung peningkatan kemampuan belajar siswa (Arfani 2018). Pembelajaran berarti membelajarkan siswa, sehingga siswa mau belajar sehingga terjadi komunikasi dua arah antara siswa dan guru.
Komunikasi/interaksi yang baik akan menghasilkan tujuan pembelajaran yang baik pula, begitupun sebaliknya.
Tujuan dari pembelajaran sangat penting untuk ditentukan, seorang guru harus mampu menentukan tujuan akhir dari sebuah pembelajaran yang ingin dicapai.
Ketika tujuan pembelajaran sudah jelas maka selanjutnya guru menyusun langkah-langkah pembelajaran agar terarah. Tentunya tujuan pembelajaran ini harus disesuaikan dengan sarana prasarana, waktu, dan kesiapan siswa. Tujuan pembelajaran juga disesuaikan dengan materi yang akan diajarkan kepada siswa. Tujuan pembelajaran ini meliputi perilaku dan pengetahuan yang akan dicapai siswa.
Selanjutnya materi pembelajaran sangat penting dalam menempuh tujuan pembelajaran. Materi pembelajaran disampaikan saat proses kegiatan belajar mengajar berjalan. Sehingga materi pelajaran bisa dikatakan sebagai sumber ilmu bagi siswa, sumber inti dari sebuah pembelajaran yang harus dikuasai oleh siswa. Materi pembelajaran juga harus disesuaikan dengan kurikulum yang berlaku di sekolah. Pembelajaran merupakan sebuah sistem, karena merupakan suatu kegiatan yang terdiri dari tujuan, materi, metode, alat, evaluasi, guru, dan siswa. Berikut disajikan komponen pembelajaran dalam sebuah gambar:
Gambar 1.1: Komponen Pembelajaran
Menurut Pane dan Darwis (2017) menyebutkan bahwa Suatu sistem pembelajaran terdiri dari komponen interaktif, yaitu guru, siswa, tujuan, materi, media, metode, dan penilaian. Setoap komponen harus bekerjasama dengan baik agar tujuan pembelajaran bisa tercapai. Gasong (2018) menyebutkan bahwa belajar dapat terjadi karena adanya subjek pengajar dan
subjek si pembelajar, subjek yang mengajar disebut guru dan subjek yang belajar disebut siswa. Keduanya saling terlibat dalam proses pembelajaran.
Fungsi utama pembelajaran adalah memfasilitasi tumbuh dan berkembangnya pembelajaran dalam kehidupan siswa. Guru perlu menguasai berbagai hal yang berhubungan dengan kegiatan pembelajaran (Winataputra et al. 2014).
Fungsionalitas belajar sangat bergantung pada sumber belajar, untuk memecahkan masalah belajar, sumber belajar tersebut dapat berupa pesan, alat, bahan, teknik, dan latar belakang.(Abdullah 2012).
Saat ini kegiatan pembelajaran telah mengalami pergeseran dalam pelaksanaannya, awalnya dilaksanakan dengan metode ceramah, sekarang diganti dengan metode yang berbasis proses sehingga lebih menekankan pada media pembelajaran yang digunakan dengan bantuan teknologi. Sehingga pembelajaran dirancang semenarik mungkin sehingga siswa dapat lebih mudah memahami materi pembelajaran yang diberikan oleh guru. Tentu saja peran alat peraga juga harus disesuaikan dengan tujuan pembelajaran.
Kualitas dari pembelajaran ditentukan oleh keberhasilan dalam proses belajar, sehingga perlu perhatian khusus mengenai media pembelajaran yang digunakan. Kecanggihan teknologi bisa membantu para guru dalam mempermudah menyampaikan setiap materi pembelajaran kepada siswa, tentunya diperlukan komitmen dari guru dalam meningkatkan kualitas pembelajarannya. Ketersediaan sumber belajar yang sesuai dan memadai akan memudahkan siswa dalam menyerap ilmu pengetahuan, sehingga hasilnya dapat meningkat. Tentunya harus adanya kerjasama yang baik antara siswa dan guru dalam proses pembelajaran tersebut.
Bab 2 Tipe-Tipe Belajar
2.1 Pendahuluan
Saat ini perkembangan dunia pendidikan di Indonesia dapat dilihat dari keberhasilan mengimplementasikan kurikulum yang dipengaruhi oleh kemampuan guru dalam menerapkan dan mengaktualisasikan kurikulum tersebut. Hal ini berkaitan dengan pengetahuan dan kemampuan, serta tugas yang dibebankan kepada guru tersebut. Tidak jarang kegagalan implementasi kurikulum disebabkan oleh kurangnya pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan guru dalam memahami tugas yang harus diembannya. Kondisi ini menunjukkan bahwa berfungsinya kurikulum terletak pada bagaimana pelaksanaannya di sekolah, khususnya di kelas dalam kegiatan pembelajaran yang merupakan kunci keberhasilan tersebut.
Dalam kegiatannya, belajar yang berlangsung di sekolah bersifat formal, disengaja, direncanakan, dengan bimbingan guru, dan bantuan pendidik. Hal- hal apa saja yang hendak dicapai dan dikuasai oleh siswa dituangkan dalam tujuan belajar, dipersiapkan bahan apa yang harus dipelajari, dipersiapkan juga metode pembelajaran yang sesuai dengan bagaimana cara siswa mempelajarinya, dan melakukan evaluasi untuk mengetahui kemajuan belajar siswa. Persiapan ini telah direncanakan dengan saksama oleh para guru mengacu pada kurikulum mata pelajaran.
Pada dasarnya setiap kegiatan belajar mengajar selalu didasari dua perilaku aktif, yaitu guru dan siswa, guru sebagai pengajar merupakan pencipta kondisi belajar siswa yang didesain secara sengaja, antimatis, dan berkesinambungan.
Sedangkan siswa atau peserta didik sebagai subjek pembelajaran yang merupakan dalam hal ini yang menikmati kondisi belajar yang diciptakan oleh guru.
Perpaduan dari kedua unsur manusiawi tersebut melahirkan interaksi edukatif dengan memanfaatkan bahan ajaran sebagai mediumnya. Pada kegiatan belajar mengajar, keduanya (guru-siswa) saling memengaruhi dan memberi masukan.
Karena itulah kegiatan belajar mengajar harus merupakan aktivitas yang hidup, sarat nilai, dan senantiasa memiliki tujuan. Hadirnya rumusan belajar mengajar tradisional, selalu menempatkan siswa atau peserta didik sebagai objek pembelajaran dan guru sebagai subjeknya. Rumusan ini membawa konsekuensi terhadap kurang bermaknanya kedudukan siswa atau peserta didik dalam keseluruhan proses belajar mengajar.
Pendekatan baru melihat bahwa kegiatan belajar mengajar merupakan milik guru dan siswa, dalam kedudukan guru yang setara, namun dari segi fungsi berbeda. Siswa merupakan subjek pembelajaran dan menjadi inti dari setiap kegiatan pendidikan. Proses pengajaran yang mengesampingkan martabat anak bukanlah proses pendidikan yang benar. Bahkan merupakan kekeliruan yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Karena itulah, inti proses pengajaran tidak lain adalah kegiatan belajar peserta didik dalam mencapai suatu tujuan pengajaran.
Tujuan pengajaran tentu saja dapat tercapai jika peserta didik berusaha secara aktif untuk mencapainya. Keaktifan peserta didik di sini tidak hanya dituntut dari segi fisik, tetapi juga dari segi kejiwaan, apabila hanya fisik peserta didik yang aktif, tetapi pikiran dan mentalnya kurang aktif, maka kemungkinan besar tujuan pembelajaran tidak tercapai. Ini sama halnya dengan peserta didik tidak belajar, karena peserta didik tidak merasakan perubahan di dalam dirinya.
Kegiatan belajar mengajar bagi seorang guru membutuhkan hadirnya sejumlah peserta didik. Hal ini berbeda dengan belajar yang tidak selamanya memerlukan kehadiran seorang guru. Cukup banyak aktivitas yang dilakukan oleh seseorang di luar dari keterlibatan guru. Belajar di rumah cenderung menyendiri dan tidak terlalu banyak mengharapkan bantuan orang lain. Apalagi aktivitas belajar itu berkenaan dengan kegiatan membaca buku tertentu.
Mengajar merupakan kegiatan di mana keterlibatan individu peserta didik mutlak adanya. Apabila tidak ada peserta didik atau objek didik yang diajar. Hal
ini perlu sekali disadari guru agar tidak terjadi kesalahan tafsir terhadap kegiatan pengajaran. Karena itu, belajar dan mengajar merupakan istilah yang sudah baku dan menyatu dalam konsep pengajaran atau pendidikan.
Biasanya permasalahan yang guru hadapi ketika berhadapan dengan sejumlah peserta didik adalah masalah pengelolaan kelas. Apa, siapa, bagaimana, kapan, dan di mana adalah serentetan pertanyaan yang perlu dijawab dalam hubungannya dengan masalah pengelolaan kelas. Peran guru itu paling tidak berusaha untuk mengatur suasana kelas yang kondusif bagi kegairahan dan kesenangan belajar peserta didik. Jadi, masalah pengaturan kelas selalu terkait dengan kegiatan guru. Semua kegiatan yang dilakukan guru tidak lain demi kepentingan peserta didik dan demi keberhasilan proses belajar itu sendiri.
Dalam konteks pengajaran, perencanaan dapat diartikan sebagai proses penyusunan materi pelajaran, penggunaan materi pengajaran, penggunaan pendekatan dan metode pengajaran dan penilaian dalam suatu lokasi waktu dilaksanakan pada suatu waktu. Demikian perencanaan akan merespons target pemenuhan pembelajaran yang baik diukur dengan prestasi melalui evaluasi, ataupun pelayanan belajar dilihat dari kesiapan dan strategi yang digunakan.
2.2 Hakikat Tipe Belajar Siswa
Tipe merupakan sesuatu yang dibedakan menurut sifat-sifat seperti arah, minat, perhatian, dan perilaku yang menunjukkan pola-pola kelompok atau jenis-jenis.
Selain itu, tipe juga merupakan suatu khas individu yang dikelompokkan menjadi satu disebabkan mereka memiliki beberapa sifat-sifat kepribadian.
Belajar didefinisikan sebagai usaha memperoleh kepandaian atau ilmu, berupa tingkah laku atau tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman. Belajar merupakan suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.
Jadi, dapatlah disimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses kegiatan yang menimbulkan kelakuan baru atau mengubah kelakuan lama, sehingga seseorang lebih mampu memecahkan masalah dan menyesuaikan diri terhadap situasi- situasi yang dihadapi dalam hidupnya. Sedangkan pengertian tipe-tipe belajar yaitu suatu sifat khas yang dimiliki setiap individu yang membedakan dengan individu lainnya dalam proses perubahan tingkah laku sehingga seseorang
memiliki kemampuan dalam hidupnya seperti kecakapan intelektual, pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Karena setiap individu memiliki tipe atau sifat yang berbeda-beda, maka sudah merupakan suatu kepastian bahwa dalam belajar setiap siswa tentu memiliki tipe-tipe yang berbeda pula. Misalnya, setiap individu atau siswa berbeda satu sama lain dalam tingkat kecerdasannya, minat, emosinya, serta pemikiran. Demikian pula dalam belajarnya, ada yang lamban dan ada yang cepat, ada yang mampu belajar sendiri dan ada pula yang berkelompok dan sebagainya, sehingga para ahli berpendapat bahwa setiap jenis belajar merupakan suatu proses belajar tersendiri yang kekhususannya sendiri, yang membedakan dari jenis belajar lain. Namun, semua jenis belajar itu merupakan suatu proses belajar yang menunjukkan gejala-gejala yang terdapat pada semua proses belajar.
2.3 Macam-Macam Tipe Belajar Secara Umum
Setiap siswa atau peserta didik tentunya memiliki tipe belajar yang berbeda satu sama lainnya. Dengan demikian, sudah merupakan suatu kepastian bahwa tipe- tipe belajar itu bermacam-macam pula, para ahli kebanyakan dari psikolog, membagi tipe-tipe belajar itu kedalam berbagai macam tipe.
1. Tipe mendengarkan (auditif).
2. Tipe penglihatan (visual).
3. Tipe merasakan.
4. Tipe motorik.
Keempat macam-macam tipe-tipe di atas dapat diketahui bahwa tipe mendengarkan merupakan tipe seorang siswa yang hanya dapat menerima informasi dengan baik apabila ia mendengarkan secara langsung. Kemudian tipe penglihatan adalah tipe seorang siswa yang dalam menerima pelajaran dengan baik bila ia melihat secara langsung. Tipe merasakan adalah tipe seorang siswa yang dapat menerima informasi dengan baik bila ia melakukan sendiri secara langsung. Tipe motorik adalah tipe seorang yang hanya dapat menerima informasi dengan baik bila ia melakukan sendiri secara langsung.
Selain itu tipe belajar juga dapat dibagi ke dalam enam tipe sebagai berikut 1. Tipe siswa yang visual.
2. Tipe siswa yang auditif.
3. Tipe siswa yang taktil.
4. Tipe siswa yang olpaktoris.
5. Tipe siswa yang gustative.
6. Tipe siswa yang campuran (combinative)
2.3.1 Tipe siswa yang visual (lebih mudah belajar melalui penglihatan)
Tipe belajar siswa yang visual ini merupakan cara mereka yang mengandalkan aktivitas belajarnya kepada materi pelajaran yang dilihatnya. Jadi yang menjadi peranan penting dalam cara belajarnya adalah mata atau penglihatan. Dikatakan demikian karena satu-satunya alat indra yang aktif dan dominan adalah mata.
Oleh sebab itu baginya alat peraga adalah sangat penting artinya untuk membantunya dalam penyerapan materi yang disampaikan padanya. Untuk siswa yang bertipe visual ini, cara belajarnya adalah dengan memakai stabilan untuk mencoret-coret kata yang dianggap penting agar ia cepat melihatnya bahwa ini adalah untuk dimengerti.
2.3.2 Tipe siswa yang auditif (lebih mudah belajar melalui pendengaran)
Siswa yang bertipe auditif ini mengandalkan kesuksesan belajarnya pada alat pendengarannya yaitu telinga. Bagi siswa yang bertipe begini materi pelajaran yang disampaikan kepadanya lebih cepat atau mudah diserapnya apabila materi disajikan secara lisan. Siswa yang bertipe auditif ini, mengharuskan seorang guru bersuara besar dan intonasinya tepat sehingga materi yang disajikan dapat berhasil dengan baik. Pendidik dalam menghadapi siswa yang bertipe seperti ini dituntut untuk bertindak bijaksana agar dapat melihat siswa yang pendengarannya agak kurang baik untuk diperhatikan lebih dari teman sekelasnya. Siswa yang bertipe auditif, cara belajarnya adalah apabila ia membaca harus dengan suara yang keras sebab alat indra yang dominan dalam belajarnya adalah telinga.
2.3.3 Tipe siswa yang taktil (lebih mudah belajar melalui perabaan)
Taktil berarti perabaan atau sentuhan. Siswa yang bertipe taktil merupakan siswa yang mengandalkan penyerapan hasil pendidikan/pengajaran melalui alat peraba yaitu tangan dan kulit atau bagian luar tubuh. Siswa yang bertipe ini dengan melalui alat perabanya ia sangat cekatan mempraktikkan hasil pendidikan/pengajaran yang diterimanya seperti ia disuruh mengatur ruang ibadah, menentukan buah-buahan yang sudah busuk, walaupun ia tidak melihatnya, dengan sentuhan tangannya ia segera mengetahui benda yang dirabanya. Cara belajar siswa yang bertipe seperti ini adalah mempraktikkan secara langsung dengan tangannya karena dengan sentuhan tangannya ia dapat mengetahui benda yang dirabanya.
2.3.4 Tipe siswa yang olfaktoris (lebih mudah belajar melalui penciuman)
Siswa yang bertipe olfaktoris yaitu siswa yang mudah mengikuti pelajaran dengan menggunakan alat indranya yaitu alat penciuman. Apabila ada materi pelajaran yang menggunakan penciuman seperti bau air atau cairan ia sangat bereaksi dibanding dengan teman-temannya yang tidak bertipe demikian. Siswa yang bertipe olfaktoris ini akan lebih cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan. Siswa yang demikian lebih mudah belajar dengan hal-hal yang berhubungan dengan bau-bauan seperti mengetahui makanan yang sudah basi dan sebagainya. Cara belajar siswa yang bertipe seperti ini adalah mencium segala sesuatu yang ada disekitarnya walaupun tidak melihat secara langsung karena alat indranya yang paling berfungsi adalah hidung.
2.3.5 Tipe siswa yang gustative (lebih mudah belajar melalui kemampuan mencicipi)
Siswa yang bertipe gustative (kemampuan mencicipi) adalah siswa yang dalam belajarnya mengandalkan kecakapan lidahnya. Siswa yang bertipe ini akan lebih cepat memahami apa yang dipelajarinya melalui indra kecapnya untuk mengetahui berbagai rasa asam, manis, pahit, dan sebagainya. Dalam berwudu misalnya, siswa yang bertipe ini akan mengetahui kalau air sudah berubah rasa sehingga diragukan kesuciannya. Cara belajar siswa yang bertipe seperti ini
adalah dengan mencicipi karena alat indranya yang paling berfungsi dalam belajarnya adalah lidahnya.
2.3.6 Tipe belajar campuran (combinative)
Peserta didik yang mempunyai tipe campuran ini mengakuti pelajaran dengan menggunakan indranya lebih dari satu. Siswa seperti ini dapat mendengarkan radio sambil membaca buku. Untuk siswa yang bertipe campuran ini diperlukan keterampilan bagi seorang guru untuk memilih media atau alat peraga yang sesuai dalam menyampaikan materi pelajaran. Untuk siswa yang sesuai dalam menyampaikan materi pelajaran. Untuk siswa yang bertipe kombinatif ini cara belajarnya adalah bisa mengeraskan kalau ia membaca dan mencoret-coret kata yang dianggap perlu karena alat indra yang berfungsi dalam belajarnya lebih dari satu.
Di samping keenam tipe belajar di atas, ada pula tipe belajar lainnya yaitu bertipe belajar kelompok dan bertipe belajar sendiri. Siswa tergolong bertipe belajar sendiri, apabila ia mengulangi kembali apa yang telah ia pelajari di sekolah setelah tiba di rumah atau di ruangan khusus yang jauh dari tempat-tempat keributan. Sedangkan siswa yang bertipe belajar kelompok akan lebih berhasil bila dibantu dengan suasana berkelompok dengan sejumlah teman-temannya.
Dengan cara berkelompok, siswa juga dapat tolong-menolong seperti yang pandai menolong yang kurang pandai, yang kurang bersemangat dapat dibantu oleh temannya yang lain.
2.4 Tipe-Tipe Belajar Secara Khusus
Tipe belajar dapat juga dibagi ke dalam delapan macam tipe yang dipandang sebagai tahap-tahap yang saling mendasari mulai dari tahap yang di bawah.
Namun, tidak dapat dipastikan, bahwa tipe 1 menjadi landasan bagi tipe 2 sampai dengan tipe 7, karena itu urutan hirarkis baru dimulai pada tipe 2 ke atas.
Urutan secara hirarkis adalah bahwa tipe-tipe belajar itu saling mendasari yakni tipe belajar yang di bawah menjadi landasan bagi tipe belajar tipe di atasnya.
Artinya, siswa yang tidak mengenai tipe belajar keempat, misalnya akan mengalami kesulitan dalam tipe kelima sampai tipe kedelapan.
Delapan tipe belajar yang dimaksud adalah 1. Belajar sinyal (Conditioning ala Paviov)
2. Belajar perangsang-reaksi dengan medapat penguatan (Conditioning ala Skinner)
3. Belajar membentuk rangkaian gerak-gerak (Chaining Motorik) 4. Belajar asosiasi verbal (Chaining Verbal)
5. Belajar diskriminasi yang jamak (Multiple discrimination) 6. Belajar konsep (Concept learning)
7. Belajar kaidah (Rule learning)
8. Belajar memecahkan masalah (Problem solving).
2.4.1 Tipe belajar sinyal (Conditioning ala Paviov)
Nama tipe belajar tipe ini diberikan oleh penemunya yaitu Ivan Paplov. Belajar dalam hal ini adalah sesuatu menjadi tanda bagi hal yang lain untuk menimbulkan reaksi. Pokok dalam belajar adalah stimulus dan respons. Lama- kelamaan stimulus itu menimbulkan reaksi misalnya, anak kecil belajar untuk tidak memanjat pohon, bukan karena anak itu pernah jatuh dari pohon, akan tetapi setiap kali ia memanjat ibunya selalu memukulnya atau paling tidak ibunya berkata keras jangan padanya. Dengan sendirinya anak merasa takut apabila ia dekat-dekat dengan pohon sehingga lama-kelamaan terbentuklah hubungan antara memanjat pohon dan tindakan ibu. Dengan demikian, memanjat pohon tanda (signal) bagi anak tersebut akan menyusul hukuman ibu.
Akhirnya, anak itu tidak akan pernah lagi memanjat pohon meskipun ibunya tidak ada didekatnya.
2.4.2 Tipe belajar perangsang-reaksi dengan mendapat penguatan (Conditioning ala Skinner)
Tipe belajar ini diselidiki oleh Skinner di mana unsur pokok dalam tipe belajar ini adalah peneguhan dan penguatan. Penguatan atau peneguhan dalam tipe belajar ini adalah perbuatan atau reaksi yang salah tidak mendapat peneguhan.
Misalnya seorang anak yang baru saja belajar bahasa asing diberi peneguhan setiap kali ia berbuat yang tepat atau menjawab dengan benar supaya lain kali ia melakukan sesuatu yang sama. Bentuk penguatan dapat berupa pemberian hadiah seperti buku tulis, pujian, dengan kata-kata atau izin untuk melakukan sesuatu yang disenangi anak.
2.4.3 Tipe belajar membentuk rangkaian gerak-gerak (Chaining motorik)
Dalam belajar semacam ini, terdapat sejumlah langkah atau gerakan sebagai mata rantai dalam keseluruhan rangkaian gerakan yang dilakukan secara berurutan. Dengan demikian, seorang anak atau siswa harus mampu melakukan suatu gerakan menyusul gerakan seperti main bola volley di sekolah, dalam mata pelajaran olahraga, beberapa gerakan harus dilakukannya, mulai dari cara memegang bola sampai dengan cara memukul dengan tepat.
2.4.4 Tipe belajar asosiasi verbal atau belajar menghubungkan (Chaining Verbal)
Suatu kata dengan suatu objek yang berupa benda, orang atau kejadian dan merangkaikan sejumlah kata dalam urutan yang tepat. Misalnya, kalau kita perlihatkan ayat-ayat kepada anak memberikan nama (cap verbal) pada objek itu adalah Al-Qur’an. Belajar asosiasi verbal yang lain misalnya anak belajar merangkaikan kata-kata dalam sejumlah kalimat seperti menghafal lagu qasidah. Demikian pula dengan membentuk rangkaian kata menggunakan cara menghafal yang mudah seperti dalam singkatan, misalnya MUI adalah singkatan dari Majelis Ulama Indonesia, Pangkopkamtib adalah singkatan dari Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban dan lain sebagainya.
2.4.5 Tipe belajar diskriminasi yang jamak atau belajar berdasarkan diskriminasi (Multiple discrimination)
Dalam belajar seperti ini, adalah tipe belajar berdasarkan diskriminasi. Belajar berdasarkan diskriminasi banyak terdapat dalam kehidupan sehari-hari. Kita dapat membedakan bentuk, warna, lokasi, luas, nada, huruf, nama-nama, wajah orang, peristiwa, rasa minuman dan makanan, suhu, dan sebagainya. Cara belajar diskriminasi ini sangat berfungsi kalau siswa belajar mengaji atau dalam mata pelajaran Qur’an dan Hadits yaitu siswa harus membedakan huruf-huruf hijaiyah dengan tepat agar tidak menimbulkan salah arti, misalnya bunyi “kaf’”
berbeda dengan bunyi “Qaf”, dan lain sebagainya.
2.4.6 Tipe belajar konsep (concept learning)
Konsep adalah satuan arti yang mewakili sejumlah objek yang memiliki ciri-ciri yang sama. Dengan konsep, sesuatu kita ketahui mempunyai sifat yang terdapat
dalam suatu benda yaitu apakah dinyatakan dengan nama, bentuk, ukuran, maupun warna. Konsep atau pengertian terdapat benda yang konkret (nyata) dapat diperoleh lewat pengamatan sedangkan terhadap benda non konkret (abstrak) dapat diketahui dengan definisi. Namun, kalau siswa tidak mempunyai pengertian tentang suatu benda sebelumnya, sulitlah bagi siswa tersebut untuk menggolong-golongkan benda itu mana yang termasuk kacang, padi, dan wortel.
2.4.7 Tipe belajar kaidah (rule learning)
Pada tipe belajar di atas (tipe keenam) siswa telah mengetahui konsep-konsep suatu benda. Konsep tersebut dihubungkan atau dikombinasikan satu sama lain sehingga lahirlah sesuatu yang disebut kaidah. Misalnya ketika siswa belajar matematika yakni konsep tiga kali konsep empat sama dengan 12 (3x4=12).
Belajar kaidah ini sangat banyak dijumpai dalam mata pelajaran di tingkat Tsanawiah dan Aliyah seperti mata pelajaran Bahasa Arab (nahu), Bahasa Inggris (grammar) atau kaidah Ushul Fiqih.
2.4.8 Tipe belajar memecahkan masalah (problem solving)
Mempelajari kaidah seperti pada tipe tujuh di atas memegang peranan penting terutama dalam tipe belajar ini, yakni memecahkan masalah. Masalah yang dihadapi dapat dipecahkan dengan cara menghubungkan-hubungkan beberapa kaidah sedemikian rupa sehingga terbentuklah suatu pelajaran baru karena dengan memecahkan masalah siswa harus berpikir dengan menggunakan kaidah-kaidah yang sudah diketahui sebelumnya. Dalam hal ini, penguasaan aturan-aturan seperti prasyarat untuk memecahkan masalah.
Langkah-langkah dalam memecahkan masalah sebagai berikut.
1. Menyadari adanya masalah.
2. Melihat hakikat masalah dengan jelas.
3. Berpegang teguh pada pokok-pokok masalah, selama kita menyelidikinya.
4. Mengajukan hipotesis.
5. Mengumpulkan data atau informasi.
6. Analisis dan sintesis data.
7. Mengambil keputusan/kesimpulan.
8. Mencoba dan melaksanakan kesimpulan.
9. Menilai kembali keseluruhan pemecahan masalah.
Dengan memperhatikan hal-hal di atas, maka pendidik mampu melakukan proses pembelajaran dengan baik dan hasilnya sesuai apa yang sudah dicantumkan dalam rencana pembelajaran.
Bab 3 Tujuan dan Motivasi Belajar
3.1 Pendahuluan
Motivasi adalah konstruksi teoritis yang digunakan untuk menjelaskan inisiasi, arah, intensitas, ketekunan, dan kualitas perilaku, terutama perilaku yang diarahkan pada tujuan (Maehr and Meyer, 1997). Motif adalah konstruksi hipotesis yang digunakan untuk menjelaskan mengapa orang melakukan dan apa yang mereka lakukan. Motif dibedakan dari tujuan terkait (tujuan langsung dari tindakan). dan strategi (metode yang digunakan untuk mencapai tujuan dan dengan demikian untuk memenuhi motif). Misalnya, seseorang menanggapi kelaparan (motif) dengan pergi ke restoran (strategi) untuk mendapatkan makanan (tujuan).
Menurut (Brophy, 2004) motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya “feeling” dan didahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan. Motivasi merupakan daya penggerak/pendorong untuk melakukan sesuatu pekerjaan yang bisa berasal dari dalam diri maupun dari luar.
Menurut (Salili, Chiu and Hong, 2001) motivasi adalah kondisi yang muncul dalam diri individu yang disebabkan oleh interaksi antara motif dengan kejadian-kejadian yang diamati oleh individu, sehingga mendorong mengaktifkan perilaku menjadi tindakan nyata. Motivasi belajar merupakan
daya penggerak psikis dari dalam diri seseorang untuk dapat melakukan kegiatan belajar dan menambah keterampilan, pengalaman (Hollins, 2017).
Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa motivasi belajar merupakan suatu dorongan baik dari dalam diri siswa maupun dari luar yang akan menimbulkan suatu perubahan pada diri individu tersebut sebagai pengalaman dari individu itu sendiri dalam berinteraksi dengan lingkungannya dan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Motivasi memiliki pengaruh terhadap perilaku belajar siswa, yaitu motivasi mendorong meningkatnya semangat dan ketekunan dalam belajar. Motivasi belajar memegang peranan yang penting dalam memberi gairah, semangat dan rasa senang dalam belajar sehingga siswa yang mempunyai motivasi tinggi, mempunyai energi yang banyak untuk melaksanakan kegiatan belajar yang pada akhirnya akan mampu memperoleh prestasi yang lebih baik (McMillan, 2018).
3.2 Perspektif Perkembangan Motivasi
3.2.1 Teori Penguatan Perilaku
Sebagian besar pandangan kontemporer tentang motivasi menekankan pada aspek kognitif dan berorientasi tujuannya. Penguatan prilaku sebagai mekanisme utama untuk membangun dan mempertahankan pola perilaku.
Penguat adalah segala sesuatu yang meningkatkan atau mempertahankan perilaku yang berdampak pada kinerja perilaku itu. Misalnya, pekerjaan yang cermat pada tugas dapat diperkuat dengan memberikan pujian verbal atau tertulis, memberikan nilai tinggi, membubuhkan bintang, memungkinkan akses ke beberapa hak istimewa, memberikan poin yang dapat ditukar dengan hadiah, atau dengan cara lain memberi kompensasi kepada siswa atau mengakui prestasi mereka dengan memberikan hadiah (Larson, 2009).
Dalam menjelaskan bagaimana membangun dan mempertahankan pola perilaku yang diinginkan, behavioris biasanya berbicara tentang kontrol daripada motivasi. Mereka berbicara tentang menggunakan penguatan untuk membawa perilaku di bawah kontrol stimulus. Stimulus adalah isyarat situasional yang mengingatkan peserta didik bahwa melakukan pola perilaku tertentu dalam situasi ini akan mendapatkannya akses ke penguatan. Jika peserta didik tidak dapat melakukan pola ini segera, perbaikan bertahap terhadap tingkat
target dibentuk melalui pendekatan berturut-turut. Setelah pola yang diinginkan ditetapkan, itu dipertahankan dengan memastikan kelanjutannya (Sullo, 2010).
Model penguatan perilaku masih ditekankan dalam analisis perilaku terapan, terutama dalam psikologi sekolah dan pendidikan khusus (Landrum and Kauffman, 2006). Namun, sebagian besar model perilaku telah berkembang menjadi bentuk yang lebih rumit yang mempertimbangkan pikiran dan niat peserta didik. Sementara itu, model motivasi kognitif berkembang yang menekankan pada pengalaman subjektif peserta didik seperti kebutuhan, tujuan, atau pemikiran terkait motivasi mereka. Model kognitif termasuk konsep penguatan tetapi menggambarkan efeknya melalui kognisi peserta didik.
Artinya, sejauh mana keterlibatan pembelajaran dapat memotivasi peserta didik.
3.2.2 Teori Kebutuhan
Teori kebutuhan adalah salah satu teori motivasi pertama yang muncul sebagai alternatif untuk teori penguatan perilaku. Teori kebutuhan menjelaskan perilaku sebagai tanggapan terhadap kebutuhan yang dirasakan. Kebutuhan dapat berupa bawaan dan universal (pelestarian diri, kelaparan, kehausan) atau dipelajari melalui pengalaman dan dikembangkan ke tingkat yang berbeda dalam budaya dan individu yang berbeda (prestasi, afiliasi, kekuasaan).
Hierarki Kebutuhan Manusia menurut Maslow (Brophy, 2004) menyarankan bahwa kebutuhan berfungsi dalam hirarki diatur dalam urutan prioritas berikut:
1. Kebutuhan fisiologis
2. Kebutuhan keselamatan (kebebasan dari bahaya, kecemasan, atau ancaman psikologis)
3. Kebutuhan cinta (penerimaan dari orang tua, guru, teman sebaya) 4. Kebutuhan harga (pengalaman penguasaan, kepercayaan diri).
5. Kebutuhan untuk aktualisasi diri (ekspresi diri yang kreatif, kepuasan rasa ingin tahu)
Hierarki menyarankan bahwa kebutuhan harus dipenuhi dalam urutan yang diberikan. Kebutuhan fisiologis adalah dasar untuk bertahan hidup, tetapi setelah mereka terpenuhi, selanjutnya dapat diarahkan untuk kebutuhan yang lebih tinggi. Pada proses pembelajaran dikelas, Maslow menyarankan bahwa siswa yang datang ke sekolah dalam keadaan lelah atau lapar tidak dapat mengikuti pembelajaran secara optimal dan pembelajaran dianggap kurang
menyenangkan. Siswa tidak selalu bertindak sesuai dengan hierarki Maslow.
Mereka mungkin kehilangan semangat dalam proses pembelajaran, atau menjadi begitu asyik dalam suatu kegiatan karena mereka dapat mengendalikan diri sendiri, seperti rasa lelah, kelaparan, atau masalah pribadi mereka (Dembo, 2004).
3.2.3 Teori Tujuan
Teori penguatan perilaku menggambarkan tindakan motivasi sebagai reaksi terhadap tekanan, baik secara ekstrinsik atau dari kebutuhan yang dirasakan secara internal. Secara bertahap, teori motivasi mulai mengakui bahwa selain didorong dan ditarik dengan cara ini, kita kadang-kadang lebih proaktif dalam memutuskan apa yang kita inginkan untuk dilakukan dan mengapa. Sebagai mahluk hidup, kita secara alami aktif, sehingga konsep motivasi biasanya tidak diperlukan untuk menjelaskan energi perilaku (mengapa kita melakukan sesuatu). Mereka diperlukan, bagaimanapun, untuk menjelaskan arah, intensitas, ketekunan, dan kualitas perilaku (Salili, Chiu and Hong, 2001).
Perkembangan dari teori motivasi sebagian besar peneliti mengungkapkan pergeseran pembahasan yang berawal dari aspek kebutuhan berubah menjadi aspek tujuan atau hasil yang dimaksudkan dari urutan perilaku yang direncanakan. Tujuan motivasi diterapkan pada aktivitas harian seperti tempat kerja, gimnasium, atau ruang kelas. Di ruang kelas, siswa diharapkan untuk terlibat dalam kegiatan dengan tujuan mencapai hasil pembelajaran yang dimaksudkan. Namun, mereka dapat mengejar tujuan lain di samping atau sebagai gantinya (Hollins, 2017).
(Tyrer, 2010) mengembangkan teori motivasi manusia yang mencakup taksonomi dari 24 tujuan yang diatur dalam enam kategori:
1. Tujuan afektif: hiburan, ketenangan, kebahagiaan, dan kesejahteraan fisik.
2. Tujuan kognitif: eksplorasi untuk memuaskan rasa ingin tahu seseorang, mencapai pemahaman, terlibat dalam kreativitas intelektual, dan mempertahankan evaluasi diri yang positif.
3. Tujuan organisasi subjektif: kesatuan (mengalami rasa harmoni spiritual atau kesatuan dengan orang, alam, atau kekuatan yang lebih besar) dan transendensi.
4. Tujuan hubungan sosial yang tegas: mengalami rasa individualitas, selfdetermination, superioritas (dibandingkan dengan orang lain), dan akuisisi sumber daya (mendapatkan dukungan material dan sosial dari orang lain)
5. Tujuan hubungan sosial integratif: kepemilikan, tanggung jawab sosial (pertemuan kewajiban etis dan sosial seseorang), kesetaraan, dan penyediaan sumber daya (memberikan dukungan material dan sosial kepada orang lain).
6. Tujuan tugas: penguasaan, kreativitas tugas, manajemen (menangani tugas sehari-hari dengan organisasi dan efektivitas), keuntungan material, dan keamanan.
Teori tujuan telah mengembangkan informasi tentang karakteristik situasional yang memprediksi kecenderungan orang untuk mengadopsi tujuan yang berbeda ini. Peneliti motivasi lainnya telah mengeksplorasi pengalaman kognitif dan afektif terkait (harapan keberhasilan atau kegagalan, persepsi self-efficacy, atribusi hasil kinerja terhadap penyebab), dan cara-cara di mana faktor-faktor motivasi ini memengaruhi kualitas keterlibatan orang dalam kegiatan dan tingkat keberhasilan akhir yang mereka capai. Aplikasi kelas teori tujuan menekankan (a) membangun hubungan yang mendukung dan pengaturan pembelajaran kolaboratif yang mendorong siswa untuk mengadopsi tujuan belajar dan (b) meminimalkan jenis tekanan siswa terhadap tujuan kinerja atau tujuan menghindar kerja (Kember, 2016).
3.2.4 Teori Motivasi Instrinsik
Motivasi yang timbul adanya dorongan dari internal diri untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Dalam hal ini motivasi instrinsik akan mendorong seseorang untuk membuat agenda dan strategi untuk mencapai tujuannya. Menurut (Dembo, 2004) ketika orang termotivasi, mereka berniat untuk mencapai sesuatu dan melakukan tindakan berorientasi tujuan. Tindakan termotivasi dapat ditentukan sendiri atau dikendalikan. Sejauh itu ditentukan sendiri, itu dialami sebagai dipilih secara bebas dan berasal dari diri sendiri, tidak dilakukan di bawah tekanan dari beberapa kebutuhan internal atau kepentingan eksternal.
Teori instrinsik timbul dikarenakan adanya dorongan motivasi instrinsik untuk memenuhi tiga kebutuhan dasar psikologis: otonomi (penentuan nasib sendiri dalam memutuskan apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya),
kompetensi (mengembangkan dan melatih keterampilan untuk memanipulasi dan mengendalikan lingkungan), dan keterkaitan (afiliasi dengan orang lain melalui hubungan prososial). Dengan kata lain, orang secara inheren termotivasi untuk merasa terhubung dengan orang lain dalam lingkungan sosial, untuk berfungsi secara efektif di lingkungan itu, dan untuk merasakan inisiatif pribadi saat melakukannya. Siswa cenderung mengalami motivasi intrinsik di ruang kelas yang mendukung kepuasan otonomi ini, kompetensi, dan keterkaitan kebutuhan. Di mana jika dukungan tersebut kurang, siswa akan merasa dikendalikan daripada menentukan sendiri, sehingga motivasi mereka dikendalikan dari luar (ekstrinsik) daripada motivasi intrinsik (Sansone, 2008).
Sansone (2008) menyarankan agar guru dapat mendorong pengalaman aliran dalam tiga cara:
1. Memahami tentang mata pelajaran mereka, mengajar mereka dengan antusias, dan bertindak sebagai model motivasi intrinsik pada proses pembelajaran;
2. Mempertahankan kecocokan optimal antara apa yang diminta dan apa siswa siap untuk mencapai (mendesak tetapi juga membantu siswa untuk mencapai tantangan tetapi tujuan yang wajar);
3. Memberikan kombinasi dukungan instruksional dan emosional yang memungkinkan siswa untuk menyelesaikan tugas belajar dengan percaya diri dan tanpa kecemasan.
Tabel 3.1: Kondisi Manusia dan Implikasi Dari Teori Motivasi (Brophy, 2004)
Teori Motivasi
Kondisi Manusia Implikasi Motivasi
Teori Penguatan Prilaku
Reaktif terhadap penguatan eksternal dan isyarat situasional terkait
Isyarat dan memperkuat perilaku belajar yang diinginkan (perhatian terhadap pelajaran, kerja yang cermat pada tugas, dll.)
Teori Kebutuhan
Reaktif terhadap tekanan yang dirasakan dari kebutuhan internal
Pastikan bahwa kebutuhan yang bersaing terpenuhi atau setidaknya diredam sehingga siswa dapat fokus pada penguasaan dan kebutuhan terkait prestasi; merancang
kurikulum dan instruksi untuk membantu mereka memenuhi kebutuhan tanpa kesulitan
Teori Tujuan
Baik reaktif maupun proaktif dalam merumuskan dan mengkoordinasikan tujuan sehingga dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan
Mengkoordinasikan iklim kelas, kurikulum, instruksi, dan praktik penilaian sehingga mendorong siswa untuk mengadopsi tujuan pembelajaran
Teori Instrinsik
Secara mandiri menentukan tujuan dan mengatur tindakan untuk mengejar kepentingan,
mendapatkan kepuasan
Menekankan konten kurikulum dan kegiatan belajar yang berhubungan dengan minat siswa; memberikan kesempatan bagi mereka untuk membuat pilihan dalam memutuskan apa yang harus dilakukan dan untuk melaksanakan otonomi dalam melakukannya.
3.3 Tujuan dan Fungsi Motivasi
Hasil belajar akan lebih optimal apabila ada motivasi. (Dangnga and Muis, 2015) mengemukakan tiga fungsi motivasi, yakni:
1. Mendorong manusia untuk berbuat. Motivasi di sini diartikan sebagai penggerak dari setiap kegiatan yang akan dilakukan manusia.
2. Menentukan arah perbuatan, yakni ke arah tujuan yang hendak dicapai.
3. Menyeleksi perbuatan, yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan, dengan menyisihkan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut.
Selanjutnya (Sansone, 2008) menjelaskan bahwa fungsi motivasi dalam belajar adalah sebagai berikut:
1. Memberi semangat dan mengaktifkan peserta didik supaya tetap berminat dan siaga.
2. Memusatkan perhatian peserta didik pada tugas-tugas tertentu yang berhubungan dengan pencapaian tujuan belajar.
3. Membantu memenuhi kebutuhan akan hasil jangka pendek.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa fungsi motivasi dalam belajar antara lain mendorong peserta didik agar mempunyai semangat untuk belajar, menggerakkan kekuatan dalam diri peserta didik untuk belajar dan mengarahkan aktivitas-aktivitas peserta didik dalam belajar. Secara umum tujuan motivasi adalah untuk menggerakkan atau menggugah seseorang agar secara sadar dan sengaja timbul keinginan dan kemampuannya untuk melakukan sesuatu sehingga dapat memperoleh hasil dan mencapai tujuan yang diinginkan. Bagi seorang guru tujuan motivasi adalah untuk menggerakkan minat atau memacu para siswanya agar timbul suatu keinginan dan kemauannya untuk meningkatkan prestasi dalam belajar sehingga akan tercapai tujuan pendidikan sesuai dengan yang diharapkan dan ditetapkan di dalam kurikulum sekolah (Dangnga and Muis, 2015).
3.4 Stimulus dan Sosialisasi Motivasi Belajar
Sebagian besar saran motivasi yang biasanya ditawarkan kepada guru memiliki prinsip sebagai berikut: Cari tahu topik apa yang ingin dipelajari siswa dan kegiatan apa yang mereka sukai, kemudian tuangkan rencana tersebut ke dalam kurikulum dan lakukan evaluasi. Prinsip ini sangat berguna, tetapi membangun motivasi siswa merupakan peranan yang harus dilakukan oleh guru. Jika Anda membatasi diri untuk menanggapi orientasi motivasi yang dibawa siswa maka, Anda akan membatasi pilihan Anda dan gagal memanfaatkan peluang untuk memandu pengembangan motivasi mereka ke arah yang diinginkan (Hollins, 2017).
Setiap orang dilahirkan dengan potensi untuk mengembangkan berbagai disposisi motivasi. Sebagian besar, terutama disposisi tingkat yang lebih tinggi seperti motivasi untuk belajar, dikembangkan secara bertahap melalui paparan kesempatan belajar dan pengaruh sosialisasi. Motivasi untuk belajar merupakan skema wawasan, keterampilan, nilai, dan disposisi yang terhubung yang memungkinkan siswa untuk memahami apa artinya terlibat dalam kegiatan
belajar dengan tujuan mencapai tujuan mereka dan dengan kesadaran akan strategi yang mereka gunakan dalam mencoba melakukannya (Dembo, 2004).
Pengembangan motivasi untuk belajar dan terkait motif aktualisasi diri sangat tergantung pada pemodelan dan sosialisasi oleh orang dewasa, baik di rumah maupun di sekolah. Siswa yang belum memiliki banyak paparan terhadap aspek kognitif motivasi ini dapat melihat kegiatan sekolah sebagai tuntutan yang dipaksakan daripada sebagai kesempatan belajar. Oleh karena itu, selain memanfaatkan motivasi siswa yang ada, maka sebaiknya seorang guru dapat merangsang dan mensosialisasikan motivasi untuk belajar. Upaya motivasi sehari-hari ini harus memiliki efek kumulatif yang mendorong siswa Anda untuk mengembangkan motivasi untuk belajar sebagai disposisi abadi. Selain itu, Anda dapat mensosialisasikan disposisi ini secara lebih langsung, menggunakan strategi yang terencana (Larson, 2009).
3.5 Strategi Untuk Mendorong Motivasi Belajar
Motivasi sangat dibutuhkan dalam proses pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran. Kegiatan pembelajaran diharapkan dapat menjaga motivasi siswa yang berorientasi pada tujuan mengembangkan pengetahuan dan keterampilan dengan cara yang mendukung pemahaman, apresiasi, dan aplikasi kehidupan.
Pada konteks pendekatan ini, ada beberapa strategi dapat digunakan untuk menginduksi motivasi untuk belajar dalam kondisi tertentu.
3.5.1 Konflik Kognitif
Seorang guru menggunakan disonansi untuk merangsang rasa ingin tahu siswa tentang kekaisaran Persia dengan menjelaskan bahwa Darius sangat populer di kalangan orang-orang yang ditaklukkan dan meminta siswa untuk menganalisis, mengapa hal itu bisa terjadi, berikan alasan anda. Atau dengan menceritakan kisah Perang Troya "bagaimana hanya satu kuda yang memungkinkan orang- orang Yunani untuk memenangkan pertempuran besar melawan suku Trojan."
Yang lain menyajikan video tentang jatuhnya Kekaisaran Romawi dengan mengatakan, " faktor-faktor apa yang menyebabkan jatuhnya Kekaisaran Romawi" (McMillan, 2018)
3.5.2 Perubahan konseptual mengajar
Terdapat miskonsepsi dalam proses pembelajaran. Misalnya, tanaman berperan sebagai produsen makanan melalui proses fotosintesis. Pemahaman siswa tentang fotosintesis masih kurang sehingga beranggapan bahwa kebutuhan tumbuhan dan manusia itu sama. Untuk memahami hal tersebut, siswa harus merestrukturisasi pemikiran mereka tentang sifat makanan, dengan fokus pada definisi ilmiahnya sebagai energi potensial untuk metabolisme daripada penalaran dengan analogi dari pengalaman mereka sebelumnya. (Tyrer, 2010) menyarankan bahwa empat kondisi harus dipenuhi jika siswa harus diinduksi untuk mengubah pemahaman mereka: (a) ketidakpuasan dengan konsep yang ada harus diinduksi dan konsep-konsep baru (b) dapat dimengerti oleh siswa, (c) masuk akal, dan (d) bermanfaat. Ide-ide ini mendasari apa yang telah dikenal sebagai pengajaran perubahan konseptual (Landrum and Kauffman, 2006).
(Sullo, 2010) menggunakan pengajaran perubahan konseptual untuk membantu siswa sekolah menengah memahami produksi makanan pada tanaman. Mereka mulai dengan meminta siswa untuk mendefinisikan makanan dan makanan untuk tanaman dan menanggapi masalah tersebut. Ini memberikan informasi tentang konsepsi awal siswa dan membuat siswa lebih sadar. Selanjutnya, mereka memberi siswa penjelasan tentang berbagai cara mendefinisikan makanan, termasuk definisi ilmiahnya. Kemudian mengajukan pertanyaan yang memungkinkan siswa untuk memahami bagaimana definisi makanan baru ini dapat menjelaskan fenomena sehari-hari (Apakah makanan itu? Air? vitamin?
Bisakah orang hidup dengan vitamin saja? Mengapa atau mengapa tidak?).
Mereka juga meminta siswa untuk menulis ide-ide mereka tentang bagaimana tanaman mendapatkan makanan, dan untuk siklus bagaimana makanan terbentuk di dalam tanaman (Salili, Chiu and Hong, 2001).
Ketika mereka menggali informasi tentang bagaimana tanaman memproduksi makanan, siswa dapat melakukan pengamatan eksperimental pada tanaman, diskusi tentang kesamaan dan perbedaan antara tanaman dan hewan, Perbandingan bahan diperlukan tanaman dengan bahan dihasilkan oleh tanaman selama fotosintesis. Kegiatan ini mendorong siswa untuk membuat hubungan antara ide-ide mereka sendiri dan konsep ilmiah, serta untuk menggunakan konsepsi mereka yang baru terstruktur untuk membuat prediksi dan mengembangkan penjelasan yang lebih memuaskan dari fenomena sehari-hari.
Kathleen Roth (2002) menjelaskan model pengajaran perubahan konseptual dengan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:
1. Menetapkan pertanyaan atau masalah dengan cara yang melibatkan siswa dan kemudian siswa memberikan ide-idenya tentang hal tertentu.
2. Melibatkan siswa dalam mengeksplorasi fenomena yang berkaitan dengan pertanyaan atau masalah (sebaiknya melalui pengalaman langsung yang akan menantang mereka), memungkinkan mereka kesempatan untuk memikirkan ide-ide mereka, mengumpulkan bukti baru, dan pertimbangkan apakah ide-ide awal mereka masih masuk akal
3. Setelah siswa menyadari perlunya ide-ide baru, memberikan penjelasan secara ilmiah dan mendorong siswa untuk membandingkannya dengan ide-ide mereka sebelumnya.
4. Memberikan kesempatan siswa untuk menerapkan konsep-konsep ilmiah untuk menjelaskan situasi dunia nyata.
5. Melibatkan siswa dalam merenungkan bagaimana ide-ide mereka telah berubah dan mengeksplorasi hubungan antara ide-ide ilmiah yang baru dipelajari dan ide-ide lain.
3.5.3 Pemberian Apresiasi
memberikan apresiasi kepada siswa terhadap kreativitas, capaian, dan aktivitas lainnya sangat diperlukan untuk menimbulkan motivasi. Menyampaikan tujuan pembelajaran dan materi yang akan dipelajari diawal pertemuan sangat diperlukan, hal ini akan memengaruhi motivasi siswa untuk mengikuti proses pembelajaran. Melibatkan siswa untuk menemukan masalah dan solusi terhadap masalah tersebut, hal ini juga dapat meningkatkan motivasi dan semangat belajar.
Tyrer (2010) menjelaskan bahwa ketika guru memperkenalkan kegiatan dengan penekanan pada nilai kegiatan atau pengetahuan dan keterampilan yang akan dikembangkan di dalam kegiatan tersebut. Sansone, Weir, Harpster, dan Morgan (1992) dan Reeve, Jang, Hardre, dan Omura (2002) melaporkan manfaat yang sama untuk memberi tahu siswa tentang pentingnya materi pembelajaran.
Keller (2016) merekomendasikan enam strategi untuk meningkatkan persepsi siswa tentang relevansi materi: menghubungkan materi dengan pengalaman siswa, keterampilan, dan minat; menekankan nilai materi saat ini (bagaimana siswa dapat menggunakannya dalam kehidupan mereka sekarang); menekankan kegunaan materi di masa depan; menghubungkan materi dengan kebutuhan siswa; memungkinkan kreativitas siswa dalam menentukan bagaimana mencapai tujuan; dan menggunakan pemodelan secara mandiri.
Ada 12 strategi untuk membuat siswa memahami nilai dari materi dalam pembelajaran menurut Kember (2016), siswa meminta untuk menilai seberapa sering guru mereka menggunakannya:
1. Menggunakan contoh untuk membuat konten relevan bagi siswa 2. Memberikan penjelasan yan