Bentuk Benteng Somba Opu: Sumber Historis
1Horst Liebner
Bentuk Benteng Somba Opu agak susah direkonstruksikan: Struktur-struktur yang kini masih berdiri hanya sebagian dari keseluruhannya, dan –sebagaimana dibahas di bawah ini– berbeda dari penggambaran bentuknya yang bisa kita garap dari sumber-sumber sezamannya. Sumber yang tersedia terdiri dari beberapa ‘peta’ dan pandangan yang dibuat oleh perwira-perwira VOC dan dicetak antara 1637 dan sekitar 1660, catatan saksi mata asing serta beberapa catatan pendek dalam naskah-naskah lokal. Disebabkan terbatasnya sumber yang tersedia maka kami di sini hanya dapat menggambarkan beberapa dari sekian banyak informasi yang sebenarnya ada: Terutama surat-surat administrasi kedua kompeni dagang India Timur asal Belanda (Vereenigde Oostindische Compagnie – VOC) dan Inggeris (East India Company – EIC) yang terdapat dalam arsip-arsip di Den Haag dan London mestinya diberikan perhatian yang lebih mendalam.
1. Sumber Lokal
Dalam tulisan lokal yang dikenali sebagai lontaraq hanya terdapat sedikit sekali informasi mengenai pembangunan dan bentuk Benteng Somba Opu. Dalam sumber yang sempat kami periksa terdapat catatan-catatan berikut ini:
a. Lontaraq Sejarah Gowa, Naskah Musium Nasional Jakarta VT59:
“Karaeang ambata nideqdeki Gowa siagang Sombopu” – ‘Karaeng [Tunipalangga, memerintah ca. 1547-65] membuat [dengan cara memasak] batu bata [bagi] Gowa maupun Somba Opu.’
b. Lontaraq Sejarah Gowa, dlm B.F. Matthes 1883: Makassarsche Chrestomathie. Nijhoff,
‘s-Gravenhage2:
“Iatommi karaeang ambata nideqdeki Gowa siagang Somba Opu anjo Karaeanga Tumapaqrisiq Kallonna ambata buttai” – ‘Ialah [Tunipalangga] karaeng yang membuat [dengan cara memasak]
batu bata [bagi] Gowa maupun Somba Opu. Karaeng Tumapaqrisiq Kallonna [pendahulu Tunipalangga] membuat bata dari tanah [saja].’
Kalimat mengenai Benteng Somba Opu ini hanya terdapat dalam tiga dari sekian banyak versi naskah Sejarah Gowa saja; teks-teks lain hanya menyebutkan bahwa Tunipalangga adalah raja pertama yang ‘memagari benteng’ serta ‘menempatkan meriam besar secara berbaris di atas benteng-benteng’3. Adanya ‘meriam secara berbaris …’ semestinya menandai bahwa konstruksi tembok-tembok yang dipasangi meriam itu cukup kuat dan tidak terbuat dari tanah saja. Tidak satupun naskah Sejarah Gowa menyebutkan detil perang melawan VOC, baik upaya-upaya
1 Tulisan ini didasarkan atas salah satu bagian Laporan Zonasi Benteng Somba Opu, BP3 Makassar, Januari 2011, yang dilengkapi dengan berbagai informasi yang tidak tersedia pada saat laporan awal itu ditulis.
2 Chrestomathie adalah buku cetakan pertama salah satu versi Sejarah Gowa yang disusun atas permintaan B.F.
Matthes, pejabat pemerintah Hindia Belanda di Makassar, 1848-79. Teksnya didasarkan atas naskah-naskah Nederlands Bijbelgenootschap No. 15, 16 dan 208 (Cummings 2007: 15).
3 Cummings 2007: 34, 57 fn.65, 68.
blokade pelabuhan Makassar pada tahun 1630an, serangan tahun 1660 maupun perang 1667-9, dan semua teks yang dikenali berakhir dengan wafatnya Sultan Hasanuddin (1670).
c. Lontaraq Sejarah Tallo, Koningklijk Institut voor de Tropen MS 668/216:
“Iaminne karaeng ambatubatai Talloq […] ambatubatai Jungtana ambatai Jungpandang Panakkukang ampapparekangi timungang nikalo-kalo Sombopu” – ‘Ialah [Karaeng Matoaya, memerintah 1593-1636] membuat tembok batu [bagi] Tallo […] membuat tembok batu [bagi]
Ujung Tanah membuat tembok [bagi] Ujung Pandang [dan] Panakkukang. [Ia] membuat sebuah pintu melengkung di Somba Opu.’
Berdasarkan temuan di lapangan dan deskripsi ini maka Bulbeck (1998: 79) menyimpulkan bahwa sebagian dari fortifikasi Benteng Somba Opu pada awal abad ke-17 diperkuat dengan
“masonry pavement and lining”. Naskah Sejarah Talloq berakhir dengan wafatnya Karaeng Kanjilo I Mapaio Tumammaliang ri Timoroq, 1641.
d. A. Ligtvoet 1880: ‘Vertaling van het Dagboek der Vorsten van Gowa en Tello’. Bijd. KITLV 28.1: 85-230
‘H1041, 17 Safar, M1631, 15 September, Senin. Maccini-dangang [istana Sultan di dalam Benteng Somba Opu] dibangun.’
‘H1043, 23 [nama bulan tidak tercatat], M1634, 24 [idem], Selasa […] Orang membangun sebuah tembok tanah dari Ujung Tanah sampai ke Somba Opu’
‘H1044, 12 Dhū al-Qiʿda, M1635, 30 April, Senin. Tembok di Barombong diperkuat. Penduduk di dalam Somba Opu adalah sebanyak 855 orang’
‘H1045, 7 Muḥarram, M1635, 23 Juni, Sabtu. Rakyat di Somba Opu membangun sebuah tembok kedua dekat pintunya.’
‘H1080, 17 Muḥarram, M1669, 16 Juni, Sabtu/Minggu. Tembok Somba Opu diledakkan.
H1080, 25 Muḥarram, M1669, 24 Juni, Senin. Somba Opu ditaklukkan.’
Bulbeck (1996: 81) berpendapat, bahwa “the 1631-32 preparation of the Maccini’dangang palace involved replacing all of Somba Opu’s old walls with solid brick walls, except the western wall”; ia berspekulasi bahwa tembok sebelah barat itu dibiarkan “to remain as Sultan Abdullah had built it in 1620” (ibid.).
Catatan-catatan tahun 1634/5 berhubungan dengan upaya Makassar untuk memperkuat fortifikasi pertahanan lautnya pada masa konfrontasi pertama dengan VOC yang dibahas di bawah ini; catatan pada 23/06/1635 kemungkinan merujuk kepada pembangunan lapisan tambahan sebelah dalam tembok barat Benteng Somba Opu yang masih terlihat pada struktur yang extant.
Kedua catatan terakhir adalah keterangan satu-satunya mengenai kejatuhan Somba Opu pada serangan terakhir koalisi Bugis-Ternate-Buton-VOC.
2. Catatan Saksi Mata Asing
Dalam arsip-arsip VOC dan EIC terdapat berbagai korespondensi para saudagar yang ditempatkan di Makassar. Meski sebagian besar dari surat-surat itu membahas kegiatan perdagangan (lht., msl., Bassett 1958, Villiers 1990), di dalamnya terdapat pula beberapa
‘catatan pinggiran’ yang merujuk kepada bentuk kota dan benteng-benteng pertahanannya.
Informasi pertama mengenai fortifikasi Makassar yang terdapat dalam sumber-sumber asing itu adalah catatan seorang saudagar Inggris bahwa pada tahun 1615 “banyak sekali orang
digerakkan untuk membuat batu bata bagi dua benteng yang harus diselesaikan pada musim panas ini” (Bulbeck 1996: 79). Meskipun kemungkinan besar catatan ini tidak berhubungan dengan konstruksi Benteng Somba Opu, Bulbeck (1996: 79-80) menyimpulkan bahwa kegiatan tersebut berhubungan dengan sebuah program pembangunan fortifikasi sepanjang pantai Makassar pada dekade kedua abad ke-17.
Informasi yang lebih jelas semestinya terdapat dalam berbagai surat dan laporan yang disusun oleh para pemimpin misi diplomatis dan aksi peperangan yang dijalankan VOC: Sebagian dari korespondensi itu digunakan oleh msl. MacLeod (1900), van Dam van Isselt (1908), Stapel (1922, 1936) atau Andaya (1981 [2004]) untuk menyusun artikel dan buku sejarah tentang
peperangan-peperangan itu. Akan tetapi, sebab baik terbitan tersebut maupun sumber utamanya tidak difokuskan kepada arsitektur benteng, maka informasi yang dapat diperoleh dari sumber-sumber itu pun agaknya tidak memuaskan – misalnya, laporan blokade laut
terhadap Makassar pada tahun 16344 hanya menyebutkan bahwa “kota dan Benteng Sombaopu telah diperkuat dan ditemboki” (Heeres dan Tiele 1890: 255) dan bahwa “Raja Makassar […]
mengumpulkan untuk memperkuat dan memfortifikasikan kota dan benteng Sombaopu sekitar 17.000 orang” (ibid.: 256).
Mengingat terbatasnya waktu maka kami tidak sempat memeriksa surat-surat yang
berhubungan dengan Makassar yang terdapat di Arsip Nasional Belanda (Tanap und.); maka di sini kami hanya dapat menyediakan tiga sumber saksi mata berikut ini:
a. ‘Corte Remonstrancie …’, surat laporan H. Kerckringh atas misinya ke Makassar, 1638, dalam Heeres, J.E. dan P.A. Heeres dan Tiele (ed.) 1890: ‘Bouwstoffen voor de
Geschiedenis der Nederlanders in den Maleischen Archipel’, De Opkomst van het Nederlands Gezag in Ooost-Indië, Vol. 2-II. Martinus Nijhoff, ‘s-Gravenhage.
Surat pelaporan ini dianggap sebagai dasar sejumlah peta dan gambar Kota Makassar yang akan dibahas di bawah.
‘Keterangan pendek mengenai keadaan di Makassar, sebagaimana ditemukan ketika berkunjung ke sana.
Benteng Sombaopu [yang] terletak di Makassar langsung di pinggir pantai pada 5 derajat dan 4 minit bujur selatan adalah sangat besar lingkarannya, sekeliling terbuat dari sedikit batu karang dan sebagian besar dari batu bata merah; di sebelah laut, terdapat dua bastion; [tak terbaca?] di sebelah barat terdapat juga bastion-bastionnya, tetapi tanpa meriam, dan mulai runtuh-runtuh di beberapa tempat di sisi itu. Sang raja dan beberapa pembesar lain bertempat tinggal di dalam
4 Laporan gubernur jenderal VOC kepada Majelis Tuan XVII, 15 Agustus 1635, lht. Heeres dan Tiele 1890: 252-6
benteng itu dalam rumah yang didirikan di atas balok kayu yang tebal dan terbuat dari papan, bambu dan sebagainya dan ditutupi dengan atap.
Di sebelah utara sekitar satu mil5 dari Sombaopu terletak sebuah benteng berdekatan dengan pantai, bernama Ujung Pandang. Benteng itu orang kita selalu menganggap sebagai Benteng Tello, yang [sebenarnya] terletak satu mil lagi di sungai besar di utara, terbuat dari batu karang.
[tak terbaca?] Sekitar ¼ mil dari Sombaopu di sebelah selatan terletak sebuah benteng kecil bernama Grisse atau Pannakukang. [tak terbaca?] Orang Inggris dan orang Denmark mempunyai [pada jarak] sekitar satu lemparan tembakan [meriam sejenis] goteling dari sisi utara Benteng Sombaopu masing-masing sebuah rumah yang nyaman. [tak terbaca?]
Orang Melayu di situ dihargai dengan baik. Merekalah orang yang berada, dan rumah-rumahnya terletak di kampung-kampung di antara rumah-rumah orang Makassar. […]
Orang Portuges bertempat-tinggal di situ di sebelah utara, berdekatan dengan benteng, dalam rumah-rumah yang terbuat dari bambu. [Pendirian] sebuah rumah untuk mengadakan ibadah mereka diijinkan oleh raja. [tak terbaca?] Di sebelah utara benteng di antara loji Inggris dan benteng tersebut raja memerintahkan pembangunan sebuah rumah untuk orang Belanda supaya ketika kita datang bisa diakomodasikan di situ dan bila kita ingin menetap maka semua rumah di sekeliling akan dibongkar dan sebuah rumah yang mewah akan diijinkan untuk dibangun di samping orang Inggris dan Denmark.
Beginilah ditulis dalam kapal Bommel, [yang sedang] berlayar di pantai Java di sekitar tanjung berbahaya, 24 September 1638.’i6
b. W. Schouten 1676: Oostindische Voyagie … . Jacob Meurs, Amsterdam
Schouten bekerja sebagai dokter di atas salah satu kapal VOC yang ikut dalam serangan atas Makassar pada tahun 1660, dan mencatat kejadian-kejadian peperangan dalam buku cerita perjalanannya ini. Meski tidak secara explisit menggambarkan Benteng Somba Opu, dari laporannya atas serangan laut dan darat ini kita dapat merekonstruksi bentuk kota Makassar pada tahun 1660. Karena serangan utama dilakukan/dimulai di bagian selatan kota, catatan ini dapat memberikan sebuah gambar yang cukup jelas.
‘Jadi dengan angin sedikit dari laut / dan di bawah layar yang diperkecilkan / kami tiba di benteng pertama, Panakkukang […] memberikan kastel itu [serangan] yang penuh […]. Bergerak terus pelan-pelan sedemikian dengan angin sedikit ; sesampai kami melewati pertahanan Panakkukang […] terletak di tanjung pertama atau tanjung selatan Makassar. Sambil terus menembak / kami dengan aturan [berlayar] sebagaimana digambarkan / memasuki teluk ; di situ kami berdiri di depan kota Makassar. Di sini meriam kami berbicara dengan bukan sedikit api saja / dan banyak bola meriam / melompat memasuki kelenteng [masjid] / rumah / kediaman orang Makassar ; […]
Banyak kapal / jong / dan perahu kecil orang Makassar, terdapat sepanjang itu / dalam keadaan ditarik ke atas pantai ; […] Berikutnya dengan api dan asap / di bawah gemuruh meriam yang kasar itu / kami tiba dekat dengan kraton raja dan pertahanan utama yang besar dan jaya yang dinamakan Somba Opu / […] di situ kami lagi berapi-api [menembak] dengan sebelas kapal kami sebagaimana sebelumnya / dengan kekerasan yang sedemikian / bahwa kami tidak dapat membayangkan sesuatu pun yang lain / daripada bahwa sejumlah besar bola meriam kami /
5 Tidak jelas ‘mil’ apa yang dimaksudkan Kerckringh (dan juga dalam sumber-sumber lain di bawah) di sini.
Kemungkinan besar ia merujuk kepada ‘Mil Tanah Jerman’, sekitar 6,5km.
6 Kami dalam tulisan inti ini hanya menyediakan terjemahan dari sumber-sumber berbahasa Belanda; teks-teks aslinya disediakan dalam catatan akhir (i, ii, iii, …).
tanpa ragu mendarat dengan kasar di dalam istana raja yang luas itu.’ [hlm. 88; setelah cukup lama membombardir Somba Opu, serangan diteruskan ke utara].
Schouten dengan jelas menggambarkan bahwa antara muara Sungai Jeqneberang dan Benteng Somba Opu terdapat wilayah kota yang padat; hal ini –dan juga keterangan-keterangan lainnya atas msl. letak loji Inggeris dan Denmark serta Benteng Ujung Pandang– sesuai dengan yang digambarkan pada berbagai peta dan gambar yang akan dibahas di bawah.
c. C. Speelman, 1670, Notitie, transkrip naskah, unpl., KITLV, Leiden
Notitie ini adalah kumpulan catatan Admiral Speelman, yang sebagiannya dijadikan dasar laporannya kepada atasannya di Batavia. Karena naskah aslinya berbentuk ratusan halaman tulisan tangan, kami di sini merujuk kepada searchable pdf-file yang disediakan oleh KITLV.
‘Sungai Gresik pada waktu penaklukan Panakkukang tahun 1660 bermuara berdekatan dengan benteng [itu], tetapi para raja Makassar menggalikannya ulang dengan menggerakkan kekuatan rakyat, dan memindahkan muaranya ke tempat yang sekarang, di mana antara muara baru dan lamanya yang ketika hujan turun dengan deras masih beralir dengan kencang itu, kini terletak sebuah pulau kecil.’iii
Ternyata Sungai Jeqneberang sudah pada kurang daripada sepuluh tahun, antara 1660 dan 1669, berpindah dari aliran awalnya di utara Benteng Panakkukang ke selatannya. Hal ini menandai kecenderungan terpindahnya aliran dan muara sungai yang kemungkinan menyebabkan juga terhancurnya tembok utara Benteng Somba Opu.
Antara hlm. 7 dan 12 terdapat sebuah deskripsi kawasan pesisir Sulawesi antara Bira dan Tallo.
Benteng Somba Opu hanya disebutkan dalam sebuah kalimat pendek:
‘Berikutnya terdapat Somba Opu, kini terhancur-hancurkan sebagaimana dilihat. Pada sisi utaranya terdapat sebatang sungai bernama Sungai Baru atau Binangaberu, tapi yang itu digali oleh ayah Karaeang Pattingaloang, Karaeng Mattoaya. Dari pinggir sungai itu sampai
Sambungjawa [?], dan terus ke kawasan kota Portuges, di utara Somba Opu, dan juga ke selatan Somba Opu sampai sungai Gresik, [kawasan itu] dahulu dinamakan Kota Makassar, tetapi itu dikenali sebagai dan dibagi dalam beberapa kampung oleh orang Makassar sendiri […]’iv
‘Sungai’ yang baru itu kemungkinan besar dimaksudkan sebagai parit pertahanan utara benteng.
Sesuai dengan Schouten serta lukisan dan peta yang akan dibahas di bawah ini, Speelman menggambarkan juga bahwa sisi selatan Benteng Somba Opu agak berjarak dari tepi Sungai Jeqneberang.
Catatan paling panjang tentang Benteng Somba Opu adalah sebagai berikut:
‘[Hanya] kepuasan yang kecil diberikan kepada saya oleh Yang Mulia [Arung Palakka] setelah [terjadi] penaklukan Somba Opu, dan pada umumnya setelah adanya kedamaian bersama mereka dari Tello dan Somba Opu, dalam memajukan hal-hal kepentingan bersama,
terutamanya ketika saya sakit [… meski berulang kali ] saya dengan kebaikan hati, dan dengan segala keseriusan, dan dengan menunjukkan kepatutannya mengingatkan mereka [para pemimpinan pribumi dalam koalisi VOC-Bugis] akan penghancuran Somba Opu yang begitu berharga itu […]. Akan tetapi semuanya itu [mereka usahakan agar] dimaafkan dengan alasan- alasan yang betul-betul dibuat-buat saja […] sementara orang-orang Bugis itu tidak berbuat yang lain daripada mencuri, menjarah dan membunuh (sebagaimana sudah diterangkan dalam materi
tentang Maros) […]. Maka mereka tidak berbuat yang lain daripada hanya membawa ke pantai sebagian dari meriam-meriam kami dari pertahanan-pertahanan kami yang berdekatan untuk mengapalkannya, membiarkan Somba Opu berdiri sebagaimana saya meninggalkannya ketika saya tidak lagi bisa berdiri [karena sakit]. Di situ sampai hari ini tidak ada sepekerjaan pun yang dilakukan. Sebagian sisi utaranya terbaring berhambur-hambur, ketiga bastion laut [sic!] itu sudah diledakkan terhambur-hambur dengan 12.000 pon mesiu dan, berikutnya, [tembok]
sekeliling [benteng] di sisi timur dan selatan masih utuh, tetapi dari dalamnya [semuanya]
dihancur-hancurkan oleh orang-orang Buton, Ternate dll., tanpa adanya sebatang pohon pun yang masih dibiarkan berdiri tegak, sehingga itu tidak lain kelihatannya daripada sebuah daerah yang benar-benar musnah. […] Sudah sebelumnya di bawah perdamaian Bungaya (I) [hal]
penghancuran benteng-benteng tidak berjalan dengan lebih baik […] . Para pemimpin Bugis yang biasa, dan juga Yang Mulia [Arung Palakka] lebih senang bila Somba Opu masih utuh, tetapi mereka tidak berani mengutarakannya secara terbuka, dan [bila] kadangkala Yang Mulia dan [orang-orang] lain di majelis kami berpendapat bahwa perlu dia [Somba Opu] dihancurkan, [maka itu hanya] karena mereka tidak bisa memberikan alasan untuk yang sebaliknya.’v Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Speelman sebenarnya tidak mampu
meratakan keseluruhan Benteng Somba Opu dengan tanah – berbeda dengan laporan resminya ke Batavia. Selain itu perlu dicatat, bahwa Speelman hanya menyebutkan tiga bastion laut yang diledakkannya dalam upaya penghancuran Benteng Somba Opu. Adanya kata ‘de’ dalam kalimat itu serta penyebutan jumlah mesiu yang digunakannya pada hemat kami menandai, bahwa pada masa itu memang hanya terdapat tiga bastion di sebelah barat benteng.
Pada halaman 273 Speelman menggambarkan pelabuhan di sebelah barat Benteng Somba Opu:
Sebagaimana diterangkan juga oleh Schouten, kapal besar pun bisa berlabuh dalam jarak yang tidak terlalu jauh dari benteng.
3. ‘Peta’ Pandangan
Dalam beberapa buku cerita perjalanan dan atlas abad ke-17 terdapat sejumlah gambar dan
‘peta’ kota Makassar, termasuk Benteng Somba Opu. Kami sempat memeriksa gambar-gambar berikut ini:
a. “Maccaser”, anonim, 1630-1635, direproduksi dalam Arend de Rover dan Bea Brommer 2008: Grote Atlas van de Verenigde Oost-Indische Compagnie / Comprehensive Atlas of the Dutch United East India Company, Vol III. Koninklijk Nederlands Aardrijkskundig Genootschap, Asia Maior, s’-Gravenhage [Gambar 1]
Peta laut dan lukisan pandangan pantai, kemungkinan besar dibuat oleh / didasarkan atas informasi seorang peserta salah satu ekspedisi pada konfrontasi VOC-Makassar pertama. Kami di sini hanya mengambil bagian peta yang menggambarkan kota Makassar.
Sebagian dari legenda pada peta itu tidak terbaca; kami di bawah ini mengikuti transkrip
legenda yang terdapat dalam de Rover dan Brommer 2008. Huruf-huruf di atas peta menandai:
A. Benteng Somba Opu
B. Kapal yacht Portuges [… tak terbaca]
C. Loji Inggris
D. Loji Denmark E. Kapal Inggris F. Kapal Denmark
G. Pulau Inggris [… tak terbaca]
H. Kota Tallo
I. Pulau pohon kelapa yang [… tak terbaca]
K. [… tak terbaca] pulau di mana terdapat air di atasnya L. Di tanjung ini [… tak terbaca]
M. [… tak terbaca] Pulau Tanakeke N. Tanjung Tanakeke
a. [… tak terbaca]
b. Muiden c. [… tak terbaca]
d. De Soon
e. Cialup [sejenis kapal kecil] kami f. Mocha
g. Ambonna h. De Mane i. Cialup Cina j. Cialup Wesel [?]
k. Manar l. Negapatan m. De Saturne
Huruf-huruf (a., b., …) di atas peta kemungkinan besar menunjukkan nama dan letak kapal-kapal VOC, dan dengan ini mengimplikasikan bahwa peta pandangan ini dibuat pada salah satu
pelayaran tertentu ke Makassar. Karena peta ini didapatkan dalam kumpulan surat
peninggalannya, de Rover dan Brommer (2008: 172) berspekulasi bahwa Artus Gijsels, seorang pejabat senior VOC, menginstruksikan pembuatan peta ini sewaktu ia menjabat sebagai
gubernur Maluku antara 1633 dan 1635, “or else that he obtained the map from another source in the years up to his departure in 1635”.
Salah satu sumber utama yang tersedia7 menyebutkan adanya aksi blokade laut atas pelabuhan Makassar pada Februari dan Maret 1634 di bawah Gijsbert van Lodensteyn: Ketika tiba di Makassar, terlihat “berlabuh dalam sungai Sombaopu, sudah sangat siap untuk berangkat ke wilayah Ambon dan Ceram, tiga buah perahu besar dan sejumlah perahu pedagang kecil serta armada kuat raja [Gowa-Tallo] yang terdiri dari 30 buah perahu laju”, sehingga kapal-kapal VOC
“diposisikan secara teratur sepanjang pesisir pantai [Makassar] dalam bentuk bulan setengah”
(Heeres dan Tiele 1890: 253) demi mencegah keberangkatan armada itu. Kami berpendapat bahwa posisi kapal-kapal VOC inilah dimaksudkan dengan huruf-huruf (a., b., …) di atas peta itu:
Meski nama-nama kapal yang mengikuti blokade ini tidak disebutkan dalam laporan itu, dari berita-berita tentang kejadian selanjutnya diketahui bahwa sekurang-kurangnya kapal-kapal
7 Laporan gubernur jenderal VOC kepada Majelis Tuan XVII, 15 Agustus 1634, lht. Heeres dan Tiele 1890: 252-6
“Mocha, Maen, Sterre, Negapatnam” (ibid.: 255) dan Amboina ikut dalam aksi pemblokiran ini dan menjadi bagian pertama armada Lodensteyn yang mencapai Ambon pada tahun 1634 itu – kapal-kapal lain dihentikan oleh adanya angin timur sehingga akhirnya kembali memblokir Makassar pada bulan April dan Mei. Kapal Zon, Mocha, Wesel dan Negapatnam tercatat juga dalam berbagai aksi di Maluku pada tahun-tahun berikutnya. Selain itu, pada aksi pemblokiran pelabuhan ini kapal-kapal perang VOC memburu sebuah kapal Portuges yang baru datang dari Macao dan akhirnya diledakkan oleh sawinya sendiri sebelum bisa mencapai pelabuhan – mungkin inilah ‘kapal Portuges’ yang tercatat di bawah titik (A.) di atas. Dalam laporan itu disebutkan juga bahwa sebuah “Pulau Inggris” di depan pelabuhan (titik G.) yang biasanya menjadi pelindung bagi kapal-kapal yang sedang berlabuh akhirnya “dengan kekuatan orang banyak seluruhnya dibongkar dan dibuang ke laut agar kami tidak dapat membentengi pulau tersebut” (ibid.). Detil-detil lainnya mestinya diteliti lebih lanjut di arsip-arsip VOC.
Gambar inilah satu-satunya yang menandai adanya tembok laut yang terbentang antara Barombong sampai ke Benteng Ujung Pandang, tetapi tidak memberikan keterangan mendetil atas bentuk Benteng Somba Opu. Sebagaimana disebutkan di atas (1.d), serangan ini menjadi alasan bagi Gowa-Tallo untuk memperkuat kembali pertahanan pantai Makassar.
b. “Macasser”, Johannes Vingboons, ca. 1665-1670, direproduksi dalam Arend de Rover dan Bea Brommer 2008 [Gambar 2]
Peta ini dimaksudkan sebagai peta dan jalur pelayaran ke/dan pelabuhan Makassar, sehingga kota dan Benteng Sombaopu hanya digambarkan sebagai ilustrasi saja; karena penting bagi kegiatan pelayaran maka hanya muara-muara sungai dan beberapa bangunan tinggi di dalam kota –benteng-benteng dan mesjid-mesjidnya?– dicatat. Rover dan Brommer mengasumsikan, bahwa peta ini didasarkan atas laporan Kerckringh yang sudah disebutkan di atas.
c. “Afteyckninge van de stadt Macassar, met haere Casteelen ende sterckten mitsgader hoe dieselve op den 8 Juny An° 1660 ...”, ‘Gambar kota Makassar, dengan benteng- bentengnya dan bagaimana kota tersebut [diserang] pada 8 Juni tahun 1660 …’, oleh Fred Woldemar, 1660 [?] (Bibliothèque Nationale de la France, Cartes, Y832,
http://gallica.bnf.fr/ark:/12148/btv1b590 6256k/f1.item,
http://www.lib.berkeley.edu/EART/tour/facsim3.gif) [Gambar 3]
Lukisan ini menggambarkan serangan armada VOC di bawah van Dam atas kota Makassar pada tahun 1660. Pada sudut kiri bawah terdapat berbagai keterangan atas perjalanan serangan tersebut; Benteng Somba Opu digambarkan pada bagian atas tengah (huruf K). Pada lukisan ini hanya terdapat pandangan tembok benteng sebelah laut, dilengkapi dengan yang kelihatannya seperti dua bastion bersegi-empat pada kedua sudut utara dan selatan tembok dan dua bastion berbentuk bundar yang membagi tembok laut ke dalam tiga bagian yang kurang-lebih sama panjangnya. Bastion sebelah utara kelihatan seperti terbuat dari atau diperkuat dengan kayu;
pada keterangan di sudut kiri bawah tidak terdapat penjelasan atas hal ini. Bastion di sudut sebelah selatan berbentuk segi empat. Di depan kedua bastion bundar tergambar ‘bundaran’
pertahanan yang kelihatannya digunakan untuk menembak kapal-kapal VOC yang sedang membombardir Benteng Somba Opu dan/atau menyerang kapal-kapal Portuges yang berlabuh di depannya. Gambar dan legendanya ini direproduksi dalam Boxer (1967).
d. “Macassar”, Cornelis Decker, ca. 1665, direproduksi dalam Arend de Rover dan Bea Brommer 2008 [Gambar 4] dan “De Verovering van Mackasser”, dalam W. Schouten 1676 [Gambar 5]
Kedua gambar ini menggambarkan kota Makassar dari sebelah selatan pada saat penyerangan tahun 1660. Gambar “Macassar” adalah sketsa awal bagi gambar serangan yang diterbitkan dalam buku Schouten, sehingga belum dilengkapi dengan kapal-kapal VOC dan aksi-aksi peperangan yang terdapat dalam gambar keduanya.
Gambar kedua itu menampilkan puncak serangan. Benteng Panakkukang dan daerah pendaratan serdadu VOC berada di bagian depan gambar; Benteng Somba Opu yang sedang diserang oleh armada van Dam terlihat di sebelah tengah kanan di bawah angka 2. Tidak ada detil-detil konstruksi benteng; legendanya hanya memberitakan perjalanan serangan.
e. “Menyerang kapal-kapal Portuges”, anonim [?], dalam W. Schouten 1676 [Gambar 6]
Dilihat dari sebelah selatan, gambar ini melukiskan peledakan salah satu kapal Portuges yang berlabuh di depan Benteng Somba Opu. Salah satu bastion benteng dan temboknya terlihat di sebelah kanan tengah.
f. Enam ‘peta’ pandangan oleh / didasarkan atas peta J. Vingboons, sekitar 1660, direproduksi dalam de Rover dan Brommer 2008
Keempat ‘peta’ ini kelihatannya berasal dari sumber yang sama, dan menggambarkan kota Makassar dari pandangan barat. Rover dan Brommer menerangkan bahwa “menurut F.C.
Wieder, Vingboons dan pembantu-pembantunya […] mengikuti sebuah gambar dari tahun 1638 yang dibuat pada masa kunjungan Hendrick Kerckringh di Makassar”. Deskripsi Kerckringh sudah dibahas di atas.
Dua dari gambar pandangan ini berbentuk ‘peta’, dalam arti menyediakan bird-view atas kawasan kota [Gambar 7, 8]; kedua ‘peta’ ini dilengkapi dengan berbagai keterangan akan beberapa titik dalam kota. ‘Peta’ ini dan keterangan-keterangannya dicetak ulang dalam karya Valentijn Oud en Nieuw Oost-Indiën [Gambar 9].
Benteng Somba Opu digambarkan bersegi empat, agak berbeda dengan bentuk benteng yang sebenarnya. Bulbeck mencatat bahwa bentuk yang digambarkan itu adalah suatu “idealisation [… yang disebabkan] the artist’s assumption that forts should be rectangular” (1996: 70), dan menerangkan:
“the fort’s real southern wall seems to correspond to certain streets between internal walls, as depicted on the sketch […] However, note the instances of agreement [antara gambar-gambar itu dan temuan di lapangan], such as the gap in the southern wall immediately east of the south-western bastion [and], the rectangular maze of internal brickworks inside the western wall which would correspond to the royal palace.” (ibid.) Menurut Bulbeck, kesamaan-kesamaan itu juga mengimplikasikan bahwa jarak utara-selatan tembok laut benteng ‘diperpanjang’ oleh pelukisnya.
Di atas kedua gambar ini tidak terdapat bangunan padat pada sebelah timur benteng. Hal ini mungkin menunjukkan adanya ‘perimeter tembak’ yang selazimnya terdapat sekeliling suatu
fortifikasi. Akan tetapi, mengingat bahwa hubungan antara VOC dan Gowa-Tallo tidak harmonis, perlu diragukan apakah seorang perwira Belanda diberikan keleluasaan untuk memasuki seluruh kota sampai ke ujung timurnya: Kemungkinan besar Kerckringh (atau anak buahnya) tidak diijinkan untuk mensurvey daerah itu, bahkan jarang sekali naik ke darat dari kapal mereka yang dilabuhkan di depan kota – ia ternyata juga tidak mengetahui letak bercabangnya Sungai Jeqneberang menjadi kedua aliran di utara dan selatan Benteng Somba Opu. Mengingat bahwa batang sungai di utara adalah sebuah parit pelindung yang digali pada awal abad ke-17, semestinya muara hulunya tidak terlalu jauh dari sebelah timur benteng.
Teks keterangan pada ketiga peta bird-view itu hampir sama; terjemahannya adalah sebagai berikut:
‘Penggambaran dari fortifikasi-fortifikasi serta keletakan lain-lain seperti tempat-tempat yang dipagari dan tempat-tempat tinggal sang raja makasar serta juga yang di luar atau kota-kota depan dan semuanya diberikan keterangan mengkuti a, b, c sebagaimana dituangkan dalam peta ini.
A. Adalah benteng atau tempat yang dipagari, di mana para raja dan berbagai pembesar- pembesar berkraton dan berdiam, adalah sekeliling dipagari dengan sebuah tembok dari batu bata dan pada sisi lautnya diperkuat dengan empat bastion bundar dan di sisi darat dengan dua bastion kecil diperlengkapi dengan meriam-meriam secara baik tetapi karena kurangnya aturan dan ilmu pemakaiannya maka dindingnya sudah begitu rapuh bahwa dia bukan hanya tidak lagi bisa memikul meriam tetapi juga tidak akan dapat bertahan terhadap pendobrak dinding dari kayu, kini benteng itu secara umum dilengkapi dengan sekitar 15 buah meriam di dua dari bastion-bastion laut itu.
B. Adalah kraton raja, berdiri di atas tiang yang indah yang berbentuk pilar. Di atasnya terbuat suatu kediaman yang indah, dan dengan sebuah jembatan yang lebar dan panjang sebagai tempat naik yang terbuat sedemikian nyaman bahwa orang dengan berkuda atau secara berjalan kaki bisa naik ke atasnya semuanya terbuat dari kayu.
C. Adalah kraton raja tua, pada umumnya terbuat dengan cara yang sama.
D. Adalah gudang-gudang raja.
E. Adalah mesjid raja atau kelenteng orang hitam.
F. Adalah kawasan kota di mana orang Mestizo Portuges dan bini-bininya punya rumah- rumahnya.
G. Adalah kawasan kota orang Gujerat.
H. Adalah galei perahu dan berbagai kendaraan laut lainnya raja yang banyak ia miliki dapat ditaklukkan tanpa bahaya yang besar.
I. Kediaman Antoni de Costa seorang saudagar Portuges yang telah melarikan diri ke situ yang dikelilingi dengan tembok kayu dan beberapa meriam kecil merupakan sebuah pertahanan pada muara sungai itu.
K. Adalah loji Kompeni Denmark yang sebelumnya dihuni oleh orang Belanda.
L. Loji Kompeni Inggris.
M. Adalah bagian utara kota yang dihuni oleh orang Makassar dan bangsa-bangsa lain.
N. Adalah pasar baru atau market di sebelah selatan kota yang dilengkapi dengan rumah- rumah kayu.
O. Adalah sebatang sungai yang nyaman yang dapat dimasuki oleh kapal-kapal yang kedalamannya 5. atau 6.7.8. kaki.
P. Adalah tanah kebun dan kebanyakan sawah sekeliling kota yang semuanya tanah gembur yang datar.
Q. Adalah sungai di sebelah utara kediaman raja, dengan [kedalaman] 2. 3. kaki air.’
Kedua gambar [Gambar 10, 11] lainnya melukiskan kota Makassar dari laut, dan mengingatkan kepada pandangan kota dari geladak kapal yang sedang mendekatinya.
Pada semua gambar ini Benteng Somba Opu digambarkan dengan empat bastion bundar di tembok sebelah laut.
g. “Makassar”, oleh J. Nessel, sekitar 1656 [?], Koninklijk Bibliotheek,75 D 23 Fol. 155, direproduksi dalam de Rover dan Brommer 2008 [Gambar 12]
Menurut keterangan dalam Rover dan Brommer (2008), pandangan ini dibuat sebagai pelengkap pada laporan peperangan de Vlaming van Outshoorn di Maluku 1650an. Mereka berspekulasi bahwa sebagian dari pandangan ini berdasarkan saksi mata kunjungan de Vlaming ke Makassar pada tahun 1655. Bendera yang berkibar di atas kedua loji Inggris dan Denmark menandai, bahwa pandangan ini semestinya dibuat sebelum serangan Speelman atas Makassar;
adanya Benteng Panakkukang yang dikelilingi kapal-kapal kecil berbendera Belanda dan bayangan serdadu yang sedang menyerangnya mestinya menandai bahwa lukisan ini merupakan salah satu versi lain perang tahun 1660.
Pandangan ini tidak menggambarkan adanya sungai-sungai yang bermuara ke dalam teluk di depan Bentang Somba Opu. Pada sisi laut Benteng Somba Opu terdapat tiga bastion saja; tidak ada tanda ‘sarang’ pertahanan di depannya.
h. “Kaart van de Kust bij Makassar”, ‘Peta Laut Pantai dekat Makassar’, anonim, 1660-5, direproduksi dalam de Rover dan Brommer 2008 [Gambar 13]
Menurut teks keterangan dalam de Rover dan Brommer 2008 peta ini menggambarkan keadaan Makassar sebelum serangan Speelman pada tahun 1667. Peta ini menggambarkan letak-letak perkotaan dan beberapa benteng. Dari atas ke bawah: ‘Tello’ – ‘Makassar’ – ‘Loji Belanda’ –
‘Makassar’ – ‘Grise [?] of Panakukkang’ – ‘Batabata’.
Letak muara-muara sungai dan tatanan kota sesuai dengan peta-peta lain, tetapi tidak menggambarkan baik bercabangnya sungai Jeqneberang menjadi parit utara Benteng Somba Opu maupun parit yang digali oleh orang Makassar sekeliling Benteng Panakkukang. Berbeda dengan benteng-benteng lain, di atas ‘Batabata’ berkibar sebuah bendera tripartit. Speelman dalam Notitie-nya menyebutkan bahwa “Bato-Bato terletak di utara Galesong, sedikit lebih daripada satu mil, di mana kami pada tahun 1667 membuat kemp pertahanan […] berdekatan dengan fortikasi Panakkukang” – mengikuti keterangan Speelman maka kami berpendapat bahwa peta ini menggambarkan keadaan kawasan kota Makassar dan pantai selatan Sulawesi beberapa saat sebelum penandatanganan Perjanjian Bongaya pada tahun 1667.
4. Kesimpulan
Secara umum, semua peta yang sempat kami periksa menggambarkan topografi daerah kota Makassar yang sesuai dengan berbagai keterangan saksi mata asing yang dikutip di atas:
Benteng Somba Opu sendiri terletak di pinggir laut di dalam sebuah teluk yang terbentang antara Panakukkang dan Benteng Ujung Pandang; di sebelah utara Benteng Panakkukang terdapat sebatang “sungai besar yang mengalir antara Benteng Somba Opu dan Panakkukang, membelah kota” (Schouten 1676: 90); sisi utara Benteng Somba Opu dilindungi oleh sebatang sungai yang dapat berfungsi sebagai parit pertahanan. Jarak di antara muara sungai sebelah utara Panakkukang dan sisi selatan Benteng Somba Opu cukup jauh – seusai menyerang Benteng Panakkukang, kapal-kapal van Dam yang menuju ke dalam teluk sempat
membombardir “rumah-rumah indah” di kota Makassar dan perahu-perahu yang ditarik naik ke atas pantai sebelum meriam-meriamnya bisa mencapai Benteng Somba Opu.
Sementara gambar-gambar Vingboons dan lukisan Woldemaar memperlihatkan empat bastion di sebelah barat Benteng Somba Opu, pada gambar Nessel dengan jelas terdapat hanya tiga bastion pada sebelah laut, sesuai dengan keterangan Speelman. Berdasarkan sumber yang tersedia kami tidak dapat mengambil suatu kesimpulan akhir atas hal ini: Kelihatannya, sebagian besar gambar dan peta itu didasarkan atas informasi dari satu sumber saja, dan kemungkinan hanya mengulangi yang terdapat dalam gambar atau peta awal yang kini tidak diketahui lagi keberadaannya. Mungkin inilah alasannya bahwa hanya peta anonim yang menggambarkan blokade Makassar pada tahun 1634 memperlihatkan tembok pertahanan laut kota.
Beberapa keterangan menyebutkan dengan jelas bahwa pada sekitar tahun 1640an tembok benteng Sombaopu sudah agak rapuh. Lukisan Woldemar bahkan menunjukkan adanya penambahan ‘sarang-sarang’ pertahanan di depan tembok Benteng Somba Opu yang menurut keterangan pada gambar-gambar Vingboons sudah tidak mampu lagi memikul beratnya meriam-meriam itu. Bulbeck (1996: 81-2) menekankan bahwa setelah perang 1660 tembok- tembok pertahanan pantai diperkuat dan diperluaskan, sementara Schouten tidak menyebutkan tembok pantai tersebut: Mengikuti keterangan-keterangannya, ia dapat melihat –dan armada van Dam dapat menembaki!– rumah-rumah dan bangunan lain di dalam kota tanpa hadangan.
Kita bisa membayangkan bahwa seraya pembangunan tembok pertahanan pantai kota Makassar maka tembok laut Benteng Somba Opu yang kemungkinan besar ikut dirusakkan di bawah bombardemen armada van Dam itu diperbaharui pula: Keadaan yang ditemui Speelman tujuh tahun setelah serangan van Dam sama sekali tidak sesuai dengan penggambaran
rapuhnya pada keterangan di atas gambar-gambar Vingboons atau dalam laporan Kerckringh.
Speelman pun menyebutkan adanya tembok laut yang demikian besar bahwa ia tidak dapat dihancurkan pada kedua tahun setelah perjanjian Bungaya versi I, tetapi yang tidak terdapat pada sebagian besar gambar-gambar itu, dan mengakui kesulitannya dalam merata-tanahkan terutama tembok sisi laut Benteng Somba Opu. Selain itu, salah satu posisi kunci dalam serangan paling akhir atas Benteng Somba Opu pada tahun 1669 adalah suatu “bastion yang terletak di tengah sisi barat tembok” (MacLeod 1900: 1296), dari mana para penyerang dapat menembaki baik salah satu bastion lain di sebelah selatannya maupun istana Sultan
Hasanuddin.
Hanya kedua gambar bird-view melukiskan keadaan kota di sebelah timur Benteng Somba Opu, dan kita semestinya meragukan kebenaran sketsa itu (lihat keterangan di atas, 3.f): Sementara kawasan kota di sebelah selatan dan utara digambarkan sebagai sangat padat dan berbagai laporan mengindikasikan sebuah kota yang dihuni oleh sekitar 80.000 s/d 140.000 orang, pada gambar-gambar itu kota intinya terbentang ke timur hanya sejauh jarak panjang tembok utara dan selatan Benteng Somba Opu. Bagaimanapun, kedua gambar itu menunjukkan adanya beberapa compound yang terpagari di sebelah timur laut Benteng Somba Opu, yang –entah si pelukisnya memang sempat meninjaunya– dapat menandai adanya kediaman orang-orang berkedudukan tinggi di situ. Sayangnya kini kawasan di sebelah timur Benteng Somba Opu sudah diutak-atik oleh berbagai kegiatan pembangunan, sehingga penelitian lapangan pun kemungkinan besar tidak lagi bisa membantu dalam merekonstruksikan keadaan awalnya.
Catatan Akhir: Teks-teks Bahasa Belanda
i“Corte Remonstrancie weegens den staat in Macassar, soo als deselve gedurende onse continuatie aldaar bevonden hebbe.
T Fort Sambopo op Maccasser geleegen direct aen strant op 5 graden en 4 minnuten suyder breedte is seer groot int begrijp, rontom met eenigh corael en meest met roode gebacken steenen op getrocken;
aen de see kant, heeft 2 bolwercken; …… aen de landtsijde heeft meede sijn bolwercken doch sonder geschut, en begint op sommige plaetsen aen dese cant te vervallen. Den coninck en andere grooten houden haer wooningh binnen t fort in huysen op dicke balcken gebouwt met plancken, bamboesen als anders opgemaeckt en met adap gedeckt.
Aende Noortsijde ontrent een mjjl van Sambopo leyt een fort dicht aent strant, genaempt Oudioupanda.
Dit casteel is bij d'onse altijt voor Tello gehouden, t' welck een myl verder aen de groote revier Noordlik leght, met coraelsteen opgetrokken. …… Ongevaerlijck ¼ mijl van Sambopo aen de suytsijde leyt een fortgien genaemt Grisse ofte Pannakoeka. …… D'Engelsen en Deenen hebben daer meede ontrent een gootelingh schoot aende Noort sijde vant fort Sambopo ider een bequame wooningh. ……
De Maleyers werden aldaer in goede estime gehouden. Sijn luyden van groote middelen, hebben haer wooningh in de negeryen gebreydelt onder de huysingh der Macassaren. […]
De Portugeesen houden haer residentie aldaer aen de Noortsijde, dicht aent fort, in huysingh van bamboesen opgemaeckt. Een woningh om hun sacrafitie te doen is hun van den Coninck vergunt ……
Aende Noortsijde vant fort Sambopo tusschen d'Engelse logie ent voorsz. fort heeft den Coninck een huys voor de Nederlantse Compie doen bouwen om op onse compte aldaer voor eerst in geaccomodeert te connen werden soo ooc d'onse aldaer verschijnen sal alle de bijstaende huysingh affgebroken werden en een royale woningh nevens d'Engelsen en Deenen ons werden vergunt ……
Aldus gedaen int schip Bommel, seylende langs de'cust van Java ontrent den schadelijcken hoeck, desen 24en September A° 1638.”
ii“Dus met een kleyn luchjen uyt Zee / en met kleyn Zeyl naderende / quamen onder de eerste Vastigheyt Panakoke […] gaven dit Casteel van alle Schepen de volle Laegh […]. Schockten aldus met kleyne hoelte sachjens voort ; tot dat wy de Vastigheyt Panakoke […] gelegen op Makassers eerste punt of zuyt-hoeck / voorby geraeckten […]. Wy setten het toen al Canonnerende / in vorige ordere / bogtwaarts in ; daer ons van stonden aen voor de stadt Makasser vonden. Hier spoogh ons Canon niet weynigh vuur en vlam / en veel Koegels / Kneppels en Bonts door Temples / Huysen / en Wooningen der Makassaren ; […].
Menighte van Schepen / Joncken / en kleynder vaertuygh van de Makassaren, laagen langs heen / ooek
op / en tegen de strant gehaald ; […] Quamen aldus door vuur en vlam / en roock / en onder het donderen van het grof Canon / tot dichte by het groot en machtigh Conincklijck Hof en Hooft-Casteel Samboupo genadert / […] hier branden wy wderom met onse elf Schepen gelijckerhant op los / met sulcken furie / dat wij geen andere gissing maeckten / of een groot getaal van onse keogels en ysere kneppelen / moisten ongetwijffelt in ‘t ruime konincklijke Slot al vip wat onsacht neder komen.”
iii“De revier Gresse had ten tijde van Pannekokas overrompelinge anno 1660 zijn uytloop dicht aen die fortresse, maer de Coningen van Maccassar deden deselve daernae met cracht van volck vergraven, en brachten de mondt der reviere daerse nu is, tusschen welcke nieuwe en ouwde uytloop, die bij swaare regen-tijt noch mede veel water uytgeeft, een eylandeken legt […]”
iv“Dan comt Samboupo, nu soo overhoop gesmeeten en verwoest als men siet. Langs de noordzijde compt een revier genoemt de Nieuwe Revier off Binangebeero, doch deese is al gegraven door de vader van Crain Patengelo, Toamene Reagamanna ofte Crain Mattuoaye. Van desen oever tot Sanbonjava, en vorder tot het Portugeesch quartier toe, benoorden Samboupo, item bezuyden Samboupo tot de revier Gresse toe, pleegh het de stad Maccassar genoempt te werden, zijnde niettemin onder de Maccassare selve bekent en verdeelt in verscheyde dorpen […]”
v“Cleen vergenoegen heeft mij Sijn Hoochheyt naer 't veroveren van Samboupo, en wel meest naa de gemaecte vreede met die van Tello en Samboupo, in 't bevorderen van d gemeene saacke gegeven, in sonderheyt onder mijne siecte, […] en met goetheyt, en met ernst, en met aenwijsingh van haer
schuldigheyt hebbe vermaent tot het slechten van 't costelijck Samboupo […]. Maer alle tevergeeffs […], het excuserende met soo blauwe voorgeeffselen […] terwijle de Bougijs niet anders deede (gelijck in de materie van Marous al is geallegueert) als steelen, roven, en moorden, waerover men mij noyt met vreede liet te clagen. […] Dus en hebben se dan niet gedaan als alleen een gedeelte van ons canon, uyt de wercke daer dichtebij, aen 't strandt te sleepen om affgescheept te werden, latende Samboupo soo staen als ick het liet, doe ick mij niet meer te been houden conde. Want daer en is near dien dagh niet een hand aengeslaagen. De noord zijde lecht voor een gedeelte geslecht, de 3 zeebolwercken bennen met 12000 lb.@ cruyt overhoop gesmeeten en voorts is 't rontom aen de oost- en zuydtsijde noch in zijn geheel, maer van binnen is 't door de Boutonders, Ternetanen etc. verwoest sonder datter een enckelde boom is blijven overent staan, alsoo dat het geen ander gelijck heeft als naer een wildernis. […] Te vooren onder de vreede van Bonaaye is 't met slopinge der casteelen niet veel beter gegaen, sulcx dat se oock wel diende noch een beurt te hebbe, soo 't er uytvallen conde, doch 't en is geen wercq voor weynich menschen. De gemeene hooffden der Bougijs, en selve oock Zijn Hoochheyt, hadden Samboupo liever in wesen gehouden, maer sij hebben 't niet opentlijck durven seggen, en mitsdien oordeel[d]e Zijn Hoochheyt en andere in onsen raedt mede noodich dat het wierde gemolieert, omdat se tot contrarie geen reden conden geven.”
Kepustakaan
Andaya, L.Y. 1981 [2004]: The Heritage of Arung Palakka [Warisan Arung Palakka]. KTILV, Martinus Nijhoff, Leiden [Ininnawa, Makassar].
Bassett, D.K. 1958: ‘English Trade in Celebes, 1613-1667’. JMBRAS 31.1: 1-17.
Boxer,Ch.R. 1967: Francisco Vieira de Figueiredo: A Portuguese Merchant-Adventurer in South East Asia, 1624-1667. Martinus Nijhoff, ‘s-Gravenhage.
Bulbeck, D. 1996: ‘Construction History and Significance of the Makassar Fortifications’. Dalam K. Robinson dan Mukhils Paeni (ed.), Living through Histories. ANU, Canberra; ANRI, Makassar.
Bruijn, J.R., F.S. Gaastra, I. Schöffer 1979- 1987: Dutch-Asiatic Shipping in the 17th and 18th Centuries. Rijks Geschiedkundige Publicatiën, Grote Serie 165-167, Martinus Nijhoff, ‘s-Gravenhage. [http://www.inghist.nl/Onderzoek/Projecten/
DAS/search]
Cummings, William 2007: A Chain of Kings. The Makassarese Chronicles of Gowa and Tallo. Bibliotheca Indonesia 33, Koninklijk Insituut voor Taal-, Land en Volkenkunde, KITLV Press, Leiden.
Van Dam van Isselt, W.E. 1908: ‘Mr. Johan van Dam en zijne Tuchtiging van Makassar in 1660’, Bijd. KILTV 60: 1-44.
Heeres, J.E. dan P.A. Heeres dan Tiele (ed.) 1890: ‘Bouwstoffen voor de Geschiedenis der Nederlanders in den Maleischen Archipel’, dalam De Opkomst van het Nederlands Gezag in Ooost-Indië, Vol. 2-II. Martinus Nijhoff, ‘s-Gravenhage.
Mac Leod, A. 1900: ‘De Onderwerping van Makassar’. De Indische Gids, 22.2: 1269-97.
Stapel, F.W. 1922: Het Bonggaais Verdrag. Universteit Leiden, Leiden.
1936: Cormelis Janszoon Speelman. Bijd. KITLV 94: 1-223.
Tanap und.: ‘Reconstructie van het archief van de VOC-vestiging: Makassar', http://obp.tanap.net/ 4_virtual_reconstruction.cfm Valentijn, F. 1724: Oud en nieuw Oost-Indiën. J. van Braam, Dordrecht.
Villiers, J. 1990: ‘One of the Especiallest Flowers in our Garden : The English Factory at Makassar, 1613-1667’. Archipel 39: 159- 178.
Wieder, F.C. (ed.) 1925-33: Monumenta Cartographica, 5 vol.. Martinus Nijhoff, ‘s-Gravenhage.
Gambar 1; inset oleh penulis.
Gambar 2; inset oleh penulis.
Gambar 3; inset oleh penulis.
Gambar 4
Gambar 5
Gambar 6
Gambar 7; terjemahan teks terdapat pada tulisan di atas.
Gambar 8; inset oleh penulis.
Gambar 9
Gambar 10; inset oleh penulis
Gambar 11
Gambar 12; inset oleh penulis.
Gambar 13