• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bisnis Internasional, Prinsip-Prinsip UNIDROIT, dan Relevansinya dengan Pluralisme Hukum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "Bisnis Internasional, Prinsip-Prinsip UNIDROIT, dan Relevansinya dengan Pluralisme Hukum"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Volume 6, Nomor 2, Agustus 2023 304

Bisnis Internasional, Prinsip-Prinsip UNIDROIT, dan Relevansinya dengan Pluralisme Hukum

Ahmad Mukhlish Fariduddin

Fakultas Hukum, Universitas Katolik Parahyangan [email protected]

ABSTRAK

Globalisasi membawa dampak besar pada perkembangan hukum, salah satunya adalah kompleksitas pluralisme hukum yang meningkat. Dalam dunia bisnis, pluralisme hukum menjadi isu tersendiri karena tren bisnis era globalisasi adalah bisnis internasional yang pasti melibatkan lebih dari satu sistem hukum. Tulisan ini membahas mengenai relevansi bisnis internasional dengan pluralisme hukum, serta peran hukum kontrak sebagai penyokong berjalannya transaksi bisnis. Dibahas pula mengenai bagaimana UNIDROIT Principles of International Commercial Contracts (“UPICC”) merespon kebutuhan bisnis internasional dalam nuansa pluralisme hukum. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosio-legal, dan dapat disimpulkan bahwa UPICC merupakan produk dari pluralisme hukum, dan dalam waktu bersamaan menciptakan pula pluralisme hukum dengan kapabilitasnya untuk menembus hukum kontrak domestik suatu negara.

Kata-kata Kunci: Bisnis Internasional, Pluralisme Hukum, Kontrak.

ABSTRACT

Globalization has had a major impact on legal development, one of which is the increasing complexity of legal pluralism. In the business aspect, legal pluralism is a marked issue because the business trend in the globalization era is international business, which inevitably involves more than one legal system.

This paper discusses the relevance of international business and legal pluralism, as well as the role of contract law in business transactions. This paper also discusses how the UNIDROIT Principles of International Commercial Contracts (“UPICC”) encountered the necessity of international business in the nuances of legal pluralism. The method used is a socio-legal approach, and it led to the conclusion that the UPICC is a result of legal pluralism, and simultaneously manifests legal pluralism with its capability to penetrate domestic contract laws.

Key words: International Business, Legal Pluralism, Globalization.

PENDAHULUAN

Tulisan ini tidak akan dimulai dengan penjelasan mengenai definisi pluralisme hukum, sebab kata ‘pluralisme’ dan ‘hukum’ terus bergeser maknanya dari masa ke masa. Karenanya, upaya mendefinisikan pluralisme hukum akan terlebih dahulu saya urungkan, dan marilah kita lihat pluralisme hukum sebagai suatu kenyataan: ada lebih dari satu sistem hukum yang saling berhubungan pada suatu masyarakat.1 Arti dari koeksistensi beberapa sistem hukum serta keterhubungannya dalam suatu masyarakat inilah yang maknanya selalu

1 John Griffiths, dalam Endri (2020) “Pluralisme Hukum Indonesia bagi Hakim Tata Usaha Negara: antara Tantangan dan Peluang”, Jurnal Hukum Peratun 3 (1), 19-34, hal.21.

(2)

Volume 6, Nomor 2, Agustus 2023 305 bergeser dan meluas. Umumnya, pluralisme hukum dianggap sebagai kenyataan yang benar-benar eksis, tapi tidak jarang juga yang mengganggap pluralisme hukum semata-mata sebagai sensitizing concept, misalnya oleh Werner Menski melalui teori triangular pluralisme hukum.2

Pada zaman Hindia-Belanda, pluralisme hukum mulanya dipahami sebagai dikotomi Hukum Barat dan Hukum Adat. Ini adalah pemaknaan pluralisme hukum masa kolonialisme.3 Pasca kemerdekaan, dikotomi tersebut berubah menjadi Hukum Nasional dan Hukum Adat. Pemahaman tersebut adalah pemaknaan pluralisme hukum pasca-kolonialisme.4 Pandangan masa kolonialisme dan pasca-kolonialisme memang relevan pada masanya, meskipun konkretnya, pembagian kedua hukum itu tidak dapat dilakukan secara ajeg.

Misalnya, pembentukan Hukum Nasional memperhatikan dan memberi ruang bagi Hukum Adat.5 Demikian pula dalam penegakannya, hakim menjadikan Hukum Adat setempat sebagai salah satu variabel penentu dalam memutus suatu pidana pembunuhan di Madura yang menganut tradisi carok.

Pandangan yang sempit tentang pluralisme hukum beserta pergeserannya bukan hanya terdapat di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain. Sebagai contoh, di Afrika, ada pula pluralisme hukum antara hukum rakyat Afrika dan hukum negara modern yang menunjang kapitalisme. Pandangan ini bertahan setidaknya sampai akhir abad ke-20. Beberapa negara di Asia lain mengalami hal yang sama, bahwa terjadi kontras hukum antara hukum rakyat dan hukum modern yang mayoritas dibawa oleh penjajah. Jadi, pada umumnya, pluralisme hukum itu menyandingkan dan mempertentangkan antara hukum rakyat dengan hukum kolonial, atau dengan hukum nasional.6 Oleh Sally Engle Merry, pandangan itu disebut pluralisme hukum klasik (classic legal pluralism).7

Pemaknaan pluralisme hukum pada era ini semakin bergeser lagi dan bahkan meluas dari kredo aslinya yang mengartikan pluralisme hukum secara sempit. Saat ini pluralisme hukum selalu dikaitkan dengan globalisasi. Menurut Sulistyowati Irianto, ekstensi makna pluralisme hukum nampak pada hukum itu sendiri yang saat ini sifatnya sangat dinamis8. Hukum datang dari satu penjuru dunia ke penjuru dunia lain yang dapat terjadi secara rapid, sebab perkembangan teknologi, terutama teknologi komunikasi, juga berkembang sangat pesat. Tidak mungkin lagi membatasi makna pluralisme hukum pada pemetaan-pemetaan yang telah dijabarkan di generasi-generasi sebelumnya, apalagi cenderung mengartikan pluralisme hukum sebagai dualisme hukum.

Selain itu, kecenderungan memaknai pluralisme hukum klasik sebagai dualisme hukum juga tidak sepenuhnya benar. Dalam pandangan klasik, hukum nasional

2 Belinda Pudjilianto, Emy Handayani (2022), “Penerapan Pluralisme Hukum dalam Masyarakat”, Diponegoro Law Journal 11 (2), 1-8, hal.1-2.

3 Sulistyowati Irianto (2012), “Pluralisme Hukum dalam Perspektif Global”, dalam Adrian W.

Bedner, et.al (ed.), Kajian Sosio-Legal, Pustaka Larasan, Denpasar, hal.157.

4 Ibid.

5 Sartika Intaning Pradhani (2021), “Pendekatan Pluralisme Hukum dalam Studi Hukum Adat:

Interaksi Hukum Adat dengan Hukum Nasional dan Internasional”, Undang: Jurnal Hukum 4 (1), 81-124, hal.117-118.

6 Sally Engle Merry (1988), “Legal Pluralism”, Law & Society Review 22 (5), 869-896, hal.869- 870.

7 Ibid., hal.872.

8 Sulistyowati Irianto, op.Cit, hal.158.

(3)

Volume 6, Nomor 2, Agustus 2023 306 yang dipertentangkan dengan hukum adat, sebenarnya tidak hanya terkait dengan dua hukum saja, melainkan banyak hukum adat (termasuk pula hukum agama) yang terintegrasi menjadi satu frasa “hukum adat”, mengingat pluralisme dalam hukum adat yang ada di Indonesia yang mengikuti heterogenitas masyarakatnya, sangat tinggi.9 Maka dari itu, pluralisme hukum tidak lagi dipetakan secara klasik sebagai pemisahan tegas antara satu hukum dengan hukum lain yang ada pada suatu komunitas, melainkan sebagai persentuhan, pencampuran, interaksi, dan tumpang-tindih antara berbagai sistem hukum.10 Pemaknaan pluralisme hukum seperti ini disebut sebagai pluralisme hukum global11 (atau pluralisme hukum baru/the new legal pluralism).12

Globalisasi adalah penyebab utama dari terjadinya pluralisme hukum modern, yakni interaksi dan interrelasi nilai, konsep, budaya, termasuk pula hukum di dalamnya, dari satu penjuru dunia ke penjuru dunia lain. Ada pandangan umum dalam masyarakat, bahwa globalisasi adalah perjalanan searah nilai-nilai Barat ke Timur dan diserapnya nilai-nilai tersebut oleh Timur.

Ada juga pandangan lain yang mengartikan globalisasi sebagai perkembangan pelbagai sektor kehidupan dalam kerangka global ke arah modern. Kedua pandangan ini tidak tepat, karena yang pertama lebih tepat disebut sebagai westernisasi dan yang kedua lebih tepat disebut sebagai modernisasi, walaupun globalisasi boleh jadi prosesnya dibarengi oleh westernisasi, dan pasti dibarengi modernisasi.13

Globalisasi memiliki banyak konsekuensi, satu di antaranya adalah menciptakan penipisan batas-batas antar negara (borderless state).14 Penipisan batas antar-negara diikuti oleh konsekuensi lain di bidang hukum, yaitu menipisnya batas-batas antar-hukum yang memunculkan hukum tanpa batas (borderless law).15 Yang dimaksud dengan hukum di sini tidak sempit pada norma-norma hukum, melainkan juga pada:

1. Pemahaman terhadap hukum, misalnya dalam bidang hak asasi manusia, suatu Non-Governmental Organization (“NGO”) dapat mempersoalkan hukum di negaranya sebagai hukum yang melanggar hak asasi manusia dengan menggunakan standar dan pemahaman hak asasi manusia yang tidak terbatas pada suatu negara16;

2. Soft law, misalnya dalam bidang hukum perbankan, terdapat standar perbankan yang menjadi produk soft law dari The Basel Committee on

9 Asrinaldi dan Yoserizal (2020), “Problems with the Implementation of Adat Basandi Syarak Syarak Basandi Kitabullah Philosophy”, Masyarakat, Kebudayaan, dan Politik 33 (2), 162-173, hal.162.

10 Boventura de Sausa Santos (1987), “Law: A Map of Misreading towards a Postmodern Conception of Law”, Journal of Law and Society 14 (3), 279-302, hal.297-298.

11 Brian Z. Tamanaha (2021), Legal Pluralism Explained History, Theory, Consequences, Oxford University Press, New York, hal.152.

12 Sally Engle Merry, op.Cit, hal.872.

13 Suharni (2015), “Westernisasi sebagai Problema Pendidikan Era Modern”, Jurnal Al-Ijtimaiyyah 1 (1), 73-88, hal.74.

14 Respati Triana Putri, et.al (2022), “Problematika Human Trafficking sebagai Kejahatan Transnasional dalam Perspektif Keimigrasian dan Hukum Internasional”, Journal of Law and Border Protection 4 (1), 79-88, hal.80.

15 Sulistyowati Irianto, op.Cit, hal.160.

16 Brian Z. Tamanaha, op.Cit, hal.155.

(4)

Volume 6, Nomor 2, Agustus 2023 307 Banking Supervision, suatu organisasi antar-pemerintah buatan Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang yang telah digunakan oleh banyak lembaga perbankan di dunia17;

3. Penegakan hukum oleh lembaga non-penegak hukum, misalnya dalam bidang hukum siber, Google menggunakan aturan-aturan dari Uni-Eropa untuk memproses laporan terkait situs-situs internet dan permintaan penghapusan data pribadi dari situs-situs tersebut sejak tahun 2014. Dari 845.000 permohonan laporan yang masuk pada tahun 2019, 45%-nya diproses berdasarkan “right to be forgotten law” dari Uni Eropa. Dalam kasus ini, terlihat hukum dari Uni-Eropa yang menembus batas Uni-Eropa, dan ditegakkan oleh Google yang merupakan badan hukum privat18; serta,

4. Norma-norma non-hukum lainnya yang dibuat untuk menciptakan ketertiban (nonstate forms of normative ordering).19

Jadi, pengertian sistem hukum yang saling berinteraksi dalam memahami pluralisme hukum hendaknya tidak dibaca secara sempit pada interaksi antar- hukum positif negara-negara saja, melainkan jauh lebih luas dari itu. Pluralisme hukum melibatkan norma hukum dalam berbagai bentuk, bahkan melibatkan pula norma-norma yang bukan norma hukum namun berpengaruh terhadap hukum.

Borderless law memungkinkan hukum dari wilayah tertentu masuk ke wilayah lain, dari wilayah yang lebih besar ke yang lebih kecil, misalnya internasional ke lokal, atau sebaliknya.20 Mobilisasi hukum ini bisa memunculkan berbagai tanggapan. Bisa diserap sepunuhnya, atau disesuaikan dengan nilai- nilai yang ada dalam wilayah yang bersangkutan.21 Adanya borderless law ini berimplikasi kepada bagian-bagian kecil dari hukum, terutama bagian-bagian yang pasti bersentuhan dengan sistem hukum lain. Adalah bisnis internasional yang dipilih sebagai aspek kecil dari hukum yang terdampak globalisasi dan memberi ruang luas bagi perkembangan pluralisme hukum. Bagaimana relevansinya antara bisnis internasional dan pluralisme hukum, bagaimana perkembangan hukum kontrak dalam ranah bisnis internasional melakukan resepsi terharap pluralisme hukum, serta bagaimana pengaruhnya terhadap perkembangan hukum kontrak domestik, adalah masalah-masalah yang dibahas dalam karya ilmiah ini.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pembahasan akan dilakukan dengan membaginya dalam dua sub- bahasan. Pertama, akan dibahas mengenai keterkaitan bisnis internasional dengan pluralisme hukum. Kedua, akan dibahas mengenai salah satu produk

17 Ibid., hal.154.

18 Kelion, Leo (2019), “Google Wins Landmark Right to be Forgotten Case”, BBC News (https://www.bbc.com/news/technology-49808208. Diakses pada tanggal 08 Mei 2023, pukul 5:20 WIB).

19 Sally Engle Merry, op.Cit, hal.873.

20 Neny Marlina (2015), “Eksistensi Potensi Lokal dalam Fenomena Glokalisasi”, Government 8 (2), 105-116, hal.106.

21 Sulistyowati Irianto, op.Cit, hal.161.

(5)

Volume 6, Nomor 2, Agustus 2023 308 soft law yang sangat mencirikan adanya pluralisme hukum dalam bisnis yang demikian kompleks.

Pluralisme Hukum, Bisnis Internasional, dan Hukum Kontrak

Fenomena globalisasi dan terdapatnya borderless law berdampak pada sektor-sektor hukum yang lebih kecil. Satu di antara sektor terdampak adalah hukum yang mengatur mengenai transaksi bisnis internasional. Bisnis internasional mendapatkan kesempatan yang lebih tinggi untuk berkembang pesat dalam nuansa globalisasi, sekaligus menimbulkan tantangan-tantangan baru bagi pebisnis.22 Tantangan tersebut berimplikasi pula pada hukum, bahwa hukum menghadapi persoalan yang sebelumnya belum pernah dihadapi dalam ranah bisnis internasional. Terus berkembangnya jenis-jenis kontrak bisnis ke arah yang lebih kompleks, misalnya dengan adanya network contract yang melibatkan transaksi berjangka panjang dan banyak pihak dalam suatu rangkaian bisnis, memaksa hukum untuk merespon kebutuhan-kebutuhan tersebut. Bisnis internasional yang dilakukan oleh para pihak dari negara berbeda, atau yang menyangkut unsur esensial dalam transaksi yang ada di negara berbeda dengan pihaknya, pasti melibatkan lebih dari satu sistem hukum.

Perlibatan lebih dari satu sistem hukum yang terjadi dalam kemasan globalisasi inilah yang menyebabkan interaksi antar-hukum satu sistem dengan sistem lain, termasuk pula pencampurannya, menjadi lazim terjadi.

Bila dalam pandangan umum kita sering mengklasifikasikan hukum kontrak yang berasal dari tradisi Civil Law dan Common Law, maka dengan adanya globalisasi dan pluralisme hukum, hukum kontrak dari kedua tradisi itu saling berinteraksi, bercampur-aduk, dan mengkaburkan batas-batas tegas di antara keduanya. Gejala ini dapat kita lihat dari bercampurnya asas-asas hukum kontrak yang semula berasal dari tradisi Common Law, saat ini dianut oleh negara-negara bertradisi Civil Law, dan demikian pula sebaliknya. Sebagai contoh, konsep pembentukan kontrak melalui penawaran dan akseptasi (offer and acceptance) yang mulanya berakar pada tradisi Common Law banyak dianut oleh negara-negara bertradisi Civil Law. Terdapat 15 pasal baru dalam undang- undang kontrak Perancis yang mengatur secara khusus mengenai pembentukan kontrak dan tanggung jawab pra-kontrak.23 Begitu pula di Belanda, melalui Nieuw Burgerlijk Wetboek, diatur secara khusus mengenai pembentukan kontrak.24 Upaya yang sama juga beberapa kali dilakukan di Indonesia, salah satunya oleh Bayu Seto Hardjowahono dan tim yang dituangkan dalam Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Hukum Kontrak pada tahun 2013.25 Pun demikian,

22 Suparprawat Siripipatthanakul (2021), “Advanced International Business: A Review Article”, SSRN Electronic Journal, 1-11, hal.1-3.

23 Rowan, Solene (2017), “The New French Law of Contract”, International & Comparative Law Quarterly, 1-21, hal.8.

24 Section 6.5.2 “Formation of Agreements”, Dutch Civil Law (http://www.dutchcivillaw.com/civilcodebook066.htm, diakses pada tanggal 07 Mei 2023, pukul 14:15 WIB).

25 Tim Penyusun Naskah Akademik RUU Hukum Kontrak, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Hukum Kontrak, Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, Jakarta, hal.145.

(6)

Volume 6, Nomor 2, Agustus 2023 309 sampai saat ini belum terlihat batang hidung dari perumusan undang-undang ini oleh parlemen tanpa alasan yang pasti.

Prinsip-Prinsip UNIDROIT: Ruang Pluralisme Hukum dalam Bisnis Internasional

Pengembangan hukum kontrak di Indonesia, juga beberapa negara lain seperti Belanda, Cina, Amerika Serikat, dan Argentina, banyak merujuk kepada instrumen hukum bernama UNIDROIT Principles of Internasional Commercial Contracts (“UPICC”). UPICC adalah suatu kodifikasi hukum tidak mengikat (non- binding codification) yang dibuat oleh lembaga UNIDROIT pada tahun 1994 (terakhir diperbaharui pada tahun 2016), dengan tujuan harmonisasi dan unifikasi hukum kontrak di seluruh dunia.26 Inisiasi dari UNIDROIT tersebut timbul sebagai respon atas perkembangan bisnis internasional yang hampir pasti melibatkan kontrak bisnis. Persoalan muncul ketika dua atau lebih sistem hukum yang terlibat dalam sebuah bisnis internasional, mengatur secara berbeda atau berlawanan mengenai hukum kontraknya, atau bahkan ada lembaga/pranata hukum kontrak yang dikenal pada sebuah sistem hukum ternyata tidak dikenal pada sistem hukum lainnya. Dibuatlah UPICC sebagai pemersatu perbedaan- perbedaan tersebut atau setidak-tidaknya meminimalisir perbedaan-perbedaan antar-sistem hukum. Maka dari itu, muatan hukum kontrak yang ada dalam UPICC dibuat senetral mungkin, yakni serba mengambil jalan tengah antara hukum kontrak dalam perspektif tradisi civil law dan dalam perspektif common law. Jadi, tujuan utama dari UPICC adalah bagaimana menciptakan hukum kontrak yang uni dan harmonis di dunia, serta dalam satu napas juga menjawab persoalan-persoalan kontrak bisnis internasional yang terus berkembang.

Terlepas dari kemungkinan tercapainya visi UNIDROIT itu, UPICC dibuat dengan berlandaskan pada kesadaran atas adanya pluralisme hukum. Dalam UPICC, terlihat terang adanya interaksi dari dua tradisi hukum dalam mengatur tentang kontrak. Berikut beberapa contohnya:

1. Dalam Article 1.7 UPICC, diatur mengenai itikad baik dan transaksi yang adil. Pasal ini menyatakan bahwa para pihak wajib beritikad baik dalam melangsungkan bisnis internasional, dan adanya itikad baik tersebut bersifat mutlak.27 Doktrin itikad baik berasal dari tradisi civil law yang tidak dikenal dalam tradisi common law.28 Sebagai ilustrasi, dalam Hukum Inggris kewajiban untuk beritikad baik hanya muncul dalam 3 kondisi, yakni apabila: 1.) dalam kontrak disebutkan bahwa para pihak wajib menjalankan kontrak tersebut dengan itikad baik; 2.) tidak disebutkan dalam kontrak, tapi para pihak menyepakati secara tidak tertulis bahwa mereka bertindak berdasarkan itikad baik; dan, 3.) ada kontrak lain yang disepakati para pihak yang relevan dengan kontrak a quo, yang

26 UNIDROIT (2016), UNIDROIT Principles of International Commercial Contracts, UNIDROIT, Roma, hal.xxviii.

27 Ibid., Article 1.7.

28 George Leggatt (2018), Negotiation in Good Faith: Adapting to Changing Circumstances in Contracts and English Contract Law, disampaikan pada acara Jill Poole Memorial Lecture di Aston University, tanggal 19 Oktober 2018 (https://www.judiciary.uk/wp- content/uploads/2018/10/leggatt-jill-poole-memorial-lecture-2018.pdf. Diakses pada tanggal 12 Mei 2023, pukul 8:09 WIB).

(7)

Volume 6, Nomor 2, Agustus 2023 310 mewajibkan penerapan itikad baik.29 Terhadap asas itikad baik pada tradisi common law, Mariana Pargendler menggunakan istilah “the stronger duty of good faith in the civil law; the greater number of mandatory contract rules in the civil law”, untuk menunjukan tradisi civil law yang lebih tegas dalam menganut dan menegakan itikad baik dibanding tradisi common law.30

2. Dalam Chapter 2 Section 1 UPICC, diatur mengenai pembentukan kontrak melalui penawaran dan akseptasi. Bagian ini mengatur mengenai bagaimana kontrak dapat dibentuk oleh, atau dianggap terbentuk di antara, para pihak. Doktrin penawaran dan akseptasi berasal dari tradisi common law31, karena dalam tradisi civil law, secara umum kontrak dinyatakan telah lahir ketika para pihak telah bersepakat berdasarkan doktrin konsensualisme.

3. Dalam Article 2.1.15 UPICC, diatur mengenai itikad buruk pada tahap negosiasi. Kegagalan proses negosiasi untuk mencapai kesepakatan, pada dasarnya tidak membebani para pihak dengan tanggung jawab untuk saling menggantikan biaya-biaya yang sudah dikeluarkan oleh calon mitranya. Tapi, dalam negosiasi dengan kondisi-kondisi tertentu yang dilandasi itikad buruk, pihak yang beritikad buruk tersebut wajib bertanggungjawab terhadap kerugian yang dialami oleh calon mitranya.

Pengaturan ini unik bila ditinjau dari perspektif pluralisme hukum, karena di satu sisi ia mengatur mengenai itikad buruk yang tidak dapat dilepaskan dari doktrin itikad baik dari tradisi civil law, namun di lain sisi memberikan posisi terhadap tahap negosiasi (yang pada dasarnya merupakan proses offering and counter-offering) sebagai proses pembentukan kontrak yang berangkat dari pemahaman hukum kontrak tradisi common law.

Contoh pada poin 1 dan 2 menunjukan resepsi UPICC terhadap dua tradisi hukum. Ini menunjukan ada interaksi antara kedua tradisi hukum tersebut dalam bisnis internasional. Sedangkan contoh pada poin 3 bukan sekedar menunjukan interaksi antar-hukum, melainkan lebih jauh dari itu yakni pencampuran antar-hukum dan berekses pada satu ketentuan yang baru.

Selain itu, UPICC membuka dirinya untuk digunakan sebagai suplementasi penafsiran bagi penegak hukum ketika menghadapi persoalan hukum kontrak.32 Sebagai contoh, di Amerika Serikat UPICC sering digunakan sebagai alat untuk menafsirkan hukum kontrak domestik, utamanya dalam bidang keagenan33, disparitas posisi tawar dan kebebasan berkontrak34, serta

29 Calvert, Alistair, Jameela Bond (2022), “Good Faith in English Contract Law”, Bracewell (https://bracewell.com/insights/good-faith-english-contract-law. Diakses pada tanggal 8 Mei 2023, pukul 15:00 WIB).

30 Mariana Pargendler (2018), “The Role of the State in Contract Law: The Common-Civil Law Divide”, The Yale Journal of International Law 43 (143), 143-189, hal.146.

31 Rdhwan Shareef Salih (2020) “The Concept of Offer in Different Legal Systems”, Journal of Law, Policy and Globalization 101, 146-164, hal.148.

32 Michaels, Ralf (2018), “The UNIDROIT Principles as Reference for the Interpretation of U.S.

Law”, The American Journal of Comparative Law, 66, 31-65, hal.34.

33 Lihat: Chien v. Commonwealth Biotechnologies Inc. (2012).

34 Lihat: Koda v. Carnival Corporation (2007); Matthews v. Princess Cruise Lines, Ltd. (2010);

Escobal v. Celebration Cruise Operator Inc. (2011).

(8)

Volume 6, Nomor 2, Agustus 2023 311 asas itikad baik dalam pembentukan dan pelaksanaan kontrak35. Di Amerika serikat, tidak ada satu kesatuan hukum kontrak yang dikeluarkan oleh federal.

Hukum kontrak yang berlaku merupakan gabungan dari common law (melalui praktik) yang dominan, dan dilengkapi peraturan/statutory law tiap negara bagian. Dalam penegakannya, penggunaan UPICC sebagai alat penafsiran sangat lazim ditemukan, walaupun tidak ada peraturan yang mewajibkan hal tersebut dilakukan. Ini menunjukan adanya percampuran antara hukum kontrak domestik Amerika Serikat dengan UPICC.

SIMPULAN

Akibat globalisasi, kegiatan bisnis internasional dari satu sisi menjadi semakin mudah untuk diinisiasi dan dijalankan, tapi di lain sisi semakin kompleks dengan lahir dan berkembangnya jenis-jenis transaksi baru. Bisnis internasional yang pasti melibatkan lebih dari satu sistem hukum menjadi stimulus berkembangnya pluralisme hukum, apalagi karena terjadi dalam era globalisasi.

Pluralitas dalam koridor bisnis internasional ini disadari dan ditanggapi oleh UNIDROIT dengan membentuk UPICC. Dalam saat bersamaan, UPICC juga merupakan resultan dari pencampuran berbagai sistem hukum kontrak. Hal tersebut menunjukan bahwa pluralisme hukum menciptakan UPICC, dan UNIDROIT menjadi salah satu aktor penggeraknya. Dalam hal ini, UPICC berperan sebagai produk dari pluralisme hukum.

UPICC dapat dijadikan referensi oleh negara yang hendak mengembangkan hukum kontraknya ke arah modern, dipilih oleh pebisnis sebagai pilihan hukum yang ditunduki oleh para pihak melalui kontrak bisnisnya, ditunjuk oleh hakim sebagai lex causae, dan/atau dijadikan suplementasi penafsiran terhadap hukum domestik. Mengingat UPICC bukan suatu hukum positif (melainkan merupakan soft law), maka pluralisme hukum tidak bisa dibatasi artinya pada pluralitas hukum positif. Instrumen-instrumen soft law, bahkan yang bukan hukum sekalipun, dapat dimaknai sebagai gejala pluralisme hukum apabila ia bersentuhan dengan norma-norma hukum. Semua ini menunjukan, bahwa pluralisme hukum tidak berhenti pada produk UPICC, namun produk pluralisme hukum itu menciptakan pluralisme hukum yang baru:

UPICC dapat memasuki, mencampuri, dan mempengaruhi hukum kontrak domestik di setiap negara. Dalam hal ini, UPICC memproduksi pluralisme hukum.

Kesimpulannya, keberpengaruhan pluralisme hukum terhadap bisnis internasional sangat tinggi, apalagi dengan melihat keberadaan UPICC dan perannya dalam menangkap nilai-nilai pluralisme hukum, serta juga kemampuannya untuk masuk secara fleksibel ke dalam hukum kontrak domestik (dengan dijadikan referensi pengembangan hukum kontrak), praktik bisnis (dengan dijadikan pilihan hukum oleh para pihak yang bertransaksi), dan penegakan hukum kontrak (dengan dijadikan lex causae oleh hakim dan/atau dijadikan alat penafsir hukum kontrak domestik).

35 Lihat: Ministry of Defense and Support for the Armed Forces of the Islamic Republic of Iran v.

Cubic Defense Systems, Inc. (1998).

(9)

Volume 6, Nomor 2, Agustus 2023 312 UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillaahirabbil’aalamiin, atas berkat rahmat, nikmat, dan karunia Allah SWT, telah selesai penulisan karya ilmiah ini dengan lancar. Saya ucapkan terima kasih kepada kedua orang tua saya, Memet Akhmad Hakim, SH. dan Kori Kusumah, SH. atas segala dukungan yang telah diberikan, bukan hanya dalam rangka merampungkan tulisan ini, tapi untuk segala bentuk support, semangat, do’a, bantuan, dan motivasi yang diberikan selama saya mengenyam pendidikan hukum. Terima kasih untuk teman-teman Kelompok Membaca Fakultas Hukum UNPAR dalam Program Studi Magister Ilmu Hukum UNPAR yang senantiasa memberikan dukungan selama saya menemppuh masa studi magister ilmu hukum. Terima kasih pula kepada guru-guru saya, khususnya Prof. Dr. Shidarta, S.H., M.Hum., Dr. Tristam Pascal Moeliono, S.H., M.H., LL.M., dan Prof. Dr. Dra.

Sulistyowati Irianto, M.A. atas segala masukan, saran dan kritiknya. Terakhir, terima kasih saya ucapkan kepada Palestina Salma Subagdja, S.H. yang selalu memberi semangat dan menyisihkan waktunya guna berdiskusi. Semoga artikel ini dapat memberikan sumbangsih bagi perkembangan hukum dan membuka peluang riset-riset selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Asrinaldi dan Yoserizal (2020), “Problems with the Implementation of Adat Basandi Syarak Syarak Basandi Kitabullah Philosophy”, Masyarakat, Kebudayaan, dan Politik 33 (2), 162-173.

Calvert, Alistair, dan Jameela Bond (2022), “Good Faith in English Contract Law”, Bracewell (https://bracewell.com/insights/good-faith-english- contract-law. Diakses pada tanggal 8 Mei 2023, pukul 15:00 WIB).

Dutch Civil Law (http://www.dutchcivillaw.com/civilcodebook066.htm, diakses pada tanggal 07 Mei 2023, pukul 14:15 WIB).

Endri (2020), “Pluralisme Hukum Indonesia bagi Hakim Tata Usaha Negara:

antara Tantangan dan Peluang”, Jurnal Hukum Peratun 3 (1), 19-34.

Irianto, Sulistyowati (2012), “Pluralisme Hukum dalam Perspektif Global”, dalam Adrian W. Bedner, et.al (ed.), Kajian Sosio-Legal, Pustaka Larasan, Denpasar.

Kelion, Leo (2019), “Google Wins Landmark Right to be Forgotten Case”, BBC News (https://www.bbc.com/news/technology-49808208. Diakses pada tanggal 08 Mei 2023, pukul 5:20 WIB).

Leggatt, George (2018), Negotiation in Good Faith: Adapting to Changing Circumstances in Contracts and English Contract Law, disampaikan pada acara Jill Poole Memorial Lecture di Aston University, tanggal 19

Oktober 2018 (https://www.judiciary.uk/wp-

content/uploads/2018/10/leggatt-jill-poole-memorial-lecture-2018.pdf.

Diakses pada tanggal 12 Mei 2023, pukul 8:09 WIB).

Marlina, Neny (2015), “Eksistensi Potensi Lokal dalam Fenomena Glokalisasi”, Government 8 (2), 105-116, hal.106.

Merry, Sally Engle (1988), “Legal Pluralism”, Law & Society Review 22 (5), 869- 896.

(10)

Volume 6, Nomor 2, Agustus 2023 313 Michaels, Ralf (2018), “The UNIDROIT Principles as Reference for the Interpretation of U.S. Law”, The American Journal of Comparative Law, 66, 31-65.

Pargendler, Mariana (2018), “The Role of the State in Contract Law: The Common-Civil Law Divide”, The Yale Journal of International Law 43 (143), 143-189.

Pradhani, Sartika Intaning (2021), “Pendekatan Pluralisme Hukum dalam Studi Hukum Adat: Interaksi Hukum Adat dengan Hukum Nasional dan Internasional”, Undang: Jurnal Hukum 4 (1), 81-124.

Pudjilianto, Belinda dan Emy Handayani (2022), “Penerapan Pluralisme Hukum dalam Masyarakat”, Diponegoro Law Journal 11 (2), 1-8.

Putri, Respati Triana, et.al (2022), “Problematika Human Trafficking sebagai Kejahatan Transnasional dalam Perspektif Keimigrasian dan Hukum Internasional”, Journal of Law and Border Protection 4 (1), 79-88.

Rowan, Solene (2017), “The New French Law of Contract”, International &

Comparative Law Quarterly, 1-21.

Salih, Rdhwan Shareef (2020), “The Concept of Offer in Different Legal Systems”, Journal of Law, Policy and Globalization 101, 146-164.

Santos, Boventura de Sausa (1987), “Law: A Map of Misreading towards a Postmodern Conception of Law”, Journal of Law and Society 14 (3), 279-302.

Siripipatthanakul, Suparprawat (2021), “Advanced International Business: A Review Article”, SSRN Electronic Journal, 1-11.

Suharni (2015), “Westernisasi sebagai Problema Pendidikan Era Modern”, Jurnal Al-Ijtimaiyyah 1 (1), 73-88.

Tamanaha, Brian Z. (2021), Legal Pluralism Explained History, Theory, Consequences, Oxford University Press, New York, hal.152.

Tim Penyusun Naskah Akademik RUU Hukum Kontrak (2013), Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Hukum Kontrak, Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, Jakarta, hal.145.

UNIDROIT (2016), UNIDROIT Principles of International Commercial Contracts, UNIDROIT, Roma, hal.xxviii.

Daftar Kasus

Chien v. Commonwealth Biotechnologies Inc. (2012).

Koda v. Carnival Corporation (2007).

Matthews v. Princess Cruise Lines, Ltd. (2010).

Escobal v. Celebration Cruise Operator Inc. (2011).

Ministry of Defense and Support for the Armed Forces of the Islamic Republic of Iran v. Cubic Defense Systems, Inc. (1998).

Referensi

Dokumen terkait

Implementasi prinsip hakim pasif atau aktif dalam proses pembuktian hukum acara perdata tidak tepat jika hanya dilihat di saat terjadinya pembuktian, melainkan

Hasil Penelitian menunjukkan bahwa pengaturan Hukum Internasional mengenai Pembangunan Berkelanjutan dapat dilihat dari Deklarasi Stockholm, yang terdapat dalam prinsip 4, 13,

Terlepas dari hukum formal yang mengatur umur perkawinan, kawin muda merupakan fenomena yang terkait erat dengan nilai-nilai sosial, budaya, agama yang hidup

“Aspek Hukum Internasional dan Hukum Nasional Indonesia atas Konsep Pembangunan Berkelanjutan dan Relevansinya dengan UNEP”. Adalah hasil penulisan saya sendiri, saya

4 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pelaksanaannya dalam Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Adminstrasi Negara, UII Press, Yogyakarta,Cetakan

Dalam Hukum Adat, pertunangan tidaklah sama dengan perkawinan, tujuannya tidaklah melegalkan hubungan suami istri, melainkan perjanjian awal untuk melakukan perkawinan.

Oleh karena itu, didalam penulisan skripsi ini akan dibahas mengenai hal-hal apa saja yang berkaitan dengan, pengaturan penyelesaian sengketa dam perdamaian menurut hukum Islam,

penyerahan barang sudah terjadi, demikian pula separuh uang harga pembelian rumah sudah dibayar, maka menurut hukum adat sebenarnya sudah terjadi suatu jual-beli, dan oleh