Ikan hasil tangkapan tidak dapat terlepas dari infestasi parasit atau kontaminan. Salah satu jenis cacing endoparasit yang mempunyai prevalensi tinggi pada spesies ikan laut adalahAnisakis sp.
Selain itu kerusakan pada kemasan yang memudahkan kontaminan masuk merupakan salah satu penyebab masalah
Indonesia mengatur produk perikanan yang mencakup karantina ikan, pengendalian mutu, hingga keamanan produk ikan dalam permen Kelautan dan Perikanan.
Ikan mackerel kaleng termasuk dalam kategori produk olahan jenis ikan, jenis olahan ikan dalam kaleng untuk distribusinya diwajibkan memenuhi Standar Nasional Indonesia yang diatur dalam .Permen KP Nomor 58 tahun 2016 pasal 4 tentang Pemberlakuan SNI Mackarel dalam kaleng
Pada Permen KP Nomor 5 tahun 2021 pasal 10 yang menyatakan bahwa produk pengalengan ikan dilakukan dengan sterilisasi dan pasteurisasi pada suhu tinggi untuk membunuh bakteri patogen dan pembusuk secara komersial.
Permen KP No 18 Tahun 2019 pasal 1 ayat 1 dan 2 menyatakan jenis-jenis ikan tuna, makarel, dan sarden yang bisa dikemas atau diolah dalam bentuk kalengan.
Menurut Permen KP NO 18 Tahun 2019 Pasal 2 menyatakan bahwa menteri menunjuk LSPro untuk memberikan sertifikasi terhadap produk ikan kalengan yang telah sesuai dengan SPPT SNI.
Penangan
menurut UU No 18 Tahun 2012 pasal 87 harus segera dilakukan pengujian secara berkala yang sesuai dengan pasal 51 dan pasal 52 dalam PP No 86 Tahun 2019.
Kasus dugaan adanya pelanggaran yang berupa cemaran menurut Pasal 51 PP No 86 Tahun 2019 adalah kasus ini harus dilakukan pengawasan oleh lembaga terkaitserta pemeriksaan secara bertahap baik dalam proses produksi, penyimpanan, pengangkutan dan/atau perdagangan lalu, menghentikan, memeriksa, dan mencegah setiap sarana angkutan yang diduga atau patut diduga digunakan dalam Pengangkutan Pangan.
Menurut pasal 51 juga, bahan pangan kalengan harus diperiksa dan diteliti, diketahui segala bentuk dokumen kegiatan produksinya hingga melakukan pengujian untuk kajian lebih lanjut terhadap cemaran yang timbul.
Penanganan kasus ini menurut pasal 52 ayat (1) PP No 86 Tahun 2019 adalah dengan menghentikan kegiatan atau proses Produksi, menghentikan kegiatan distribusi dan/atau melakukan pengamanan Pangan. Karena dugaan pelanggaran yang dimaksud berada pada pasal 52 ayat (2) a dan b yang menyatakan tidak terpenuhinya persyaratan sanitasi dan tidak menjamin keamanan pangan manusia.
Dengan adanya kontaminasi dari cacing tentu produk tersebut teridentifikasi sebagai salah satu pelanggaran. Ada beberapa pelanggaran yang terjadi pada produk kontaminasi cacing ikan makarel.
Pertama adalah pelanggaran persyaratan sanitasi pangan. Menurut PP Republik Indonesia No. 86 Tahun 2019 pasal 4 ayat (1) sampai dengan (3) menjelaskan bahwa setiap proses produksi diselenggarakan wajib memenuhi persyaratan sanitasi dan menjamin keamanan pangan atau keamanan manusia yang mengkonsumsinya. Pada pasal 4 ayat (2)b disebutkan bahwa salah satu persyaratan sanitasi adalah pemenuhan persyaratan cemaran atau kontaminasi pangan.
Kedua, pelanggaran pengendalian pangan olahan. Menurut pasal 4 ayat (2)c PP Republik Indonesia No. 86 Tahun 2019, salah satu persyaratan keamanan dan sanitasi pangan adalah pemenuhan pengendalian selama proses produksi dan pengendalian
ketertelusuran bahan pokok pembuatan. Pelanggaran ini terjadi karena adanya indikasi kontaminasi berasal dari bahan pokok yang terlebih dahulu terkontaminasi di
lingkungannya dan indikasi kesalahan dalam proses produksi hingga distribusi.
Pelanggaran utama pada kasus ini adalah adanya cemaran cacing pada ikan kalengan yang dikonsumsi oleh masyarakat. Berdasarkan PerBPOM Nomor 13 Tahun 2019 pasal 2, setiap Orang yang memproduksi, memasukkan, dan/atau mengedarkan pangan olahan ke dalam wilayah Indonesia wajib memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan gizi Pangan yaitu batas maksimal cemaran kontaminasi pada produk yang ingin dijual. Pada Permen KP Nomor 19 tahun 2020 pasal 2 menyatakan bahwa setiap orang tidak boleh
memasukkan jenis ikan yang berbahaya bersifat racun yang memiliki parasit
UU No 18 tahun 2012 tentang pangan pasal 134 yang kemudian direvisi pada omnibus law- -Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang RI No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja
Pasal 134 pada Omnibus Law penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00
Pasal 135 pada Omnibus Law penjara pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000.000,00
Jika terdapat pelanggaran maka tentu akan ada sanksi yang diberikan. Sanksi yang diberikan dapat berupa sanksi pidana maupun sanksi perdata. Sanksi secara pidana tercantum pada UU No 18 tahun 2012 tentang pangan yang kemudian direvisi dalam pasal 134 pada Omnibus Law-Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang RI No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dimana setiap orang yang melakukan produksi pangan olahan tertentu untuk diperdagangkan, yang dengan sengaja tidak menerapkan tata cara pengolahan Pangan yang dapat menghambat proses penurunan atau kehilangan kandungan Gizi bahan baku Pangan yang digunakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) dan yang mengakibatkan timbulnya korban / kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00
Sanksi pidana lainnya tercantum pada UU No 18 tahun 2012 pasal 135 yang kemudian telah diubah berdasarkan Omnibus Law-Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang RI No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Pasal ini mengatakan bahwa setiap orang yang menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan/atau peredaran Pangan yang tidak memenuhi Persyaratan Sanitasi Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7l
ayat (2) yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
Putusan ini menghukum pihak yang dikalahkan untuk memenuhi kewajibannya.
Dalam PP No 86 Tahun 2019,menurutpasal 61 ayat (1)-(5).
(1) peringatan tertulis
(2) Sanksi administrasi berupa denda
(3) Sanksi administratif berupa penghentian sementara dari kegiatan (4) Sanksi administratif berupa penarikan Pangan dari Peredaran (5) Sanksi administratif berupa pencabutan izin.