1 ABSTRACT
Introduction
The most ideal implantation technique and intraocular lens in cases of aphakia is still debated. There are several choices including anterior chamber lenses, scleral or iris sutured lenses, and iris-claw lenses. The pre-existing conditions such as low corneal endothelial count and deficiency of capsular support make the secondary intraocular lens implantation becomes more challenging. In this case we report retropupillary fixation of iris claw intraocular lens as a safe and efficient alternative method of placement.
Purpose: To report the experience with retropupillary fixation of iris-claw intraocular lens (IOL) for the correction of aphakia with low corneal endothelial count following previous complicated cataract surgery.
Case report : A 50 year-old male came to Cataract and Refractive Surgery Unit in Cicendo Eye Hospital with blurred vision in his right eye one month following cataract surgery. No history of trauma before. Visual acuity of right eye was 1/60 with raised intraocular pressure (24 mmHg with Goldmann Tonometry). On anterior segment examination there was corneal edema with microbullae and cicatrices on superior quadrant. Vitreous was found in anterior chamber. An oval pupil, iridodonesis, and aphakia were also found. On posterior segment of right eye, there were flame-shaped hemorrhage and dot blot hemorrhage on superior quadrant suggesting a Branch Retinal Vein Occlusion. Specular microscopy of right eye showed low corneal endothelial count (1412.6/mm2 with hexagonality 13%). Interferometry of right eye was 20/60. Two months following his first visit, a retropupillary fixation iris-claw IOL +15.5 Diopter was implanted along with anterior vitrectomy. Four days after surgery, visual acuity of right eye was 0,4F.
Intraocular pressure was 11 with non-contact tonometry.
Conclusions: Retropupillary fixation of iris-claw IOL may be a safe alternative in aphakia with low corneal endothelial count due to physiological advantage of posterior intraocular lens location. This method of placement might lower the risk for corneal decompensation and secondary glaucoma while ensuring good refractive outcome.
I. Pendahuluan
Teknik bedah refraktif pada koreksi afakia semakin berkembang pada dekade terakhir. Afakia merupakan komplikasi yang umumnya terjadi pada operasi katarak yang sulit. Faktor resiko terbesar pada kejadian afakia ialah komplikasi intraoperatif berupa zonular weakness yang diakibatkan oleh adanya trauma atau Pseudoexfoliation (PEX) Syndrome. 1, 2
Jenis lensa intraokular, lokasi implantasi dan metode fiksasi lensa menentukan kompleksitas tindakan operasi dan potensi efek samping yang ditimbulkan. Lensa
intraokular iris Claw awalnya didesain untuk fiksasi pada permukaan anterior dari iris. Akan tetapi pada perkembangannya, pada beberapa serial kasus dilaporkan hasil yang baik dengan implantasi retropupil, khususnya dalam mempertahankan kedalaman bilik mata depan serta menurunkan resiko peningkatan tekanan intraokular dan corneal endothelial cell loss pasca operasi. 3, 4
II. Laporan Kasus
Pasien Tn.I usia 50 tahun pertama kali berobat tanggal 2 Agustus 2017 ke poli Katarak dan Bedah Refraktif RS Mata Cicendo dengan keluhan mata kanan buram setelah operasi. Riwayat operasi katarak mata kanan awal bulan Juli 2017 di Kuningan. Pasca operasi, mata kanan dirasakan lebih buram dibanding sebelumnya.
Riwayat trauma mata disangkal. Riwayat penggunaan tetes mata diluar anjuran dokter disangkal, sedangkan riwayat tetes mata untuk mata kanan pasca operasi hingga saat ini ialah Neomycin, Polymixin B, dan Dexametason tetes mata 5 kali 1 tetes per hari dan Timolol Maleate 0,5% 2 kali 1 tetes per hari. Riwayat penggunaan kacamata minus dan silinder untuk penglihatan jauh sejak lama (±15 tahun).
Riwayat penyakit sistemik lain seperti hipertensi, dislipidemia, diabetes, asma, dan alergi obat disangkal.
Tanda-tanda vital dan pemeriksaan fisik umum dalam batas normal. Pada pemeriksaan oftalmologi didapatkan tajam penglihatan dasar mata kanan 1/60 dan mata kiri 0,05 pinhole 0.125. Hasil refraktometer mata kanan S+10.25 C -2.00x 88 dan mata kiri S-3.25 C -4.25 x 17. Tajam penglihatan mata kanan dengan koreksi lensa S+10.0 = 2/60, pada mata kiri dengan S-3.25 C-3.50 x 15 = 1.0 F2. Kedudukan bola mata ortotropia. Gerak bola mata baik ke segala arah. Pengukuran tekanan intraokular dengan tonometri aplanasi Goldmann didapatkan mata kanan 24 mmHg, mata kiri 16 mmHg. Pemeriksaan segmen anterior mata kanan didapatkan konjungtiva bulbi injeksi siliar, tunnel kedap dengan jahitan 1 buah intak, kornea terdapat sikatriks di bagian superior, edema dan mikrobula, kedalaman bilik mata depan Van Herrick (VH) grade III, flare dan cell (f/s) -/-, vitreous (+), pupil lonjong dilatasi maksimal 6 mm, refleks cahaya langsung/tidak langsung : +/+, tidak terdapat Relative Afferent Pupillary Defect. Iris terdapat iridodonesis, tidak terdapat
sinekia, lensa afakia. Pada segmen anterior mata kiri terdapat kekeruhan lensa NO2NC2P1, lainnya dalam batas normal. Pemeriksaan segmen posterior mata kanan didapati flame-shaped hemorrhage dan dot blot hemorrhage pada kuadran superior, papil saraf optik bulat batas tegas dengan Cup/Disc ratio 0,4, dan Arteri/Vena ratio 2/3. Segmen posterior mata kiri dalam batas normal.
Pasien didagnosis dengan Afakia OD + Branch Retinal Vein Occlusion OD + Glaukoma Sekunder OD + katarak senilis imatur subkapsularis posterior OS + astigmat miopia kompositus OS. Pasien diterapi dengan Timolol Maleate 0,5% 2x1 tetes mata kanan, Acetazolamide tablet 3x250 mg, Kalium L-Aspartat 1x1 tablet, dan Prednisolone Acetate 6 x 1 tetes mata kanan. Pasien dikonsulkan ke unit Retina dan dilakukan Optical Coherence Tomography (OCT) Angiography, OCT Makula, pemeriksaan gula darah dan profil lipid. Semua hasil pemeriksaan dalam batas normal.
Satu minggu kemudian pasien kontrol dengan tajam penglihatan dasar mata kanan 1/60, dengan koreksi S+10.00 = 0,125F. Tekanan bola mata kanan menurun menjadi 18, pada kornea terdapat sikatriks di superior, edema dan mikrobula berkurang, vitreous (+) di bilik mata depan, terapi medikamentosa tetes mata Timolol Maleate 0,5% dilanjutkan, tetes mata Prednisolon Acetate tapering off, sedangkan Acetazolamide oral distop. Pasien disarankan untuk kontrol 3 minggu yang akan datang untuk pertimbangan vitrektomi anterior OD + Implantasi lensa intraokular sekunder OD.
Pasien datang kembali ke poli Katarak dan Bedah Refraktif tgl 27 September 2017 dengan tajam penglihatan dasar mata kanan 1/60, dengan koreksi S+10.00 = 0,2 F2. Tekanan bola mata kanan 17 mmHg dengan Timolol Maleate 0,5%. Pada pemeriksaan segmen anterior mata kanan didapati kornea edema dengan mikrobula di superior, kedalaman bilik mata depan mata kanan VH grade III, flare dan cell (f/s) -/-, vitreous (+), pupil lonjong, dan lensa afakia (Gambar 2.1).
Gambar 2.1. Segmen anterior mata kanan; tampak sikatriks, edema dan mikrobula di kornea superior. Pupil tampak lonjong dan lensa afakia.
Pemeriksaan mikroskop spekular mata kanan didapatkan densitas sel mata kanan 1412.6/mm2 dengan heksagonalitas 13%. Interferometri mata kanan 20/60.
Diputuskan untuk dilakukan vitrektomi anterior mata kanan dengan implantasi lensa intraokular sekunder dengan lensa Iris-Claw retropupillary. Dilakukan informed consent pada pasien mengenai kemungkinan terjadinya dekompensasi kornea pasca operasi.
Pemeriksaan preoperatif dilakukan dengan IOL Master, didapati panjang aksial bola mata kanan 23.67, anterior chamber depth 5,57 mm. Pengukuran lensa menggunakan formula SRK/T dengan target emetropia= +15.5 Dioptri, Konstanta 117.0 untuk implantasi Artisan Aphakia Iris Fixated Lens Ophtec©.
Operasi dilakukan tanggal 11 Oktober 2017 dalam Monitored Anesthesia Care dan injeksi Lidocaine 2% subtenon. Dilakukan peritomi di regio superior dan pembuatan insisi scleral tunnel 6 mm. Selanjutnya dilakukan parasentesis di jam 3 dan jam 9 dengan slit knife. Vitrektomi anterior dilakukan dengan mesin dengan parameter 800 cycle per minute dan vakum 150 mmHg. Bilik mata depan dibentuk dengan Ocular Viscoelastic Device (OVD) Hydroxy-propyl Methylcelullose (HPMC) terlebih dahulu dan selanjutnya dengan Sodium Hyaluronate (Healon 5).
Dilakukan injeksi Carbachol untuk menginduksi miosis pupil hingga ± 3 mm.
Haptik IOL kemudian dimasukkan ke bilik mata depan dengan forceps, kemudian
dirotasi dengan Sinskey hingga posisi horizontal. Optik IOL dipegang dengan forceps dan dilakukan insersi haptik ke bilik mata belakang (retropupil) dan diangkat sedikit anterior ke arah posterior dari iris untuk melihat konfigurasi haptik pada permukaan anterior dari iris. Enklavasi dilakukan dengan enclavator needle dari side port di arah jam 3 dan 9. Iridektomi dilakukan pada arah jam 1. Dilakukan penjahitan pada insisi scleral tunnel 1 buah, vitrektomi anterior dilakukan kembali untuk mengambil sisa vitreous. Irigasi aspirasi dilakukan dengan simcoe cannula untuk membersihkan sisa OVD, bilik mata depan diinjeksi dengan udara dan dilakukan hidrasi kornea.
Hari pertama pasca operasi, tajam penglihatan dasar mata kanan 1/300, tekanan bola mata kanan tonometri non-kontak sulit dinilai, kesan palpasi normal. Pada pemeriksaan segmen anterior mata kanan (Gambar 2.2) terdapat injeksi siliar, perdarahan subkonjungtival, tunnel kedap dengan jahitan 1 buah intak. Terdapat edema kornea dan lipat descemet. Kedalaman bilik mata depan VH grade III, udara (+), dengan flare dan sel sulit dinilai. Pupil updrawn, ireguler, kesan lensa intraokular di bilik mata belakang (+). Pasien diterapi dengan Levofloxacin tetes mata 6x1 tetes mata kanan, Prednisolone Acetate tetes mata 6x1 tetes mata kanan, Timolol Maleate 0,5% 2 kali 2 tetes mata kanan, artificial tears 3 x 1 tetes mata kanan serta terapi oral berupa Acetazolamide tablet 3x 250 mg untuk 3 hari.
Gambar 2.2 Segmen anterior mata kanan 1 hari pasca operasi
Pada kontrol hari ke-4 pasca operasi didapati tajam penglihatan dasar mata kanan 0,4F pinhole tetap. Tekanan bola mata kanan 11 mmHg dengan tonometri non-kontak. Pemeriksaan segmen anterior mata kanan (Gambar 2.3A) didapati injeksi siliar, perdarahan subkonjungtival, tunnel kedap dengan jahitan 1 buah intak (Gambar 2.3B). Edema minimal dan iris pigment pada kornea, kedalaman bilik mata depan VH grade III, flare +1 dan sel +1, pupil lonjong, iris tidak terdapat sinekia, iridektomi (+) jam 13, lensa intraokular iris claw retropupillary (+).
A. B.
Gambar 2.3 A. Segmen anterior mata kanan 4 hari pasca operasi. B. Tampak jahitan 1 buah intak
III. Diskusi
Salah satu indikasi utama dilakukannya pemasangan lensa intraokular sekunder pada pasien afakia dewasa ialah ketidaknyamanan dalam penggunaan kacamata atau lensa kontak dalam mengoreksi afakia. Sebelum pemasangan lensa intraokular sekunder, penting untuk melakukan pemeriksaan detail terkait kualitas kornea, tekanan intraokular, ada tidaknya vitreous di bilik mata depan, abnormalitas iris dan sudut bilik mata depan, ada tidaknya capsular support yang adekuat, kelainan di segmen posterior dan saraf optik, serta komorbiditas okular maupun sistemik dari pasien.1, 2
Idealnya implantasi lensa intraokular dilakukan di dalam kantung lensa, namun pada kondisi dimana capsular support tidak adekuat seperti pada kasus ini, pilihan pemasangan lensa intraokular sekunder meliputi pemasangan Anterior Chamber
Intraocular Lens (AC IOL) pada bilik mata depan, fiksasi Posterior Chamber Intraocular Lens (PC IOL) pada sklera, penjahitan PC IOL pada iris, atau fiksasi iris dengan lensa Iris Claw. 1, 2, 4
Metode implantasi lensa intraokular iris-claw pada segmen anterior pertama kali ditemukan oleh Worst tahun 1980 pada kasus bedah refraktif untuk pasien afakia.
Metode fiksasi ini tidak mengalami banyak perubahan hingga 30 tahun. Seiring waktu, komplikasi berupa penurunan densitas sel endotel kornea semakin diperhatikan, sehingga untuk menghindari komplikasi ini dikembangkan teknik fiksasi posterior dengan lensa iris-claw oleh Amar dan kemudian dimodifikasi oleh Mohr et al. 3,5
Teknik implantasi lensa intraokular di bilik mata depan dengan AC IOL relatif mudah dan cepat, namun lokasi implantasi yang demikian berpotensi mengakibatkan kerusakan endothelium kornea dan struktur sudut bilik mata depan.
Sejak teknik pemasangan AC IOL di tahun 1980an, ditemukan berbagai komplikasi terkait rigid closed-loop dan angle-supported AC-IOL seperti endothelial cell loss yang mengarah kepada pseudophakic bullous keratopathy, uveitis, uveitis- glaucoma-hyphema syndrome, chronic macular edema, kerusakan struktur sudut bilik mata depan, sinekia anterior perifer, blok pupil, dan hifema sehingga dikembangkan open-loop AC-IOL. Meski demikian penggunaan open loop AC-IOL juga dapat mengarah kepada komplikasi serupa. Oleh karena itu implantasi AC- IOL dikontraindikasikan pada pasien dengan glaukoma atau jumlah sel endotel kornea yang rendah, seperti halnya pada kasus ini. 6, 7, 8
Implantasi iris-claw IOL di anterior mengakibatkan penurunan endothelial cell density sebesar 9.78% dalam 3 tahun dan hingga 12.35% dalam 5 tahun, mengarah kepada resiko dekompensasi kornea sebesar 1.7% dalam 2 tahun. Beberapa penjelasan terkait kejadian tersebut ialah manipulasi intraokular di bilik mata depan dan iritasi mekanis (pseudophacodonesis) di bilik mata depan.8, 9, 10
Sclera-fixated Intraocular Lens (SF-IOL) juga merupakan salah satu teknik implantasi pada kasus defisiensi capsular support. Pada teknik ini, lensa terletak jauh dari endotel kornea dan struktur sudut bilik mata depan, akan tetapi teknik ini tergolong sulit dan durasi intraoperatif relatif panjang. Adanya potensi degradasi
dari jahitan dan interaksinya dengan sklera berkaitan dengan kejadian suture erosion pada follow up jangka panjang. Simpul jahitan yang terekspos juga meningkatkan insidens endoftalmitis. Komplikasi lainnya berupa tilting dan desentrasi dari lensa intraokular, glaukoma sudut terbuka, perdarahan suprachoroid, dan ablasio retina. Chan et al menyatakan tidak ada perbedaan yang signifikan antara hasil tajam penglihatan dan jumlah komplikasi pada SF IOL dan AC IOL. 6,
11
Teknik terbaik dalam memperoleh target tajam penglihatan terbaik pada kasus afakia dengan defisiensi capsular support masih diperdebatkan. Helvaci et al melaporkan tidak ada perbedaan yang signifikan dari tajam penglihatan 6 bulan pasca operasi pada implantasi lensa iris claw pada bilik mata depan dengan implantasi lensa iris-claw retropupil. Lokasi implantasi retropupil dikatakan memiliki efek protektif yang signifikan dalam mempertahankan integritas endothelium kornea dan mencegah peningkatan tekanan intraokular, sehingga menjadi pertimbangan utama untuk dilakukan pada pasien ini.3, 13
Komplikasi tersering dari lokasi fiksasi retropupil ialah ovalisasi dari pupil.
Komplikasi ini tidak mempengaruhi hasil tajam penglihatan post operatif. Ovalisasi dapat terjadi akibat tindakan enklavasi yang terlalu erat pada bagian stroma iris midperifer. Kondisi ini dapat kembali normal seiring berjalannya waktu. Pada pasien ini ovalisasi dari pupil telah terjadi sebelum pemasangan lensa intraokular sekunder. Struktur bikonveks dari iris claw IOL dan minimalnya kontak dengan permukaan iris sebenarnya memungkinkan perfusi stroma iris tidak terpengaruh, akan tetapi pada salah satu studi oleh Fellner et al dilaporkan adanya hubungan antara ovalisasi iris dengan penurunan perfusi dari implantasi phakic anterior lens.
Penurunan perfusi dari stroma iris ini mungkin mengarah kepada atrofi iris, yang merupakan komplikasi kedua tersering.13, 14, 15
Fiksasi lensa iris-claw retropupil dilaporkan memiliki waktu pemulihan yang lebih baik dibandingkan fiksasi sklera. Studi serial kasus oleh Hara et al membandingkan hasil postoperatif fiksasi lensa Iris-claw retropupil dengan fiksasi sklera pada mata afakia dengan defisiensi capsular support. Rata-rata visus dasar 1
hari pasca operasi memburuk pada grup fiksasi sklera, sedangkan pada grup lensa iris-claw retropupil tidak didapati perbedaan visus. Tekanan intraokular 1 hari pasca operasi lebih tinggi pada grup fiksasi sklera dibandingkan lensa iris-claw retropupil.13, 16
Mohr et al melaporkan hasil follow up 1 tahun pasca implantasi iris claw IOL retropupil pada 48 mata afakia, didapatkan perbaikan tajam penglihatan pada 27 pasien (56.2 %), posisi IOL tetap stabil pada semua kasus, dan tidak ditemukan kebocoran pada area enklavasi. Cystoid Macular Edema ditemukan pada 2 kasus.
Schallenberg et al melaporkan studi retrospektif meliputi 31 mata afakia dengan defisiensi capsular support. Rata-rata waktu follow up 25 bulan didapatkan tajam penglihatan terbaik 0-3 logMAR. Tajam penglihatan meningkat pada 22 pasien, 2 pasien tidak mengalami perbaikan tajam penglihatan, dan 7 pasien mengalami penurunan tajam penglihatan. Komplikasi yang ditemukan berupa ovalisasi pupil dan 1 kasus ablasio retina. Empat pasien mengalami atrofi iris dan 1 pasien mengalami peningkatan tekanan intraokular. Tidak ditemukan subluksasi IOL, endothelial cell loss, dan edema makula.13, 17
IV. Kesimpulan
Sebagai kesimpulan, retropupillary iris-claw IOL merupakan pilihan tatalaksana pada afakia dengan low corneal endothelium count dengan keuntungan mempertahankan kondisi fisiologis lokasi IOL di posterior, sehingga meminimalisir resiko dekompensasi kornea dan peningkatan tekanan intra okular pasca operatif, sekaligus mengusahakan hasil akhir refraktif yang baik. Follow up jangka panjang perlu dilakukan untuk mengevaluasi lebih lanjut tajam penglihatan jangka panjang dan komplikasi yang timbul.
DAFTAR PUSTAKA
1. Buratto L, Caretti B.L. Cataract Surgery in Complicated Cases. Dalam : Secondary Intraocular Lens Implants in Eyes with or without Capsular Support. Massachusetts: Slack Incorporated; 2000. hlm. 213-30.
2. Friedman NJ et al. Secondary Intraocular Lens Implantation. Dalam:
Tasman W, Jaeger EA (eds) : Duane’s Clinical Opthalmology. Volume 6.
Chapter 8. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2011.
3. Choragiewicz T et al. Outcomes sutureless iris-claw lens Implant. Journal of Opthamology. 2016; Article ID 7013709: 7 pages
4. Forlini M et al. Long-term Follow Up Retropupillary Iris-Claw Intraocular Lens Implant: a Retrospective Analysis.2015;(15):143
5. Amar L. Posterior Chamber Iris Claw Lens. American Intra-Ocular Implant Society Journal. 1980;(6):27
6. Drolsum L et al. Long-term follow-up of Secondary Flexible, Open-loop, Anterior Chamber Intraocular Lenses. Journal of Cataract and Refractive Surgery.2003;(29):498-503
7. Evereklioglu C et al. Comparison of Secondary Implantation of Flexible Open-loop Anterior Chamber and Scleral-fixated Posterior Chamber Intraocular Lenses. Journal of Cataract and Refractive Surgery. 2003;(29);
301-8.
8. Chen Y et al. Three-year follow-up of Secondary Anterior Iris Fixation of an Aphakic Intraocular Lens to Correct Aphakia. Journal of Cataract and Refractive Surgery.2012;(38):1595-1601.
9. De Silva et al. Iris-Claw Intraocular Lenses to Correct Aphakia in Absence of Capsular Support. Journal of Cataract and Refractive Surgery. 2011;(37):
1667-72.
i
10. Guell J L, P. Verdaguer, et al. Secondary Iris-Claw Anterior Chamber Lens Implantation in Patients with Aphakia without Capsular Support. British Journal of Ophtamology.2014;(98):658-63.
11. Chan T.C,Y et al. Comparison Outcomes of Primary Anterior Chamber Versus Secondary Scleral-Fixated Intraocular Lens Implantation in Complicated Cataract Surgeries. American Journal of Ophtamology.
2015;(159): 221-26.
12. Helvaci S et al. Iris-claw intraocular lens implantation: Anterior chamber versus retropupillary implantation. Indian J Ophthalmol. 2016; 64(1): 45–9.
13. Gonnermann J et al. Visual Outcome and Complication after Posterior Iris- claw Aphakic Intraocular Lens Implantation. Journal Cataract Refractive Surgery, 2012;(38):2139-43.
14. Mohr A et al. Retropupillary Fixation of Iris Claw Lens in Aphakia:1 year Outcome of New Implantation Techniques. Der Ophtalmologe.
2002;(99):580-3.
15. Fellner P, V. Bertram, et al. Pupil Ovalization after Phakic Intraocular Lens Implantation is Associated with Sectorial Iris Hypoperfusion. Arch Opthamol. 2005; (123):1061-63.
16. Hara S et al. Retropupillary Fixation of Iris-claw Intraocular Lens Versus Transscleral Suturing Fixation for Aphakic Eyes Without Capsular Support.
Journal of Refractive Surgery.2011;(27): 729-35.
17. Schallenberg M et al. Aphakia correction with retropupillary fixated iris- claw lens (Artisan) – long-term results. Clin Ophthalmol. 2014; (8): 137–41
ii