Proyeksi Dampak Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan Program Food Estate di Kalimantan Barat Berbasis Kajian Literature Review
Arif Yoga Ali Fianda1), Katherine Yuliana Marpaung1), Muhammad Shaquille Wildanwan1), Ageiliana Tri Pamilih1), dan Muhammad Taufan Iskandar1)
ABSTRACT
The food estate program is a project implemented by the government as an investment in the food crops sub-sector with an area of <165 thousand hectares in West Kalimantan, which is carried out with the concept of science-based industry, capital, organization and modern management. The success of the food estate program is a consideration in the sustainability of the program to cover a wider area, so it is necessary to analyze the economic, environmental and social benefits and impacts of the existence of the food estate program. The objectives of this study are: (1) Knowing more about what is food estate and its implementation; (2) Analyzing the social, economic, and environmental impacts of the ongoing program food estate at the research location.. The methods used based on literature review with descriptive qualitative analysis. Food estate programs are able to encourage the formation of employment opportunities that specifically absorb 50 HOK workers per hectare or even up to 30,000 local workers, with the processing of a food estate area of 20 thousand hectares that produces 60 thousand tons of rice which produces approx. IDR 329 billion. Assuming the land can be planted with rice twice a year, it will cost IDR 658 billion per year. It is necessary to increase the productivity of paddy fields and effective land use to increase revenue for the community, government and capital owners.
Keywords : impacts, food estate, literature review
PENDAHULUAN
Indonesia adalah salah satu negara dengan luas hutan terbesar di dunia.
Dengan luas hutan sebesar 93,92 juta ha (Kementerian Kehutanan, 2005) membuat indonesia menjadi paru-paru dunia dan juga memiliki kekayaan vegetasi yang melimpah. Persebaran hutan menyebar luas di Indonesia. Namun, Kalimantan menjadi salah satu pulau dengan luas hutan terbesar saat ini, terutama di provinsi Kalimantan Tengah.
Kalimantan Tengah merupakan salah satu provinsi yang memiliki kawasan hutan rawa gambut cukup luas di Indonesia. Berdasarkan data tahun 2002 dari Badan Planologi Departemen Kehutanan (Bismark et al., 2005). Wilayah ini memiliki hutan rawa gambut terluas, yakni mencapai 3.160.000 ha. Selain itu, Kalimantan Tengah juga memiliki keunggulan komparatif lain seperti sumberdaya
1 Mahasiswa Sarjana Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor (e-mail:
air dan iklim yang sesuai, serta modal sosial budaya yang mendukung. Dengan keunggulan tersebut, membuat lahan rawa di Kalimantan Tengah sangat potensial untuk dikembangkan, salah satunya melalui program food estate dari pemerintah.
Oleh karena itu, maka pemerintah Indonesia mengembangkan program food estate sebagai salah satu ujung tombak dalam strategi ketahanan pangan di masa pandemi COVID-19. Hal ini disebabkan karena lumbung padi Indonesia perlu untuk lebih diperhatikan agar siap untuk menjaga kedaulatan pangan dan kelestarian lingkungan terutama di Pulau Kalimantan. Pulau Kalimantan tidak mungkin bila hanya bergantung pada produksi padi dari Pulau Jawa saja karena proses pendistribusian yang terlalu jauh tentunya akan memakan biaya transportasi yang besar. Sebagai cadangan strategis nasional, dengan kerjasama serta koordinasi dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Kementerian Pertanian (Kementan), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), serta Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Dalam rencana awal, pengembangan program food estate ini akan menggunakan lahan sebanyak 190 ribu hektar di Kalimantan Tengah, 120 ribu hektar di Kalimantan Barat, 10 ribu hektar di Kalimantan Timur, 190 ribu hektare di Maluku, dan 1,9 juta hektar di Papua (Agam & Persada, 2017) sebagai upaya untuk menjaga stabilitas pasokan dan harga pangan pokok strategis, serta efisiensi rantai distribusi pemasaran dengan memperpendek rantai pasok.
Penelitian ini memfokuskan kepada implementasi kegiatan food estate di provinsi Kalimantan Barat, dimana selama ini program food estate menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Lokasi penelitian dilakukan di Provinsi Kalimantan Barat. Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu: (1) Mengetahui lebih dalam mengenai apa itu program food estate dan implementasinya; (2) Menganalisis dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan dari berlangsungnya program food estate di lokasi penelitian.
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian
Kajian ini akan berfokus pada lokasi pelaksanaan food estate di beberapa Kabupaten, Provinsi Kalimantan Barat. Secara khusus, penelitian ini juga mengacu pada hasil kajian beberapa proyek food estate yang telah dijalankan pemerintah.
Beberapa proyek food estate acuan pembahasan riset ini, antara lain wilayah Balungan, Merauke, dan Papua. Lokasi Kalimantan barat dipilih karena daerah ini masih dalam pengembangan proyek food estate yang sudah dijalankan sejak tahun 2016 dan akan terus dikembangkan bersamaan dengan proyek food estate di Kalimantan Tengah. Oleh karena itu, kajian ini penting dalam mengungkap potensi dampak yang akan ditimbulkan dari proyek food estate bagi masyarakat dan wilayah hutan dengan mengacu pada hasil evaluasi proyek-proyek sebelumnya.
Penelitian ini dilakukan melalui tiga sesi. Sesi pertama dilaksanakan dari bulan Februari - Maret 2021 dengan melakukan riset dan kerangka dasar wilayah penelitian, serta aspek-aspek rumusan kajian. Sesi kedua dilaksanakan dari bulan April - Mei 2021 melalui kegiatan pengumpulan data dan informasi melalui berbagai media, pengolahan dan analisis data, serta penyusunan narasi dalam jurnal.
Pada sesi ketiga yang merupakan tahapan akhir penelitian, dilakukan proses penyusunan jurnal penelitian yang dilaksanakan pada bulan Juni 2021.
Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini secara penuh menggunakan data sekunder. Data sekunder dikumpulkan dari berbagai jurnal ilmiah, skripsi, tesis, artikel dan surat kabar, serta kegiatan siniar maupun seminar yang diadakan berbagai instansi. Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan cara studi pustaka (literature review) yaitu membaca, menganalisis mendalam terhadap key person di beberapa seminar ilmiah ataupun jurnal dan publikasi terkait yang meliputi Kabid Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Ketapang, pengelola proyek, petugas Penyuluh Pertanian Lapang dan pengurus UPJA.
Metode Pengumpulan dan Penyeleksian Data
Metode penelitian narrative literature review memiliki fungsi penting dalam sebuah karya ilmiah. Penggunaan narrative literature review dapat mencakup pertanyaan penelitian yang lebih luas dan bersifat abstrak. Selain itu, metode riset ini juga dapat mencakup kumpulan metode lain yang nantinya akan menghasilkan satu kesimpulan yang utuh untuk bagi pengembangan sebuah topik penelitian (Baumeister dan Leary, 1997). Adapun diagram konseptual mengenai kebutuhan berbagai literature review berdasarkan jumlah publikasi penelitian dan literature review diungkapkan oleh Pautasso (2013) yang terlihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Diagram konseptual kebutuhan berbagai jenis literature review berdasarkan pada jumlah publikasi dan jumlah literature review
Metode pengumpulan dan penyeleksian data dalam penelitian ini menggunakan kaidah systematic review. Penggunaan systematic review bertujuan untuk mengurangi hasil-hasil penelitian yang bias dengan cara mengidentifikasi, menilai serta mensintesa seluruh penelitian pada topik tertentu (Uman, 2011). Pada Gambar 2 disajikan flowchart penyeleksian data dalam penelitian ini yang dikumpulkan dari berbagai media.
Gambar 2. Flowchart strategi penyeleksian data dan literatur
Flowchart tersebut menggambarkan alur penyeleksian data dalam penelitian ini. Pada tahapan awal merupakan pencarian pangkal data yang didapatkan sejumlah 85 data dan literatur dari berbagai media. Selanjutnya dilakukan proses penyeleksian yang meliputi seleksi duplikasi, identifikasi, eksklusi dan justifikasi hingga didapat final literatur sebanyak 20 buah.
Keseluruhan literatur yang telah diseleksi kemudian dilakukan proses evaluasi dan pendalaman materi, sehingga dipastikan sesuai dan dapat menjadi acuan penelitian ini.
Metode Analisis Deskriptif Kualitatif
Analisis deskriptif kualitatif adalah suatu metode dalam suatu kajian yang berhubungan dengan kelompok manusia, suatu obyek, set kondisi, suatu sistem pemikiran maupun suatu peristiwa yang terjadi pada masa sekarang (Nazir, 2005) Analisis deskriptif kualitatif digunakan untuk memberikan suatu gambaran umum mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan sosial dari adanya proyek food estate di Kalimantan Barat. Identifikasi kondisi aktual dari adanya proyek food estate juga dapat dianalisis melalui metode deskriptif kualitatif untuk memberikan gambaran secara spesifik dan sistematis.
Analisis deskriptif kualitatif sangat cocok untuk digunakan dalam penelitian ini yang memiliki karakteristik data sekunder. Penggunaan analisis deskriptif kualitatif dalam penelitian ini melingkupi pembahasan urgensi program food estate untuk masyarakat, serta kajian dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan dari adanya proyek food estate bagi masyarakat di sekitar areal hutan khususnya bagi masyarakat adat yang terdampak. Selain itu, penggunaan metode ini didasari bahwa hal ini dapat mengungkap riset yang bersifat kualitatif.
HASIL DAN PEMBAHASAN I. Urgensi Program Food Estate untuk Masyarakat
Food estate merupakan kegiatan usaha budidaya tanaman skala luas (>25 ha) yang dilakukan dengan konsep pertanian sebagai sistem industrial yang berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi, modal, serta organisasi dan manajemen modern. Konsep food estate dikembangkan sebagai cadangan logistik strategis ketahanan pangan baik untuk pertahanan negara maupun sebagai pusat pertanian pangan. Komoditas pangan yang akan diproduksi di food estate yaitu padi, singkong, jagung, serta komoditas-komoditas strategis lainnya yang disesuaikan dengan kondisi lahan dan kebutuhan
Dalam Nota keuangan rancangan anggaran dan pembelanjaan negara (NK RAPBN) Tahun 2021, dinyatakan bahwa pengembangan food estate akan diselaraskan dengan program pemberdayaan transmigrasi/petani eksisting dan investasi small farming yang memiliki luas potensial sebesar 165.000 ha di Kalimantan Tengah. Lahan ini terdiri dari 85.500 ha lahan produktif dan 79.500 ha merupakan lahan yang tidak produktif yang sudah ditinggalkan oleh petani.
Kebutuhan anggaran untuk melaksanakan program ini adalah sebesar Rp2,55 triliun (Kementerian Pertanian, 2020).
Program ini akan mulai dilaksanakan di tahun 2020 dengan fokus pada aktivitas budidaya pertanian pada lahan seluas 30.000 ha dengan komoditas utama adalah padi. Pemilihan kawasan eks pengembangan lahan gambut sebagai lahan program food estate dikarenakan biaya untuk merehabilitasi lahan yang sudah ada lebih murah yaitu ±Rp 9 juta/Ha daripada harus membuka lahan baru dengan biaya
±30 juta/Ha dan memiliki risiko kerusakan lingkungan. Program food estate akan dilaksanakan lintas kementerian negara/lembaga.
Adapun beberapa kementerian yang berperan pada periode 2021-2023 adalah sebagai berikut:
1. Kementerian Pertanian, berperan dalam penyediaan sarana produksi dan pengawalan budidaya.
2. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), berperan dalam rehabilitasi dan peningkatan jaringan irigasi.
3. Kementerian Desa, berperan dalam melakukan revitalisasi lahan transmigrasi pada kondisi eksisting.
4. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), melakukan konservasi dan rehabilitasi lahan gambut, penataan jelajah habitat satwa, dan perhutanan sosial.
II. Proyeksi dan Evaluasi Dampak Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan dari Program Food Estate di Kalimantan Barat
Program food estate tentunya memiliki dampak baik positif maupun negatif, berikut pembahasan mengenai dampak program food estate di Kalimantan Barat secara sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Dampak Sosial dari Program Food Estate
Pengembangan proyek food estate yang sudah dicanangkan sejak rezim orde baru memang masih dianggap sebagai suatu langkah konkret dalam penjaminan ketahanan pangan. Akan tetapi, perspektif masyarakat hingga pemerintah terhadap isu food estate masih sebatas pada pencetakan lahan baru.
Misalnya saja pada beberapa proyek food estate yang selama ini telah digarap oleh pemerintah antara lain di Ketapang Kalimantan Barat, Balungan, Merauke, Papua, hingga yang terbaru di Kalimantan Tengah (Sianipar dan Tangkudung, 2021;
Ramadayanti, 2020; Kamim dan Altamaha, 2019, dan Asti, 2016). Wacana pengembangan proyek food estate selalu berkaitan dengan potensi manfaat sosial yang timbul dari proyek ini.
Beberapa literatur acuan menegaskan potensi manfaat yang timbul dari proyek food estate ini. Lahan garapan food estate seluas 4.482 Ha diprediksikan berkontribusi pada produksi padi hingga 20,8 ribu kg (Asti, 2016). Sejalan dengan hal tersebut, Sianipar dan Tangkudung (2021) memprediksi potensi produksi beras dari lahan food estate di Kalimantan Tengah mencapai 60 juta kilogram per 20.000 Ha. Potensi produksi yang ditargetkan tercapai dari proyek food estate tersebut memang sangat menjanjikan untuk mencapai kemandirian pangan Indonesia.
Manfaat sosial yang diprediksi tercipta dari proyek food estate pun beragam.
Program ini mampu mendorong terbentuknya lapangan kerja (ILO, 2008) yang secara spesifik menyerap 50 HOK tenaga kerja per hektar (Asti, 2016), atau bahkan hingga 30.000 tenaga kerja setempat (Setyabudi, 2016). Bukan hanya dari penciptaan lapangan kerja, food estate juga diharapkan mampu mengurangi kemiskinan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mempercepat pemerataan pembangunan, dan mengurangi kesenjangan (Fitriana dan Marni, 2021; Basundoro dan Sulaeman, 2020; Ramadayanti, 2020).
Tabel 1. Alasan masyarakat setuju dengan pengembangan proyek food estate
Alasan Frekuensi Persentase (%)
Pemberdayaan petani 28 35
Pengoptimalan lahan pertanian 22 27.5
Meningkatkan produktivitas pertanian
17 21.25
Mencapai swasembada pangan 13 16.25
Jumlah 80 100
Sumber: Fitriana dan Marni (2020)
Hasil penelitian Fitriana dan Marni (2020) secara tegas mengungkapkan, sekitar 72,5% masyarakat Desa Gandang, Kabupaten Pulang Pisau setuju terhadap proyek food estate. Terdapat beberapa alasan yang mendasari masyarakat setuju dengan adanya proyek food estate seperti yang terdapat pada Tabel XX. Alasan terkuat masyarakat mendukung adanya proyek food estate ini adalah sasaran program pemberdayaan bagi petani lokal. Selain itu, kedatangan petani transmigran juga dipercaya akan menjadi faktor pendukung dalam pengembangan proyek food estate.
Sebaliknya, sejumlah ahli secara tegas menolak keberlangsungan proyek food estate yang kembali dijalankan oleh pemerintah. Alasan penolakan itu timbul khususnya karena melihat dampak sosial yang terjadi di masyarakat pasca keberadaan proyek food estate di sejumlah wilayah. Salah satu bukti yang menjadi titik kritis penolakan proyek food estate adalah berkaca pada program Merauke Integrated Food and Energy System (MIFEE) yang menimbulkan sejumlah prahara di masyarakat.
Rifandini dan Triguswinri (2020) menegaskan bahwa pelaksanaan MIFEE sebagai bagian dari ketercapaian Sustainable Development Goals (SDGs) dengan mengintegrasikan produksi pangan pertanian, perkebunan, dan peternakan menimbulkan kontradiksi terhadap perlindungan, restorasi, dan pemanfaatan berkelanjutan ekosistem hutan. Proyek food estate yang dikembangkan di Ketapang juga menimbulkan konflik lahan, konflik sosial, dan isu politik (Santosa, 2014).
Kajian lainnya tentang proyek food estate di Balungan menunjukkan hal yang lebih kompleks dimana terjadi kerawanan pangan (Sutawi, 2020), dan sumber pangan lokal yang semakin dikorbankan (Kamim dan Altamaha, 2019).
Tabel 2. Perbandingan manfaat yang direncanakan dan dampak atas kondisi riil pengembangan proyek food estate di sejumlah wilayah di Indonesia Potensi manfaat sosial yang
diharapkan
Realita dampak sosial yang timbul
Mengurangi ketimpangan, kemiskinan, dan kesenjangan
Konflik sosial, pembunuhan di antara saudara, dan memperbesar ketimpangan sosial
Penciptaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat lokal
marginalisasi masyarakat lokal di tanah kelahirannya sendiri
Pemberdayaan dan peningkatan taraf hidup masyarakat
Malnutrisi dan beragam penyakit
Menjaga ketahanan pangan nasional Sumber pangan lokal masyarakat adat yang dikorbankan
Pemerataan pembangunan wilayah dan daerah
Jaminan hidup dan keselamatan yang tidak layak
Memberdayakan petani dan mengoptimalkan lahan
Perampasan tanah ulayat
Sumber: Hasil analisis literature review (2021)
Tabel 2 menggambarkan fakta yang terjadi di tengah-tengah masyarakat atas adanya ketimpangan antara harapan (das sollen) dan realita (da sein). Ilustrasi ini dikutip dari sejumlah literatur ilmiah (Sianipar dan Tangkudung, 2021; Fitriana dan Marni, 2021; Rifandini dan Triguswinri, 2020; Ramadayanti, 2020; Kamim dan Altamaha, 2019; Santosa, 2014; dan ILO, 2008), serta beberapa argumen narasumber di sejumlah seminar dalam jaringan (online).
Oleh karena itu, perlu adanya kajian mendalam terhadap pengembangan proyek food estate di Indonesia. Pertimbangan karakteristik masyarakat, entitas budaya, dan keanekaragaman pangan lokal harus menjadi konsentrasi utama agar tidak terjadi lagi konflik sosial yang timbul atas konflik kepentingan. Sudah semestinya kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat dilibatkan dalam proyek-proyek strategis nasional.
Dampak Ekonomi dari Program Food Estate
Hasil proyeksi menarik dari Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund / IMF) yaitu penurunan 5% ekonomi dunia pada tahun 2020, didapatkan berdasarkan salah satu faktor yaitu pandemi Covid-19. Situasi tersebut
secara ekonomi dinilai lebih buruk daripada kejadian krisis keuangan global pada tahun 2008-2009. Sebagian masyarakat Indonesia akan mengalami situasi yang sama dengan yang dirasakan oleh global, yaitu penurunan harga perdagangan, minyak, dan komoditas lainnya serta pembatasan perjalanan dan pengangkutan internasional, memperburuk biaya ekonomi dari pembatasan terkait COVID-19 di negara-negara miskin (IMF, 2020).
Program food estate ini dibuat untuk mengantisipasi krisis pangan seperti prediksi Badan Pangan Dunia (FAO) (Bhwana, 2020) dengan menjadikannya sebagai pusat pertanian pangan untuk cadangan logistik strategis bagi pertahanan negara. Program tersebut akan menjadi salah satu Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024. Ketersediaan pangan (availability) masyarakat dipengaruhi oleh tiga faktor menurut Sianipar B (2021) yaitu produksi pertanian, distribusi, dan kegiatan ekspor-impor. Ketiga faktor utama tersebut merupakan aktivitas-aktivitas yang erat kaitannya dengan ekonomi.
Ketersediaan pangan (availability), akses pangan (access), dan Stabilitas pangan (stability) menjadi faktor utama yang secara ekonomi mempengaruhi harga pangan, kesejahteraan masyarakat, dan pendapatan negara di sektor pertanian.
Ketersediaan pangan mengalami gangguan yang diprediksi dapat menyebabkan krisis pangan dan bencana kelaparan. Hal ini dapat dilihat dari proses distribusi pangan yang sangat terhambat di tengah pandemi dikarenakan Indonesia masih banyak menggunakan tenaga manusia sehingga protokol yang ketat perlu untuk ditetapkan. Akses kepada pangan pokok pun menjadi lebih sulit setelah adanya pandemi covid-19, yang diakibatkan oleh hilang atau berkurangnya pendapatan masyarakat karena kehilangan pekerjaannya. Stabilitas pangan sulit untuk didapatkan oleh karena wabah Covid-19 turut mempengaruhi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Situasi tersebut telah berimbas pada semakin mahalnya harga kebutuhan barang pokok, termasuk bahan pangan, karena sebagian kebutuhan pokok masih bergantung dari impor (Sandy, 2020).
Analisa Provinsi Kalimantan Tengah sebagai lokasi food estate menunjukkan potensi yang baik. Berdasarkan hasil tinjauan Sianipar dan Tangkudung (2021) didapatkan hasil analisis “Pengolahan lahan food estate seluas 20 ribu hektar yang menghasilkan beras sebanyak 60 ribu ton diperlukan biaya adalah 20 ribu hektar x Rp 16.450.00 = Rp 329 miliar. Dengan asumsi lahan tersebut dapat ditanami padi dua kali dalam setahun maka diperlukan biaya 658 miliar rupiah per tahun untuk pengolahan lahan padi food estate Kalteng selama setahun guna menghasilkan 120 ribu ton beras”. Bila ekonomi dengan paradigma berkelanjutan diterapkan dalam proyek food estate maka terdapat kemungkinan besar program ini layak dalam analisis ekonominya.
Dampak Lingkungan dari Program Food Estate
Dalam penerapan program food estate sistem pengelolaan lahan yang masih toleransi terhadap lingkungan. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan sarana
produksi pada usaha tani padi. Penggunaan pupuk pada usahatani ini memang belum sepenuhnya menggunakan pupuk organik selain menggunakan pupuk kandang juga masih menggunakan pupuk kimia (Urea) tetapi menggunakan dosis yang berimbang sehingga masih toleransi terhadap lingkungan (Asti, 2016).
Dari segi lingkungan program food estate sangat memungkinkan akan menghadapi hambatan dalam memproduksi pangan ada beberapa hambatan muncul sehingga potensi yang dimiliki tidak dapat didayagunakan secara optimal.
Hambatan yang pertama adalah keterbatasan ketersediaan lahan hal ini disebabkan terjadinya konversi lahan dan degradasi mutu lahan menyebabkan lahan pertanian semakin sempit sehingga tata ruang dan peruntukan lahan yang tidak jelas dan tumpang tindih. Selain itu, infrastruktur yang masih kurang memadai, akses terbatas terhadap teknologi, pembiayaan yang terbatas dan iklim investasi yang kurang optimal sehingga kebijakan pemanfaatan komoditas pangan feedstock energi terbarukan.
Pada kasus program food estate di Kalimantan Barat dikatakan bahwa kebijakan program tersebut akan merusak fungsi hutan lindung untuk mencegah banjir dan longsor (Wahyu, 2020). Hal ini disebabkan karena dalam penggunaan program pemohon diberikan keleluasaan yang penuh dan tidak diharuskan untuk membuat analisis dampak lingkungan. Pemohon hanya disyaratkan untuk melengkapi dokumen komitmen dan persyaratan teknis seperti Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) cepat. Seperti tujuan dari adanya program ini merupakan salah satu upaya pembangunan negara sehingga kemajuan di dunia akan tercapai.
Namun, perlu di ingat pula pembangunan juga perlu memiliki aspek berkelanjutan.
Seperti yang kita tahu bahwa pembangunan berkelanjutan memastikan untuk pemenuhan kebutuhan saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi masa depan untuk memenuhi kebutuhan. Sangat disayangkan pada konsep ini pembangunan berkelanjutan tidak menyatakan batasan menerapkan teknologi yang berdampak terhadap sumberdaya lingkungan. (Rifandini, 2020)
Beberapa upaya dapat dilakukan untuk meminimalisir dampak lingkungan yang buruk dari berjalannya program food estate. Salah satunya adalah adanya peningkatan kualitas investasi yang diarahkan ke inovasi. didukung pula dengan Blue Print tata Ruang/Tata Guna Lahan yang dalam pembuatannya mempertimbangkan beberapa aspek salah satunya ada pada poin revitalisasi lingkungan fisik pendukung untuk siklus hidrologi yang optimal dan berkelanjutan.
Upaya lainnya yang dilakukan adalah pembangunan ekonomi yang berwawasan lingkungan berkelanjutan dilihat melalui penggunaan sumberdaya terbarukan sehingga minim polusi.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Berdasarkan kajian dan evaluasi program food estate yang diperoleh dari berbagai literatur pendukung, ditemukan sejumlah kesimpulan penelitian sebagai berikut.
1. Dampak dan manfaat sosial dari proyek food estate ini mampu mendorong terbentuknya lapangan kerja yang secara spesifik menyerap 50 HOK tenaga kerja per hektar atau bahkan hingga 30.000 tenaga kerja setempat dengan sasaran program pemberdayaan bagi petani lokal dan petani transmigran menjadi faktor pendukung dalam pengembangan proyek food estate.
2. Program food estate ini memberikan dampak dan manfaat ekonomi dengan pengolahan lahan food estate seluas 20 ribu hektar yang menghasilkan beras sebanyak 60 ribu ton yang menghasilkan sekitar Rp 329 miliar. Dengan asumsi lahan tersebut dapat ditanami padi dua kali dalam setahun maka diperlukan biaya Rp. 658 miliar per tahun. dengan paradigma berkelanjutan dalam proyek food estate terdapat kemungkinan besar program ini layak.
3. Permasalahan dari segi dampak lingkungan meliputi infrastruktur yang masih kurang memadai, akses terbatas terhadap teknologi, pembiayaan yang terbatas dan iklim investasi yang kurang optimal. Namun terdapat beberapa kebijakan serta upaya sudah dilakukan untuk meminimalisir dampak lingkungan dengan inovasi serta teknologi yang berkelanjutan.
Saran
Sejumlah saran yang dapat menjadi pertimbangan setelah adanya kajian ini, diantaranya:
1. Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat dapat mempertimbangkan proyek Food Estate ini untuk dilanjutkan atau dikembangkan mengingat manfaat yang dihasilkan bagi masyarakat sangat besar.
2. Perlunya peningkatan produktivitas lahan sawah dan pemanfaatan lahan yang efektif untuk meningkatkan penerimaan bagi masyarakat, pemerintah maupun pemilik modal.
3. Perlu adanya pengkajian dari segi lingkungan dengan memberikan inovasi serta perlindungan terhadap lingkungan sekitar program food estate untuk mencapai keberlanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Asti. 2016. Analisis kelayakan ekonomi program food estate dalam perspektif perencanaan wilayah: studi kasus Provinsi Kalimantan Barat. [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Basundoro, A.F. dan Sulaeman, F.H. 2020. Meninjau Pengembangan Food Estate Sebagai Strategi Ketahanan Nasional Pada Era Pandemi Covid-19. Jakarta (ID): Lemhannas RI.
Baumeister R.F. dan Leary M.R. 2015. Writing narrative literature reviews.
Med.Writ . 24(4): 311-320. Doi: 10.1037/1089-2680.1.3.311.
Bhwana, P. G. 2020. FAO Warns COVID-19 Pandemic Can Cause Global Food Crisis.Tempo.URL:https://en.tempo.co/read/1392904/three-more- doctors-died-of-covid19-bringing-death-toll-to-130-idi. Diakses tanggal 1 Mei 2021.
Fitriana, E. dan Marni. 2021. Transmigran sebagai modal sosial dalam pengembangan food estate di Kabupaten Pulang Pisau. Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial dan Humaniora. 7(1): 1-14.
IMF J. 2020. A Crisis Like No Other, An Uncertain Recovery. World Econ Outlook.URL:https://www.imf.org/en/Publications/%0AWEO/Issues/2020 /06/24/WEOUpdateJune2020. Diakses tanggal 10 Maret 2021
[ILO] International Labour Organization. 2008. Promotion of Rular Employment for Poverty Reduction. Geneva: International Labour Office.
Kamim, A.B.M. dan Altamaha, R. 2019. Modernisasi tanpa pembangunan dalam proyek food estate di Bulungan dan Merauke. Jurnal Agraria dan Pertanahan. 5(2): 163-179.
Pautasso, M. 2013. Ten simple rules for writing a literature review. PLOS Computational Biology. 9(7): 2. Doi:10.1371/journal.pcbi.1003149.
Ramadayanti, Ega. 2020. Upaya perlindungan hak masyarakat adat setelah satu dasawarsa program MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) melalui Citizen Law Suit. Padjadjaran Law Review. 8(2): 15-26.
Rifandini, R. and Triguswinri, K., 2020. PEREMPUAN DAN ALAM DALAM
WACANA PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN (STUDI
EKOFEMINISME PROYEK MIFEE). Public Policy and Management Inquiry, 4(1), pp.15-32.
Sandy, F. 2020. Corona & Dolar Picu Masalah Baru: Lonjakan Harga
Pangan CNBC Indonesia. URL:
https://www.cnbcindonesia.com/news/20200324182436-4-147355/corona- dolar-picu-masalah-baru-lonjakan-harga-pangan. Diakses Tanggal 05 Mei 2021.
Santosa, E. 2014. Percepatan pembangunan food estate untuk meningkatkan ketahanan dan kemandirian pangan nasional. Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan. 1(2): 80-85.
Setyabudi, A.N. 2016. Strategi pembangunan pertanian dalam rangka mendukung program ketahanan pangan di Kabupaten Ketapang. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Publik. 3(2): 1-10.
Sianipar, B. dan Tangkudung, A.G. 2021. Tinjauan ekonomi, politik, dan keamanan terhadap pengembangan food estate di Kalimantan Tengah sebagai
alternative menjaga ketahanan pangan di tengah pandemi Covid-19. Jurnal Komunikasi, Masyarakat, dan Keamanan. 3(1): 30-41.
Sutawi. 2020. Food estate mewujudkan ketahanan pangan masa pandemi dan pasca pandemi Covid-19. Kajian Multidisiplin, pp. 365-379.
Uman, L. 2011. Systematic reviews and meta-analyses. Journal of The Canadian Academy of Child and Adolescent Psychiatry. 20(1): 57–59. Doi:
10.1016/j.revmed.2014.05.011.