1 1.1. Latar Belakang
Perkembangan tatanan perekonomian dunia, memberikan dampak pada berkembangnya sistem pasar bebas, yang mampu mendorong perusahaan-perusahaan untuk meningkatkan daya saing guna memenangkan pangsa pasar. Suatu perusahaan yang memiliki daya saing ditunjukkan dengan adanya pertumbuhan laba. Pada umumnya masyarakat maupun investor dalam mengukur keberhasilan suatu perusahaan dilihat berdasarkan kinerja perusahaan tersebut. Dimana kinerja perusahaan dapat dinilai melalui laporan keuangan.
Laporan keuangan merupakan laporan yang mampu menunjukkan suatu keadaan keuangan perusahaan pada periode sekarang atau pada periode tertentu (Kasmir dalam Novika & Siswanti, 2022). Dari laporan keuangan ini perusahaan dapat memperoleh berbagai informasi atau data yang dibutuhkan oleh pihak yang terkait ketika melakukan analisis laporan keuangan. Analisis laporan keuangan tersebut dapat digunakan untuk mengestimasi laba perusahaan, salah satunya laba yang dihasilkan perusahaan setiap periodenya (Hasanah et al., 2018).
Laba merupakan peningkatan manfaat ekonomi pada satu siklus akuntansi dalam bentuk kenaikan aset atau penurunan liabilitas yang berdampak pada peningkatan ekuitas yang bukan berasal dari kontribusi modal (Pattiasina dalam Ayu et al., 2020). Sedangkan menurut Harahap (dalam Qurani & Hendratno, 2019) pertumbuhan laba merupakan rasio yang menunjukkan kemampuan perusahaan dalam meningkatkan laba bersih dibanding tahun sebelumnya. Pertumbuhan laba yang diperoleh perusahaan sangat penting bagi pemakai laporan keuangan karena dengan mengetahui pertumbuhan laba, perusahaan dapat menentukan apakah terdapat peningkatan atau penurunan kinerja keuangan suatu perusahaan.
Perusahaan yang memperoleh pertumbuhan laba positif menunjukkan bahwa perusahaan mampu mengelola sumber daya yang dimilikinya. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian terhadap faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi naik turunnya laba perusahaan, apakah berpengaruh terhadap tingkat persaingan atau ada faktor lainnya. Salah satu alat yang dapat digunakan untuk memprediksi pertumbuhan laba adalah rasio keuangan.
Fahmi (dalam Budiningtyas, 2022) menyatakan rasio keuangan merupakan suatu perhitungan rasio dengan menggunakan laporan keuangan yang berfungsi sebagai alat ukur dalam menilai kondisi keuangan dan kinerja perusahaan. Rasio tersebut memberikan informasi bagi perusahaan dalam mengevaluasi kinerja keuangan yang dicapai manajemen dalam kurun waktu tertentu sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan estimasi dan memprediksi mengenai kondisi perusahaan pada masa yang akan datang. Menurut Munawir (dalam Qurani & Hendratno, 2019) rasio keuangan yang umum digunakan dalam menilai kinerja keuangan perusahaan yaitu, rasio likuiditas, rasio solvabilitas, rasio aktivitas dan rasio profitabilitas.
Rasio likuiditas (liquidity ratio) adalah alat ukur perusahaan untuk mengetahui kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban yang telah jatuh tempo (Kasmir dalam Simamora & Siagian, 2022). Rasio ini menunjukkan kemampuan suatu entitas dalam menutupi kewajiban lancar perusahaan dengan memanfaatkan aktiva lancarnya. Rasio likuiditas yang digunakan yaitu rasio lancar atau Current Ratio (CR). Current Ratio merupakan rasio untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban jangka pendek atau hutang yang akan jatuh tempo pada saat ditagih secara keseluruhan (Kasmir dalam Puspaningrum et al., 2018).
Rasio solvabilitas (leverage ratio) adalah alat ukur perusahaan yang digunakan untuk mengukur seberapa besar perusahaan membiayai asetnya dengan hutang (Kasmir dalam Suyono et al., 2019). Tingkat rasio
leverage suatu perusahaan dapat dihitung dengan menggunakan Debt to Asset Ratio (DAR) dan Debt to Equity Ratio (DER). Debt to Asset Ratio menurut (Kasmir dalam Puspaningrum et al., 2018) merupakan rasio hutang yang digunakan untuk mengukur perbandingan antara total hutang dengan total aktiva. Dengan kata lain, besarnya aktiva perusahaan dibiayai oleh hutang perusahaan yang berpengaruh terhadap pengelolaan aktiva.
Sedangkan Debt to Equity Ratio (DER) adalah rasio yang digunakan untuk mengukur perbandingan antara total hutang dan total ekuitas perusahaan (Hery dalam Nababan et al., 2022).
Rasio aktivitas adalah rasio yang dapat digunakan sebagai penilaian sejauh mana perusahaan mampu mengelola kegiatan operasi aktivitas perusahaan (Fahmi dalam Indahsari et al., 2022). Dengan kata lain, rasio ini mengukur seberapa efektif perusahaan dalam menggunakan aktiva yang dimiliki beserta pemanfaatan semua sumber daya perusahaan seperti penjualan, persediaan, penagihan hutang, dan lainnya (Suyono et al., 2019). Salah satu rasio aktivitas adalah Total Asset Turnover (TATO).
Total Asset Turnover adalah rasio yang mengukur kemampuan perusahaan dalam menggunakan semua aktiva yang dimilikinya untuk menghasilkan penjualan (Harahap dalam Nababan et al., 2022).
Rasio profitabilitas merupakan rasio yang digunakan dalam menilai kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba. Sedangkan Jorenza (dalam Simamora & Siagian, 2022) menyatakan bahwa profitabiltas adalah kemampuan perusahaan dalam memperoleh keuntungan dari penjualan, total aset dan saham yang dimiliki. Salah satu rasio profitabilitas adalah Net Profit Margin (NPM). Net Profit Margin merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur laba bersih sesudah pajak lalu dibandingkan dengan bagian penjualan (Sujarweni dalam Nababan et al., 2022).
Perusahaan yang digunakan dalam penelitian adalah perusahaan food and beverages yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Perusahaan ini termasuk ke dalam bagian dari perusahaan manufaktur yang bergerak di
industri kebutuhan pokok. Sektor industri ini mengalami perkembangan karena makanan dan minuman merupakan kebutuhan yang dibutuhkan masyarakat setiap hari. Di indonesia, sendiri perusahaan makanan dan minuman sangat berkembang dengan pesat, hal ini dapat dilihat dari jumlah perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dari periode ke periode yang semakin meningkat. Pada tahun 2016-2019 tercatat terdapat 43 perusahaan food and beverages di Indonesia dan mengalami penambahan pada tahun 2021 menjadi 72 perusahaan. Industri ini merupakan salah satu industri yang mampu bertahan di tengah kondisi perekonomian di Indonesia. Peluang untuk menanamkan investasi pada sektor makanan dan minuman ini sangat menjanjikan karena jumlah perusahaan food and beverages yang semakin bertambah dapat memberikan dampak yang menguntungkan bagi berbagai pihak termasuk masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya (Bayu, 2021). Hal ini menyebabkan perusahaan food and beverages sangat dibutuhkan oleh masyarakat sehingga prospeknya menguntungkan baik di masa sekarang maupun di masa yang akan datang sebagai salah satu sektor andalan penopang pertumbuuhan manufaktur dan ekonomi nasional (Kikit Azeharie, 2022).
Menurut Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman terdapat beberapa tantangan dari sisi eksternal yang dihadapi perusahaan makanan dan minuman yaitu belum adanya sinergi peraturan perpajakan dan retribusi, tingginya harga bahan baku dan kemasan, kebijakan energi nasional, keterbatasan infrastruktur, dan tingginya suku bunga kredit di Indonesia. Untuk sisi internal, semua bergantung pada efektif dan efisiensi penerapan strategi oleh manajemen perusahaan. Agar dapat bertahan ditengah persaingan industri yang semakin ketat, manajemen perusahaan food and beverages harus bisa menarik minat para investor dengan memberikan informasi keuangan yang baik (Sari, 2015).
Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh rasio keuangan pada perusahaan food and beverages yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia terhadap pertumbuhan laba pada periode 2016 sampai dengan 2021. Untuk mempermudah dalam melihat fenomena gap yang terjadi pada kinerja keuangan suatu perusahaan, maka dapat dilihat melalui nilai- nilai rasio keuangan current ratio, debt to asset ratio, debt to equity ratio, total asset turnover, net profit margin dan pertumbuhan laba yang terdapat pada grafik sebagai berikut.
Gambar 1.1 Grafik rata-rata Current Ratio
Sumber : IDX (data diolah, 2022)
Berdasarkan grafik diatas dapat dilihat bahwa rata-rata current ratio tahun 2016 sampai 2021 berfluktuatif. Pada tahun 2016 rata-rata current ratio sebesar 230,44% sedangkan pada tahun 2017 rata-rata current ratio sebesar 214,05%, terjadi kenaikan pada tahun 2018 sebesar 216,01%. Kemudian pada tahun 2019 mengalami penurunan kembali sebesar 213,67%, sedangkan pada tahun 2020 terjadi kenaikan yang signifikan sebesar 231,46% dan terus mengalami kenaikan yang signifikan pada tahun 2021 sebesar 251,25%. Hal ini disebabkan karena meningkatnya saldo kas yang dimiliki oleh perusahaan sehingga perusahaan mampu memenuhi tagihan kewajiban lancarnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa industri makanan dan minuman masih ekspansif, meski ada pandemi Covid-19. Ketahanan industri makanan dan minuman
230,44
214,05 216,01 213,67
231,46
251,25
190 200 210 220 230 240 250 260
2016 2017 2018 2019 2020 2021
Current Ratio
66,73
54,26 54,56 53,97 50,71 48,4
0 10 20 30 40 50 60 70 80
2016 2017 2018 2019 2020 2021
Debt to Asset Ratio
ini terlihat dari meningkatnya investasi yang dapat perusahaan terima sepanjang kuartal I-2021. Nilai tersebut meningkat 23,6% dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu sebesar Rp 29,6 triliun. Selain itu, ketahanan industri makanan dan minuman dapat terlihat dari keuntungannya yang masih tinggi selama pandemi (Bayu, 2021).
Hal ini menunjukkan bahwa semakin kecil saldo kas yang dimiliki perusahaan, maka semakin sulit perusahaan untuk melunasi kewajiban lancarnya sehingga nilai rasio yang dihasilkan mengalami penurunan.
Akan tetapi, dengan adanya current ratio yang tinggi akan berpengaruh negatif terhadap kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba, karena sebagian dari modal kerja tidak berputar atau banyak dana yang menganggur.
Sumber : IDX (data diolah, 2022)
Berdasarkan grafik diatas dapat dilihat bahwa rata-rata debt to asset ratio tahun 2016 sampai 2021 mengalami kondisi fluktuatif cenderung menurun. Pada tahun 2016 rata-rata debt to asset ratio sebesar 66,73%
sedangkan pada tahun 2017 rata-rata debt to asset ratio menurun sebesar 54,26%, kemudian terjadi kenaikan pada tahun 2018 sebesar 54,56%. Pada tahun 2019 mengalami penurunan kembali sebesar 53,97%. Pada tahun
Gambar 1.2 Grafik rata-rata Debt to Asset Ratio
100,70
68,30 101,51
142,06
117,55
432,15
0 70 140 210 280 350 420 490
2016 2017 2018 2019 2020 2021
Debt to Equity Ratio
2020 rata-rata debt to asset ratio masih mengalami penurunan sebesar 50,71% dan terus mengalami penurunan yang signifikan pada tahun 2021 sebesar 48,4%. Hal ini disebabkan karena menurunnya hutang perusahaan yang digunakan sebagai pembiayaan aktiva perusahaan, karena pada saat terjadi Covid-19 industri makanan dan minuman menghadapi sejumlah tantangan dalam meningkatkan kinerja di masa pandemi. Salah satunya dikarenakan menurunnya daya beli masyarakat yang terlihat dari konsumsi rumah tangga yang mengalami kontraksi sejak kuartal II tahun 2021. Pada saat itu pertumbuhannya menurun sangat signifikan hingga -5,52%. Tetapi konsumsi rumah tangga mulai membaik hingga kuartal I tahun 2021, namun angkanya masih menurun sebesar 2,23% (Bayu, 2021).
Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin kecil penggunaan hutang dalam pendanaan perusahaan maka menyebabkan nilai rasio mengalami penurunan, Oleh karena itu, semakin tinggi nilai debt to asset ratio maka semakin besar total dana pinjaman yang dapat digunakan perusahaan untuk meningkatkan aset yang dimiliki perusahaan. Artinya setiap peningkatan debt to asset ratio maka akan meningkatkan pertumbuhan laba dan begitupun sebaliknya.
Sumber : IDX (data diolah, 2022)
Gambar 1.3 Grafik rata-rata Debt to Equity Ratio
Berdasarkan grafik diatas menunjukkan bahwa rata-rata debt to equity ratio sektor makanan dan minuman tahun 2016 sampai 2021 mengalami kenaikan dan penurunan. Pada tahun 2016 rata-rata debt to equity ratio sebesar 100,70% sedangkan pada tahun 2017 rata-rata debt to equity ratio mengalami penurunan sebesar 68,3%. Kemudian pada tahun 2018 terjadi kenaikan sebesar 101,51%. Pada tahun 2019 terjadi kenaikan sebesar 142,06% sedangkan pada tahun 2020 terjadi penurunan sebesar 117,55% dan terjadi kenaikan yang signifikan pada tahun 2021 sebesar 432,15%. Pada gambar 1.3 dapat dikatakan bahwa perusahaan food and beverages mengalami kenaikan debt to equity ratio yang sangat signifikan di tahun 2021 yang disebabkan karena meningkatnya hutang perusahaan.
Hal tersebut dilakukan perusahaan agar tetap bertahan selama masa pandemi Covid-19. Karena krisis Covid-19 menjalar pada krisis ekonomi yang terjadi pada hampir semua negara, termasuk indonesia yang disebabkan dengan adanya kebijakan pembatasan aktivitas untuk mencegah penyebaran Covid- 19 (Kemenkeu, 2020).
Hal tersebut dapat menyebabkan penggunaan hutang yang semakin tinggi sehingga kewajiban perusahaan membayar hutang pun semakin besar. Hal ini akan berpengaruh terhadap pertumbuhan laba karena menurunnya minat investor untuk menanamkan modalnya akibat adanya kekhawatiran apabila rasio hutang terhadap modal lebih tinggi.
104,17
97,88
103,58
97,04
88
101,24
75 80 85 90 95 100 105 110
2016 2017 2018 2019 2020 2021
Total Asset Turnover
Gambar 1.4 Grafik rata-rata Total Asset Turnover
Sumber : IDX (data diolah, 2022)
Berdasarkan grafik pada gambar 1.4 menunjukkan bahwa rata-rata rasio total asset turnover sektor makanan dan minuman tahun 2016 sampai 2021 mengalami kondisi yang fluktuatif cenderung menurun. Pada tahun 2016 rata-rata total asset turnover sebesar 104,17% sedangkan pada tahun 2017 rata-rata total asset turnover sebesar 97,88%. Kemudian terjadi kenaikan pada tahun 2018 sebesar 103,58%. Pada tahun 2019 terjadi penurunan sebesar 97,04%. Pada tahun 2020 terjadi penurunan yang signifikan sebesar 88% dan pada tahun 2021 terjadi kenaikan yang signifikan sebesar 101,24%. Hal ini disebabkan karena meningkatnya jumlah aset yang diperoleh dari penjualan. Industri makanan dan minuman ini berkontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional di tengah pandemi Covid- 19. Karena industri ini termasuk ke dalam salah satu sektor yang memiliki permintaan tinggi ketika pandemi, mengingat produk makanan dan minuman sangat dibutuhkan oleh masyarakat sebagai asupan guna meningkatkan imunitas tubuh dalam upaya menjaga kesehatan pada saat Covid-19 melanda (Putra, 2021).
Hal tersebut dapat meningkatkan penjualan sehingga perusahaan dapat menambah jumlah aset yang dimiliki. Oleh karena itu, semakin tinggi total asset turnover maka menunjukkan kemampuan perusahaan dalam
3,87
-11,2
-2,71
-26,92
11,79
18,74
-30 -20 -10 0 10 20 30
2016 2017 2018 2019 2020 2021
Net Profit Margin
menggunakan jumlah aset yang dimiliki perusahaan untuk menghasilkan penjualan, jika perusahaan menghasilkan lebih banyak penjualan maka rasio total asset turnover semakin baik karena perusahaan mampu memperoleh laba yang semakin besar.
Sumber : IDX (data diolah, 2022)
Berdasarkan grafik diatas menunjukkan bahwa rata-rata net profit margin sektor makanan dan minuman pada tahun 2016 sampai 2021 berfluktuatif. Pada tahun 2016 rata-rata net profit margin sebesar 3,87%
sedangkan pada tahun 2017 rata-rata net profit margin berada di nilai terendah dengan nilai rasio yang mencapai -11,2%. Kemudian terjadi kenaikan pada tahun 2018 sebesar -2,71%. Hal ini disebabkan karena perlambatan sektor food and beverages terjadi akibat penurunan laba bersih dibeberapa perusahaan food and beverages terkait dengan turunnya harga minyak kelapa sawit dunia yang berdampak pada penurunan nilai ekspor sektor food and beverages secara keseluruhan (Kemenperin, 2018).
Kemudian pada tahun 2019 terjadi penurunan yang signifikan sebesar - 26,92%. Hal ini dikarenakan ekonomi di Indonesia tumbuh secara tidak maksimal yang salah satu pemicunya adalah melemahnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga karena masyarakat menengah ke atas harus menahan
Gambar 1.5 Grafik rata-rata Net Profit Margin
8,35
9,23
7,91 7,78
1,58
2,54
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
2016 2017 2018 2019 2020 2021
Pertumbuhan Laba
konsuminya di awal tahun. Sehingga penjualan mengalami penurunan yang berdampak pada kerugian perusahaan karena produk yang dijual tidak mampu mencapai targetnya dan mengakibatkan meningkatnya hutang perusahaan yang digunakan untuk memenuhi produksi perusahaan. Pada tahun 2019 juga banyak perusahaan yang sulit mendapatkan tambahan modal untuk memperbaiki produksi perusahaan, hal ini disebabkan kreditur tidak ingin menanggung risiko dengan memberikan hutang kepada perusahaan dengan pertumbuhan ekonomi yang sedang melemah. Sehingga menyebabkan menurunnya stabilitas penjualan dan penurunan struktur modal (Pebrianto, 2020). Pada tahun 2020 rata-rata net profit margin mengalami kenaikan sebesar 11,79%, dan pada tahun 2021 terjadi kenaikan yang signifikan sebesar 18,74%. Hal ini dikarenakan Produk Domestik Bruto (PDB) atas Dasar Harga Konstan (ADHK) industri makanan dan minuman sebesar Rp 775,1 triliun pada 2021. Nilai tersebut tumbuh 2,54% dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar Rp 755,91 triliun. Industri ini masih mencatatkan pertumbuhan yang positif pada 2020 dan 2021 meski terjadinya pandemi Covid-19 (Karnadi, 2022). Hal ini menunjukkan perolehan net profit margin yang meningkat mencerminkan semakin tinggi juga laba bersih yang dihasilkan perusahaan dari penjualan.
Sumber : IDX (data diolah, 2022)
Gambar 1.6 Grafik rata-rata Pertumbuhan Laba
Berdasarkan grafik diatas menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan laba industri makanan dan minuman mengalami kondisi fluktuatif. Pada tahun 2016 rata-rata pertumbuhan laba sebesar 8,35%. Pada tahun 2017 rata-rata pertumbuhan laba mengalami kenaikan sebesar 9,23%, kemudian terjadi penurunan pada tahun 2018 sebesar 7,91%. Penurunan laba ini diakibatkan oleh anjloknya penjualan perusahaan dan meningkatnya beban usaha di beberapa perusahaan food and beverages yang mengalami penurunan pertumbuhan laba yaitu PT. Multi Bintang Indonesia Tbk mencatatkan penurunan laba sebesar 7,36% dibanding dengan perolehan laba di tahun sebelumnya. PT. Indofood Sukses Makmur Tbk mencatatkan penurunan laba sebesar 3,6%. PT. Ultrajaya Milk Industry Tbk mencatatkan penurunan laba sebesar 1,42%. PT. Nippon Sari Corpido Tbk mencatatkan penurunan laba sebesar 6,05%, dan PT. Wilmar Cahaya Indonesia Tbk mencatatkan penurunan laba yang diperoleh sebesar 13,75. Hal tersebut terjadi karena menurunnya kinerja emiten-emiten pada sub sektor makanan dan minuman (Tamara, 2019).
Pada tahun 2019 rata-rata pertumbuhan laba terjadi penurunan sebesar 7,78%. Hal ini dikarenakan ekonomi di Indonesia tumbuh secara tidak maksimal yang salah satu pemicunya adalah melemahnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga karena masyarakat menengah ke atas harus menahan konsuminya di awal tahun. Sehingga penjualan mengalami penurunan yang berdampak pada kerugian perusahaan karena produk yang dijual tidak mampu mencapai targetnya dan mengakibatkan meningkatnya hutang perusahaan yang digunakan untuk memenuhi produksi perusahaan (Hutauruk, 2022).
Pada tahun 2020 terjadi penurunan yang sangat signifikan yaitu sebesar 1,58%. Hal ini terjadi karena adanya pandemi Covid-19, sehinnga aktivitas perekonomian dan mobilitas masyarakat sempat terhenti dan mengakibatkan rendahnya daya beli masyarakat pada saat itu (Akbar, 2020).
Adanya pembatasan kegiatan selama pandemi berpengaruh terhadap lalu lintas barang dan komoditas antar negara yang berdampak pada persediaan
pangan, terutama komoditas yang masih banyak impor (kontan.co.id:2022).
Pada tahun 2021 industri makanan dan minuman mulai tumbuh 2,54%
dibanding tahun sebelumnya. Meski demikian, pertumbuhan industri food and beverages masih melambat dibandingkan masa normal sebelum Covid- 19 melanda (Karnadi, 2022).
Selain itu, fenomena dalam penelitian ini didasarkan oleh keadaan perekonomian Indonesia yang tidak stabil yang ditandai dengan tingkat inflasi yang tinggi. Adanya kenaikan harga bahan baku telah membuat industri makanan dan minuman semakin menurun konsekuensinya pelaku industri makanan dan minuman mau tidak mau harus menaikkan harga produk. Dampak inflasi dunia serta fluktuasi harga bahan baku tersebut tercemin dari indeks harga produsen (IHP) yang memiliki gap sangat tinggi dibandingkan dengan indeks harga konsumen (IHK). Berdasarkan data badan pusat statistik (BPS), IHP industri manufaktur RI pada kuartal I/2022 sebesar 158,64, sedangkan IHK untuk periode yang sama sebesar 108,95 (Fauzan, 2022).
Inflasi tersebut menyebabkan naiknya harga-harga barang yang tinggi sehingga mempengaruhi tingkat daya beli masyarakat. Inflasi juga berdampak terhadap laba perusahaan, karena variabel yang paling kuat yang mempengaruhi laba perusahaan adalah biaya bahan baku dan harga-harga bahan baku untuk produksi ikut mengalami kenaikan. Perusahaan dalam melakukan produksinya tidak lepas dari biaya-biaya produksi dan biaya- biaya operasi yang harus dikeluarkan. Dengan adanya inflasi tersebut biaya- biaya yang dikeluarkan menjadi lebih tinggi, sehingga hal ini dapat mengurangi tingkat laba yang diharapkan (Maryanto, 2021).
Penelitian ini juga dilatar belakangi oleh research gap pada penelitian-penelitian terdahulu. Menurut hasil penelitian Heikal et al., (2014) menunjukkan bahwa current ratio berpengaruh signifikan negatif terhadap pertumbuhan laba. Sedangkan pada penelitian Lailatus et al., (2022) menyatakan bahwa current ratio berpengaruh signifikan positif terhadap pertumbuhan laba.
Penelitian oleh Lestari et al., (2020) menunjukkan bahwa debt to asset ratio berpengaruh signifikan positif terhadap pertumbuhan laba.
Namun hasil penelitian Pratiwi (2018) menyatakan bahwa debt to asset ratio berpengaruh signifikan negatif terhadap pertumbuhan laba.
Penelitian oleh Indahsari et al., (2022) menunjukkan bahwa debt to equity ratio berpengaruh signifikan negatif terhadap pertumbuhan laba.
Sedangkan hasil penelitian Suswardji Nugroho et al., (2017) menunjukkan bahwa debt to equity ratio berpengaruh positif terhadap pertumbuhan laba.
Penelitian oleh Fadilla & Rahadi (2019) menunjukkan bahwa total asset turnover berpengaruh positif terhadap pertumbuhan laba. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Manalu et al., (2020) menunjukkan bahwa total asset turnover berpengaruh tidak signifikan terhadap pertumbuhan laba.
Penelitian oleh Endri et al., (2020) menunjukkan bahwa net profit margin berpengaruh positif terhadap pertumbuhan laba. Sedangkan penelitian oleh Lailatus et al., (2022) menunjukkan bahwa net profit margin berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan laba.
Perbedaan penelitian ini dengan yang sebelumnya yaitu terletak pada periode yang diteliti, pada penelitian ini penulis menggunakan periode 2016 sampai dengan 2021. Selanjutnya perbedaan pada variabel penelitian. Pada penelitian terdahulu menggunakan variabel independen Current Ratio dan Debt to Equity Ratio sedangkan pada penelitian ini penulis menambahkan 3 variabel yaitu variabel Debt to Asset Ratio, Total Asset Turnover dan Net Profit Margin. Maka pada penelitian ini penulis menggunakan variabel Current Ratio, Debt to Asset Ratio, Debt to Equity Ratio, Total Asset Turnover dan Net Profit Margin terhadap pertumbuhan laba. Kemudian pada penelitian terdahulu teknik analisis yang digunakan dengan bantuan aplikasi SPSS 20 dengan sampel data yang diuji meggunakan uji asumsi klasik terlebih dahulu seperti uji normalitas, multikolinearitas, autokorelasi, dan heteroskedastisitas. Sedangkan pada penelitian ini menggunakan bantuan aplikasi Eviews versi 9.0 dengan sampel data yang diuji
menggunakan uji analisis regresi data panel dan melakukan uji pemilihan model yang paling tepat dalam melakukan estimasi model regresi data panel.
Berdasarkan fenomena gap dari nilai rasio keuangan dan pertumbuhan laba yang berfluktuatif setiap tahunnya dan adanya perbedaan hasil penelitian-penelitian terdahulu pada research gap, membuat penulis tertarik untuk mengangkat masalah ini dan melakukan penelitian dengan judul “ANALISIS PENGARUH RASIO-RASIO KEUANGAN TERHADAP PERTUMBUHAN LABA” (Studi kasus pada Perusahaan Food and Beverages yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2016- 2021).
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan penelitian tersebut, maka dapat diajukan pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaruh current ratio terhadap pertumbuhan laba pada perusahaan food and beverages yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia 2016-2021?
2. Bagaimana pengaruh debt to asset ratio terhadap pertumbuhan laba pada perusahaan food and beverages yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia 2016-2021?
3. Bagaimana pengaruh debt to equity ratio terhadap pertumbuhan laba pada perusahaan food and beverages yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia 2016-2021?
4. Bagaimana pengaruh total asset turnover terhadap pertumbuhan laba pada perusahaan food and beverages yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia 2016-2021?
5. Bagaimana pengaruh net profit margin terhadap pertumbuhan laba pada perusahaan food and beverages yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia 2016-2021?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis pengaruh current ratio terhadap pertumbuhan laba pada perusahaan food and beverages yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
2. Menganalisis pengaruh debt to asset ratio terhadap pertumbuhan laba pada perusahaan food and beverages yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
3. Menganalisis pengaruh debt to equity ratio terhadap pertumbuhan laba pada perusahaan food and beverages yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
4. Menganalisis pengaruh total asset turnover terhadap pertumbuhan laba pada perusahaan food and beverages yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
5. Menganalisis pengaruh net profit margin terhadap pertumbuhan laba pada perusahaan food and beverages yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk:
1. Bagi Investor
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai gambaran tentang baik buruknya keadaan keuangan perusahaan dalam menghasilkan laba. Dengan adanya penelitian ini, mempermudah investor dalam pengambilan keputusan investasi di masa yang akan datang.
2. Bagi Perusahaan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dan saran serta pemikiran yang bermanfaat dalam
meningkatkan pertumbuhan laba serta dapat membantu manajemen perusahaan dalam mengevaluasi kinerja keuangan.
3. Bagi Akademik
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan referensi dan acuan bagi penelitian berikutnya tentang pengaruh rasio keuangan, khususnya pada perusahaan food and beverage yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.