Tugas 2 HKUM4208
Hukum dan Hak Asasi Manusia 49 Nama : Bagus Arif
Wahyudi NIM : 044158384
Pertanyaan
1. Jelaskan pengertian pelanggaran HAM Berat dan pengaturan hukumnya menurut instrument hukum HAM Internasional dan nasional?
2. Bagaimana prosedur penyelesaian perkara pelanggaran HAM Berat menurut mekanisme internasional dan nasional?
3. Jelaskan contoh kasus pelanggaran HAM berat dalam hukum HAM Internasional?
JAWABAN:
1. Pelanggaran HAM Berat (gross violation of human rights) adalah pelanggaran yang mengakibatkan timbulnya perbuatan pidana terhadap raga, jiwa, martabat, peradaban, dan sumber daya kehidupan manusia. Kemudian, pengertian Pelanggaran HAM Berat menurut UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM pada Pasal 1 angka 2 hanya menjelaskan bahwa “Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini yang meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.”
Menurut standar HAM internasional, ada empat jenis pelanggaran HAM berat yang diatur dalam Pasal 5 Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional atau Rome Statute of the International Criminal Court (ICC), yaitu:
a) Kejahatan terhadap kemanusiaan, yaitu kejahatan meluas dan sistematik yang ditujukan kepada warga sipil, yang tidak manusiawi dan menyebabkan penderitaan fisik dan mental. Bentuk perbuatannya dapat berupa:
pembunuhan di luar hukum;
penyiksaan dan hukuman kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat;
penghilangan paksa;
perbudakan dan praktik serupa perbudakan;
deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa;
perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, pemaksaan kehamilan, pemaksaan sterilisasi, atau bentuk kekerasan seksual lain yang memiliki bobot setara; dan
diskriminasi sistematis, khususnya berdasarkan ras, etnis, atau jenis kelamin, melalui aturan hukum dan kebijakan yang bertujuan mempertahankan subordinasi suatu kelompok.
b) Genosida, yaitu pembantaian brutal dan sistematis terhadap sekelompok suku bangsa dengan tujuan memusnahkan seluruh atau sebagian bangsa tersebut.
Bentuknya dapat berupa:
pembunuhan anggota kelompok;
penyiksaan dan hukuman kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat;
sengaja menciptakan kondisi hidup yang memusnahkan;
mencegah kelahiran; dan
memindahkan anak-anak secara paksa.
c)Kejahatan perang, yaitu pelanggaran terhadap hukum perang, baik oleh militer maupun sipil. Bentuknya dapat berupa:
menyerang warga sipil dan tenaga medis;
perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, pemaksaan kehamilan, pemaksaan sterilisasi, atau bentuk kekerasan seksual lain yang memiliki bobot yang setara; dan
menyerang pihak yang telah mengibarkan bendera putih tanda menyerah.
d) Agresi, yaitu perilaku yang bertujuan menyebabkan bahaya atau kesakitan terhadap target serangan.
Sedangkan, Pelanggaran HAM Berat di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang dibatasi hanya dalam dua bentuk, yaitu:
a) Kejahatan Genosida (Pasal 8)
Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan untuk menghancurkan seluruh/sebagian bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan cara:
Membunuh anggota kelompok;
Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota- anggota kelompok;
Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagainya;
Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau
Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
b) Kejahatan terhadap Kemanusiaan (Pasal 9)
Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah serangan secara luas atau sistematis yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:
Pembunuhan;
Pemusnahan;
Perbudakan;
Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok internasional;
Penyiksaan;
Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
Penghilangan orang secara paksa; atau
Kejahatan apartheid.
2. Mengenai prosedur penyelesaian perkara pelanggaran HAM Berat menurut mekanisme internasional yaitu melalui Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court-ICC). Mahkamah Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC) didirikan berdasarkan Statuta Roma yang diadopsi pada tanggal 17 Juli 1998 oleh 120 negara yang berpartisipasi dalam “United Nations Diplomatic Conference on Plenipotentiaries on the Establishment of an International Criminal Court” di kota Roma, Italia. Dalam Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional pada Pasal 5 Statuta mengatur kewenangan untuk mengadili kejahatan paling serius yang mendapatkan perhatian Internasional dan tergolong luar biasa (extra ordinary crimes) seperti yaitu kejahatan genosida (the crime of genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), kejahatan perang (war crimes), dan kejahatan agresi (the crime of aggression). Kehadiran international criminal court juga merubah pola penegakan hukum pidana internasional yang pada awalnya berpola indirect enforcement yang mengharuskan negara-negara tertentu untuk meratifikasi konvensi internasional untuk diterapkan melalui mekanisme hukum nasional menuju pada model direct enforcement dengan penegakan hukum pidana internasional yang bersifat langsung. Awalnya model penegakan hukum internasional secara eksplisit diterapkan secara ad hoc untuk tempus dan locus deliciti tertentu seperti pengadilan kejahatan internasional bagi bekas Yugoslavia (ICTY) yang dibentuk pada tahun 1993 dan Pengadilan Kejahatan Internasional bagi Rwanda (ICTR) yang dibentuk pada tahun 1994. Walaupun kedua bentuk pengadilan tersebut telah cukup efektif berlaku, namun terbentuknya ICC mengembangkan model penegakan hukum pidana internasional langsung yang bersifat permanen dengan prinsip-prinsip yang masih tetap menghormati kedaulatan suatu negara dan asas legalitas.
Untuk mekanisme peradilannya, ICC mengacu pada prinsip Statuta Roma dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
a) Primacy, dalam mengadili pelaku pelanggaran HAM berat ada pada pengadilan nasional. Kewenangan mengadili ICC tidak dapat dilakksanakan karena proses peradilan ditingkat nasional sedang atau telah dilaksanakan.
b) ICC mempunyai kewenangan mengadili bila negara atau peradilan nasional benar- benar tidak mampu (unable) dan tidak bersedia (unwillingness);
c) ICC tidak dirancang untuk mengganti peradilan nasional, tetapi untuk melengkapi ICC hanya akan bertindak segai jaring pengaman, apabila sistem peradilan nasional collapsed atau secara politis terjadi kompromi dengan kejahatan-kejahatan tersebut;
d) Pada hakekatnya ICC dirancang sebagai suatu badan peradilan supranasional yang independen, karena diberi wewenang untuk menilai dan menentukan adanya ‘unable dan unwillingness’ dari peradilan nasional suatu negara.
Dengan demikian, Hubungan ICC dengan yurisdiksi sistem peradilan pidana nasional bersifat Komplementer sehingga mengandung arti bahwa suatu kasus tidak dapat diterima (inadmissible) apabila:
a) kasus tersebut sedang disidik dan dituntut oleh negara yang memiliki yurisdiksi, kecuali negara tersebut sungguh-sungguh tidak mau atau tidak mampu melakukan penyidikan dan penuntutan;
b) kasus tersebut telah disidik oleh negara yang memiliki yurisdiksi dan negara tersebut telah memutuskan untuk tidak menuntut si pelaku, kecuali keputusan tersebut sebagai akibat ketidakmauan atau ketidakmampuan negara yang sungguh-sungguh untuk menuntut;
c) si pelaku telah diadili atas dasar perbuatan yang sama, kecuali terjadi apa yang dinamakan “peradilan pura-pura” (sham proceeding): proses peradilan dimaksudkan untuk tujuan melindungi si pelaku dari pertanggungjawaban pidana atas kejahatan di bawah yurisdiksi ICC; atau proses peradilan tidak dilaksanakan secara merdeka atau bersifat imparsial sesuai dengan norma-norma “due process” yang diakui oleh hukum internasional serta tidak konsisten dengan tujuan untuk mengadili si pelaku);
d) kasus tersebut tidak cukup memadai untuk memberikan pembenaran langkah-langkah lanjutan.
Kemudian, terkait prosedur penyelesaian perkara pelanggaran HAM Berat di Indonesia menurut UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM memiliki mekanisme khusus, baik untuk tingkat penyelidikan, penyidikan, maupun penuntutannya. Pada tingkat penyelidikan yang mempunyai kewenangan adalah Komnas HAM dengan membentuk Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM (KPP HAM). Hasil penyelidikan, jika ditemukan bukti bahwa terdapat dugaan adanyaupelanggaran HAM yang berat maka akan dilimpahkan ke Kejaksaan Agung untuk dilanjutkan ke tahap penyidikan, dalam tahap ini kalau dari hasil penyidikan menunjukkan adanya pelanggaran HAM yang berat maka diteruskan untuk tahap penuntutan yang juga di lakukan oleh Kejaksaan Agung.
Berdasarkan bukti-bukti dan penuntutan yang diwujudkan dalam surat dakwaan, kemudian digelar pengadilan HAM berdasarkan kompetensi relatif pengadilan. Pada tingkat peradilan dibentuk Pengadilan HAM yang terdiri dari tiga hakim ad hoc dan dua hakim karir. Hakim ad hoc bukan merupakan hakim karir, melainkan praktisi hukum yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung. Pengadilan HAM berkedudukan di kabupaten atau kota yang bersangkutan.
Pengadilan HAM ini juga mengatur tentang kekhususan penanganan terhadap kejahatan- kejahatan yang termasuk gross violatioan of human rights dengan menggunakan norma- norma yang ada dalam hukum internasional. Norma-norma yang diadopsi itu diantaranya adalah mengenai prinsip tanggung jawab individual (Individual Criminal Responsibility) yang dielaborasi dalam ketentuan dalam UU No. 26 Tahun 2000 dalam pasal 1 ayat (4).
Tanggung jawab indvidual ini ditegaskan bahwa tanggung jawab dikenakan terhadap semua orang namun tidak dapat dikenakan kepada pelaku yang berusia dibawah 18 tahun.
Ketentuan ini sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Statuta Roma yang juga mengatur tentang tangung jawab individual dan pembatasan atas tanggung jawab atas keadaan tertentu.
Kemudian, dalam penyelesaian perkara pelanggaran HAM Berat juga dapat melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang merupakan merupakan amanat Ketetapan MPR dan menjadi salah satu mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM berat. Satu-satunya mekanisme pengungkapan kebenaran melalui KKR yang telah terbentuk adalah KKR Aceh yang dasar hukumnya berbeda.
3. Salah satu Pelanggaran HAM Berat dalam dunia internasional adalah Politik Apartheid di Afrika Selatan. Berdasarkan Konvensi Internasional 1973 tentang Penindasan dan Hukuman Kejahatan Apartheid, “kejahatan apartheid” dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan tidak manusiawi yang dilakukan demi membangun dan melanggengkan dominasi oleh satu kelompok rasial terhadap kelompok rasial lainnya, dan secara sistematis bersifat menindas. Definisi serupa diadopsi oleh Statuta Roma 1998 untuk Pengadilan Pidana Internasional (ICC).
Politik Apartheid, mulai diberlakukan di Afrika Selatan pada 1948. Kebijakan tersebut dibuat oleh Partai Nasional Afrika Selatan, untuk memisahkan masyarakat berdasarkan warna kulit untuk melindungi masyarakat kulit putih di sana. Mengutip penelitian Agus Budiman, "Politik Apartheid di Afrika Selatan" yang terbit di Jurnal Artefak, Vol. 1 (2013), kata apartheid memiliki makna "keterpisahan", yang menggambarkan pemisahan hak asasi orang kulit putih dengan kulit hitam. Pemisahan tersebut mengakibatkan berbagai kesenjangan antara masyarakat kulit hitam dengan kulit putih, meliputi kesenjangan politik, sosial, dan ekonomi yang dilegitimasi dengan kebijakan pemerintah melalui Undang-Undang Nasional. Dalam undang-undang apartheid di Afrika Selatan, masyarakat diklasifikasikan dalam 4 kelompok ras yaitu kulit putih (keturunan Eropa), suku bangsa bantu (suku asli bangsa Afrika) atau kulit hitam Afrika, kulit berwarna, atau orang-orang keturunan campuran dan orang Asia (India dan Pakistan). Kebijakan tersebut menimbulkan diskriminasi terhadap ras kulit hitam. Pasalnya, dalam Politik Apartheid, hanya masyarakat dari ras kulit putih yang mendapat hak istimewa untuk memperoleh pendidikan, pekerjaan, hingga kekuasaan politik di Afrika Selatan.
Hal ini tidak terlepas dari adanya aturan yang dibuat oleh Partai Nasional yang mayoritas orang berkulit putihtelah memenangkan pemilu dan menguasai Afrika Selatan pada tahun 1948 sampai awal 1990-an. Aturan-aturan tersebut diantaranya adalah seperti:
a) Undang-Undang Larangan Nikah Campur b) Undang-Undang Registrasi Penduduk c) Undang-Undang Wilayah Kelompok
Peraturan-peraturan tersebut pun berdampak negatif terhadap masyarakat Afrika Selatan.
Beberapa dampak politik apartheid yakni timbulnya diskriminasi masyarakat yang memengaruhi banyak aspek politik, sosial, ekonomi, dan sebagainya. Semenjak itu, lahirlah gerakan-gerakan yang menentang adanya politik apartheid. Contohnya saja gerakan African National Congress (ANC) yang salah satu anggota aktifnya adalah Nelson Mandela.
Oleh karena itu, banyak gerakan rakyat bermunculan, lalu ditambah lagi dengan kecaman keras dari dunia internasional, akhirnya politik apartheid ini pun berakhir. Kemudian pada tanggal 21 Februari 1991, presiden Frederik Willem de Klerk mengumumkan penghapusan sistem politik apartheid di hadapan sidang parlemen Afrika Selatan. Selain itu, ia juga berjanji untuk menyelenggarakan pemilihan umum presiden tanpa pembatasan rasial. Hingga akhirnya di tahun 1994, diadakan pemilu presiden yang dimenangkan oleh Nelson Mandela. Meski kemenangan Nelson Mandela ini resmi menghapuskan politik apartheid, tetapi jejaknya sudah terlanjur membekas dan menyisakan luka di hati warga kulit hitam. Oleh karena itu, untuk mengobati luka warganya, Nelson Mandela mulai membentuk UU Peningkatan Kesatuan Nasional dan Rekonsiliasi.
Sumber Referensi:
1) BMP HKUM4208 Hukum dan Hak Asasi Manusia/ MODUL 1 hlm 1.7-1.33
2) Ufran. 2019. Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Melalui Mekanisme Pengadilan Nasional dan Pengadilan Pidana Internasional. Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan Vol. 7 No. 1, April 2019. Diakses 12 November 2022 dari Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang melalui website
https://jurnalius.ac.id/ojs/index.php/jurnalIUS/article/view/602 3) https://www.amnesty.id/apa-itu-pelanggaran-ham-berat/
4) https://www.komnasham.go.id/index.php/news/2022/05/19/2130/komnas-ham-dorong- komitmen-penyelesaian-pelanggaran-ham-berat.html#:~:text=Mekanisme
%20penyelesaian%20Pelanggaran%20HAM%20Berat,cara%20penyelesaian%20yaitu
%20melalui%20Pengadilan
5) https://tirto.id/contoh-pelanggaran-ham-berat-politik-apartheid-di-afrika-selatan-gwo4 6) https://www.zenius.net/blog/latar-belakang-politik-apartheid