BAB I
PENDAHULUAN
Bab ini menyajikan latar belakang penelitian yang mengkaji eksistensi dan urgensi materi operasi hitung pembagian pecahan sebagai masalah dalam pembelajaran matematika di sekolah. Penjelasan terkait solusi yang ditawarkan untuk mengatasi hambatan belajar yang dialami siswa dalam mempelajari materi operasi hitung pembagian pecahan. Memuat tujuan penelitian, rumusan masalah yang terdiri dari delapan pertanyaan penelitian, dan manfaat penelitian yang dapat dilihat dari segi teori, kebijakan, dan praktik. Bab ini juga menjelaskan definisi operasional dalam penelitian dan struktur organisasi untuk mempermudah memahami alur penelitian.
1.1. Latar Belakang Penelitian
Siswa pada kehidupan sehari-harinya pasti menemukan permasalahan yang berkaitan dengan membagi barang atau benda yang hasilnya harus sama, adil, dan rata. Contohnya di meja makan ada 3 buah apel kemudian dia harus membagi dengan 3 orang adiknya. Permasalahan tersebut akan dengan mudah siswa selesaikan karena 3 buah apel dibagi 3 orang, masing-masing akan mendapat 1 buah apel, pembagian tersebut sudah adil dan merata. Kemampuan menyelesaikan masalah tersebut siswa peroleh dari pembelajaran matematika materi operasi pembagian bilangan asli. Namun pada kenyataannya, tidak semua benda yang harus dibagi rata itu jumlahnya sesuai dengan orang yang akan dibagi. Contohnya ada 2 buah apel di meja sementara teman siswa tersebut ada 6 orang. Dari contoh, bagaimana siswa dapat menyelesaikan masalah pembagian tersebut? Permasalahan ini hanya bisa siswa selesaikan apabila dia sudah belajar atau memahami bilangan pecahan.
Penguasaan materi pecahan pada siswa jenjang Sekolah Dasar (SD) sangat penting karena materi pecahan merupakan dasar untuk belajar Aljabar (Lemonidis
& Kaiafa, 2019; Stelzer, et al., 2019). Pembelajaran pecahan merupakan kegiatan
yang menarik untuk dipelajari lebih lanjut, karena konsep pecahan memiliki akses ke konsep matematika lainnya seperti konsep desimal, persen, dan skala atau perbandingan. Materi pecahan dalam konteks permasalahan sehari-hari dijadikan materi prasyarat sebelum siswa mempelajari konsep matematika lanjutan pada jenjang pendidikan tinggi (Eichhorn, 2018; Namkung, Fuchs & Koziol, 2018;
Alkhateeb, 2019). Hasil penelitian Čadež, et al. (2018) menunjukkan bahwa pada akhir kelas lima, siswa belum menguasai sebagian-seluruh sub-konstruksi pecahan dan memiliki masalah yang berkaitan dengan menghubungkan kongruensi dan bagian keseluruhan.
Materi pecahan merupakan bagian dari bilangan, sehingga diajarkan di awal.
Oleh sebab itu pemahaman siswa dalam mempelajari materi pecahan yang kurang, dapat berakibat pada sulitnya siswa dalam melakukan proses pemecahan masalah dalam matematika. Rohmah (2019) menjelaskan bahwa landasan materi matematika seperti persen, rasio, dan aljabar adalah bilangan pecahan. Dengan demikian guru akan merasa tertantang dan termotivasi. Sehingga terus memperbaiki pembelajaran terutama materi bilangan pecahan serta memberikan layanan pembelajaran terbaik untuk siswa. Permasalahan pembelajaran pecahan dapat dihindari apabila adanya Kerjasama yang baik antara guru dan siswa dalam menciptakan suasana lingkungan kondusif untuk pembelajaran yang memungkinkan terwujudnya tujuan pembelajaran yang sudah direncanakan.
Pecahan merupakan materi matematika yang paling kompleks dan paling penting di belajarkan di SD (Lemonidis & Kaiafa, 2019; Stelzer, et al., 2019).
Pembelajaran matematika pada materi pecahan masih dianggap sulit (Iskenderoglu, 2017; Getenet & Callingham, 2017; Ren & Gunderson, 2019; Thurlings, et al., 2019). Kesulitan dalam mempelajari konsep pecahan disebabkan, kemampuan memahami pecahan sebagai bagian dari keseluruhan yang dinyatakan dalam simbol-simbol memerlukan pemahaman khusus. Konsep pecahan dipandang sebagai difficult-to-learn dan difficult-to-teach. Hal tersebut dapat menciptakan tantangan pedagogis bagi guru secara berkelanjutan, khususnya dalam mengajarkan matematika (Bruce & Flynn, 2013). Salah satu faktor utama yang berkontribusi terhadap kompleksitas pembelajaran pecahan menurut Kor, et al. (2019) adalah
gagasan multi-aspek yang mencakup lima sub-konstruksi yang saling terkait (yaitu, sebagian-keseluruhan, rasio, operasi, hasil bagi, dan ukuran). Kilpatrick (2001) mencatat bahwa banyak kebingungan dengan pecahan terkait dengan interpretasi yang berbeda (konstruksi), representasi (model), dan konvensi pengkodean.
Perdebatan tersebut menyebabkan materi pecahan dianggap sulit oleh siswa.
Pecahan adalah bidang topik yang banyak guru tantang untuk dipelajari dan diajarkan (Stohlmann, et al., 2020).
Tiga alasan penyebab rendahnya pemahaman konseptual siswa pada materi pecahan dari hasil TIMSS atau kepanjangan dari The Trends in International Mathematics and Science Study menurut Wijaya (2017) yang dalam penelitiannya menjelaskan:
1) isi kurikulum Indonesia yang memberi penekanan rendah pada konsep dasar pecahan dan memperkenalkan operasi pecahan terlalu dini; 2) buku teks matematika Indonesia hanya menyajikan satu definisi pecahan, yaitu sebagai bagian dari keseluruhan; dan 3) ada penggunaan terbatas model atau representasi pecahan dalam praktik di kelas.
Permasalahan pada pecahan perlu dibahas dan dicari solusinya, karena materi pecahan pada kurikulum 2013 tidak hanya diajarkan di SD mulai dari kelas II sampai kelas V dan di Sekolah Menengah Pertama (SMP) juga diajarkan di kelas VII dengan cakupan materi yang banyak (Kemdikbud, 2017). Selain itu, guru juga harus mengetahui landasan yuridis yang mendasari pentingnya pembelajaran bilangan pecahan, dengan mengkaji isi dari Kurikulum 2013. Pengkajian difokuskan pada aspek Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) khususnya pada muatan pelajaran matematika di SD pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2018.
Selanjutnya membuat perbandingan kurikulum matematika yang berlaku di Indonesia dengan kurikulum matematika yang berlaku pada National Council of Teacher of Mahematics (NCTM) maupun negara maju lainnya seperti Singapura, Jepang, dan Firlandia, seperti terlihat pada Gambar 1.1 berikut ini:
Gambar 1.1 The Content Standards for Mathematical
Gambar 1.1 di atas, menjelaskan secara umum hasil perbandingan diperoleh bahwa materi pembelajaran matematika meliputi Bilangan, Aljabar, Geometri, dan Statistik. Materi bilangan dalam NCTM maupun negara-negara maju diberikan pada awal pembelajaran matematika seperti halnya di Indonesia. Hal ini bukan tanpa sebab, karena materi bilangan merupakan prayarat siswa mempelajari materi selanjutnya. Temuan ini juga diperkuat oleh Verschaffel (2007) menjelaskan alasan bilangan begitu penting untuk dipelajari oleh siswa, seperti: (1) bilangan merupakan materi awal dalam matematika yang dikenalkan kepada siswa dan diajarkan pada jenjang awal pada sekolah formal; (2) bilangan merupakan dasar dalam mempelajari materi matematika; (3) aplikasi dalam pembelajaran operasi bilangan di dalamnya berkaitan langsung dengan konteks situasi kehidupan nyata.
Materi operasi hitung pecahan merupakan materi pecahan yang sulit bagi siswa. Bentley & Bossé, (2018); Mukwambo, Ngcoza & Ramasike, (2018); Kor, et al., (2019); Stelzer, et al., (2019) menjelaskan kesulitan siswa dalam mempelajari materi operasi hitung pecahan, khususnya dalam menyelesaikan soal cerita.
Penyebab kesulitan siswa disebabkan oleh pemahaman yang kurang terhadap konsep dasar pecahan, kekeliruan penerapan pecahan dalam penyelesaian soal pecahan, kecerobohan dalam memahami bahasa soal, pemahaman materi prasyarat
yang kurang, serta kesalahan dalam melakukan komputasi atau proses perhitungan.
Üzel (2018) hasil penelitiannya tentang kesalahan siswa terkait soal cerita menjelaskan pemahaman siswa yang salah dalam mengartikan aturan pecahan seperti pembilang dan penyebut merupakan bilangan bulat, tidak secara konseptual mempelajari operasi pembagian pecahan, mengaitkan pembagian dengan operasi penjumlahan, pengurangan dan perkalian. Penyebab siswa mengalami kesalahan yang lain yaitu kurangnya pemahaman konsep siswa dalam penyelesaian operasi hitung penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian pecahan dengan menggunakan langkah sistematis, serta kurang tepat dalam melakukan perhitungan (Farida & Ferdiani, 2019).
Materi operasi hitung pecahan di SD terdiri dari penjumlahan berpenyebut sama dan berpenyebut berbeda, pengurangan berpenyebut sama dan berpenyebut berbeda, perkalian serta pembagian. Sama halnya pada aritmatika dasar materi pembagian diberikan terakhir dalam operasi hitung (Gauss, 1801; 1863). Begitu juga materi pembagian pada operasi hitung pecahan diberikan terakhir setelah operasi hitung lainnya. Hal ini disebabkan pembagian pecahan merupakan operasi hitung yang paling kompleks apabila dibandingkan dengan operasi hitung lainnya.
Konsep pecahan, prosedural operasi hitung seperti penjumlahan, pengurangan dan perkalian merupakan kemampuan prasyarat bagi siswa dalam mempelajari operasi hitung pembagian pecahan. Apabila kemampuan prasyarat tersebut tidak cukup memadai maka akan menyebabkan permasalahan. Hal itu yang mendasari banyak peneliti masih mengkaji permasalahan operasi hitung pembagian pecahan.
Hasil-hasil penelitian terdahulu terkait operasi hitung pembagian pecahan dijadikan dasar bagi peneliti untuk melakukan studi permasalahan. Sidney &
Alibali (2017) hasil penelitiannya menjelaskan pengetahuan pembagian bilangan bulat anak-anak akan mendukung pemahaman mereka tentang pembagian pecahan ketika pengetahuan sebelumnya yang relevan diaktifkan segera sebelum terlibat dengan pembagian pecahan. Presilvania (2017) menemukan faktor-faktor penyebab siswa melakukan kesalahan dalam menyelesaikan soal operasi hitung pembagian pecahan. Kurnianti, Bennu, & Linawati (2017) hasil penelitiannya menemukan kesalahan konsep, fakta, prinsip, serta prosedur dalam menyelesaikan
soal perkalian dan pembagian pecahan. Wahyu, et al., (2020) hasil penelitiannya menjelaskan tantangan bagi pendidik matematika dalam mengajarkan operasi hitung pembagian pecahan adalah kurangnya pemahaman siswa tentang pecahan.
Fikri, Irawati & Gusrayani (2021) hasil penelitiannya menemukan jenis kesulitan belajar siswa pada materi operasi hitung pembagian pecahan. Berdasarkan uraian hasil penelitian-penelitian di atas, materi operasi hitung pembagian pecahan merupakan materi yang masih menarik untuk dikaji lebih dalam pada penelitian ini.
Ketertarikan peneliti disebabkan permasalahan-permasalahan pada pembelajaran materi operasi hitung pembagian pecahan, masih memerlukan banyak alternatif solusi yang lebih baik.
Materi operasi hitung pembagian pecahan, apabila dilihat dari KI dan KD pada Permendikbud-RI No. 37 Tahun 2018, terdapat di kelas V SD dengan KD
“3.2. Menjelaskan dan melakukan perkalian dan pembagian pecahan dan decimal dan 4.2. Menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan perkalian dan pembagian pecahan dan desimal”. Selanjutnya untuk lebih menguatkan terhadap dugaan awal terkait permasalahan pada materi operasi hitung pembagian pecahan, peneliti melakukan studi pendahuluan. Studi awal dilaksanakan dengan mengobservasi pelaksanaan pembelajaran matematika di kelas VI pada sebuah SD negeri yang berada di Kota Bandung, khususnya pada pembelajaran menyelesaikan soal cerita pada materi operasi hitung pembagian pecahan. Alasan pemilihan kelas VI sebagai studi pendahuluan, karena posisi pada saat pengambilan data dilakukan di awal semester ganjil dan siswa tersebut telah menerima materi operasi hitung pembagian pecahan di kelas sebelumnya.
Permasalahan yang ditemukan pada saat studi pendahuluan dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian yaitu siswa, guru dan materi. Hasil analisis wawancara dan jawaban siswa pada soal cerita pembagian pecahan ditemukan hambatan belajar atau learning obstacle saat mempelajari materi operasi hitung pembagian pecahan. learning obstacle yang ditemukan berasal dari dalam diri siswa, bahan ajar, dan pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Brousseau (2002;
Suryadi 2013a; 2019b, hlm. 24-25) menjelaskan learning obstacle adalah hambatan yang dialami siswa saat proses pembelajaran yang berasal dari dalam maupun dari
luar diri siswa. Gambar 1.2 merupakan contoh hasil pengerjaan siswa yang salah dalam menjawab dan menyelesaikan soal cerita tentang operasi hitung pembagian pecahan berikut: “Beni mendapat tugas dari gurunya untuk membuat lukisan kolase. Saat ini dia memiliki 1!" 𝑘𝑔 pasir halus. Sebuah kolase membutuhkan
!
!# 𝑘𝑔 pasir halus. Berapa banyak kolase yang dapat dibuat Beni?”.
Gambar 1.2 Contoh 1 hasil pengerjaan siswa yang salah dalam menjawab dan menyelesaikan soal cerita operasi hitung pembagian pecahan.
Gambar 1.2 dapat dijelaskan bahwa siswa memahami soal tersebut sebagai operasi hitung pengurangan. Padahal soal tersebut merupakan bentuk operasi hitung pembagian. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara secara langsung dengan siswa diperoleh beberapa faktor penyebab hal tersebut bisa terjadi diantaranya: (1) Siswa malas membaca sehingga langsung menjawab dan mengisi soal; (2) Siswa tidak bisa mencerna bahasa soal; (3) Siswa tidak bisa memahami maksud soal; (4) Siswa hanya memiliki pemahaman materi operasi pembagian pecahan namun dalam konteks yang terbatas. Selain itu dapat kita lihat dari langkah-langkah pengerjaan yang dilakukan oleh siswa dalam menyelesaikan soal tersebut. Langkah pertama yaitu siswa mengubah bentuk pecahan pertama dalam bentuk pecahan biasa agar bentuknya sama dengan pecahan kedua. Pada langkah ini siswa sudah memahami salah satu aturan operasi hitung pada pecahan (kedua pecahan bentuknya harus sama) (Gonzales, 2011, hlm. 29-66). Langkah kedua, siswa menyamakan penyebut kedua pecahan tersebut. Pada Gambar 1.2 menjelaskan siswa mengubah penyebut pada bilangan pecahan pertama " $ menjadi !# "&, tetapi tidak ada langkah pengerjaannya. Hal itu disebabkan karena ketidaktauan siswa cara menyamakan penyebut pada pecahan pertama. Namun siswa juga sudah memahami salah satu makna dari pecahan yaitu pembagian (Reys, et.al., 2009, hlm.
263-282). Hal ini terlihat dari hasil 1!#' diperoleh dari 23 ∶ 16.
Contoh lain dari hasil pengerjaan jawaban siswa yang mengalami hambatan dalam menyelesaiakn soal seperti pada Gambar 1.3 berikut ini:
Gambar 1.3 Contoh 2 hasil pengerjaan siswa yang salah dalam menjawab dan menyelesaikan soal cerita operasi hitung pembagian pecahan.
Berdasarkan Gambar 1.3 di atas menjelaskan bahwa antara jawaban yang ditulis siswa dan pertanyaan tidak sesuai.Siswa memahami soal tersebut sebagai operasi hitung perkalian. Padahal soal tersebut merupakan bentuk operasi hitung pembagian. Selain itu dapat kita lihat dari langkah-langkah siswa dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Langkah pertama yang dilakukan siswa yaitu mengubah bentuk bilangan pecahan pertama ke dalam bentuk bilangan pecahan biasa agar bentuknya sama dengan pecahan kedua seperti terlihat pada Gambar 1.3 siswa sudah memahami salah satu aturan operasi hitung pada pecahan (kedua pecahan bentuknya harus sama) (Gonzales, 2011, hlm. 29-66). Langkah kedua siswa langsung melakukan proses perkalian, yaitu dengan mengalikan antara pembilang dengan pembilang dan penyebut dengan penyebut atau $" 𝑥 !#! =…, sehingga diperoleh hasil $" $ .
Berdasarkan temuan di atas, untuk memperkuat asumsi, peneliti juga melakukan wawancara dengan meminta siswa mengungkapkan alasan mereka menjawab seperti itu. Hasil analisis jawaban siswa, alasan terbanyak adalah pembelajaran operasi hitung pada pecahan diberikan terlalu cepat. Siswa belum terlalu paham penjumlahan sudah dilanjutkan ke pengurangan, perkalian, dan pembagian. Kebingungan mereka terus berlanjut apalagi untuk soal cerita yang membutuhkan pemahaman lebih kompleks. Kondisi seperti itu menyebabkan siswa mengalami kesulitan dalam menentukan cara penyelesaian permasalahan yang
diberikan. Pada permasalahan ini siswa mengalami learning obstacle yang disebabkan keterbatasan siswa dalam memahami konsep dan prosedur pada penyelesaian operasi hitung pembagian pecahan. Kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh guru terbatas pada penjelasan materi, pemberian contoh pengerjaan dan pemberian latihan pengerjaan soal. Kurnianti, Bennu, & Linawati (2017) yang menemukan penyebab siswa melakukan kesalahan dalam menyelesaikan soal operasi hitung perkalian dan pembagian yaitu secara prinsip, kesalahan yang dilakukan siswa yaitu dalam menyamakan penyebut sebelum melakukan operasi hitung perkalian dan pembagian pecahan, serta kesalahan dalam menentukan hasil pecahan senilai. Kemudian secara prosedural seperti kesalahan dalam: 1) melakukan operasi hitung; (2) menyederhanakan pecahan; (3) prosedur tidak lengkap dan (4) mengerjakan sembarang.
Hasil rekap daftar ceklis isian siswa yang dilakukan pada studi pendahuluan tentang kegiatan pembelajaran operasi hitung pembagian pecahan, diperoleh data untuk pertanyaan nomor 1 mengenai kegiatan pembelajaran di kelas, ada 20 siswa atau sekitar 57,1% yang menjawab membosankan dan tidak menarik dan 15 siswa atau 42,9% menjawab memotivasi dan menarik minat untuk belajar. Selanjutnya untuk pertanyaan nomor 2 mengenai bahan ajar dan penjelasan materi ada 25 siswa atau 71,4% yang menjawab tidak sesuai dengan materi yang diajarkan dan ada 10 siswa atau 28,6% alat peraga yang digunakan yang menjawab sesuai dengan materi yang diajarkan. Kemudian untuk nomor 3 mengenai alat peraga yang digunakan ada 21 siswa atau 60% tidak membantu dalam memudahkan memahami materi pembelajaran dan 14 siswa atau 40% yang menjawab sangat membantu dan memudahkan dalam memahami. Nomor 4 mengenai layanan dan alternatif solusi pemecahan masalah terkait hambatan belajar siswa yang dilakukan oleh guru. Ada 9 siswa atau 25,7% yang menjawab membiarkan siswa yang kesulitan untuk menyelesaikan permasalahannya sendiri tanpa membimbing dan membantunya dalam menemukan penyelesaian dan ada 26 siswa atau 74,3% yang menjawab guru membantu siswa yang kesulitan untuk menyelesaikan permasalahannya sendiri dengan membimbing dan membantunya dalam menemukan penyelesaian.
Berikutnya untuk nomor 5 mengenai perasaan siswa setelah mengikuti pembelajaran, ada 24 siswa atau 68,6% yang menjawab tidak senang, karena masih belum mengerti dan mengalami kesulitan terutama saat diberikan latihan soal dan ada 11 siswa atau 31,4% yang menjawab merasa senang karena sudah memahami materi operasi hitung pembagian pecahan dan mampu menerapkan dalam mengatasi permasalahan pada kehidupan sehari-hari. Lebih jelas untuk tabel isian daftar ceklis dapat di lihat pada Lampiran A.1.
Analisis terhadap permasalahan yang dialami oleh siswa pada saat mempelajari operasi hitung pembagian pecahan bentuk soal cerita ditemukan tiga learning obstacle. Temuan ini juga didukung oleh Brousseau (2002, hlm. 100) mengemukakan jenis learning obstacle atau hambatan belajar yaitu ontogenic obstacle, epistemological dan didactical obstacle. Pada studi pendahuluan, ontogenic obstacle berupa kurangnya motivasi dan minat belajar siswa, sehingga berdampak pada pemahaman konsep yang rendah pada materi operasi hitung pembagian pecahan. Epistimological obstacle yang ditemukan adalah 18 dari 28 siswa kesulitan dalam memahami instruksi dari pertanyaan yang ada pada soal cerita tentang pembagian pecahan. Penyebabnya siswa tidak terbiasa diberikan permasalahan dalam bentuk soal cerita dan cara menyelesikan soal tersebut.
Didactical obstacle terjadi karena aktivitas pembelajaran kurang melibatkan siswa dalam mencari dan menemukan cara penyelesaian masalah. Learning obstacle yang ditemukan pada studi pendahuluan menjadi dasar peneliti untuk merancang pertanyaan penelitian tentang jenis-jenis learning obstacle dan faktor penyebab yang dialami oleh siswa pada saat mempelajari operasi hitung pembagian pecahan.
Temuan selanjutnya dari hasil wawancara dengan guru diperoleh bahwa pemahaman terkait materi operasi hitung pembagian pecahan masih kurang. Guru hanya menguasai satu cara penyelesaian operasi hitung pembagian pecahan yaitu dengan cara perkalian tanpa mengetahui tahapan pemerolehan proses tersebut.
Temuan permasalahan pada saat wawancara dengan guru serta hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Ratnasari (2018) yang menemukan seorang guru SD mengalami kesulitan menjawab pertanyaan siswanya, mengenai mengapa harus membalik pecahan pada operasi hitung pembagian pecahan, jika dikerjakan dengan
cara bentuk perkalian. Julie (2017) yang meneliti kemampuan guru SD dalam pembelajaran operasi hitung penjumlahan, pengurangan, interpretasi, komputasi perkalian dan pembagian pecahan. Hasil penelitiannya hanya 1 dari 17 guru yang dapat menginterpretasikan apa yang dimaksud dengan pembagian dua pecahan.
Iskenderoglu (2017) hasil penelitiannya menemukan bahwa guru mengalami banyak kesulitan konseptual dalam mengajukan masalah tentang pembagian pecahan daripada dalam mengajukan masalah tentang perkalian pecahan. Coşkun (2019) hasil penelitiannya menemukan jenis kesalahan yang paling sering ditemukan pada guru SD adalah ketidakmampuan dalam mengungkapkan penggunaan cara operasi perkalian dalam mengerjakan operasi pembagian pecahan.
Sitrava (2019) hasil penelitiannya menemukan guru mengalami kesulitan dalam memberikan contoh yang tepat dalam mengerjakan soal cerita bentuk penyelesaian masalah pada materi operasi hitung pembagian pecahan.
Pembelajaran materi operasi hitung pembagian pecahan yang dilakukan oleh guru berdasarkan hasil observasi pembelajaran ditemukan kurangnya pelibatan aktivitas siswa dalam menemukan konsep dan prosedur penyelesaian masalah.
Langkah-langkah kegiatan pembelajaran yang dilakukan yaitu menjelaskan materi, memberikan contoh, melakukan tanya jawab dan pemberian tugas berupa pengerjaan latihan soal. Temuan ini juga diperkuat dari hasil-hasil penelitian sebelumnya seperti: Wittmann (2013; Kor, et al., 2019) berpendapat bahwa sebagian besar kesalahan siswa yang melibatkan operasi dengan pecahan disebabkan oleh ketidakkonsistenan dalam metode pengajaran yang dilakukan oleh guru. Stohlmann, et al., (2020) yang meneliti guru kelas 4 hingga 6 dalam mengembangkan masalah kisah dunia nyata untuk 2!"∶ $& dan menyelesaikan masalah dengan menggambar representasi bergambar. Hasil penelitian ini juga menemukan bahwa mengajarkan materi operasi hitung pecahan dalam menanamkan pemahaman konseptual adalah tugas yang menantang. Khusus untuk topik pembagian pecahan, guru membutuhkan dukungan karena guru merasa kesulitan untuk mengajarkan materi pembagian pecahan kepada siswa sekolah dasar dan menengah.
Peran guru dalam kegiatan pembelajaran selain harus menguasai konsep materi, juga dapat berperan sebagai fasilitator dalam pembelajaran. Guru harus mampu menciptakan keterlibatan dan peran aktif siswa dalam pembelajaran serta memberikan kesempatan bagi siswa dalam menemukan konsep dan prosedur terkait materi dan cara pemecahan masalah secara mandiri. Kegiatan pembelajaran akan terasa lebih bermakna bagi siswa, apabila siswa mampu mengaplikasikannya dalam memecahkan permasalahan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Brousseau (2002, hlm. 6) menjelaskan tindakan yang dilakukan oleh guru dalam pembelajaran dapat menimbulkan situasi yang merupakan titik awal terjadinya proses belajar, yang kemudian disebut sebagai Teori Situasi Didaktis atau Theory of Didactical Situation (TDS). Lebih lanjut Suryadi (2019b, hlm. 14) menjelaskan bahwa kegiatan pembelajaran akan optimal apabila guru menguasai konsep materi yang akan diajarkan dan karakteristik belajar siswa, serta dapat merancang situasi didaktis yang dapat memfasilitasi kemampuan belajar dan berpikir siswa.
Indikasi bahwa pembelajaran dilaksanakan dengan optimal apabila pembelajaran berfokus pada pengetahuan konten pedagogik (Pedagogical Content Knowledge/PCK), yang termasuk dalam alur belajar (Learning Trajectory/LT) dan memungkinkan guru dapat memperoleh pengetahuan mata pelajaran (Subject Matter Knowledge/SMK) (Wilson, et al., 2014). Pembelajaran dengan PCK serta SMK diperoleh dari pengetahuan guru sebelum melakukan pembelajaran matematika. Ball, Thames, & Phelps (2008) mengatakan kerangka pengetahuan untuk guru disusun ke dalam dua domain yaitu PCK yang berhubungan dengan pemerolehan pengetahuan berdasarkan perkembangan kognitif siswa dan pemahaman guru terhadap logika cara berpikir siswa. Sedangkan SMK yang menggambarkan pengetahuan guru dipusatkan pada logika materi bahan ajar.
Proses penyiapan bahan ajar yang dilakukan oleh guru perlu mempertimbangkan proses repersonalisasi dan rekontektualisasi terhadap materi yang akan diajarkan. Repersonalisasi yaitu kegiatan guru dalam menganalisis struktur atau hubungan antar konsep yang akan diajarkan dengan konsep sebelum dan sesudahnya. Repersonalisasi menurut Suryadi (2010b) adalah proses melakukan matematisasi suatu konsep dengan menghubungkan konsep sebelum
dan sesudahnya. Rekontektualisasi yaitu kegiatan mengaplikasikan konsep dalam menyelesaikan permasalahan kehidupan sehari-hari. Berbagai pengalaman terhadap proses kegiatan tersebut di atas akan menjadi bahan yang sangat berharga bagi guru dalam usaha mengatasi learning obstacle yang dialami siswa. Setelah melakukan repersonalisasi dan mengetahui kondisi nyata dilapangan, penting bagi guru untuk kemudian melakukan studi pendahuluan. Hal tersebut dilakukan untuk memperoleh gambaran yang sebenarnya tentang bagaimana siswa melakukan pembelajaran dan kesulitan yang dialami dalam mempelajari materi pada suatu konsep.
Hasil dari observasi dan wawancara dengan guru ditemukan aktivitas pembelajaran belum diarahkan kepada suatu masalah dan diakhiri untuk menyelesaikan masalah. Harel (2008) menjelaskan hakikat belajar matematika yang baik adalah didahului pengajuan masalah dan bertujuan untuk menyelesaikan masalah. Herman (2000) menyatakan bahwa bagian terpenting dari tugas seorang guru matematika adalah membantu anak memecahkan masalah yang mereka hadapi dalam kehidupan. Hal inilah yang tampaknya belum dikembangkan dengan baik dalam aktivitas pembelajaran yang dilakukan oleh siswa pada materi operasi hitung pembagian pecahan. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa interaksi pembelajaran masih didominasi oleh guru pada saat membahas materi serta menyelesaikan suatu masalah. Siswa kurang dilibatkan dalam proses tersebut.
Indikasi kurangnya atau mungkin belum dilaluinya rangkaian aksi mental pada siswa dapat menyebabkan keterbatasan cara berpikir siswa pada materi operasi hitung pecahan (Harel, 2008). Cara berpikir siswa yang terbatas dapat berakibat pada cara menghasilkan pemahaman dan cara menemukan strategi penyelesaian masalah pada materi operasi hitung pecahan menjadi tidak terfasilitasi dengan baik. Sehingga perlu dirancang aktivitas pembelajaran yang mampu menciptakan situasi dimana siswa dapat mengembangkan pemahaman sendiri terhadap permasalahan yang diberikan. Kegiatan pembelajaran juga diarahkan pada aktivitas siswa dalam mencari dan menemukan sendiri cara penyelesaian masalah.
Selain itu perlu dilakukan pembimbingan dalam klarifikasi terhadap cara penyelesaian masalah yang siswa temukan dan dikaitkan dengan materi. Siswa
dapat menggunakan cara penyelesaian terhadap masalah lain. Rancangan aktivitas pembelajaran yang diuraikan di atas sesuai dengan teori situasi didaktis Brousseau (2002) yang mengemukaan aktivitas pembelajaran siswa harus mengoptimalkan cara berpikir dan tingkat pemahaman siswa dengan mengembangkan situasi aksi, formulasi, validasi dan institusional. Temuan tersebut menjadi dasar peneliti untuk merancang kegiatan pembelajaran operasi hitung pembagian pecahan berdasarkan TDS.
Tugas guru adalah menciptakan lingkungan pengajaran yang dapat menormalkan kesalahan dalam proses pembelajaran. Selain itu, untuk mencapai tujuan pembelajaran matematika, guru harus melibatkan siswa dalam melakukan pengkajian matematika tentang kesalahan dan kesalahpahaman. Hal ini untuk memastikan bahwa siswa memiliki pemahaman konseptual yang mendalam, sementara dengan benar menghubungkan pengetahuan baru dengan pengetahuan mereka sebelumnya (Eichhorn, 2018). Kesalahpahaman tidak akan pernah sepenuhnya dihindari, tetapi guru dapat melakukan intervensi sebelum kesalahpahaman menjadi mengakar. Pertama, guru harus memahami mengapa siswa mereka membuat kesalahan atau bagaimana mereka telah mengembangkan kesalahpahaman sebelum mereka dapat mengatasinya dan mengembangkan intervensi untuk mempromosikan pemahaman yang benar (Harbour, Karp & Lingo, 2016; Eichhorn, 2018). Upaya yang dapat dilakukan oleh guru yaitu melakukan antisipasi terhadap hambatan belajar yang dialami oleh siswa dalam pembelajaran.
Siswa perlu diarahkan cara berpikirnya dalam memahami suatu pengetahuan dalam mempelajari matematika. Selain itu, guru juga perlu memperhatikan alur belajar siswa.
Layanan yang diberikan guru dalam membantu siswa dalam mengatasi learning obstacle pada materi operasi hitung pembagian pecahan kurang maksimal.
Aktivitas yang dilakukan oleh guru hanya kegiatan tanya jawab dan penjelasan ulang materi pembelajaran tanpa mencari tahu penyebab serta solusi mengatasi hambatan tersebut. Sehingga tujuan pembelajaran yang sudah ditetapkan tidak tercapai. Sugiman dan Murdiyani (2019) dalam hasil penelitiannya menyatakan bahwa perlunya keterlibatan siswa dalam menemukan kembali konsep matematika
dengan cara mereka, siswa perlu diberikan kesempatan dan dibimbing dalam memecahkan masalah, bukan hanya sebagai penerima materi secara pasif dan pengguna rumus dan prosedur yang diberikan oleh guru. Temuan tersebut menjadi dasar peneliti untuk merancang kegiatan pembelajaran berdasarkan alur belajar siswa (learning trajectory). Untuk memfasilitasi perbedaan learning trajectory siswa yang beragam, guru perlu merancang alur belajar dugaan (Hypothetical Learning Trajectory/HLT) supaya tujuan pembelajaran yang dirancang dapat tercapai.
Perhatian guru terhadap HLT merupakan modal awal dalam mempersiapkan antisipasi didaktis maupun pedagogis dalam pembelajaran. Kansanen (Suryadi, 2010a) menjelaskan bahwa terdapat hubungan pedagogis antara guru dengan siswa dan hubungan didaktis antara siswa dengan materi. Hubungan antara guru dan materi diperlukan adanya Antisipasi Didaktis dan Pedagogis (ADP). Untuk merancang proses pembelajaran yang efektif, guru harus mengembangkan antisipasi didaktis dan pedagogis. Hal ini untuk memastikan bahwa hubungan didaktis antara siswa dengan materi dan hubungan pedagogik antara guru dan siswa berjalan dengan baik. Thurlings, et al., (2019) kombinasi dari mengatur pelajaran yang baik, iklim pedagogis yang baik, dan fokus pada pemahaman materi pelajaran berkontribusi pada pengajaran yang lebih baik. Selain itu guru juga harus memiliki penguasaan konsep matematika yang baik dan pemahaman alur belajar siswanya.
Kemampuan dan peran guru dapat ditunjang dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk dapat memahami materi matematika yang sedang dipelajari dan mempercayai kemampuan yang dimiliki oleh siswa (Van de Walle, 2013).
Hasil analisis terhadap dokumen perencanan pembelajaran yang dibuat guru, berupa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), ditemukan kurangnya kesesuaian antara materi, metode, dan penggunaan media serta rancangan desain pembelajaran dengan tuntutan berpikir dan karakteristik siswa. Ketidaksesuaian ini menimbulkan didactical obstacle pada siswa. Suryadi (2019b, hlm. 25) menjelaskan didactical obstacle sebagai hambatan belajar yang diakibatkan keadaan desain didaktis yang digunakan atau intervensi didaktis guru. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam merancang RPP dan melaksanakan pembelajaran
seperti kemampuan menyusun dan menyajikan materi harus mempertimbangkan urutan materi, baik secara struktural (keterkaitan antar konsep), maupun secara fungsional (kesesuaian dengan tingkat berpikir siswa), dan tahapan penyajian materi. Pemilihan metode yang mampu membuat siswa aktif dalam pembelajaran dan menggali potensi berpikir siswa dalam memecahkan masalah. Penggunaan media yang dapat memfasilitasi pemahaman siswa terhadap materi. Fungsi media peraga menurut Nasaruddin (2018) adalah menghindari abstraksi konsep dan mampu memahami makna sebenarnya dari konsep tersebut. Untuk itu ketika memilih benda-benda yang terdapat di dekat siswa yang akan dipergunakan sebagai media peraga dalam menanamkan pemahaman konsep pembagian pecahan harus hati-hati. Apabila dalam pemilihan media tidak tepat, besar kemungkinan konsep pembagian pecahan yang ingin ditanamkan tidak akan ditangkap secara baik oleh siswa.
Temuan lain dari hasil studi pendahuluan yaitu penyusunan bahan ajar dan aktivitas pembelajaran kurang memperhatikan cara berpikir dan karakteristik siswa.
Usia SD khususnya kelas V dan VI yang berada pada rentang 11 sampai 12 tahun.
Menurut Piaget (1950), usia tersebut berada pada tahapan operasional konkret. Pada tahap ini, anak dapat melakukan operasi konkrit dan bernalar secara logis, jika penalaran tersebut dapat diterapkan pada contoh yang spesifik atau konkrit. Selain itu, Yusuf (2012, hlm.6) menyatakan bahwa siswa antara usia 6 sampai 12 tahun dapat menjumlahkan, mengurangi, dan mengubah operasi, memungkinkan mereka menyelesaikan masalah secara logis. Santrock (2012, hlm. 329) menjelaskan bahwa salah satu keterampilan terpenting yang harus dikuasai anak-anak dalam fase operasional konkret adalah kemampuan untuk mengklasifikasikan atau membagi objek ke dalam kelompok atau himpunan bagian yang berbeda dan memikirkan hubungan timbal baliknya. Shoimah (2020) penggunaan media benda kongkrit dalam pembelajaran pecahan baik konsep maupun operasi hitung dapat membuat aktivitas belajar meningkat dengan cukup signifikan. Berdasarkan uraian diatas untuk mengatasi hal tersebut, peneliti tertarik untuk merancang bahan ajar yang mempertimbangkan karakteristik siswa kelas V SD dan mengembangkan aktivitas
pembelajaran yang mempertimbangkan cara berpikir siswa dengan menerapkan teori situasi didaktis.
Penyusunan bahan ajar khususnya materi operasi hitung pembagian pecahan perlu memperhatikan penggunaan media yang dapat memfasilitasi proses abstraksi (konkret ke abstrak) siswa terhadap materi yang di ajarkan. Seperti penggunaan media kue pizza, buah apel dan coklat batangan. Media pembelajaran diberikan secara bertahap mulai dari mengenalkan benda konkret, semi konkret kemudian abstrak. Kania (2018) menjelaskan media manipulatif yang memungkinkan siswa berpartisipasi aktif secara mental dan motorik dalam menanamkan konsep pecahan yang terdiri dari benda konkrit dan benda semi kongkret. Pada pembelajaran materi operasi hitung pembagian pecahan, contoh penggunaan media kongkrit seperti siswa ditugaskan untuk membawa 1 buah apel yang digunakan sebagai media pembagian pecahan dengan cara memotong buah apel tersebut. Contoh semi kongkrit yaitu penggunaan puzzle makanan pizza dengan cara menyusun dan menempel ulang bagian-bagian dari pizza yang sudah dibagi. Contoh abstrak yaitu siswa menggambar bentuk benda nyata atau luas bangun datar yang diarsir atau diwarnai kemudian menuangkan dalam bentuk kalimat matematika yang berupa angka-angka pada operasi pembagian pecahan.
Pemerolehan pengetahuan pada siswa kelas V SD menurut Vygotsky (1962;
Santrock, 2012, hlm. 251) menekankan bahwa aktivitas siswa dalam membangun pengetahuan dan pemahaman dapat terwujud melalui kegiatan interaksi sosial.
Proses pembelajaran di arahkan pada aktivitas yang melibatkan partisipasi aktif siswa dalam interaksi belajar secara individu, kelompok maupun klasikal. Sehingga siswa merasakan pembelajaran yang diperolehnya bermakna, karena guru mengemas pembelajaran dengan mengaitkan pengalaman siswa sebelumnya dan menerapkannya dalam mengatasi permasalahan di kehidupan sehari-hari (Ausubel, 1968).
Berdasarkan kajian hasil penelitian-penelitian terdahulu tentang pembelajaran matematika di SD dan hasil studi pendahuluan. Penting bagi guru mengembangkan bentuk desain didaktis yang memfasilitasi learning obstacle, HLT dan ADP yang dikembangkan guru berdasarkan TDS dan karakteristik siswa.
Beberapa penelitian tentang desain didaktis yang sudah pernah dilakukan di kelas V SD yaitu Anizar & Suryadi (2017) yang meneliti pada konsep luas daerah trapezium; Abdul, Lidinillah, & Hidayat (2017) meneliti luas layang-layang untuk pengembangan berpikir kreatif siswa; Zulfikar, Suryana, & Lidinillah (2018) meneliti volume kubus dan balok untuk kemampuan berpikir kritis siswa; Lestari, Pranata, & Lidinillah (2018) meneliti jaring-jaring kubus dan balok untuk mengembangkan kemampuan berpikir kreatif siswa; Rismaya, Rustono, &
Lidinillah (2018) meneliti simetri lipat untuk mengembangkan kemampuan berpikir kreatif; Setiawan, Nur’aeni, & Giyartini (2020) meneliti jaring-jaring kubus berdasarkan teori Van Hiele; Galvis Burgos, Gallardo Pérez, & Villamizar Jaimes, (2020) meneliti implementasi situasi didaktis nyata dalam pembelajaran pecahan; Gantina (2020) meneliti penyajian data statistik; Fauzi & Arini (2021) meneliti penjumlahan dan pengurangan pecahan campuran; Rahmawati; Pranata, &
Lidinillah (2021) meneliti materi volume kubus dan balok berbasis teori Van Hiele untuk mengatasi learning obstacle siswa; dan Puspitasari, Fuadiah & Murjainah (2021) meneliti konsep bangun ruang materi kubus. Dari beberapa penelitian terdahulu tentang desain didaktis, belum ada yang meneliti tentang operasi hitung pembagian pecahan di kelas V SD. Untuk itu peneliti tertarik melakukan penelitian serupa tentang desain didaktis pada materi operasi hitung pembagian pecahan di kelas V SD yang memfasilitasi learning obstacle, HLT dan ADP yang dikembangkan guru berdasarkan TDS dan karakteristik siswa.
Kondisi pada saat pelaksanaan penelitian kegiatan belajar mengajar dilakukan secara daring tanpa tatap muka, sehingga diperlukan solusi bagi guru untuk tetap memastikan bahwa kegiatan pembelajaran tetap berjalan. Proses pembelajaran matematika yang biasanya dilakukan dengan cara tatap muka secara langsung, saat ini dilakukan dengan cara Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) atau Belajar Dari Rumah (BDR) disebabkan dampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) (Kemdikbud, 2020, hlm. 7).
Proses pelaksanaan penelitian desain didaktis pada materi operasi hitung pembagian pecahan dilakukan dengan cara mendokumentasikan proses pembelajaran di dalam kelas dengan melibatkan 10 orang perwakilan siswa dengan
kemampuan yang heterogen (Prabawanto & Mulyana, 2017) yaitu mewakili kemampuan matematika tinggi, sedang, dan rendah. Data diperoleh dari hasil belajar sebelumnya pada pelajaran matematika. Selanjutnya video rekaman implementasi desain didaktis digunakan sebagai media pembelajaran bagi siswa lainnya yang melaksanakan pembelajaran secara daring melalui aplikasi zoom meeting atau google meet dengan pendampingan orang tua di rumah siswa masing- masing.
1.2. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan desain didaktis rekomendasi dalam mengatasi hambatan belajar siswa pada pembelajaran operasi hitung pembagian pecahan di kelas V Sekolah Dasar dan memperoleh gambaran secara komprehensif tentang desain didaktis operasi hitung pembagian pecahan ditinjau dari hambatan belajar (Learning Obstacle/LO), alur belajar dugaan (Hypothetical Learning Trajectory/HLT) serta Antisipasi Didaktis dan Pedagogis (ADP) yang dikembangkan guru berdasarkan Teori Situasi Didaktis (Theory of Didactical Situation /TDS) dan karakteristik siswa.
1.3. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan uraian yang dijelaskan pada latar belakang, secara spesifik rumusan masalah dalam penelitian ini dapat dijabarkan ke dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Apa saja jenis hambatan belajar (Learning Obstacle/LO) yang dialami siswa pada pembelajaran materi operasi hitung pembagian pecahan di kelas V SD?
2. Apa saja faktor penyebab terjadinya hambatan belajar (Learning Obstacle/LO) yang dialami siswa pada pembelajaran materi operasi hitung pembagian pecahan di kelas V SD?
3. Bagaimana alur belajar dugaan (Hypothetical Learning trajectory/HLT) yang harus dikembangkan berdasarkan alur belajar (Learning Trajectory/LT) siswa pada pembelajaran materi operasi hitung pembagian pecahan di kelas V SD?
4. Bagaimana Antisipasi Didaktis dan Pedagogis (ADP) yang harus dikembangkan berdasarkan alur belajar dugaan (Hypothetical Learning Trajectory/HLT) dan karakteristik yang dimiliki siswa pada pembelajaran materi operasi hitung pembagian pecahan di kelas V SD?
5. Bagaimana desain didaktis awal pada materi operasi hitung pembagian pecahan di kelas V SD yang dikembangkan berdasarkan Learning Obstacle (LO), Hypothetical Learning Trajectory (HLT), dan ADP?
6. Bagaimana Learning Obstacle (LO), Learning Trajectory (LT), dan ADP yang muncul setelah desain didaktis awal diimplementasikan dalam pembelajaran?
7. Bagaimana Antisipasi Didaktis dan Pedagogis (ADP) yang harus dikembangkan berdasarkan hasil refleksi terhadap implementasi desain didaktis awal pada pembelajaran materi operasi hitung pembagian pecahan di kelas V SD?
8. Bagaimana desain didaktis rekomendasi yang dikembangkan berdasarkan Learning Obstacle (LO), Learning Trajectory (LT), dan Antisipasi Didaktis dan Pedagogis (ADP) yang muncul setelah terjadinya implementasi awal?
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak, baik dari segi teori, kebijakan, maupun praktik, diantaranya sebagai berikut:
1. Segi Teori
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan dan wawasan bagi perkembangan penelitian matematika, khususnya perkembangan desain pembelajaran sebagai upaya dalam perbaikan pembelajaran matematika di jenjang sekolah dasar, menengah, maupun perguruan tinggi sehingga menjadi lebih baik.
2. Segi Kebijakan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pertimbangan bagi para pemangku kebijakan untuk menjadikan penelitian desain didaktis (DDR) sebagai salah satu solusi dalam perbaikan dan peningkatan kualitas pembelajaran matematika baik di jenjang sekolah dasar, menengah, maupun perguruan tinggi.
3. Segi Praktik
a. Bagi sekolah, diharapkan penelitian ini dapat dijadikan bahan masukkan dalam mengembangkan kurikulum terutama terkait dengan pengembangan bahan ajar dan aktivitas pembelajaran matematika.
b. Bagi guru, diharapkan penelitian ini dapat dijadikan alternatif solusi dalam merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi pembelajaran matematika khususnya pada materi operasi hitung pembagian pecahan di kelas V SD.
c. Bagi siswa, melalui penelitian ini dapat memfasilitasi terciptanya proses pembelajaran yang sesuai dengan alur belajar (Learning Trajectory/LT), proses berpikir, dan karakteristik siswa serta membantu mengatasi hambatan belajar (Learning Obstacle/LO) yang siswa alami khususnya pada pembelajaran matematika materi operasi hitung pembagian pecahan di kelas V SD.
d. Bagi peneliti, hasil penelitian ini merupakan sarana pengembangan pengetahuan dan wawasan dalam pembuatan desain didaktis ditinjau dari hambatan belajar (Learning Obstacle/LO), alur belajar (Learning Trajectory/LT), alur belajar dugaan (Hypothetical Learning Trajectory?HLT), Antisipasi Didaktis dan Pedagogis (ADP) dan karakteristik siswa pada materi operasi hitung pembagian pecahan di kelas V SD.
4. Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi bahan kajian dan referensi dalam mendalami variabel atau lingkup penelitian lebih lanjut terkait desain didaktis pada pembelajaran matematika di sekolah dasar.
1.5. Definisi Operasional
Terdapat beberapa istilah yang digunakan pada penelitian ini, yaitu sebagai berikut:
1. Desain didaktis dalam penelitian ini berupa pengembangan desain pembelajaran pada materi operasi hitung pembagian pecahan di kelas V SD ditinjau dari hambatan belajar (Learning Obstacle/LO), alur belajar dugaan
(Hypothetical Learning Trajectory/HLT) serta Antisipasi Didaktis dan Pedagogis (ADP) yang dikembangkan guru berdasarkan Teori Situasi Didaktis (Theory of Didactical Situation /TDS) dan karakteristik siswa.
2. Hambatan Belajar (Learning Obstacle/LO) dalam penelitian ini adalah hambatan yang siswa alami pada saat mempelajari materi operasi hitung pembagian pecahan. Terdapat tiga macam learning obstacle yaitu: 1).
Ontogenic obstacle berkaitan dengan kesiapan anak dalam belajar yang meliputi psikologis, instrumental dan konseptual; 2). Epistemological obstacle berkaitan dengan keterbatasan pemahaman dan penguasaan siswa terhadap konsep, permasalahan, prosedur cara penyelesaian dikarenakan konteks yang diterima siswa sebelumnya; dan 3). Didactical obstacle berkaitan dengan desain didaktis yang digunakan dan intervensi yang dilakukan oleh guru pada saat pembelajaran.
3. Alur Belajar Dugaan (Hypothetical Learning Trajectory/HLT) di dalam penelitian ini merupakan gambaran tahapan belajar dan cara berpikir siswa berupa dugaan yang dirancang guru dalam bentuk aktivitas pembelajaran pada materi operasi hitung pembagian pecahan untuk mendorong ketercapaian tujuan pembelajaran.
4. Antisipasi Didaktis Pedagogis (ADP) dalam penelitian ini merupakan suatu rancangan kegiatan pembelajaran yang berisi situasi didaktis yang dikembangkan, kemungkinan respon siswa, dan antisipasi yang akan dilakukan oleh guru pada pembelajaran operasi hitung pembagian pecahan.
5. Operasi Hitung Pembagian Pecahan di dalam penelitian ini terdiri dari operasi hitung pembagian bilangan asli dengan pecahan biasa; pecahan biasa dengan bilangan asli; pecahan biasa dengan pecahan biasa;, bilangan asli dengan pecahan campuran; pecahan campuran dengan bilangan asli; pecahan biasa dengan pecahan campuran; pecahan campuran dengan pecahan biasa, dan pecahan campuran dengan pecahan campuran.
6. Kelas V pada penelitian ini merupakan partisipan dalam penelitian, dengan rentang usia 10 sampai 11 tahun dengan tingkat perkembangan kognitifnya
menurut Piaget berada pada tahap operasional konkret serta sedang mendapatkan materi pembelajaran operasi hitung pembagian pecahan.
1.6 Struktur Organisasi
Penulisan disertasi ini secara umum terdiri dari lima bab, dengan rincian penjelasan setiap bab dijabarkan sebagai berikut:
1. Bab I Pendahuluan, terdiri dari latar belakang penelitian yang mengkaji eksistensi dan urgensi materi operasi hitung pembagian pecahan sebagai masalah dalam pembelajaran matematika di sekolah. Penjelasan terkait solusi yang ditawarkan untuk mengatasi hambatan belajar yang dialami siswa dalam mempelajari materi operasi hitung pembagian pecahan. Bab ini juga memuat tujuan penelitian, rumusan masalah yang terdiri dari delapan pertanyaan penelitian, dan manfaat penelitian yang dapat dilihat dari segi teori, kebijakan, dan praktik.
2. Bab II Kajian Pustaka, yaitu membahas teori atau konsep yang dibutuhkan dalam membuat desain didaktis, penelitian terdahulu yang relevan terkait materi operasi hitung pembagian pecahan, serta posisi teoritis peneliti terkait dengan materi operasi hitung pembagian pecahan dan desain didaktis.
3. Bab III Metode Penelitian, pada bab ini menyajikan desain penelitian yang dipakai yaitu Didactical Design Research (DDR) dalam menyusun desain pembelajaran. Partisipan dalam penelitian yaitu 10 orang siswa kelas V Sekolah Dasar Negeri yang berlokasi di Kota Bandung. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan beberapa cara yaitu observasi, tes, wawancara, dan dokumentasi. Prosedur penelitian berisi langkah-langkah yang dilakukan sebelum penelitian, pada saat penelitian, dan setelah penelitian. Analisis data menggunakan tiga tahapan dalam DDR yaitu analisis prosfektif, metapedadidaktik, dan retrosfektif yang dikombinasikan dengan analisis data kualitatif. Memperhatikan juga etika dan hubungan manusia yang berisi isu etik penelitian dengan merahasiakan identitas partisipan dan tidak memaksa dalam penyampaian data.
4. Bab IV Temuan dan Pembahasan, pada bab ini diuraikan secara rinci hasil penelitian yang disesuaikan dengan pertanyaan penelitian yang ada dalam penelitian ini, dan pembahasan terkait deskripsi mengenai hasil temuan serta melihat keterkaitan antara hasil temuan dan kajian teori yang digunakan dalam penelitian ini.
5. Bab V Simpulan, Implikasi, dan Rekomendasi. Dalam bab ini disampaikan kesimpulan dari hasil temuan dan keterkaitan dengan teori yang digunakan dalam mengkaji penelitian ini, serta memuat beberapa implikasi dan rekomendasi untuk kemajuan penelitian ini selanjutnya.