• Tidak ada hasil yang ditemukan

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata kuliah Pendidikan Pancasila

N/A
N/A
Zahra Aulia

Academic year: 2023

Membagikan "Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata kuliah Pendidikan Pancasila"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

KORUPSI

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata kuliah Pendidikan Pancasila yang di ampu oleh:

Purwati, M.Pd.

Disusun Oleh: Kelompok 2 Kelas 1A Amalia Bilqiis 2300736 Ayu Putri Amelia 2300767 Fauziyah Rizkika 2300532 Nadya Azzahra 2304615 Nasywa Nabilah 2305606

Noor Laila 2304996

Sabrina 2301670

Syifa Nazilah 2304954 Syifa Royani 2309060

PROGRAM STUDI S1 PG-PAUD UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

KAMPUS DAERAH TASIKMALAYA 2023

(2)

Kebijakan/UU tentang Masalah Korupsi

Korupsi secara harfiah merupakan sesuatu yang jahat dan merusak. Secara harfiah juga korupsi mempunyai pengertian yang luas, pertama, penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan) untuk kepentingan pribadi dan orang lain. Kedua, memakai barang atau uang yang dipercayakan kepadanya (melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi). Tindak pidana korupsi dalam Kamus Hukum diartikan sebagai perbuatan curang yang merugikan keuangan negara.

Undang-Undang tentang Korupsi:

Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

a. Bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa;

b. Bahwa untuk lebih menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman penafsiran hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, serta perlakuan secara adil dalam memberantas tindak pidana korupsi, perlu diadakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

c. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b, perlu membentuk Undang-Undang tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-undang di atas telah menjadi landasan hukum pemberantasan tindak pidana korupsi di tanah air. Didalam UU ini juga dijelaskan bahwa korupsi adalah tindakan melawan hukum dengan maksud memperkaya diri

(3)

sendiri, orang lain, atau yang berakibat merugikan negara atau perekonomian negara.

Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan dalam tiga puluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Ketigapuluh bentuk tersebut kemudian dapat disederhanakan ke dalam tujuh kelompok besar, yaitu kerugian keuangan negara, suap menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam penggandaan, dan gratifikasi. Masing-masing kelompok kemudian dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Kerugian Keuangan Negara (Pasal 2, Pasal 3)

Sebagaimana pernah diuraikan dalam artikel UU Korupsi Menganutnya Kerugian Negara Dalam Arti Formil, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran Komariah Emong Sapardjaja menguraikan bahwa UU Tipikor menganut konsep kerugian negara dalam artikel delik formal.

Unsur ‘dapat merugikan keuangan negara’ seharusnya diartikan merugikan negara dalam arti langsung maupun tidak langsung. Artinya, suatu tindakan otomatis dapat dianggap merugikan keuangan negara apabila tindakan berpotensi menimbulkan kerugian negara

Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 mengatur bahwa :

“setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup tau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”

(4)

Kata ‘dapat’ sebelum frasa ‘merugikan keuangan atau perekonomian negara’ menunjukan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formal. Adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur- unsur perbuatan yang sudah dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat.

Pasal 3 ayat (1) Tipikor jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 mengatur bahwa:

Berdasarkan ketentuan pasal 3, penetapan kerugian keuangan nasional dibagi menjadi lima kategori. Pertama, yang terberat melebihi Rp 100 miliar.

1. Kategori berat

Kategori berat adalah korupsi di atas Rp 25-100 miliar.

2. Kategori sedang

Kategori sedang adalah korupsi di atas Rp 1-25 miliar.

3. Kategori ringan

Kategori ringan adalah korupsi diatas Rp 200-1 miliar.

4. Kategori paling ringan

Kategori paling ringan bisa mencapai Rp 200 juta.

Untuk kategori paling berat yang kesalahan, dampak, dan keuntungannya lebih tinggi, ancaman hukumannya 16 hingga 20 tahun penjara atau seumur hidup dan denda Rp 800 juta - Rp 1 miliar. Jika kategori paling berat meliputi kesalahan, dampak, dan keuntungan, ancaman hukumannya 13 hingga 16 tahun penjara dan denda Rp 650 hingga 800 juta.

Berikutnya kategori kesalahan, dampak, dan keuntungan sedang dengan ancaman hukuman penjara 10 hingga 13 tahun dan denda Rp 500 hingga 650 juta. Sedangkan untuk kategori kesalahan, dampak, dan keuntungan

(5)

yang paling ringan, sanksinya 1 hingga 2 tahun penjara dan denda Rp 50 hingga 100 juta.

2. Suap-menyuap (Pasal 5, 6, 11, 12a, b, c, d., Pasal 13)

Contoh perbuatan suap dalam UU Tipikor dan perubahannya di antaranya diatur dalam Pasal 5 UU 20/2001, yang berbunyi :

1. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang:

a. Memberi atau menjajikan sesuatu kepada pegawai negeri atau peyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau

b. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

2. Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat(1).

3. Penggelapan dalam Jabatan (Pasal 8, Pasal 10)

Contoh penggelapan dalam jabtan diatur dalam Pasal 8 UU 20/2001 yang berbunyi:

“Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp

(6)

750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karna jebatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.”

Menurut R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 258), penggelapan adalah kejahatan yang hampir sama dengan pencurian.

Bedanya ialah pada pencurian, barang yang dimiliki itu belum berada ditangan pencuri dan masih harus ‘diambilnya’.

Sedangkan pada penggelapan, waktu dimilikinya barang itu sudah ada ditangan sipembuat, tidak dengan jalan kejahatan.

Penggelapan dalam jabatan dalam UU Tipikor dan perubahannya, menurut hemat kami, merujuk pada penggelapan dengan penggelapan, pemberatan, yakni penggelapan yang dilakukan oleh orang yang memenggang barang itu berhubungan dengan pekerjaannya atau jabatannya (beroep) atau karena dia mendapat upah.

4. Pemerasan (Pasal 12 e, f, g)

Pemerasan dalam UU Tipikor berbentuk tindakan :

1. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;

(7)

2. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang; atau 3. Pegawai negeri atau penyelenggara yang pada waktu menjalankan

tugas, telah menggunakan tanah negara yang diatasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang- undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut nertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

5. Perbuatan Curang (Pasal 7, 12h)

Perbuatan curang dalam UU Tipikor dan perubahanya di antaranya berbentuk:

1. Pemborong, ahli bangunan yang saat waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang;

2. Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang di atas;

3. Setiap orang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang; atau

4. Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang di atas.

6. Benturan Kepentingan dalam Pengadaan (Pasal 12i)

(8)

Benturan kepentingan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah adalah situasi dimana seorang pegawai negri atau penyelengara negara,baik langgsung maupun tidak langgsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan,pengadaan,atau persewaan,yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.

7. Gratifikasi (Pasal 12B, 12C)

Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya dengan ketentuan;

1. Yang nilai Rp 10 juta atau lebih, pembuktiannya bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi.

2. Yang nilainya kurang dari Rp 10 juta, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dibuktikan oleh penuntut umum.

Pidana bagi pegawai negeri atas penyelenggara negara yang menerima gratifikasi adalah pidan penajar seumur hidup atau pidana penjara atau paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paing banyak Rp 1 miliyar.

Namun, ketentuan ini tidak berlaku apabila penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya pada Komisi pemberantasan korupsi paling lambat 30 hari sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.

(9)

Kelebihan/Keuntungan dari Kebijakan/UU

 Disesuaikan dengan peristiwa atau kasus yang terjadi

 Dengan adanya UU tentang Pemberantasan Korupsi ini juga setidaknya bisa membuat jera para pelaku koruptor melalui penjatuhan pidana penjara yang berat atau hukuman mati.

Kekurangan/Kerugian dari Kebijakan/UU

 Para pelaku korupsi umumnya selalu di vonis dengan hukuman rendah, bukan dengan hukuman yang di tetapkan UU.

 Mengapa demikian? Karena kebanyakan orang yang terlibat korupsi ini selalu ingin jalan damai atau meminta keringanan atas kasus korupsinya yaitu dengan cara menyuap hakim atau dengan cara meminta belas kasihan dan bersandiwara didepan majelis hakim tentang keluarga yang di tinggalkan di rumah.

Contoh kasus korupsi yang di ringankan : “Korupsi Bansos Juliari Batubara diringankan Karena dihujat ”.

Juliari divonis penjara 12 tahun dan denda Rp 500.000.000. Tetapi pada kasus ini Juliari meminta dibebaskan dari dakwaan korupsi bansos covid-19. Juliari juga menuturkan bahwa keluarganya menderita karena dipermalukan dan dihujat. Sampai akhirnya saat membacakan putusan, hakim menyebutkan bahwa hukuman yang diterima Juliari diringankan. Alasannya, karena terdakwa menerima cercaan dan hinaan dari masyarakat.

 Menghambat pertumbuhan dan keberlangsungan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.

(10)

Bukti/Fakta yang Menunjukan Adanya “Kelebihan” dari Kebijakan/UU

Bukti/Fakta yang Menunjukan Adanya “Kekurangan” dari Kebijakan/UU

(11)

Bukti/Fakta yang Menunjukan Adanya “Kelompok yang Mendukung”

Kebijakan/UU

Bukti/fakta yang Menunjukan Adanya “Kelompok yang Menentang”

Kebijakan/UU

(12)

PUNGLI

Pungutan liar merupakan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau pegawai negeri dengan cara meminta pembayaran sejumlah uang yang tidak sesuai atau tidak berdasarkan peraturan yang berkaitan dengan pembayaran tersebut. Hal ini sering disamakan dengan perbuatan pemerasan. Sesungguhnya, pungli adalah sebutan semua bentuk pungutan yang tidak resmi, yang tidak mempunyai landasan hukum, maka tindakan pungutan tersebut dinamakan sebagai pungutan liar (pungli). Pungutan liar di sebagian besar kasus yang terjadi terdapat unsur penyalahgunaan wewenang.

Pungutan liar (pungli) dan tindak pidana korupsi ini berbeda, pemaknaan mengenai pungli dan tipikor juga berbeda. Korupsi terjadi bilamana adanya kerugian negara (korupsi ini ada kaitannya dengan kegiatan negara). Sedangkan pungli tidak ada sangkut pautnya dengan kegiatan negara.

Contoh pungli yaitu terjadi di lembaga pendidikan; meminta uang pendaftaran masuk, meminta uang iuran dll.

Contoh korupsi yaitu kerugian keuangan negara.

(13)

DAFTAR PUSTAKA

Evi Hartanti, 2009, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta.

https://media.neliti.com/media/publications/23536-ID-korupsi-dan-upaya- pemberantasannya.pdf

https://www.neliti.com/id/publications/240418/penegakan-hukum-dalam- menanggulangi-pungutan-liar-terhadap-pelayan-publik

Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Referensi

Dokumen terkait

Gotong royong adalah ciri khas bangsa. Dengan gotong royong masyarakat mendapatkan nilai-nilai yang positif. Contohnya : toleransi, tenggang rasa, tolong menolong

Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 Terhadap Upaya Hukum Peninjauan Kembali Dalam Hukum Acara Pidana Terkait Asas Litis Finiri Oportet, disusun

c. Korupsi sebagai perbuatan bukan pidana atau perbuatan lainnya dijelaskan sebagai,Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan melawan hukum memperkaya diri

Tindakan atau sifat melawan hukum dapat dipandang sebagai unsur penting di dalam merumuskan suatu tindak pidana, apalagi jika perbuatan itu berkesinambungan dengan

Tak Putus-putusnya penulis bersyukur, telah selesainya Tugas Akhir ini menjadi kebanggan tersendiri bagi penulis dengan judul: Analisa Putusan Mahkamah Agung Nomor

Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap anggota koperasi yang memiliki Sertifikat Modal Koperasi tersebut pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

Dalam hal ini penulis tertarik dan berinisiatif untuk melakukan penulisan mengenai putusan Mahkamah Konstitusi nomor 80/PUU-XIV/2016 dalam perkara pengujian (judicial

Setiap orang yang melawan hukum, atau menyalahgunakan kewenangan mela - kukan perbuatan memperkaya/mengun - tungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, yang