• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dokumen Tentang Teori Pemidanaan

N/A
N/A
Halsen Jaya

Academic year: 2024

Membagikan "Dokumen Tentang Teori Pemidanaan"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

1. Landasan Teori

Dijatuhkannya hukuman terhadap pelaku tindak pidana berdasarkan aturan hukum pidana materil pada dasarnya tidak terlepas dari teori-teori sistem pemidanaan yang berlaku dalam sistem hukumm, terdapat beberapa teori mengenai sistem pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana yaitu : 1. Teori Absolute atau Vergeldings Theorieen (pembalasan) Teori ini mengajarkan dasar dari pada pemidanaan harus dicari pada kejahatan itu sendiri untuk menunjukan kejahatan itu sebagai dasar hubungan yang dianggap sebagai pembalasan terhadap orang yang melakukan tindak pidana, oleh karena kejahatan itu maka menimbulkan penderitaan bagi si korban. Jadi dalam teori ini dapat disimpulkan sebagai bentuk pembalasan yang diberikan oleh negara yang bertujuan menderitakan pelaku tindak pidana akibat perbuatannya, dan dapat menimbulkan rasa puas bagi orang yang dirugikannya. Mengenai teori absolute ini Muladi dan Barda Nawawi Arief menyatakan sebagai berikut: “Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan, jadi dasar pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri.”10 10 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung, Alumni, 1984, hlm. 10. Bahwa teori absolute ini tidak memikirkan bagaimana pelaku kejahatan, sedangkan pelaku tindak pidana tersebut juga sebenarnya memiliki hak untuk di bina agar menjadi manusia yang berguna sesuai harkat dan martabatnya. 2. Teori Relative atau Doel Theorieen (maksud dan tujuan) Dalam teori ini yang dianggap sebagai dasar hukum dari pemidanaan adalah bukan pembalasan, akan tetapi tujuan dari pidana itu sendiri. Jadi teori ini menyadarkan hukuman pada maksud dan tujuan pemidanaan itu, artinya teori ini mencari manfaat dari pada pemidanaan. Teori ini dikenal juga dengan nama teori nisbi yang menjadikan dasar penjatuhan hukuman pada maksud dan tujuan hukuman sehingga ditemukan manfaat dari suatu penghukuman. Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai teori relatif ini Muladi dan Barda Nawawi Arief memberikan pendapat sebagai berikut: “Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat, oleh karena itu teori ini sering disebut sebagai (Utilitarian Theory) jadi dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini terletak pada tujuannya, pidana dijatuhkan bukan “quia peccatum est” ( karena orang membuat kejahatan) melainkan Ne Peccetur ( supaya orang tidak melakukan kejahatan).”11 Jadi teori relatif bertujuan untuk mencegah agar ketertiban dalam masyarakat tidak terganggu. Teori relatif dalam ilmu pengetahuan hukum pidana dibagi menjadi dua sifat prevensi umum dan khusus, Andi Hamzah menegaskan, bahwa : 11 Ibid, hlm. 16. “Teori ini dibedakan menjadi

(2)

prevensi umum dan prevensi khusus. Prevensi umum, menghendaki agar orang-orang pada umumnya tidak melakukan tindak pidana. Sedangkan prevensi khusus, tujuan pemidanaan ditujukan kepada pribadi pelaku tindak pidana agar tidak lagi mengulagi perbuatan yang dilakukannya.”12 1. Prevensi Umum (generale preventie) Bahwa diantara teori-teori prevensi umum maka teori pidana bersifat menakutkan merupakan teori yang paling lama. Dalam hal ini yang dititik beratkan ialah eksekusi pidana yang telah dijatuhkan. Menurut pendapat yang menitik beratkan pada eksekusi pidana, maka suatu eksekusi dari pidana yang diperlihatkan kepada umum sudah tentu akan menakutkan semua anggota masyarakat yang berniat jahat.

Feurbach sebagai salah satu filsuf penganut teori ini berpendapat, bahwa:13 “Pencegahan tidak usah dilakukan dengan siksaan tetapi cukup dengan memberikan peraturan yang sedemikian rupa sehingga bila orang setelah membaca akan membatalkan niat jahatnya.” Van Hamel dalam hal ini juga berpendapat bahwa :14 “Prevensi khusus dari suatu pidana ialah harus memuat suatu unsur menakutkannya supaya mencegah pelaku tindak pidana yang mempunyai kesempatan untuk tidak melakukan niat buruknya, dan pidana harus mempunyai unsur memperbaiki terpidana.” 12Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi ke Reformasi, Pradnya Paramita, 1986, hlm. 34. 13 Djoko Prakoso, Hukum Penitensier di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2010, hlm. 47. 14 Ibid, hlm. 36. Prevensi umum bertujuan mencegah supaya orang pada umunya tidak melakukan pelanggaran. 2.

Prevensi Khusus (speciale preventie) Menurut teori khusus maka tujuan pidana ialah menahan niat buruk pembuat (dader). Pidana bertujuan menahan pelanggar mengulangi perbuatannya atau menahan pelanggar untuk melakukan perbuatan jahat yang telah direncanakannya. Suatu gambaran tentang pidana yang bersifat prevensi khusus itu sebagai berikut : a. Pidana harus memuat suatu anasir menakutkan supaya dapat menahan khusus

“gelegenheidsmisdadiger” melakukan niat yang buruk. Pidana harus memuat suatu anasir yang memperbaiki bagi terhukum, yang nanti memerlukan suatu reclasserin; b. Pidana harus memuat suatu anasir membinasakan bagi penjahat yang sama sekali tidak lagi dapat di perbaiki; c. Tujuan satu-satunya dari pidana ialah mempertahankan tata tertib hukum.

Prevensi khusus bertujuan mencegah supaya pembuat (dader) tidak melanggar atau mengulangi perbuatan terlarang. Untuk mencapai tujuan ketertiban masyarakat melalui teori ini, maka pidana memiliki tiga macam sifat yaitu : a) Bersifat menakut-nakuti; b) Bersifat memperbaiki; dan c) Bersifat membinasakan. 3. Teori Kombinasi (Gabungan) Menurut ajaran teori ini dasar hukum dari pemidanaan adalah terletak pada kejahatan itu sendiri, yaitu pembalasan atau siksaan, akan tetapi di samping itu diakuinya pula sebagai dasar pemidanaan itu adalah tujuan dari pada hukum. Satochid Kartanegara menyatakan: 15 “Teori ini sebagai

(3)

reaksi dari teori sebelumnya yang kurang dapat memuaskan menjawab mengenai hakikat dari tujuan pemidanaan. Menurut ajaran teori ini dasar hukum dari pemidanaan adalah terletak pada kejahatan itu sendiri, yaitu pembalasan atau siksaan, akan tetapi di samping itu diakuinya pula sebagai dasar pemidanaan itu adalah tujuan dari pada hukum.” Teori gabungan itu dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu : a. Teori-teori menggabungkan yang menitik beratkan pembalasan tetapi membalas itu tidak boleh melampaui batas apa yang perlu dan sudah cukup untuk dapat mempertahankan tata tertib masyarakat; b. Teori-teori menggabungkan yang menitik beratkan pertahanan tata tertib masyarakat. Pidana tidak boleh lebih berat dari pada suatu 15 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian Satu, Balai Lektur Mahasiswa, Jakarta, 1998, hlm.56. penderitaan yang beratnya sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terhukum16 Teori ini merupakan suatu bentuk kombinasi dari teori absolut dan teori relatif yang menggabungkan sudut pembalasan dan pertahanan tertib hukum masyarakat yang tidak dapat diabaikan antara satu dengan yang lainnya. Berdasarkan penekanan atau sudut dominan dalam peleburan kedua teori tersebut ke dalam bentuk teori gabungan, teori ini dibedakan menjadi tiga bentuk yaitu : teori gabungan yang menitikberatkan unsur pembalasan, teori gabungan yang menitikberatkan pertahanan tertib masyarakat, dan teori gabungan yang memposisikan seimbang antara pembalasan dan pertahanan tertib masyarakat. Pada dasarnya terdapat perbedaan pendapat dalam tujuan pidana namun terdapat satu hal yang tidak dapat dibantah yaitu bahwa pidana merupakan salah satu sarana untuk mencegah kejahatan serta memperbaiki terpidana, belum tentu setelah bebas akan menjadi sadar, timbul rasa bersalah atau menyesal bahkan bisa saja setelah bebas akan menaruh rasa dendam yang berarti ringannya suatu pidana bukan menjadi jaminann menjadi sadar akan kesalahan yang telah dilakukannya. 16 Muladi dan Barda Nawawi Arif, Op Cit, hlm. 212. Prinsip-prinsip dasar yang dikemukakan oleh teori tentang tujuan pemidanaan tersebut. Sebagaimana dinyatakan oleh Muladi, yang membagi teori pemidanaan menjadi 3 kelompok yaitu :17 a. Teori Absolut memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan sehingga berorientasi pada perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori ini mengedepankan bahwa sanksi dalam hukum pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan sesuatu kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga sanksi bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan b. Teori Teleologis (tujuan) memandang bahwa pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku tetapi sarana mencapai tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat. Sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni

(4)

untuk mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan. Maka bukan bertujuan untuk pemuasan absolut atas keadilan. Dari teori ini muncul tujuan pemidanaan yang sebagai sarana pencegahan, baik pencegahan khusus yang ditujukan kepada pelaku maupun pencegahan khusus yang ditujukan kepada masyarakat. Teori relatif berasas pada 3 (tiga) tujuan utama pemidanaan yaitu preventif, detterence, dan reformatif. Tujuan preventif untuk melindungi masyarakat dengan 17 Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Penerbit Alumni, Bandung, 2002, hlm. 49-51. menempatkan pelaku kejahatan terpisah dari masyarakat. Tujuan detterence (menakuti) untuk menimbulkan rasa takut melakukan kajahatan yang bisa dibedakan untuk individual, publik, dan jangka panjang. c. Teori Retributif Teleologis, teori ini memandang bahwa tujuan pemidanaan bersifat plural, karena menggabungkan antara prinsip-prinsip teleologis (tujuan) dan retributif sebagai satu kesatuan. Teori ini bercorak ganda, dimana pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik moral dalam menjawab tindakan yang salah.

Sedangkan karakter teleologisnya terletak pada ide bahwa tujuan kritik moral tersebut ialah suatu reformasi atau perubahan perilaku terpidana dikemudian hari. Teori pemidanaan pada saat ini telah mengalami perkembangan yang dapat dikelompokkan menjadi beberap teori yaitu : a. Retributif Menurut teori ini yang menjadi dasar hukum dijatuhkannya pidana adalah kejahatan itu sendiri. Teori ini berfokus pada hukuman/pemidanaan sebagai suatu tuntutan mutlak untuk mengadakan pembalasan terhadap orang-orang yang telah melakukan perbuatan jahat.18 Teori retributif meletigimasi pemidanaan sebagai sarana pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan seseorang. Kejahatan dipandang sebagai perbuatan yang amoral dan asusila di dalam masyarakat, oleh karena itu pelaku kejahatan harus di balas dengan menjatuhkan pidana. Ciri khas 18 Marlina, Hukum Penitensier, Reflika Aditama , 2011, Bandung, hlm 41. teori retributif ini terutama dari pandangan immanuel kant adalah keyakinan mutlak keniscayaan pidana, sekalipun sebenernya pidana tak berguna. Pandangan diarahkan pada masa lalu dan buka ke masa depan dan kesalahannya hanya bisa ditebus dengan menjalani penderitaan. Nigel walker mengemukakan bahwa aliran retributif ini terbagi menjadi dua aliran yaitu retributif terbatas yang berpandangan bahwa pidana tidak harus cocok atau sepadan dengan kesalahan pelaku, akan tetapi pidana yang dijatuhkan tidak boleh melebihi batas-batas yang sepadan dengan kesalahan pelaku. Kedua, retributif yang distribusi yang berpandangan bahwa sanksi pidana dirancang sebagai pembalasan terhadap pelaku kejahatan, namun beratnya sanksi harus di distribusikan kepada pelaku yang bersalah.19 b. Detterence (pencegahan) Teori detterence ini tidak berbeda dengan teori retributif, detterence merupakan suatu bentuk teori pemidanaan yang didominasi oleh pandangan konsekuensialis. Berbeda dengan pandangan retributif yang memandang

(5)

penjatuhan sanksi pidana hanya sebagai pembalasan semata, maka dalam teori detterence memandang adanya tujuan lain yang lebih bermanfaat dari pada sekedar pembalasan. Secara teori detterence dibedakan dalam dua bentuk sebagai berikut : 1. General Detterence Penjatuhan suatu sanksi pidana adalah suatu proses pemberian derita dan karenanya harus di hindari. Penjatuhan suatu sanksi pidana dapat 19 Ibid, hlm.45. dibenarkan manakala memberikan keuntungan. Keuntungan yang dimaksud disini ialah keuntungan yang hanya dapat dicapai melalui mekanisme penjatuhan sanksi pidana kepada pelaku dan benar-benar tidak dapat dicapai dengan cara lain. Atas dasar argumentasi bahwa sebagian besar jenis kejahatan merupakan hasil dari perhitungan rasional, maka sanksi pidana sebagai sarana pencegah kejahatan secara umum, dalam perumusan dan penjatuhannya hal ini harus memperhitungkan tujuan akhir yang akan dicapai. 2. Special Detterence Merupakan suatu sarana pencegahan pasca proses pemidanaan. Penjatuhan hukuman merupakan mekanisme yang harus di buat agar pelaku berpikir dua kali untuk melakukan tindak pidana lagi dikemudian hari. Meskipun dalam pandangan lain suatu penjatuhan hukuman juga merupakan sarana pencegahan bagi mereka berpotensi sebagai calon pelaku untuk berpikir sebelum melakukan suatu tindak pidana, dalam pandangan ini sanksi pidana memberikan efek jera penjeraan dan penangkalan sekaligus. Penjeraan bertujuan untuk menjauhkan seseorang yang dijatuhi hukuman dari kemungkinan mengulangi kejahatan yang sama.

Sementara tujuan penangkalan merupakan sarana menakuti-nakuti bagi penjahat-penjahat potensial dalam masyarakat. c. Relatif dan tujuan Teori ini disebut teori utilitarian. Lahir sebagai reaksi terhadap teori absolut. Teori ini bukanlah sekedar hanya pembalasan saja tetapi secara garis besar teori ini untuk mewujudkan ketertiban di dalam masyarakat. d. In- capacitation Teori ini pada dasarnya merupakan suatu teori pemidanaan yang membatasi orang dari masyarakat selama waktu tertentu dengan tujuan perlindungan terhadap masyarakat pada umumnya. Tujuan dari teori ini kepada jenis pidana yang sifatnya berbahaya pada masyarakat sedemikian besar seperti genosia, terorisme, atau yang sifatnya meresahkan masyarakat seperti pemerkosaan. e. Rehabilitasi Teori ini lebih memfokuskan diri untuk mereformasi atau memperbaiki si pelaku kejahatan. Teori ini untuk memberikan tindakan perawatan dan perbaikan kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman.

Argumen aliran positif ini dilandaskan pada asalan bahwa pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan dan perbaikan.20 f. Restorasi Konsep restorasi ( restorative justice) di awali dari pelaksanaan program penyelesaian kasus pidana yang dilakukan oleh anak di luar mekanisme peradilan konvensional yang dilaksanakan oleh masyarakat yang disebut victim offender. Program ini menganggap pelaku dan korban sama-

(6)

sama mendapat manfaat sebaik- 20 Ibid, hlm.59. baiknya sehingga dapat mengurangi angka residivis di kalangan anak-anak pelaku tindak pidana serta memberikan rasa tanggung awab bagi masing-masing pihak.21 g. Social Defence ( perlindungan masyarakat) Hukum perlindungan sosial harus menggantikan hukum pidana yang ada sekarang. Tujuan utama dari hukum perlindungan sosial adalah mengintegritasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya Dengan demikian pada hakikatnya pidana adalah merupakan perlindungan terhadap masyarakat dan pembalasan terhadap perbuatan melanggar hukum. Dengan demikian maka tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan individual dan sosial yang diakibatkan oleh tindak pidana. Perangkan tujuan pemidanaan tersebut adalah pencegahan umum dan khusus, perlindungan masyarakat, memelihara solidaritas masyarakat, pengimbalan/pengimbangan

TUJUAN PEMIDANAAN Berkaitan dengan tujuan pemidanaan terdapat beberapa teori yang dianut oleh para pakar, yang dasar pimikirannya berkisar pada persoalanpersoalan mengapa suatu kejahatan dikenakan suatu pidana.Teori-teori hukum pidana ini ada hubungan erat dengan subjektif strafrecht sebagai hak atau wewenang untuk menentukan atau menjatuhkan pidana terhadap pengertian (objectief strafrecht) peraturan hukum positif yang merupakan hukum pidana.

Dalam perkembangan hukum pidana, tujuan pemindanaan pada dasarnya terkait dengan tiga teori, yaitu: a. Teori Absolut atau Teori Pembalasan Teori absolut adalah teori yang tertua dan telah berlangsung beberapa abad.Menurut teori ini, pidana dipandang sebagai pembalasan terhadap orang yang telah melakukan tindak pidana.Dalam hal ini, pembalasan harus dilihat sebagai suatu reaksi keras, yang bersifat emosional dank arena itu bersifat irasional.Teori absolut ini juga disebut sebagai teori retribusi.1 Teori ini diikuti secara luas oleh para ahli hukum pidana. Van Bemmelen, misalnya mengatakan, “pada dasarnya setiap pidana adalah 1 Masruchin Ruba‟I, Mengenal Pidana dan Pemidanaan Di Indonesia, Penerbit IKIP Malang, Malang, 1994, hlm 5-6. pembalasan.” Knigge mengatakan,

“menghukum pada dasarnya adalah melakukan pembalasan, dan hal itu bukan suatu hal yang jelek dalam dirinya sendiri, melakukan pembalasan sebagai reaksi atas perilaku yang melanggar norma adalah tindakan manusia yang teramat wajar.” Pada pokoknya menurut teori pembalasan, tujuan pemidanaan adalah

„membalas‟ atas tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat. 2 Menurut Immanuel Kant, pidana dipandang sebagai “Kategorische Imperative” artinya

(7)

seseorang harus dipidana oleh hakim karena ia telah melakukan kejahatan. Hal ini merupakan tuntutan keadilan absolute, sebagaimana dikemukakan oleh Kant dalam bukunya “Philosophy at Law” sebagai berikut :3 “….. Pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan/ kebaikan lain”, baik bagi si pelaku itu sendiri maupun bagi masyarakat, tetapi dalam semua hal harus dikenakan hanya karena orang yang bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan.” Menurut teori absolut ini, setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak boleh tidak tanpa tawar menawar.Seseorang mendapat pidana karena telah melakukan kejahatan. 2 Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan : Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2006, hlm 129. 3 Masruchin Ruba‟I, op cit, hlm 6. b. Teori Relatif atau Teori Tujuan Menurut teori ini, hukum pidana bertujuan untuk mencegah dan mengurangi kejahatan. Pidana harus dimaksudkan untuk mengubah tingkah laku penjahat dan orang lain yang cenderung melakukan kejahatan. Teori ini melihat ke depan, sedang teori absolut hanya memperhatikan peristiwa yang telah berlalu.4 Teori relatif atau disebut juga dengan teori utilitaris.Menurut teori ini bahwa pemidanaan mempunyai tujuan berdasarkan manfaat tertentu, dan bukan hanya sekedar membalas perbuatan pembuat.Pidana bukanlah sekadar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempuyai tujuan-tujuan yang bermanfaat.Manfaat terbesar dengan dijatuhkannya pidana terhadap pembuat adalah penccegahan dilakukannya tindak pidana.Baik pencegahan atas pengulangan oleh pembuat (prevensi khusus), maupun pencegahan mereka yang sangat mungkim (potential offender) melakukan tindak pidana tersebut (prevensi umum).5 Menurut pandangan modern, prevensi sebagai tujuan dari pidana adalah merupakan sasaran utama yang akan dicapai sebab itu tujuan pidana dimaksudkan untuk kepembinaan atau perawatan bagi terpidana, artinya dengan penjatuhan pidana itu terpidana harus dibina sehingga setelah selesai 4 Ibid, hlm 7. 5 Chairul Huda, op cit, hlm 129. menjalani pidananya, ia akan menjadi orang yang lebih baik dari sebelum menjalani pidana.6 c. Teori Gabungan Selain teori absolut dan teori relatif juga ada teori ketiga yang disebut teori gabungan.Teori ini muncul sebagai reaksi dari teori sebelumnya yang kurang dapat memuaskan menjawab mengenai tujuan dari pemidanaan.Tokoh utama yang mengajukan teori gabungan

(8)

ini adalah Pellegrino Rossi (1787-1848).Teori ini berakar pada pemikiran yang bersifat kontradiktif antara teori absolut dengan teori relatif. Teori gabungan berusaha menjelaskan dan memberikan dasar pembenaran tentang pemidanaan dari berbagai sudut pandang yaitu:7 1) Dalam rangka menentukan benar dan atau tidaknya asas pembalasan, mensyaratkan agar setiap kesalahan harus dibalas dengan kesalahan, maka terhadap mereka telah meninjau tentang pentingnya suatu pidana dari sudut kebutuhan masyarakat dan asas kebenaran. 2) Suatu tindak pidana menimbulkan hak bagi negara untuk menjatuhkan pidana dan pemidanaan merupakan suatu kewajiban apabila telah memiliki tujuan yang dikehendaki. 3) Dasar pembenaran dari pidana terletak pada faktor tujuan yakni mempertahankan tertib hukum 6 Djoko Prakoso, Hukum Penitensir Di Indonesia, Armico, Bandung, 1988, hlm 23. 7 Muladi & Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni. Bandung, 1994, hlm 19. Lebih lanjut Rossi berpendapat bahwa pemidanaan merupakan pembalasan terhadap kesalahan yang telah dilakukan, sedangkan berat ringannya pemidanaan harus sesuai dengan justice absolute (keadilan yang mutlak) yang tidak melebihi justice sosial (keadilan yang dikehendaki oleh masyarakat), sedangkan tujuan yang hendak diraih berupa:8 1) Pemulihan ketertiban, 2) Pencegahan terhadap niat untuk melakukan tindak pidana (generak preventief), 3) Perbaikan pribadi terpidana, 4) Memberikan kepuasan moral kepada masyarakat sesuai rasa keadilan, 5) Memberikan rasa aman bagi masyarakat Dengan demikian, teori gabungan ini berusaha memadukan konsep-konsep yang dianut oleh teori absolut dan teori relatif.Sehingga dapat disimpulkan bahwa tujuan pemidanaan yaitu disamping penjatuhan pidana itu harus membuat jera, juga harus memberikan perlindungan serta pendidikan terhadap masyarakat dan terpidana. Di samping teori-teori tersebut yang menjelaskan tentang tujuan pemidanaan, dapat pula kita temukan dalam konsep Rancangan K.U.H.Pidana baru (konsep tahun 2006) pada Pasal 54 tersebut berbunyi : ayat (1) 1) Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum dan pengayoman masyarakat. 8 Ibid, hlm 19. 2) Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna. 3) Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat, dan 4) membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Sedangkan pada ayat (2) disebutkan juga bahwa pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan

(9)

merendahkan matabat manusia Perumusan tentang teori tujuan pemidanaan tersebut sangat bermanfaat untuk menguji seberapa jauh suatu lembaga pidana itu mempunyai daya guna, dimana ditentukan oleh kemampuan lembaga pidana tersebut untuk memenuhi pelbagai tujuan pemidanaan tanpa suatu tujuan dalam menjatuhkan pidana. Di bawah ini akan diuraikan tujuan pemidanaan secara singkat mengingat hal-hal tersebut harus diperhitungkan dalam setiap penjatuhan pidana. Menurut Sudarto, pada umumnya tujuan pemidanaan dapat dibedakan sebagai berikut:9 1) Pembalasan, pengimbalan/retribusi Pembalasan sebagai tujuan pidana/pemidanaan hal tersebut kita jumpai pada apa yang dinamakan teori absolut. Menurut penganut faham tersebut, dalam kejahatan itu sendiri terletak pembenaran dari pemidanaan, terlepas dari manfaat yang hendak dicapai, ada pemidanaan karena ada pelanggaran hukum, ini merupakan tuntutan keadilan. 9 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni. Bandung. 1986, hlm. 24 2) Mempengaruhi tingkah laku orang demi perlindungan masyarakat atau untuk pengayoman. Pidana tidak dikenakan demi pidana itu sendiri melainkan untuk tujuan yang bermanfaat ialah untuk melindungi masyarakat atau untuk pengayoman. Mengenai tujuan pemidanaan di Indonesia, maka harus dipikirkan kerangka teori yang benar-benar sesuai dengan filsafat kehidupan bangsa Indonesia yang bersendikan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yakni yang mendasarkan diri atas keseimbangan, keselarasan, dan keserasian antara kehidupan sosial dan individual. Berdasarkan uraian di atas dapat dinyatakan bahwa teori integratif tujuan pemidanaan yang merupakan kombinasi dari berbagai teori tujuan pemidanaan yang dianggap lebih cocok untuk diterapkan di Indonesia yang tentunya dengan menggunakan pendekatan sosiologis, idiologis, dan yuridis filosofis, yang dilandasi asumsi dasar bahwa tindak pidana merupakan gangguan terhadap keseimbangan, keselarasan, dan kehidupan masyarakat.

Tujuan pemidanaan adalah untuk merehabilitasi kerusakan individual dan sosial yang diakibatkan oleh tindak pidana.Hal ini terdiri dari seperangkat tujuan pemidanaan yang harus dipenuhi, dengan catatan bahwa tujuan mana yang merupakan titik berat sifatnya kasuistis. 10

Teori Pemidanaan Tujuan pemidanaan menurut Wirjono Prodjodikoro, yaitu :21 1. Untuk menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan baik secara menakut-nakuti orang banyak (general preventif) maupun menakutnakuti orang

(10)

tertentu yang sudah melakukan kejahatan agar dikemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (speciale preventif). 2. Untuk mendidik atau memperbaiki orang- orang yang melakukan kejahatan agar menjadi orang yang baik tabiatnya sehingga bermanfaat bagi masyarakat. Pada umumnya, teori pemidanaan terbagi atas 3 (tiga) bagian, yaitu : 1. Teori Absolut atau Teori Pembalasan (vergeldings theorien) Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan kejahatan atau tindak pidana. Teori ini diperkenalkan oleh Kent dan Hegel. Teori absolut didasarkan pada pemikiran bahwa pidana tidak bertujuan untuk praktis, seperti memperbaiki penjahat tetapi pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan, dengan kata lain hakekaat pidana adalah pembalasan (revegen), sebagaimana yang dinyatakan Muladi bahwa :22 “Teori absolut memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan sehingga berorientasi pada perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori ini mengedepankan bahwa 20Bernard L Tanya, Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia, Lintas Ruang dan Generas, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, Hlm.

11. 21Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, 1981, Hlm. 16. 22Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, Hlm. 11. 19 UNIVERSITAS MEDAN AREA sanksi dalam hukum pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga sanksi bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan.” Dari teori tersebut, nampak jelas bahwa pidana merupakan suatu tuntutan etika, dimana seseorang yang melakukan kejahatan akan dihukum dan hukuman itu merupakan suatu keharusan yang sifatnya untuk membentuk sifat dan mengubah etika yang jahat ke yang baik. Menurut Vos, bahwa :23 Teori pembalasan ini terbagi atas pembalasan subyektif dan pembalsan obyektif.

Pembalasan subyektif adalah pembalasan terhadap kesalahan pelaku, sementara pembalasan obyektif adalah pembalasan terhadap apa yang telah diciptakan oleh pelaku di dunia luar. 2.Teori Relatif atau Teori Tujuan Teori ini berpokok panagkal pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat. Teori ini berbeda dengan teori absolut, dasar pemikiran agar suatu kejahatan dapat dijatuhi hukuman artinya penjatuhan pidana mempunyai tujuan tertentu, misalnya memperbaiki sikap mental dan membuat

(11)

pelaku tidak berbahaya lagi, dibutuhkan proses pembinaan sikap mental. Menurut Muladi tentang teori ini :24 Pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku tetapi sarana mencapai tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat. Sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan, maka bukan bertujuan untuk pemuasan absolut atas keadilan. Teori ini memunculkan tujuan pemidanaan sebagai sarana pencegahan, baik pencegahan khusus yang ditujukan kepada pelaku maupun pencegahan 23Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1991, Hlm. 27. 24Zainal Abidin, Ibid, Hlm. 11. 20 UNIVERSITAS MEDAN AREA umum yang ditujukan ke masyarakat. Teori relatif ini berasas pada tiga tujuan utama pemidanaan yaitu preventif, detterence dan reformatif. Tujuan preventif untuk melindungi masyarakat dengan menempatkan pelaku kejahatan terpisah dari masyarakat. Tujuan menakuti (detterence) untuk menimbulkan rasa takut melakukan kejahatan, baik bagi individual pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya maupun bagi publik sebagai langkah panjang. Sedangkan tujan perubahan (reformation) untuk mengubah sifat jahat pelaku dengan dilakukannya pembinaan dan pengawasan, sehingga nantinya dapat kembali melanjutkan kebiasaan hidupnya sehari-hari sebagai manusia yang sesuai dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat. 3. Teori Gabungan (vereningings theorien) Teori gabungan atau teori modern memandang bahwa tujuan pemidanaan bersifat plural, karena menggabungkan antara prinsip- prinsip relatif (tujuan) dan absolut (pembalasan) sebagai suatu kesatuan. Teori ini bercorak ganda, dimana pemidanaan mengandung karakter pembalsan sejauh pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik moral dalam menjawab tindakan yang salah. Sedangkan karakter tujuannya terletak pada ide bahwa tujuan kritik moral tersebut ialah suatu reformasi atau perubahan perilaku terpidana di kemudian hari.

Teori ini diperkenalkan oleh Prins, Van Hammel dan Van List dengan pandangan sebagai berikut :25 1. Tujuan terpenting pidana adalah memberantas kejahatan sebagai suatu gejala masyarakat. 2. Ilmu hukum pidana dan perundang-undangan pidana harus memperhatikan hasil studi antropologi dan sosiologis. 3. Pidana ialah suatu dari yang paling efektif yang dapat digunakan pemerintah untuk memberantas kejahatan. Pidana bukanlah satu-satunya 25Djoko Prakoso, Surat Dakwaan, Tuntutan Pidana dan Eksaminasi Perkara di Dalam Proses Pidana, Liberty, Yogyakarta, Hlm. 47. 21 UNIVERSITAS MEDAN AREA sarana, oleh

(12)

karena itu pidana tidak boleh digunakan tersendiri tetapi harus digunakan dalam bentuk kombinasi dengan upaya sosialnya. Pandangan diatas menunjukkan bahwa teori ini mensyaratkan agar pemidanaan itu selain memberikan penderitaan jasmani juga psikologi dan terpenting adalah memberikan pemidanaan dan pendidikan. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan dari pemidanaan, yaitu dikehendakinya suatu perbaikan-perbaikan dalam diri manusia atau yang melakukan kejahatankejahatan terutama dalam delik ringan. Sedangkan untuk delik-delik tertentu yang dianggap dapat merusak tata kehidupan sosial dan masyarakat, dan dipandang bahwa penjahat-penjahat tersebut sudah tidak bisa lagi diperbaiki, maka sifat penjeraan atau pembalasan dari suatu pemidanaan tidak dapat dihindari.

Teori-teori pemidanaan dan tujuan pemidanaan yang ditawarkan dalam perkembangan hukum mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dalam perkembangannya, tujuan pemidanaan dan pemidanaan memiliki pandangan-pandangan tersendiri yang mengalami perubahan-perubahan dari waktu ke waktu dengan berbagai aliran atau penggolongan sebagai berikut.

Aliran Klasik berfaham indeterminisme mengenai kebebasan kehendak (free will) manusia yang menekankan pada perbuatan pelaku kejahatan sehingga dikehendakilah hukum pidana perbuatan (daad-strefrecht). Aliran klasik pada prinsipnya hanya menganutsingle track system berupa sanksi tunggal, yaitu sanksi pidana. Aliran ini juga bersifat retributif dan represif terhadap tindak pidana, sebab doktrin dalam aliran ini adalah pidana harus sesuai dengan kejahatan. Sebagai konsekuensinya, hukum harus dirumuskan dengan jelas dan tidak memberikan kemungkinan bagi hakim untuk melakukan penafsiran.

Aliran Modern atau aliran positif bertitik tolak pada aliran determinisme yang menggantikan doktrin kebebasan berkehendak (the doctrine of free will). Manusia dipandang tidak mempunyai kebebasan berkehendak, tetapi dipengaruhi oleh watak lingkungannya, sehingga dia tidak dapat dipersalahkan atau dipertanggungjawabkan dan dipidana. Aliran ini menolak pandangan pembalasan berdasarkan kesalahan yang subyektif. Aliran ini menghendaki adanya individualisasi pidana yang bertujuan untuk mengadakan resosialisasi pelaku. Aliran ini menyatakan bahwa sistem hukum pidana, tindak pidana sebagai perbuatan yang diancam pidana oleh undang-undang, penilaian hakim yang didasarkan pada konteks hukum yang murni atau sanksi pidana itu sendiri harus tetap dipertahankan. Hanya saja dalam menggunakan hukum pidana, aliran ini menolak penggunaan fiksi-fiksi yuridis dan teknik- teknik yuridis yang terlepas dari kenyataan sosial. Aliran Neo Klasik beranggapan bahwa

(13)

pidana yang dihasilkan olah aliran klasik terlalu berat dan merusak semangat kemanusiaan yang berkembang pada saat itu. Perbaikan dalam aliran neo klasik ini didasarkan pada beberapa kebijakan peradilan dengan merumuskan pidana minimum dan maksimum dan mengakui asas-asas tentang keadaan yang meringankan (principle ofextenuating circumtances). Perbaikan selanjutnya adalah banyak kebijakan peradilan yang berdasarkan keadaaan-keadaan obyektif. Aliran ini mulai mempertimbangkan kebutuhan adanya

pembinaan individual dari pelaku tindak pidana.

Disamping munculnya aliran-aliran hukum pidana tersebut muncullah teori-teori tentang pemidanaan beserta tujuannya masing-masing yaitu sebagai berikut;

a. Teori Absolut/Teori pembalasan (Vergeldings Theorien). Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan kejahatan atau tindak pidana.

Teori ini diperkenalkan oleh Kent dan Hegel. Teori Absolut didasarkan pada pemikiran bahwa pidana tidak bertujuan untuk praktis, seperti memperbaiki penjahat tetapi pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan, dengan kata lain hakikat pidana adalah pembalasan (revegen).

Sebagaimana yang dinyatakan Muladi (Zainal Abidin, 2005 : 11) bahwa: Teori absolut memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan sehingga berorientasi pada perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori ini mengedepankan bahwa sanksi dalam hukum pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan sesuatu kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga sanksi bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan.

Menurut Vos (Andi Hamzah, 1993 : 27), bahwa: Teori pembalasan absolut ini terbagi atas pembalsan subyektif dan pembalasan obyektif. Pembalasan subyektif adalah pembalasan terhadap kesalahan pelaku, sementara pembalasan obyektif adalah pembalasan terhadap apa yang telah diciptakan oleh pelaku di dunia luar.

Teori pembalasan mengatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkannya pidana. Pidana secara mutlak ada, karena dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu untuk memikirkan manfaat menjatuhkan pidana itu. Setiap kejahatan harus berakibatkan dijatuhkan pidana kepada pelanggar. Oleh karena itulah maka teori ini disebut teori absolut. Pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan. Hakikat suatu pidana ialah pembalasan (Andi Hamzah, 2005 : 31).

Nigel Walker. Menjelaskan bahwa ada dua golongan penganut teori retributive yaitu:

(14)

Teori retributif Murni: yang memandang bahwa pidana harus sepadan dengan kesalahan.

Teori retributif Tidak Murni, Teori ini juga masih terpecah menjadi dua yaitu:

 Teori Retributif terbatas (The Limiting Retribution). Yang berpandangan bahwa pidana tidak harus sepadan dengan kesalahan. Yang lebih penting adalah keadaan yang tidak menyenangkan yang ditimbulkan oleh sanksi dalam hukum pidana itu harus tidak melebihi batas-batas yang tepat untuk penetapan kesalahan pelanggaran.

 Teori retributive distribusi (retribution in distribution). Penganut teori ini tidak hanya melepaskan gagasan bahwa sanksi dalam hukum pidana harus dirancang dengan pandangan pada pembalasan, namun juga gagasan bahwa harus ada batas yang tepat dalam retribusi pada beratnya sanksi.

b. Teori Relatif atau Tujuan (Doel Theorien)

Teori relatif atau teori tujuan, berpokok pangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat. Teori ini berbeda dengan teori absolut, dasar pemikiran agar suatu kejahatan dapat dijatuhi hukuman artinya penjatuhan pidana mempunyai tujuan tertentu, misalnya memperbaiki sikap mental atau membuat pelaku tidak berbahaya lagi, dibutuhkan proses pembinaan sikap mental. Menurut Muladi (Zainal Abidin, 2005 : 11) tentang teori ini bahwa: Pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku tetapi sarana mencapai tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat. Sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan, maka bukan bertujuan untuk pemuasan absolut atas keadilan.

Dari teori ini muncul tujuan pemidanaan yang sebagai sarana pencegahan, baik pencegahan khusus (speciale preventie) yang ditujukan kepada pelaku maupun pencegahan umum (general preventie) yang ditujukan ke masyarakat. Teori relatif ini berasas pada tiga tujuan utama pemidanaan yaitu preventif,detterence, dan reformatif. Tujuan preventif (prevention) untuk melindungi masyarakat dengan menempatkan pelaku kejahatan terpisah dari masyarakat. Tujuan menakuti (detterence) untuk menimbulkan rasa takut melakukan kejahatan, baik bagi individual pelaku agar tidak mengulangi perbuatanya, maupun bagi publik sebagai langkah panjang. Sedangkan tujuan perubahan (reformation) untuk mengubah sifat jahat si pelaku dengan dilakukannya pembinaan dan pengawasan, sehingga nantinya dapat kembali melanjutkan kebiasaan hidupnya sehari-hari sebagai manusia yang sesuai dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Menurut teori ini suatu kejahatan tidak mutlak

(15)

harus diikuti dengan suatu pidana. Untuk ini, tidaklah cukup adanya suatu kejahatan, tetapi harus dipersoalkan perlu dan manfaatnya suatu pidana bagi masyarakat atau bagi si penjahat sendiri. Tidaklah saja dilihat pada masa lampau, tetapi juga pada masa depan.

Dengan demikian, harus ada tujuan lebih jauh daripada hanya menjatuhkan pidana saja. Dengan demikian, teori ini juga dinamakan teori tujuan. Tujuan ini pertama-tama harus diarahkan kepda upaya agar dikemudian hari kejahatan yang dilakukan itu tidak terulang lagi (prevensi). Teori relatif ini melihat bahwa penjatuhan pidana bertujuan untuk memperbaiki si penjahat agar menjadi orang yang baik dan tidak akan melakukan kejahatan lagi. Menurut Zevenbergen(Wirjono Projdodikoro, 2003 : 26) ”terdapat tiga macam memperbaiki si penjahat, yaitu perbaikan yuridis, perbaikan intelektual, dan perbaikan moral.” Perbaikan yuridis mengenai sikap si penjahat dalam hal menaati undang-undang. Perbaikan intelektual mengenai cara berfikir si penjahat agar ia insyaf akan jeleknya kejahatan. Sedangkan perbaikan moral mengenai rasa kesusilaan si penjahat agar ia menjadi orang yang bermoral tinggi.

c. Teori Gabungan/modern (Vereningings Theorien)

Teori gabungan atau teori modern memandang bahwa tujuan pemidanaan bersifat plural, karena menggabungkan antara prinsip-prinsip relatif (tujuan) dan absolut (pembalasan) sebagai satu kesatuan. Teori ini bercorak ganda, dimana pemidanaan mengandung karakter pembalasan sejauh pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik moral dalam menjawab tindakan yang salah. Sedangkan karakter tujuannya terletak pada ide bahwa tujuan kritik moral tersebut ialah suatu reformasi atau perubahan perilaku terpidana di kemudian hari.

Teori ini diperkenalkan oleh Prins, Van Hammel, Van List (Djoko Prakoso, 1988 :47) dengan pandangan sebagai berikut :

1. Tujuan terpenting pidana adalah membrantas kejahatan sebagai suatu gejala masyarakat.

2. Ilmu hukum pidana dan perundang-undangan pidana harus memperhatikan hasil studi antropologi dan sosiologis.

3. Pidana ialah suatu dari yang paling efektif yang dapat digunakan pemerintah untuk memberantas kejahatan. Pidana bukanlah satu-satunya sarana, oleh karena itu pidana tidak boleh digunakan tersendiri akan tetapi harus digunakan dalam bentuk kombinasi denga upaya sosialnya.

(16)

Dari pandangan diatas menunjukkan bahwa teori ini mensyaratkan agar pemidanaan itu selain memberikan penderitaan jasmani juga psikologi dan terpenting adalah memberikan pemidanaan dan pendidikan.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan dari pemidanaan, yaitu dikehendakinya suatu perbaikan-perbaikan dalam diri manusia atau yang melakukan kejahatan-kejahatan terutama dalam delik ringan. Sedangkan untuk delik-delik tertentu yang dianggap dapat merusak tata kehidupan sosial dan masyarakat, dan dipandang bahwa penjahat-penjahat tersebut sudah tidak bisa lagi diperbaiki, maka sifat penjeraan atau pembalasan dari suatu pemidanaan tidak dapat dihindari. Teori ini di satu pihak mengakui adanya unsur pembalasan dalam penjatuhan pidana. Akan tetapi di pihak lain, mengakui pula unsur prevensi dan unsur memperbaiki penjahat/pelaku yang melekat pada tiap pidana. Teori ketiga ini muncul karena terdapat kelemahan dalam teori absolut dan teori relatif, kelemahan kedua teori tersebut adalah (Hermien Hadiati Koeswadji, 1995 : 11-12):

Kelemahan teori absolut :

1. Dapat menimbulkan ketidakadilan. Misalnya pada pembunuhan tidak semua pelaku pembunuhan dijatuhi pidana mati, melainkan harus dipertimbangkan berdasarkan alat-alat bukti yang ada.

2. Apabila yang menjadi dasar teori ini adalah untuk pembalasan, maka mengapa hanya Negara saja yang memberikan pidana?

Kelemahan teori tujuan :

1. Dapat menimbulkan ketidak adilan pula. Misalnya untuk mencegah kejahatan itu dengan jalan menakut-nakuti, maka mungkin pelaku kejahatan yang ringan dijatuhi pidana yang berat sekadar untuk menakut-nakuti saja, sehingga menjadi tidak seimbang. Hal mana bertentangan dengan keadilan.

2. Kepuasan masyarakat diabaikan. Misalnya jika tujuan itu semata-mata untuk memperbaiki sipenjahat, masyarakat yang membutuhkan kepuasan dengan demikian diabaikan.

3. Sulit untuk dilaksanakan dalam peraktek. Bahwa tujuan mencegah kejahatan dengan jalan menakut-nakuti itu dalam praktek sulit dilaksanakan. Misalnya terhadap residive.

Dengan munculnya teori gabungan ini, maka terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ahli (hukum pidana), ada yang menitik beratkan pembalasan, ada pula yang ingin unsur pembalasan dan prevensi seimbang. Yang pertama, yaitu menitik beratkan unsur pembalasan dianut oleh Pompe (Andi Hamzah, 2005 : 36). Pompe menyatakan: Orang tidak menutup

(17)

mata pada pembalasan. Memang, pidana dapat dibedakan dengan sanksi-sanksi lain, tetapi tetap ada ciri-cirinya. Tetap tidak dapat dikecilkan artinya bahwa pidana adalah suatu sanksi, dan dengan demikian terikat dengan tujuan sanksi-sanksi itu. Dan karena hanya akan diterapkan jika menguntungkan pemenuhan kaidah-kaidah dan berguna bagi kepentingan umum.

Van Bemmelan pun menganut teori gabungan (Andi Hamzah, 2005 : 36), ia menyatakan: Pidana bertujuan membalas kesalahan dan mengamankan masyarakat. Tindakan bermaksud mengamankan dan memelihara tujuan. Jadi pidana dan tindakan, keduanya bertujuan mempersiapkan untuk mengembalikan terpidana kedalam kehidupan masyarakat.

Grotius mengembangkan teori gabungan yang menitik beratkan keadilan mutlak yang diwujudkan dalam pembalasan, tetapi yang berguna bagi masyarkat. Dasar tiap-tiap pidana ialah penderitaan yang berat sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana.

Tetapi sampai batas mana beratnya pidana dan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana dapat diukur, ditentukan oleh apa yang berguna bagi masyarakat.

Teori yang dikemukakan oleh Grotius tersebut dilanjutkan oleh Rossi dan kemudian Zenvenbergen, yang mengatakan bahwa makna tiap-tiap pidana ialah pembalasan tetapi maksud tiap-tiap pidana melindungi tata hukum. Pidana mengembalikan hormat terhadap hukum dan pemerintahan (Andi Hamzah, 2005 : 37).

Teori gabungan yang kedua yaitu menitik beratkan pertahanan tata tertib masyarakat.

Teori ini tidak boleh lebih berat daripada yang ditimbulkannya dan gunanya juga tidak boleh lebih besar dari pada yang seharusnya.

Pidana bersifat pembalasan karena ia hanya dijatuhkan terhadap delik-delik, yaitu perbuatan yang dilakukan secara sukarela, pembalasan adalah sifat suatu pidana tetapi bukan tujuan. Tujuan pidana ialah melindungi kesejahtraan masyarakat. Menurut Vos (Andi Hamzah, 2005 : 37) ”pidana berfungsi sebagai prevensi umum, bukan yang khusus kepada terpidana, karena kalau ia sudah pernah masuk penjara ia tidak terlalu takut lagi, karena sudah berpengalaman.” Teori gabungan yang ketiga, yaitu yang memandang pembalasan dan pertahanan tata tertib masyarakat. Menurut E. Utrecht teori ini kurang dibahas oleh para sarjana (Andi Hamzah, 2005 : 37)

Teori Gabungan Menurut teori gabungan bahwa tujuan pidana itu selain membalas kesalahan penjahat juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat, dengan mewujudkan ketertiban. Teori ini menggunakan kedua teori (teori absolut dan teori

(18)

relatif) sebagai dasar pemidanaan, dengan pertimbangan bahwa kedua teori tersebut memiliki kelemahan-kelemahan yaitu :1

1. Kelemahan teori absolut adalah menimbulkan ketidakadilan karena dalam penjatuhan hukuman perlu mempertimbangkan bukti-bukti yang ada dan pembalasan yang dimaksud tidak harus negara yang melaksanakan.

2. Kelemahan teori relatif yaitu dapat menimbulkan ketidakadilan karena pelaku tindak pidana ringan dapat dijatuhi hukum berat;

kepuasan masyarakat diabaikan jika tujuannya untuk memperbaiki masyarakat; dan mencegah kejahatan dengan menakut-nakuti sulit dilaksanakan.

Walaupun terdapat perbedaan pendapat di kalangan sarjana mengenai tujuan pidana itu, namun ada satu hal yang tidak dapat dibantah, yaitu bahwa pidana itu merupakan salah satu sarana untuk mencegah kejahatan serta memperbaiki narapidana. Demikian juga halnya dengan pidana penjara merupakan sarana untuk memperbaiki narapidana agar menjadi manusia yang berguna di masyarakat.

Teori integratif dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu:231

a. Teori integratif yang menitikberatkan pembalasan, akan tetapi tidak boleh melampaui batas apa yang perlu dan sudah cukup untuk dapat mempertahankan tata tertib masyarakat.

b. b.Teori integratif yang menitikberatkan pada pertahanan tata tertib masyarakat, tetapi tidak boleh lebih berat dari suatu penderitaan yang beratnya sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh narapidana.

c. Teori integratif yang menganggap harus ada keseimbangan antara kedua hal di atas. Dengan demikian pada hakikatnya pidana adalah merupakan perlindungan terhadap masyarakat dan pembalasan terhadap perbuatan melanggar hukum.

Di samping itu Roeslan Saleh juga mengemukakan bahwa pidana mengandung hal- hal lain, yaitu bahwa pidana diharapkan sebagai sesuatu yang akan membawa kerukunan dan pidana adalah suatu proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat diterima kembali dalam masyarakat3. Dalam konteks itulah Muladi mengajukan

1 Koeswadji, Perkembangan Macam-macam Pidana Dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana, Cetakan I, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1995) hal. 11-12

2 Prakoso dan Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-pendapat Mengenai Efektifitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hal. 24

3 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Op. cit, hal. 22. Selanjutnya Van Bemmelen menyatakan pidana bertujuan membalas kesalahan dan mengamankan masyarakat. Tindakan bermaksud

(19)

kombinasi tujuan pemidanaan yang dianggap cocok dengan pendekatan-pendekatan sosiologis, ideologis, dan yuridis filosofis dengan dilandasi oleh asumsi dasar bahwa tindak pidana merupakan gangguan terhadap keseimbangan, keselarasan dan keserasian dalam kehidupan masyarakat, yang mengakibatkan kerusakan individual ataupun masyarakat. Dengan demikian maka tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan individual dan sosial yang diakibatkan oleh tindak pidana.

Perangkat tujuan pemidanaan tersebut adalah: (a) pencegahan (umum dan khusus),(b) perlindungan masyarakat, (c) memelihara solidaritasmasyarakat, (d) pengimbalan/pengimbangan.4

Dalam Naskah Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-undang Hukum Pidana Tahun 2005, mengenai tujuan pemidanaan diatur dalam Pasal 54, yaitu:

A. Pemidanaan bertujuan:

1). Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;

2). Memasyarakatkan narapidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;

3). Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat, dan

4). Membebaskan rasa bersalah pada terpidana, 5). Memaafkan terpidana.

B. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.

Melihat tujuan pemidanaan di atas, Sahetapy mengemukakan bahwa tujuan pemidanaan tersebut sangat penting, karena hakim harus merenungkan aspek pidana/pemidanaan dalam kerangka tujuan pemidanaan tersebut dengan memperhatikan bukan saja rasa keadilan dalam kalbu masyarakat, melainkan harus mampu menganalisis relasi timbal balik antara si pelaku dengan si korban5. Dari sejumlah pendapat ahli hukum pidana mengenai tujuan pidana dan pemidanaan sebagaimana disebutkan di atas, kesemuanya menunjukkan bahwa tujuan pidana dan pemidanaan itu tidaklah

mengamankan dan memelihara tujuan. Jadi pidana dan tindakan keduanya bertujuan mempersiapkan untuk mengembalikan terpidana ke dalam kehidupan masyarakat, (diterjemahkan dari kutipan Oemarseno Adji), Hukum Pidana,( Jakarta: Erlangga, 1980), hal. 14

4 Muladi, Op.cit, hal. 61.

5 J. E. Sahetapy, Tanggapan Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, Pro Justitia, Majalah Hukum, Tahun VII, Nomor 3, Juli 1989, hal. 22

(20)

tunggal, misalnya untuk pembalasan semata, atau untuk pencegahan saja. Akan tetapi penulis sependapat bahwa tujuan pidana dan pemidanaan itu meliputi beberapa tujuan secara integratif.

Sehubungan dengan tujuan pidana, Andi Hamzah mengemukakan tiga R dan satu D, yakni 635 Reformation, Restraint, dan Restribution, serta Deterrence. reformasi berarti memperbaiki atau merehabilitasi penjahat menjadi orang baik dan berguna bagi masyarakat. Restraint maksudnya mengasingkan pelanggar dari masyarakat, juga tersingkirnya pelanggar hukum dari masyarakat, berarti masyarakat itu akan menjadi lebih aman. Retribution ialah pembalasan terhadap pelanggar hukum karena telah melakukan kejahatan. Deterrence berarti menjera atau mencegah sehingga baik terdakwa sebagai individual, maupun orang lain yang potensial menjadi penjahat akan jera atau takut untuk melakukan kejahatan karena melihat pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa.

Menurut Sholehuddin tujuan pemidanaan yaitu :7

Pertama, memberikan efek penjeraan dan penangkalan. Penjeraan berarti menjauhkan si terpidana dari kemungkinan mengulangi kejahatan yang sama, sedangkan tujuan sebagai penangkal berarti pemidanaan berfungsi sebagai contoh yang mengingatkan dan menakutkan bagi penjahat- penjahat potensial dalam masyarakat.

Kedua, pemidanaan sebagai rehabilitasi. Teori tujuan menganggap pemidanaan sebagai jalan untuk mencapai reformasi atau rehabilitasi pada si terpidana. Ciri khas dari pandangan tersebut adalah pemidanaan merupakan proses pengobatan sosial dan moral bagi seorang terpidana agar kembali berintegrasi dalam masyarakat secara wajar.

Ketiga, pemidanaan sebagai wahana pendidikan moral, atau merupakan proses reformasi. Karena itu dalam proses pemidanaan, si terpidana dibantu untuk menyadari dan mengakui kesalahan yang dituduhkan kepadanya.

Teori gabungan pada hakekatnya lahir dari ketidakpuasan terhadap gagasan teori pembalasan maupun unsur-unsur yang positif dari kedua teori tersebut yang kemudian dijadikan titik tolak dari teori gabungan. Teori ini berusaha untuk

6 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rinneka Cipta, 1994), hal. 28

7 Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System &

Implementasinya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 45.

(21)

menciptakan keseimbangan antara unsur pembalasan dengan tujuan memperbaiki pelaku kejahatan. Meskipun dimulai dengan menekan kekurangan dari toeri pembalasan.

Referensi

Dokumen terkait

Teori keunggulan absolut yaitu setiap negara mampu memproduksi suatu barang tertentu secara lebih efisien dr pd negara lain melalui spesialisasi.. Keunggulan absolut ini

Menurut teorl poncegahan yang ldaslk yErE biassnya digambarl€r oebgai deror- rarEs bah,ra glek poncsgahan balk yeng aktusl atau yang dlsrEatnkan akan

Teori gabungan merupakan suatu bentuk kombinasi dari teori absolut dan teori relatif yang menggabungkan sudut pembalasan dan pertahanan tertib hukum masyarakat. Dalam teori ini,

Media massa menurut Wright memiliki kemampuan mengarahkan isu atau peristiwa untuk diterima khalayak dan diterima sebagai sebuah isu yang penting, atau yang disebut

Teori Tujuan atau disebut juga teori relatif tidak berfokus pada perbuatan pidana melainkan kepada si pelaku kejahatan, oleh karena itu menurut Teguh Prasetyo teori tujuan atau

1) Teori Keunggulan Mutlak (Absolut Advantage)- Adam Smith Teori keunggulan dari Adam Smith sering disebut dengan teori murni perdagangan internasional. dasar dari

Teori ini merupakan gabungan dari teori absolut dan juga teori relatif, disini terdapat suatu kombinasi antara pembalasan terhadap pelaku dan juga ketertiban masyarakat.

Pemaafan Korban sejajar dengan Teori Absolut yang Relatif/Teori Gabungan, yang hakikatnya memadukan tujuan pidana sebagai pembalasan terhadap pelaku tindak pidana dengan