• Tidak ada hasil yang ditemukan

Download this PDF file - Jurnal Kependudukan Indonesia

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "Download this PDF file - Jurnal Kependudukan Indonesia"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

Chotib M.Si, Departemen Demografi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, Indonesia Bidang Studi: Migrasi, Migrasi Internasional, Demografi Ekonomi. Prasetyo, M.Sc, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Indonesia Keahlian: Biostatistik, Kesehatan Masyarakat, Kesehatan Reproduksi. Sri Sunarti Purwaningsih, Pusat Kajian Budaya dan Masyarakat LIPI, Indonesia Bidang kajian: Sosial demografi, kesehatan ibu dan anak.

Augustina Situmorang, MA, Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, Indonesia Bidang Studi: Sosial Demografi, Kesehatan Reproduksi, Kesehatan Remaja Dr. Soewartoyo, MA, Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, Indonesia Bidang Keahlian: Sosial Demografi, Pekerjaan dan Lingkungan Dr. Deny Hidayati, MA, Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, Indonesia Bidang Keahlian: Sosial Demografi, Ekologi Manusia, Kebencanaan Dr.

JURNAL KEPENDUDUKAN INDONESIA

PERIODE 1995 – 2015

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah jumlah pendatang yang datang ke provinsi di Jawa dan Sumatera. Gradasi warna menunjukkan banyaknya pendatang yang dibesarkan di provinsi-provinsi di pulau Jawa dan Sumatera. Provinsi Jawa Timur merupakan provinsi dengan jumlah pendatang paling sedikit yang dibesarkan di pulau Jawa pada periode tahun 2000.

Secara umum, jumlah pendatang pemberontak terbesar pada periode 2005 masih berada di provinsi-provinsi di Pulau Jawa. Selama periode ini, perubahan terjadi di provinsi dengan jumlah migran pemberontak terbesar kedua di Jawa. Apalagi provinsi di Pulau Jawa masih banyak pendatang asing.

Tabel 1.    Persentase  migran  masuk  risen  menurut  provinsi  tujuan, 2010
Tabel 1. Persentase migran masuk risen menurut provinsi tujuan, 2010

DETERMINAN PENYAKIT BERBASIS LINGKUNGAN PADA ANAK BALITA DI INDONESIA

DETERMINANTS OF ENVIRONMENTALLY BASED DISEASES AMONG CHILDREN UNDER FIVE IN INDONESIA)

Penentu penyakit berbasis lingkungan di...| Restu Prasetyodan Tiodora Hadumaon Siagian signifikan terhadap angka kesakitan ISPA pada balita. Alasan pertama, angka penyakit ISPA dan diare pada balita di Indonesia masih tinggi. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menemukan determinan dan kecenderungan menderita ISPA dan diare pada balita di Indonesia.

Seperti yang terlihat pada Tabel 2, berdasarkan status daerah kumuh tempat tinggalnya, persentase kesakitan ISPA dan diare lebih tinggi pada balita yang tinggal di daerah kumuh. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan ibu maka semakin rendah jumlah balita yang menderita ISPA dan diare. Temuan penelitian ini sejalan dengan penelitian Ristiana (2015) yang menunjukkan bahwa kejadian diare lebih banyak terjadi pada balita yang ibunya tidak mencuci tangan pakai sabun setiap kali tangannya kotor.

Angka kejadian balita yang menderita penyakit berbasis lingkungan seperti ISPA dan diare lebih tinggi pada balita yang ibunya tidak memiliki kebiasaan cuci tangan pakai sabun setelah buang air besar seperti yang terlihat pada Tabel 2. Hasil ini sejalan dengan Ristiana . Penelitian (2015) yang menunjukkan bahwa kejadian diare lebih tinggi, sering terjadi pada anak kecil yang ibunya tidak memiliki kebiasaan mencuci tangan setelah buang air besar. Menurut jenis kelamin, persentase penderita ISPA dan diare lebih tinggi pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan.

Harianto (2004) menunjukkan bahwa kejadian diare pada balita lebih banyak dialami balita laki-laki dibandingkan balita perempuan. Untuk pendidikan ibu SMA memiliki p-value -0,41 sehingga pendidikan ibu SMA tidak berpengaruh signifikan terhadap kejadian penyakit diare pada balita. Kecenderungan anak kecil menderita ISPA lebih tinggi pada balita yang tinggal di permukiman kumuh, berjenis kelamin laki-laki, berusia 7-12 bulan, pendidikan ibunya di bawah SD, dan ibunya tidak memiliki perilaku cuci tangan pakai sabun setiap kali tangan. kotor dan setelah BAB.

Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa tingkat pendidikan ibu memiliki kontribusi terbesar terhadap angka kesakitan penyakit berbasis lingkungan pada anak usia dini.

Tabel 1. Daftar variabel yang dipakai dalam penelitian ini
Tabel 1. Daftar variabel yang dipakai dalam penelitian ini

PROFIL PEMAKAIAN KONTRASEPSI

DISPARITAS ANTARA PERDESAAN DAN PERKOTAAN

PROFILE OF CONTRACEPTIVE USE

DISPARITY BETWEEN RURAL AND URBAN AREAS)

Untuk faktor sosial ekonomi seperti tingkat pendidikan dan tingkat kekayaan, terdapat perbedaan antara perempuan PUS di pedesaan dengan di perkotaan. Sumber pengetahuan KB adalah informasi KB yang diperoleh ibu-ibu PUS di pedesaan dan perkotaan. Sebaliknya, delapan dari sepuluh wanita usia subur, baik di desa maupun di kota, belum pernah mengunjungi Puskesmas dan berdiskusi tentang KB dengan tenaga kesehatan.

Sumber: diadaptasi dari data survei PMA 2020 tahun 2015 Penggunaan KB menurut karakteristik ibu PUS di pedesaan dan perkotaan. Persentase wanita PUS yang menggunakan kontrasepsi tertinggi pada kelompok umur 30-34 tahun, baik di perkotaan maupun pedesaan (23 persen di perkotaan, 20 persen di pedesaan). Sumber: diolah dari data survei PMA 2020 Tahun 2015 Di perkotaan, penggunaan KB meningkat seiring dengan peningkatan status pendidikan ibu PUS.

Selain itu, penggunaan kontrasepsi di perkotaan semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya status ekonomi wanita usia subur. Hasil analisis bivariat di perkotaan menunjukkan bahwa hubungan usia pubertas wanita dengan penggunaan kontrasepsi berbentuk U terbalik.Sumber: diolah dari data survei PMA2020 tahun 2015 Variabel tingkat pendidikan wanita PUS menunjukkan hubungan yang kuat dengan penggunaan kontrasepsi (Tabel 4).

Pola hubungan antara usia wanita usia subur dengan penggunaan alat kontrasepsi di perdesaan sama dengan di perkotaan. Semua kategori pada variabel umur wanita yang berhubungan seks di perkotaan secara statistik signifikan untuk penggunaan kontrasepsi. Hasil analisis menunjukkan bahwa kunjungan ibu PUS ke fasilitas kesehatan dan diskusi KB dengan petugas kesehatan di fasilitas kesehatan tidak berpengaruh nyata terhadap penggunaan kontrasepsi di perdesaan.

Di antara seluruh wanita PUS yang tidak menggunakan KB di lingkungan perkotaan, porsi terbesar terdapat pada kelompok wanita berpendidikan tinggi.

Gambar 1. Kerangka pikir analisis
Gambar 1. Kerangka pikir analisis

KEBIJAKAN PENGELOLAAN MIGRASI DALAM KONTEKS PERUBAHAN IKLIM: KASUS LOMBOK UTARA DAN LOMBOK TIMUR

MIGRATION MANAGEMENT POLICY IN CLIMATE CHANGE CONTEXT

CASE OF NORTH LOMBOK AND EAST LOMBOK)

1 Perubahan iklim melibatkan perubahan kondisi meteorologi (suhu, tekanan, kelembaban, angin, hujan dan radiasi matahari di atmosfer dan bumi bagian luar) selama periode waktu tertentu. Hasil analisis menunjukkan bahwa migrasi penduduk merupakan salah satu strategi adaptasi untuk merespon dampak perubahan iklim. Artikel ini bertujuan untuk mengetahui respon pemerintah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota dalam menghadapi dampak perubahan iklim dalam konteks penanganan migrasi.

Tulisan ini diawali dengan pendahuluan yang menjelaskan pentingnya mengangkat topik manajemen migrasi terkait perubahan iklim. Dokumen tersebut memuat penjelasan tentang dampak perubahan iklim yang diperparah oleh kerusakan lingkungan. Beberapa kegiatan pemerintah daerah yang sebenarnya dapat berkontribusi dalam mengurangi dampak perubahan iklim mulai dilakukan.

Dampak variabilitas perubahan iklim sebagai faktor pendorong migrasi belum secara eksplisit dinyatakan dalam kebijakan penanganan migrasi di tingkat provinsi NTB. Dalam konteks migrasi penduduk di Lombok Utara dan Lombok Timur, migrasi dapat dianggap sebagai strategi penanggulangan untuk menanggapi variabilitas dan perubahan iklim. Hal ini karena proses migrasi akibat perubahan iklim juga terkait erat dengan masalah (degradasi) lingkungan (Black, Arnell, Adger, Thomas & Geddes, 2013).

8 Kajian ini menyarankan agar model kebijakan pengelolaan migrasi akibat dampak perubahan iklim harus dibedakan antar daerah tujuan (climate-forced migrations). Penanganan migrasi yang dirumuskan dapat mencakup tiga hal, yaitu (i) tindakan preventif terhadap migrasi yang dilakukan. keluar karena paksaan karena ketidakmampuan mengatasi dampak perubahan iklim; (ii) ketika migrasi terpaksa harus disiapkan bantuan dan perlindungan bagi populasi yang terpapar, serta solusi berkelanjutan untuk mengatasi masalah tersebut; dan (iii) fasilitasi migrasi sebagai strategi adaptasi untuk mengatasi perubahan iklim, dampak perubahan iklim harus dibedakan dengan pengelolaan migrasi penduduk biasa.

Mengelola migrasi akibat perubahan iklim harus fokus pada berbagai kegiatan yang membantu masyarakat beradaptasi dengan perubahan iklim.

DYNAMIC OF POPULATION GROWTH AND FLOODING INCIDENTS IN CITIES: CASE OF SURABAYA)

Pertumbuhan penduduk yang besar di Surabaya merupakan hasil dari berkembangnya kegiatan industri yang menjadi penggerak utama perekonomian kota. Sedangkan kecamatan dengan kepadatan terendah terdapat di Surabaya bagian barat yaitu Pakal (15 jiwa/hektar), Benowo (16 jiwa/hektar), Sambikerep (20 jiwa/hektar), Lakarsantri (22 jiwa/hektar), dan Asemrowo (22 orang/ha). jiwa/hektar). Terlihat juga bahwa LPP yang tinggi di Surabaya terletak di kecamatan dengan jumlah penduduk yang relatif sedikit, hal ini menandakan bahwa daerah tersebut berkembang pesat.

Sedangkan kecamatan di Surabaya Pusat dan sekitarnya memiliki LPP paling rendah, dan sebagian besar minus (Gambar 3). Dalam perkembangannya, jumlah kejadian banjir di Surabaya cenderung meningkat dan cakupan wilayah terdampak juga semakin luas dari tahun ke tahun. Urutan jumlah kejadian bencana per kecamatan di Surabaya berdasarkan tahun kepadatan penduduk LPP LPP Kecamatan.

Penelitian Dhartaredjasa & Hartono (2013) menunjukkan bahwa terjadi perubahan penggunaan lahan yang signifikan di Surabaya antara tahun 1994 dan 2012. Urbanisasi merupakan salah satu penyebab peningkatan bencana akibat pertumbuhan penduduk yang kuat di daerah perkotaan yang terbatas. Uji korelasi antara LPP dengan jumlah banjir di Surabaya menunjukkan hubungan yang signifikan dan positif.

Kabupaten dengan laju pertumbuhan penduduk yang tinggi memiliki jumlah kecelakaan tertinggi dibandingkan dengan kabupaten lainnya. Namun, ada juga beberapa kecamatan dengan laju pertumbuhan penduduk yang rendah, bahkan terendah sekalipun, yang memiliki angka kejadian banjir yang tinggi. Tersedia dari https://news.detik.com/jawatimur/2787816/hujan-sejak-noon-dan-sore-hari-kawasan-di-surabaya-banjir Hujan sepanjang malam, Tambaksari Surabaya banjir hingga pukul 1.

Diambil dari https://news.detik.com/berita/3222011/bmkg-buran-hujan-di-surabaya-yang-berimbas-banjir-very-density.

Gambar 1. Peta Kota Surabaya
Gambar 1. Peta Kota Surabaya

FUTURE STAYING PREFERENCES OF YOUTH MIGRANTS

CASE OF SLEMAN DISTRICT, SPECIAL REGION OF YOGYAKARTA 1

PREFERENSI TEMPAT TINGGAL MIGRAN MUDA DI MASA DEPAN

KASUS KABUPATEN SLEMAN, PROVINSI DI YOGYAKARTA)

Thus, the survey asked "where do you want to be in the next five years" for respondents to reveal their plan for possible subsequent moves. This situation implies an almost equal distribution in terms of regions of residence of migrants in the future. Also, almost half of female respondents (46 percent) expressed their intentions to return home in the next five years, while only 30 percent of male respondents would like to re-immigrate to their areas of origin.

In addition, familiarity with local communities also affects migrants' choices to stay in the future. Therefore, most of them choose to stay in the current district or return to their hometowns. Moreover, Busch & Weigert (2010) suggest that migrants' length of stay in their current regions has a positive correlation with the intention to stay permanently in the regions.

As explained in the previous section, about a third of the respondents in the survey express their intention to stay in Sleman, another third plan to move back to their areas of origin, and the rest prefer to move to new areas to migrate from destination. The further examination of the reasons behind their choices of future residence preferences in the next five years reveals several considerations related to the young migrants' views on different paths they would like to follow. These would-be return migrants will play important roles in the development processes of their areas of origin.

Another option for future residence preferences of the youth migrants is to move to new areas. As explained in the previous section, about a third of the respondents in this study aspire to stay in different regions in the next five years. The migrants argue that the work experience in the big city will gain a greater appreciation in their career development.

For them, it is also essential to work in the fields that are similar to their educational backgrounds.

Figure 1. Distribution  of respondents  by  future  staying  preferences, Sleman District, 2016 (%)
Figure 1. Distribution of respondents by future staying preferences, Sleman District, 2016 (%)

Gambar

Tabel 1.    Persentase  migran  masuk  risen  menurut  provinsi  tujuan, 2010
Gambar 1. Jumlah migran masuk risen di Pulau Jawa  dan Sumatera pada periode 1995
Gambar 3.    Jumlah migran masuk risen di Pulau Jawa  dan Sumatera pada periode 2005
Gambar 2.    Jumlah migran masuk risen di Pulau Jawa  dan Sumatera pada periode 2000
+7

Referensi

Dokumen terkait

Informan : “Ini kan kita jadi bisa mengerti kalau proses produksinya dari awal sampai akhir gitu, jadi kita bisa menjelaskan ke konsumen kalau batik tulis itu emang produksinya susah