• Tidak ada hasil yang ditemukan

Draft Proposal Tesis MKN

N/A
N/A
Sila Rizki

Academic year: 2023

Membagikan "Draft Proposal Tesis MKN"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

AKIBAT HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA PASCA TERBITNYA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 24/PUU-XX/2022

TESIS

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat-Syarat Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan

Oleh:

Rizki Chairi Hidayat 206010201111002

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS BRAWIJAYA

FAKULTAS HUKUM MALANG

2023

(2)

Judul Tesis : AKIBAT HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA PASCA TERBITNYA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24/PUU-XX/2022

Identitas Penulis

a. Nama : Rizki Chairi Hidayat

b. NIM : 206010201111002

Jangka Waktu Penelitian : 3-4 Bulan Disetujui pada tanggal :

Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

Nama Dosen Nama Dosen

NIP NIP

Mengetahui, Ketua Program Studi Magister Kenotariatan

Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

Dr. Hanif N. Widhiyanti, S.H., M.Hum.

NIP. 197808112002122001

i

(3)

ii

(4)

HALAMAN PERSETUJUAN...i

HALAMAN PENETAPAN PENGUJI...ii

DAFTAR ISI...iii

DAFTAR TABEL...iv

A. Judul Penelitian...1

B. Latar Belakang Masalah...1

C. Rumusan Masalah...8

D. Tujuan Penelitian...8

E. Manfaat Penelitian...9

F. Orisinalitas Penelitian...10

G. Landasan Teori...12

H. Metode Penelitian...16

1. Jenis Penelitian...17

2. Pendekatan Penelitian...17

3. Jenis dan Sumber Bahan Hukum...18

4. Teknik Penelusuran Bahan Hukum...19

5. Teknik Analisis Bahan Hukum...20

6. Sistematika Penulisan...20

JADWAL PELAKSANAAN PENELITIAN...22

DAFTAR PUSTAKA...23

iii

(5)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Penelitian Terdahulu...17

iv

(6)

A. Judul Penelitian

Akibat Hukum Perkawinan Beda Agama Pasca Terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 24/PUU-XX/2022

B. Latar Belakang Masalah

Perkawinan beda agama merupakan polemik yang sudah tidak asing lagi dan tidak terelakkan di era globalisasi sekarang ini. Perkawinan beda agama itu sendiri merupakan perkawinan yang dilangsungkan oleh dua pihak yang mempunyai perbedaan dalam agama atau kepercayaan.

Sudah menjadi kodratnya manusia untuk hidup saling berdampingan satu sama lain serta meneruskan keturunannya, hal tersebut menjadi hak asasi seorang manusia yang sudah aja bahkan sejak manusia lahir dan tertuang dalam Pasal 28 B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: “setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”.1 Perkawinan menurut hak asasi manusia secara internasional sendiri telah disinggung dalam pasal 16 DUHAM (Declaration of Human Rights) yang berisikan pria dan wanita yang sudah dewasa tanpa dibatasi oleh kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga.2 Keduanya mempunyai hak yang sama atas perkawinan, selama masa perkawinan dan putusnya perkawinan.

Syarat perkawinan hanya dilihat dari faktor persetujuan saja.

Perkawinan hanya dapat dilakukan bila keduanya setuju tanpa syarat.3 Hak asasi manusia tersebut lantas dapat menjadi landasan terjadinya sebuah perkawinan antara laki laki dan perempuan yang diawasi oleh suatu peraturan khusus dan hal ini diperhatikan oleh agama, negara, dan adat.

Perkawinan sejatinya telah diatur dalam BAB KEEMPAT Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (yang selanjutnya disebut “KUHPerdata”) tentang Perkawinan, sedangkan pengertian perkawinan sendiri telah dimuat dalam

1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28 B Ayat (1).

2 United Nation, Declaration of Human Rights, yang selanjutnya disebut DUHAM, Pasal 16 3 DUHAM, Pasal 16

(7)

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut “UU Perkawinan 1974”) yang berbunyi:

“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.4

Dari pengertian yang telah disebutkan dalam undang-undang tersebut, dapat disimpulkan bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri. Ikatan lahir batin tersebut ditujukan guna membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia yang kekal dan sejahtera. Ikatan dan tujuan bahagia yang kekal tersebut didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa.5 Dalam arti lainnya, tidak hanya terjadi ikatan perdata saja dalam perkawinan, melainkan ikatan agama juga ada di dalamnya sebagaimana dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 66 UU Perkawinan 1974:

“Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang- undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonnantie Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonnantie Christen Indonesiers S.1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No.

158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.”6

Perkawinan merupakan serangkaian adat beraturan yang sakral dengan menyatukan insan manusia yang mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk membangun rumah tangga dan meneruskan keturunan.7 Interaksi yang terjadi antar individu yang berbeda suku bangsa dan kewarganegaraan dalam berbagai bidang, tentunya akan melahirkan hubungan-hubungan hukum, seperti perkawinan beda agama. Perkawinan sah apabila dilaksanakan menurut agama dan kepercayaan masing-masing, serta perkawinan tersebut hendaknya dicatatkan.8 Hal ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum kepada

4 Undang-Undang tentang Perkawinan, UU Nomor 1 Tahun 1974, LN Nomor 1 Tahun 1974 TLN Nomor 3019, yang selanjutnya disebut UU Perkawinan 1974, Pasal 1

5 Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Azas – Azas Hukum Perkawinan di Indonesia, Cetakan Pertama (Jakarta:PT. Bina Aksara,1987), Hlm. 3

6 UU Perkawinan 1974, Pasal 66.

7 Ni Putu Sari Wulan Amrita, Desak Putu Dewi Kasih, Ni Putu Purwanti, “Penetapan Hak Asuh Anak Terkait dengan Perceraian Orang Tua (studi kasus perkara No. 182/Pdt.G/2017/PN Sgr)”, Kertha Semaya Volume 6 Nomor 4, (Agustus 2018), hlm 3

8 UU Perkawinan 1974, Pasal 2.

(8)

pihak yang bersangkutan, karena perkawinan tersebut telah sah di mata agama maupun hukum.

Sahnya atau tidaknya suatu perkawinan telah diatur dalam pasal 2 UU Perkawinan 1974 diantaranya sebagai berikut:9

1. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing- masing agama dan kepercayaannya itu.

2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku

Sebelum UU Perkawinan 1974 diberlakukan, perkawinan beda agama termasuk dalam kategori perkawinan campuran. Regeling op de Gemengde Huwelijk stbl. 1898 nomor 158 (yang selanjutnya disebut “GHR”) mengatur tentang perkawinan campuran sebelumnya. Dalam Pasal 1 GHR, perkawinan campuran didefinisikan sebagai perkawinan antara orang-orang di Indonesia yang tunduk pada hukum yang berbeda. Perbedaan hukum ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk perbedaan kewarganegaraan, agama, kependudukan dalam religi, golongan rakyat, dan tempat kediaman.10

Namun, setelah berlakunya UU Perkawinan 1974, definisi perkawinan campuran berubah secara tegas. Pasal 57 UU Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan campuran dalam undang-undang ini adalah perkawinan antara dua orang di Indonesia yang tunduk pada hukum yang berbeda, dengan salah satu pihak memiliki kewarganegaraan Indonesia. Dengan demikian, perkawinan beda agama tidak lagi termasuk dalam kategori perkawinan campuran menurut UU Perkawinan 1974.

Perkawinan beda agama telah menjadi isu kontroversial tersendiri.

Kurangnya ketentuan yang jelas dalam UU Perkawinan 1974 mengenai perkawinan beda agama menyebabkan pelaksanaannya menjadi relatif sulit.

Pasal 2 dalam UU Perkawinan 1974 bahkan menyatakan bahwa perkawinan sah jika dilaksanakan sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing individu.11 Dari pasal ini, dapat diartikan bahwa perkawinan di Indonesia diatur berdasarkan hukum agama. Oleh karena itu, perkawinan yang tidak sesuai atau bertentangan dengan hukum agama dianggap tidak sah. Dengan demikian, 9 UU Perkawinan 1974, Pasal 2

10 Octavianus Eoh, Perkawinan Antar Agama dalam Teori dan Praktik, (Jakarta: Sri Gunting, 1996), hlm. 9.

11 UU Perkawinan 1974, Pasal 2

(9)

dapat disimpulkan bahwa perkawinan beda agama yang tidak diizinkan oleh suatu agama, juga dianggap tidak sah menurut peraturan tersebut.

Dapat dimengerti bersama bahwa masalah mengenai perkawinan antar agama, termasuk di Indonesia, merupakan isu yang sensitif dan selalu menarik perhatian berbagai pihak, terutama para peneliti atau akademisi. Beberapa studi telah berfokus pada keputusan-keputusan pengadilan tingkat pertama (Putusan PN) maupun kasasi (Putusan MA) terkait permohonan izin pencatatan perkawinan beda agama, baik secara sebagian maupun dalam bentuk perbandingan antar putusan pengadilan.

Akar masalah dari permasalahan perkawinan beda agama di Indonesia adalah disebabkan oleh kurangnya kejelasan, atau bahkan ketidaktegasan, dalam ketentuan hukum yang berlaku secara resmi. Pasal 2 Ayat (1) UU Perkawinan 1974 tidak secara jelas mengizinkan atau melarang perkawinan beda agama. Di sisi lain, beberapa peraturan lain, seperti Pasal 35 Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (yang selanjutnya disebut “UU Adminduk 2006”), memberikan peluang untuk diizinkannya perkawinan beda agama. Ketidakjelasan atau perbedaan penafsiran mengenai validitas perkawinan ini pada akhirnya menyebabkan beberapa konsekuensi, termasuk kesulitan dalam mendapatkan pengakuan dari negara melalui pencatatan di kantor catatan sipil.

Dalam praktiknya, masyarakat sering memaknai Pasal tersebut dengan cara yang berbeda, di mana perkawinan dilakukan sesuai dengan agama yang dianut oleh masing-masing individu. Misalnya, orang Islam menikah dengan orang Islam di Kantor Urusan Agama (yang selanjutnya disebut “KUA”), orang Kristen menikah dengan orang Kristen di gereja dengan bantuan petugas pencatat dari kantor catatan sipil, orang Katolik menikah dengan orang Katolik di gereja dengan pencatatan dari petugas kantor catatan sipil, dan seterusnya.

Akibatnya, perkawinan beda agama relatif sulit mendapatkan pengakuan secara hukum.

Dalam konteks tersebut, perkawinan beda agama seringkali menghadapi kendala karena tidak memiliki ketentuan hukum yang jelas dan konsisten dalam UU Perkawinan 1974. Pengakuan resmi dari negara melalui pencatatan di kantor catatan sipil menjadi sulit, karena praktik perkawinan ini cenderung tidak

(10)

sesuai dengan persyaratan hukum yang berlaku, yang mengharuskan perkawinan dilaksanakan sesuai dengan agama yang sama. Oleh karena itu, perkawinan beda agama sering dianggap tidak mendapatkan tempat secara hukum, dan hal ini dapat menimbulkan berbagai masalah dan polemik dalam masyarakat.

Sulitnya pelaksanaan perkawinan beda agama di Indonesia telah menyebabkan munculnya berbagai model penyelesaian di kalangan masyarakat. Salah satu praktik yang umum adalah dengan mengadopsi agama semu dari salah satu pasangan. Contohnya, ketika pasangan memiliki agama yang berbeda, seperti satu pihak beragama Islam dan yang lain beragama Kristen, Katolik, atau agama lainnya, jika mereka ingin melangsungkan perkawinan berdasarkan agama Islam dan mencatatkannya di KUA, pihak yang beragama non-Islam harus masuk agama Islam terlebih dahulu, dengan mengucapkan ikrar syahadat.

Hal yang sama berlaku ketika pasangan tersebut ingin melangsungkan perkawinan berdasarkan agama Katolik, pihak yang beragama non-Katolik harus terlebih dahulu tunduk pada hukum agama Katolik untuk mendapatkan dispensasi dari Paroki setempat. Pihak yang bukan penganut Katolik harus mendaftarkan diri ke Gereja untuk mengikuti pelatihan agama Katolik selama sekitar satu tahun, hingga mendapatkan persetujuan untuk melangsungkan perkawinan tersebut. Proses penundukan agama ini sering kali diikuti dengan persyaratan administrasi untuk perubahan identitas agama dalam Kartu Tanda Penduduk (yang selanjutnya disebut “KTP”).

Praktik serupa juga berlaku bagi penganut agama lainnya, seperti Kristen, Hindu, dan Buddha. Misalnya, jika seorang pemeluk agama Buddha ingin menikah dengan seorang pemeluk agama Islam, maka salah satu pihak juga harus berpindah agama ke agama pasangannya. Proses ini melibatkan perubahan identitas agama dalam KTP, baik dari agama Islam menjadi agama Buddha atau sebaliknya.

Model penyelesaian ini menjadi cara bagi pasangan yang berbeda agama untuk melangsungkan perkawinan secara resmi dan diakui secara hukum. Namun, proses penundukan agama ini juga telah menimbulkan berbagai perdebatan dan isu kontroversial dalam masyarakat.

(11)

Setiap putusan hakim selalu dilandasi dengan pertimbangan yang melandasinya. Ahmad Mujahidin menyatakan bahwa putusan pengadilan harus memuat alasan dan dasar putusan harus memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.12 Hal yang dinyatakan oleh Syarif Mappiasse yang menyatakan bahwa asas yang terkandung dalam suatu putusan yaitu adanya alasan-alasan dan dasar-dasar putusan secara jelas dan terperinci serta harus memuat pasal-pasal.13

Pertimbangan para hakim dalam suatu putusan, baik di Pengadilan Negeri (yang selanjutnya disebut “Putusan PN”), Mahkamah Agung (yang selanjutnya disebut “Putusan MA”), maupun Mahkamah Konstitusi (yang selanjutnya disebut “Putusan MK”), dalam menerima atau menolak permohonan yang pada intinya untuk mencari keadilan agar perkawinan beda agama dilegalkan oleh negara melalui pencatatannya secara administratif di Kantor Catatan Sipil. Ketiga lembaga pengadilan ini memang memiliki kewenangannya masing-masing.14 Namun demikian, ketika ada beberapa kasus hukum yang sangat beririsan, khususnya perkawinan beda agama, maka sangat dimungkinkan untuk mengaitkan satu sama lainnya guna menemukan keselarasan atau ketidakselarasan baik dalam aturan normatif maupun aplikatifnya. Hal ini penting karena putusan dari ketiga lembaga hukum ini akan sangat menentukan sikap dan bahkan akses hukum masyarakat dalam perkara tersebut.

Sejauh ini, UU Perkawinan 1974 yang telah diubah menjadi Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (yang selanjutnya disebut “UU Perkawinan 2019”) telah diuji materiil di Mahkamah Konstitusi sebanyak 9 (Sembilan) kali.

Dari 9 (Sembilan) permohonan uji materiil tersebut, hanya ada 1 (satu)

12 Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Perdata Peradilan Agama, (Jakarta: IKAHI, 2008), hlm. 338.

13 Syarif Mappiasse, Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim, (Jakarta: Pranada Media Group, 2015), hlm. 41.

14 Dalam soal perkawinan beda agama, Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung memiliki kewenangan yang sama, yaitu mengadili perkara konkret berkenaan dengan permohonan izin pencatatan perkawinan. Bedanya, Pengadilan Negeri mengadili pada tingkat pertama, yang cakupan wiayahnya kabupaten/kota, sedangkan Mahkamah Agung mengadili pada tingkat kasasi. Berbeda dari keduanya, Mahkamah Konstitusi dalam hal ini mengadili apakah norma berkenaan dengan perkawinan dan pencatatan perkawinan beda agama sesuai atau bertentangan dengan konstitusi.

(12)

permohonan yang terkait dengan pengujian Pasal 2 Ayat (1) dari UU Perkawinan 1974 yang telah diubah menjadi UU Perkawinan 2019. Permohonan tersebut ditolak seluruhnya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor:

68/PUU-XII/2014.

Selanjutnya, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 24/PUU-XX/2022 (yang selanjutnya disebut “Putusan MK 24/2022”) juga merupakan putusan dari salah satu perkara yang mengajukan permohonan uji materiil terhadap UU Perkawinan 1974 terhadap UUD NRI 1945. Dalam perkara ini,Tuan E, seorang karyawan swasta, memberi kuasa kepada Nyonya N dan beberapa pengacara Kantor Hukum L&P sebagai pemohon. Pengajuan permohonan uji materiil tersebut berfokus pada Pasal 2 Ayat (1) dan Ayat (2) serta Pasal 8 huruf f UU Perkawinan 1974 terhadap Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28B Ayat (1), dan Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28E Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 28I Ayat (1) dan Ayat (2), serta Pasal 29 Ayat (1) dan Ayat (2) UUD NRI 1945.

Pemohonan uji materiil diajukan karena pemohon berkeinginan untuk menikah dengan seorang wanita beragama Islam, sementara pemohon sendiri beragama Katolik. Mereka telah menjalin hubungan selama 3 tahun, namun menghadapi kesulitan karena peraturan perkawinan yang berlaku tidak mengizinkan perkawinan beda agama. Oleh karena itu, mereka terpaksa membatalkan rencana perkawinan.

Dalam sidang uji materiil, Mahkamah Konstitusi menghadirkan saksi ahli dari kalangan akademisi dan tokoh agama yang mewakili berbagai agama yang diakui di Indonesia. Pemberlakuan Pasal 2 Ayat (1) dan (2), serta Pasal 8 huruf (f) dari UU Perkawinan 1974 tidak secara langsung menunjukkan bahwa negara memiliki peran tunggal dalam menafsirkan keabsahan perkawinan berdasarkan hukum agama dan kepercayaan masyarakat. Penafsiran tersebut dilakukan oleh ahli atau tokoh agama dari berbagai kelompok atau organisasi keagamaan.

Penafsiran ini kemudian dapat menjadi dasar bagi negara dalam mengatur ketentuan pelaksanaan perkawinan dalam konteks bernegara. Mahkamah Konstitusi tidak mendukung campur tangan negara dalam tafsir mengenai keabsahan perkawinan beda agama yang ada dalam lembaga agama dari berbagai agama atau kepercayaan yang ada di masyarakat Indonesia.

(13)

Hasil dari Putusan MK 24/2022, menolak seluruhnya permohonan uji materiil dari pemohon dengan pertimbangan Pasal 2 Ayat (1) dan Ayat (2) serta Pasal 8 huruf f UU Perkawinan 1974 terhadap Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28B Ayat (1), dan Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28E Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 28I Ayat (1) dan Ayat (2), serta Pasal 29 Ayat (1) dan Ayat (2) UUD NRI 1945.

Namun, pasca terbitnya Putusan MK 24/2022, masih banyak putusan pengadilan negeri yang memberikan izin perkawinan beda agama dan dapat dicatatkan ke kantor catatan sipil yang bersangkutan. Putusan pengadilan negeri tersebut, seperti Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta Nomor 141/Pdt.P/2023/PN Yyk, Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 155/Pdt.P/2023/PN Sby, dan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 155/Pdt.P/2023/PN Jkt.Pst. Hal ini tidak sejalan antara Putusan MK dengan Putusan PN. Hal ini dapat menyebabkan ketidakpastian hukum bagi Masyarakat Indonesia.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut, perkawinan beda agama pasca terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 24/PUU-XX/2022 yang dijadikan dalam fokus peneltian ini. Dan oleh karena itu, hasil penelitian yang dituliskan dalam tesis ini diberi judul “Akibat Hukum Perkawinan Beda Agama Pasca Terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 24/PUU-XX/2022”.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan dalam latar belakang, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian tesis ini sebagai berikut:

1. Bagaimana akibat hukum perkawinan beda agama pasca terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 24/PUU-XX/2022?

2. Bagaimanakah legalitas dari perkawinan beda agama yang telah dikabulkan hakim pasca terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 24/PUU-XX/2022?

(14)

D. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian dari penulisan tesis ini dengan judul “Akibat Hukum Perkawinan Beda Agama Pasca Terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 24/PUU-XX/2022” adalah sebagai berikut:

a. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data sebagai bahan utama untuk meningkatkan dan mendalami berbagai teori yang telah diperoleh dalam penelitian serta digunakan sebagai acuan dalam praktik mengenai akibat hukum dan legalitas dari perkawinan beda agama pasca terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 24/PUU- XX/2022.

b. Tujuan Khusus

1) Menganalisis akibat hukum dari perkawinan beda agama pasca terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 24/PUU-XX/2022.

2) Menganalisis legalitas perkawinan beda agama yang telah dikabulkan hakim pasca terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 24/PUU-XX/2022.

E. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian dari penilisan tesis ini dengan judul “Akibat Hukum Perkawinan Beda Agama Pasca Terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 24/PUU-XX/2022” adalah sebagai berikut:

a. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah bahan kepustakaan, mengembangkan ilmu hukum, dan memberikan pengetahuan serta wawasan dibidang ilmu kenotariatan, khususnya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan akibat hukum dan legalitas dari perkawinan beda agama pasca terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 24/PUU-XX/2022.

b. Manfaat Praktis

a) Manfaat bagi Pembuat Kebijakan dan Peraturan Perundangan-Undangan

(15)

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada Pembuat Kebijakan dan Peraturan Perundang-Undangan mengenai kepastian hukum akan legalitas perkawinan beda agama di Indonesia dan akibat hukum jika perkawinan beda agama ini dikabulkan oleh Hakim.

b) Manfaat bagi Profesi Hukum

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan referensi mengenai penyelesaian konflik yang berkaitan dengan perkawinan beda agama dan legalitasnya perkawinan beda agama serta akibat hukum yang ada dengan dikabulkannya perkawinan beda agama di Indonesia.

c) Manfaat bagi Masyarakat

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan masyarakat agar memahami legalitas dan akibat hukum perkawinan beda agama pasca terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 24/PUU-XX/2022.

F. Orisinalitas Penelitian

Topik penelitian yang berkaitan dengan peraturan perundang- undagan dan permasalahan mengenai tanah merupakan salah satu topik yang menarik untuk dibahas dalam ilmu kenotariatan. Ada berbagai permasalahan yang melatarbelakangi suatu penelitian tentang topik tersebut, seperti penelitian tesis ini mengenai legalitas dan akibat hukum perkawinan beda agama pasca terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 24/PUU-XX/2022. Hingga kini terdapat beberapa penelitian yang topiknya berkaitan dengan perkawinan beda agama di Indonesia. Oleh sebab itu, untuk dapat menentukan perbedaan antara penelitian tesis ini dengan penelitian terdahulu yang relevan, maka adanya perbandingan penelitian ini degan penelitian yang berkaitan dengan topik yang telah disebutkan sebelumnya.

Orisinalitas penelitian tesis ini dapat dilihat dengan penelitian terdahulu. Penelitian terdahulu adalah penelitian yang pernah dilakukan tentang topik yang relatif sama dengan penelitian sebelumnya, yang dibuat

(16)

dalam bentuk tabel perbandingan antara penelitian tesis ini dan penelitian terdahulu, yang terdiri dari:

Nama Peneliti dan Asal

Instansi

Judul dan Tahun

Penelitian Rumusan

Masalah Persamaan dan Perbedaan Muhammad

Munir dan Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim

“Perkawinan Beda Agama Perspektif M. Quraishi Shihab dan Ahmad Mustofa Al- Maraghu dan Relevansinya Terhadap Peraturan Perundang- Undangan di Indonesia”15 dan 2023

1) Bagaimana penafsiran M.

Quraish Shihab dan Ahmad Mustafa Al- Maraghi tentang perkawinan beda agama?

2) Bagaimana relevansi penafsiran perkawinan beda agama menurut M.

Quraish Shihab dan Ahmad Mustafa Al- Maraghi terhadap peraturan perundang- undangan di Indonesia?16

Persamaan:

Perkawinan Beda Agama di

Indonesia

Perbedaan:

Pada Penelitian tersebut

membahada perkawinan beda agama dari segi Hukum Islam.

Pada Penelitian ini membahas

perkawinan beda agama dari segi hukum positif Indonesia terutama membahas legalitas dan akibat hukum dengan adanya perkawinan beda agama di

Indonesia Moh. Syamsul

Muarif dan Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Legalitas

Perkawinan Beda Agama Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Perkawinan”17 dan

1) Bagaimana legalitas perkawinan beda agama dalam Undang- Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-

Persamaan:

Legalitas

Perkawinan Beda Agama

Perbedaan:

Pada penelitian tersebut lebih berfokus pada legalitas

perkawinan beda 15 Muhammad Munir, “Perkawinan Beda Agama Perspektif M. Quraish Shihab dan Ahmad Mustofa Al-Maraghi dan Relevansinya Terhadap Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia”, (Tesis Magister Kenotariatan Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang, 2023).

16 Ibid., hlm. 9

17 Moh. Syamsul Muarif, “Legalitas Perkawinan Beda Agama Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Perkawinan”, (Tesis Magister Kenotariatan Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang, 2015).

(17)

Nama Peneliti dan Asal

Instansi

Judul dan Tahun

Penelitian Rumusan

Masalah Persamaan dan Perbedaan

2015 Undang

Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan 2) Apa

Konsekuensi hukumnya jika perkawinan beda agama dicatatkan?18

agama berdasarkan undang-undang perkawinan.

Pada penelitian ini, lebih berfokus pada legalitas perkawinan beda agama yang dikabulkan Hakim pasca terbitnya Putusan

Mahkamah

Konstitusi Republik Indonesia Nomor 24/PUU-XX/2022 Agatha Arumsari

Dewi Tjahjandari dan Universitas Indonesia

Aspek Hukum Perkawinan Beda Agama Dikaitkan Dengan Hak Asasi Manusia”19 dan 2008

1) Apakah perkawinan beda agama di Indonesia dapat diartikan sebagai perkawinan campuran?

2) Bagaimana Undang- Undang dan Hukum di Indonesia memandang perkawinan beda agama?

3) Bagaimana hukum di Indonesia memandang perkawinan beda agama dengan dikaitkannya aspek Hak Asasi

Persamaan:

Perkawinan Beda Agama di

Indonesia Perbedaan:

Pada penelitian tersebut lebih berfokus pada perkawinan beda agama yang dikaitkan dengan hak asasi manusia Pada penelitian ini berfokus pada legalitas dan akibat hukum dengan adanya perkawinan beda agama di

Indonesia pasca terbitnya Putusan Mahkamah

Konstitusi Republik Indonesia Nomor 24/PUU-XX/2022 18 Ibid., hlm. 9

19 Agatha Arumsari Dewi Tjahjandari, “Aspek Hukum Perkawinan Beda Agama Dikaitkan Dengan Hak Asasi Manusia”, (Tesis Magister Kenotariatan Universitas Indonesia, Depok, 2008).

20 Ibid., hlm. 5-6

(18)

Tabel 1. Penelitian Terdahulu

G. Landasan Teori

1. Hakikat Hukum Perkawinan

Perkawinan sejatinya telah diatur dalam BAB KEEMPAT KUHPerdata tentang Perkawinan, sedangkan pengertian perkawinan sendiri telah dimuat dalam Pasal 1 UU Perkawinan yang berbunyi:

“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Adapun pengertian perkawinan menurut para ahli sebagai berikut:

- Menurut Prof. Subekti, S.H: Perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.21

- Menurut Prof. Mr. Paul Scholten: Perkawinan adalah hubungan hukum antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bahagia, kekal, yang diakui oleh Negara.22

- Menurut Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, perkawinan adalah suatu hidup bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang telah memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam peraturan hukum perkawinan.23

Dari pengertian baik yang telah disebutkan dalam undang-undang maupun menurut para ahli, sehingga dapat disimpulkan bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri. Ikatan lahir batin tersebut ditujukan guna membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia yang kekal dan sejahtera. Ikatan dan tujuan bahagia yang kekal tersebut didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa.24 Dalam arti lainnya, tidak hanya terjadi ikatan perdata saja dalam perkawinan, melainkan ikatan agama juga ada di dalamnya sebagaimana dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 66 UU Perkawinan:

21 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa 1976), hlm. 23.

22 Libertus Jehani, Perkawinan: apa resiko hukumnya?, (Jakarta : Praninta Offset, 2008), hlm 25.

23 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia (Bandung: Sumur 1974), hlm. 7.

24 Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Azas – Azas..., hlm. 3

(19)

“Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang- undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonnantie Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonnantie Christen Indonesiers S.1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No.

158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalamUndang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.”

Sahnya atau tidaknya suatu perkawinan telah diatur dalam pasal 2 UU Perkawinan diantaranya sebagai berikut:

1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.

2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku.

Adapun makna yang terkandung dalam Pasal 2 tersebut, yaitu:

1) Untuk tertib administrasi perkawinan;

2) Jaminan memperoleh hak-hak tertentu, seperti memperoleh akta kelahiran, membuat kartu tanda penduduk, membuat kartu keluarga, dan lain-lain;

3) Memberikan perlindungan terhadap status perkawinan;

4) Memberikan kepastian terhadap status hukum suami, istri maupun anak; serta

5) Memberikan perlindungan terhadap hak-hak sipil yang diakibatkan oleh adanya perkawinan.

Adapun syarat sahnya perkawinan lebih lanjut diatur dalam pasal 6 UU Perkawinan, bahwa suatu perkawinan dapat dinyatakan sah apabila memenuhi syarat-syarat diantaranya:

- Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai;

- Kecakapan berumur 21 (Dua Puluh Satu) tahun atau sudah mendapat restu dari orang tua/wali; atau

- Salah seorang atau lebih di antara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin.

Pentingnya suatu perkawinan dicatatkan di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil karena berkaitan dengan wewenang dalam melakukan

(20)

tindakan hukum. Menurut Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Jember, untuk pencatatan perkawinan non muslim diperlukan beberapa dokumen, antara lain:25

A) Asli dan fotokopi Surat Pemberkatan dari tempat menikah (Gereja, Vihara atau Pura);

B) Bukti legalisir bila mendaftarkan perkawinan telah lebih dari enam puluh hari;

C) Fotokopi KTP dua orang saksi (bukan orang tua mempelai);

D) Fotokopi KTP orang tua kedua mempelai;

E) Fotokopi Akta Kelahiran kedua mempelai;

F) Fotokopi KTP dan KK kedua mempelai;

G) Surat Pernyataan belum pernah menikah ditandatangani dengan materai yang cukup dan dengan dua orang saksi lengkap dengan stempel RT/RW setempat;

H) Surat Keterangan dari Kelurahan untuk kedua mempelai;

I) Fotokopi Surat Baptis untuk yang beragama kristen; serta J) Pas foto berdampingan lima lembar ukuran 4x6 berwarna.

2. Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Positif

Pasal 2 Ayat (1) UU Perkawinan 1974 mengatakan perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Dalam penjelasannya selanjutnya disebutkan bahwa tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan UUD NRI 1945.26 Dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 disebutkan bahwa setiap orang yang hendak melangsungkan perkawinan harus memberitahukan kehendak itu, baik secara lisan maupun secara tertulis, kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan, dalam jangka waktu sekurang- kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan, sedangkan

25 Kabupaten Jember, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, “Pencatatan Perkawinan Non Muslim, Begini Cara Mudah Mengurusnya”, https://dispendukcapil.jemberkab.go.id/pencatatan- perkawinan-non-muslim-begini-cara-mudah-mengurusnya, diakses pada 4 Agustus 2023

26 Rusli ,Perkawinan Antar Agama dan Masalahnya sebagai pelengkap UU. Perkawinan No. 1 Tahun 1974, (Bandung:Pioner Jaya, 1986), hlm. 32

(21)

ketentuan di luar tersebut (10 hari kerja) dapat meminta izin kepada camat atas nama bupati, apabila alasan ada alasan-alasan yang dirasa penting.27

Menurut kenyataan di lingkungan masing-masing agama (yaitu agama Katolik, Protestan, Hindu, dan Budha) telah ada orang yang diangkat berdasarkan Surat Keputusan Gubernur tersebut. Dengan adanya pengangkatan tersebut, pejabat agama yang bersangkutan telah berfungsi rangkap, baik sebagai pejabat agama maupun sebagai wakil Pejabat Negara.

Oleh karena itu pernikahan yang dilaksanakan dihadapan pejabat agama tersebut berarti telah sah baik menurut hukum agama maupun menurut hukum Negara. Dalam hal ini perlu diketahui bahwa karena pejabat agama itu hanya merupakan sebagai wakil pejabat negara, maka mereka hanya berhak untuk menyaksikan pernikahan dan memberikan surat keterangan bahwa pernikahan benar-benar telah dilaksanakan. Surat keterangan itu kemudian diserahkan oleh kantor Catatan Sipil setempat untuk diganti dengan “akta pernikahan”.

Pernikahan beda agama Sri Wahyuni berpendapat bahwa belum terdapat sebuah peraturan yang mengatur maupun melarang pernikahan beda agama. Karena apabila larangan tersebut diadakan, maka akan berbenturan dengan asas kebebasan beragama dan kebebasan untuk membentuk keluarga melalui pernikahan yang sah. Maka, pernikahan beda agama di Indonesia masih mengalami sebuah kekosongan hukum.28

H. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan suatu cara atau teknik untuk memecahkan masalah ataupun cara mengembangkan ilmu pengetahuan dengan menggunakan metode ilmiah.29 Metode penelitian yakni unsur yang harus ada atau mutlak pada suatu penelitian, yang demikian juga hubungan dengan penelitian ini. Metode penelitian hukum merupakan metode suatu penelitian hukum dengan tujuan untuk mencari fakta hukum yang kemudian menghasilkan suatu penyelesaian terhadap permasalahan 27 Ibid., hlm. 34

28 Sri Wahyuni, “Perkawinan Beda Agama di Indonesia dan Hak Asasi Manusia”, In Right: Jurnal Agama dan Hak Azazi Manusia, Vol. 1 No. 1, (2011): 131-151

29 Jonaedi Efendi dan Johnny Ibrahim, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Depok:

Prenadamedia Group, 2018), hlm. 3

(22)

yang ada, yang dilakukan secara sistematik, analitis, dan pengujian dari fakta hukum tersebut.30

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah doktrinal. Johnny Ibrahim31 mengartikan, penelitian hukum doktrinal sebagai suatu penelitian yang dilakukan menggunakan studi kepustakaan yang difokuskan pada analisa bahan hukum primer dan sekunder, atau yang sering disebut juga sebagai penelitian normatif.

Menurut Sulistyowati Irianto dan Shidarta32, mendefinisikan penelitian hukum doktrinal yang juga dikenal sebagai penelitian hukum normatif, sebagai penelitian yang tujuannya hendak menemukan norma dan prinsip hukum dalam peraturan perundang-undangan, yurispridensi, dan pendapat ahli yang dilakukan dengan studi kepustakaan. Penelitian hukum ini dilakukan dengan meninjau norma hukum, asas hukum, peraturan perundangan-undangan yang berlaku, kepustakaan, dan sumber lainnya, untuk dapat menjelaskan secara ekstensif permasalahan utama yang diteliti, yaitu legalitas dan akibat hukum yang ditumbulkan dengan adanya perkawinan beda agama pasca terbitnya Putusan Mahkmah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 24/PUU-XX/2022.

2. Pendekatan Penelitian

Metode pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Pendekatan perundang-undangan (statute approach) dilakukan untuk meneliti aturan hukum nasional yang mengatur legalitas perkawinan beda agama dan akibat hukum dari perkawinan beda agama yang dikabulkan oleh Hakim di Indonesia.

Perundang-undangan yang digunakan dalam penelitian adalah Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk Bagi Hakim dalam 30 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2015), hlm. 43

(23)

Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar Umat yang Berbeda Agama dan Kepercayaan. Sedangkan, pendekatan kasus (case approach) dilakukan dengan cara menelaah kasus-kasus yang berkaitan dengan isu hukum yang dihadapi, yaitu kasus-kasus perkawinan beda agama yang dikabulkan Hakim Indonesia pasca terbitnya Putusan Mahkmah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 24/PUU-XX/2022. Dalam hal ini, seperti Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta Nomor 141/Pdt.P/2023/PN Yyk, Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 155/Pdt.P/2023/PN Sby, dan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 155/Pdt.P/2023/PN Jkt.Pst.

3. Jenis dan Sumber Bahan Hukum

Dalam penelitian hukum tidak dikenal adanya data, sebab dalam penelitian hukum khususnya yuridis normatif. Sumber penelitian hukum diperoleh dari kepustakaan bukan dari lapangan, untuk itu istilah yang dikenal adalah bahan hukum.31 Dalam hal ini adalah peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, penerbitan pemerintah, dan berbagai tulisan lainnya yang termasuk dalam bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Berikut adalah bahan-bahan hukum yang dimaksudkan tersebut:

3. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai otoritas yang terdiri dari peraturan perundang-undangan, catatan- catan resmi atau risalah dalam pembuatan suatu peraturan perundang-undangan dan putusan hakim.32 Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:

A. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

B. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

C. Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk Bagi Hakim dalam Mengadili Perkara 31 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005),hlm. 41

32 Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, Cetakan 8, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), hlm. 47

(24)

Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar Umat yang Berbeda Agama dan Kepercayaan.

D. Putusan Mahkmah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 24/PUU-XX/2022

4. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis serta memahami bahan hukum primer.33 Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

A. Buku mengenai Perkawinan

B. Buku mengenai Putusan Pengadilan C. Buku mengenai Meode Penelitian Hukum D. Tesis-tesis Magister Kenotariatan

E. Buku dan karya ilmiah lainnya yang berkaitan dengan perkawinan beda agama

5. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.34 Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

4. Teknik Penelusuran Bahan Hukum

Teknik penelusuran bahan hukum dalam penelitian ini adalah studi dokumen atau bahan pustaka yang merupakan suatu teknik penelusuran bahan hukum melalui pengumpulan data dari bahan hukum tersebut dengan menggunakan penelitian kepustakaan (library research).35 Pengertian lain, menyatakan bahwa studi kepustakaan merupakan studi dokumen dengan mengumpulkan serta mempelajari buku-buku hukum, tulisan-tulisan ilmiah, peraturan perundang- undangan dan bacaan lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.

Studi kepustakaan yang dilakukan dalam penelitian ini dilakukan 33 Suratman dan Philips Dillah, Metode Penelitian Hukum, (Bandung: Alfabeta, 2012), hlm. 67

34 Johnny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2005), hlm. 296

35 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian..., hlm. 50

(25)

dengan 2 (dua) cara, yaitu secara luar jaringan dan dalam jaringan.

Pengumpulan bahan hukum dilakukan di perpustakaan Universitas Brawijaya. Pengumpulan bahan hukum dalam jaringan dilakukan dengan menggunakan fasilitas internet dengan mengakses website- website terpercaya.

5. Teknik Analisis Bahan Hukum

Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah menggunakan kualitatif, yaitu data yang diperoleh dari penelitian disajikan secara deskriptif dan diolah secara kualitatif dengan cara mengklasifikasikan data yang diperoleh dalam penelitian sesuai dengan permasalahan, kemudian data tersebut disistematisasikan serta selanjutnya dianalisis dijadikan dasar dalam mengambil simpulan. Deskriptif dalam hal ini adalah pengumpulan informasi atau data mengenai pokok permasalahan pada penelitian ini yang diperolehnya melalui tahapan wawancara tersebut. Kemudian, dilakukan penguraian data atau informasi secara berkualitas dan komprehensif ke dalam bentuk kalimat yang teratur, logis, serta efektif, yang dalam hal ini penelitian ini disebut tahapan penelitian kualitatif. Tahapan penguraian data tersebut dilakukan agar dapat memudahkan pemahaman dan interpretasi data yang diperoleh pada penelitian ini.

6. Sistematika Penulisan

Secara keseluruhan substansi penulisan dalam penelitian ini dibagi menjadi 4 (empat) bab, yang rinciannya sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini diuraikan gambaran-gambaran umum yang mengungkapkan latar belakang permasalahan yang mendasari penelitian tesis ini, penelitian terdahulu yang mendasari, pokok permasalahan, tujuan penelitian yang hendak dicapai dari penelitian tesis ini, manfaat penelitian, landasan teori yang digunakan dalam penelitian tesis ini, metode penelitian yang digunakan serta sistematika penulisan dari tesis ini.

BAB II LANDASAN TEORI

(26)

Pada bab ini diuraikan mengenai teori dan ketentuan-ketentuan hukum berkenaan dengan permasalahan pada penelitian ini. Pada sub bab pertama, dijabarkan dasar-dasar teoritis yang digunakan sebagai pisau dalam menganalisis permasalahan mengenai perkawinan beda agama menurut peraturan perundang-undang dan Putusan Mahkmah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 24/PUU-XX/2022. Adapun sub bab kedua, yang digunakan sebagai pisau dalam menganalisis permasalahan mengenai perkawinan beda agama yang telah dikabulkan Hakim Indonesia pasca terbitnya Putusan Mahkmah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 24/PUU-XX/2022.

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini diuraikan hasil dari penelitian dengan menampilkan analisis dari landasan teori dengan bahan hukum yang telah diperoleh sebagai upaya pengambilan kesimpulan. Pada pembahasan akan termuat analisis terkait legalitas dan akibat hukum perkawinan beda agama yang dikabulkan Hakim pasca terbitnya Putusan Mahkmah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 24/PUU-XX/2022.

BAB IV PENUTUP

Pada bab ini diuraikan simpulan tentang pokok permasalahan penelitian ini, kemudian juga uraian saran yang berkaitan dengan pokok permasalahan dalam penulisan tesis ini guna pembangunan hukum itu sendiri.

(27)

JADWAL PELAKSANAAN PENELITIAN

NO Kegiatan Bulan Ke-

I II III IV

1. Persiapan

2. Melakukan Studi Pustaka

3. Menyusun Instrumen Penelitian 4. Melaksanakan

Penelitian

5. Menganalisis Bahan Hukum

6. Menulis laporan Tesis

(28)

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 United Nation, Declaration of Human Rights

Undang-Undang tentang Perkawinan. UU Nomor 1 Tahun 1974. LN Nomor 1 Tahun 1974

TLN Nomor 3019.

Buku

Prakoso, Djoko dan I Ketut Murtika. Azas – Azas Hukum Perkawinan di Indonesia. Cetakan Pertama. Jakarta: PT. Bina Aksara,1987.

Efendi, Jonaedi dan Johnny Ibrahim. Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris. Depok: Prenadamedia Group, 2018.

Eoh, Octavianus. Perkawinan Antar Agama dalam Teori dan Praktik. Jakarta: Sri Gunting,

1996.

Ibrahim, Johnny.Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia Publishing, 2005.

Jehani, Libertus. Perkawinan: apa resiko hukumnya?. Jakarta : Praninta Offset, 2008.

Mappiasse, Syarif. Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim. Jakarta: Pranada Media

Group, 2015.

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005.

Mujahidin, Ahmad. Pembaharuan Hukum Acara Perdata Peradilan Agama. Jakarta:

IKAHI, 2008.

Prodjodikoro, Wirjono. Hukum Perkawinan di Indonesia. Bandung: Sumur, 1974.

Rusli. Perkawinan Antar Agama dan Masalahnya sebagai pelengkap UU. Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Bandung:Pioner Jaya, 1986.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 2015.

Subekti. Pokok-pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa 1976.

Suratman dan Philips Dillah. Metode Penelitian Hukum. Bandung: Alfabeta, 2012.

Zainuddin.Metode Penelitian Hukum. Cetakan 8. Jakarta: Sinar Grafika, 2016.

(29)

Jurnal

Amrita, Ni Putu Sari Wulan, Desak Putu Dewi Kasih, Ni Putu Purwanti. “Penetapan Hak Asuh Anak Terkait dengan Perceraian Orang Tua (studi kasus perkara No.

182/Pdt.G/2017/PN Sgr)”. Kertha Semaya Volume 6 Nomor 4. (Agustus 2018) Wahyuni, Sri. “Perkawinan Beda Agama di Indonesia dan Hak Asasi Manusia”. In Right:

Jurnal Agama dan Hak Azazi Manusia. Vol. 1 No. 1. (2011): 131-151 Tesis

Muarif, Moh. Syamsul. “Legalitas Perkawinan Beda Agama Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Perkawinan”. (Tesis Magister Kenotariatan Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang, 2015).

Munir, Muhammad. “Perkawinan Beda Agama Perspektif M. Quraish Shihab dan Ahmad Mustofa Al-Maraghi dan Relevansinya Terhadap Peraturan Perundang- Undangan di Indonesia”. (Tesis Magister Kenotariatan Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang, 2023).

Tjahjandari, Agatha Arumsari Dewi. “Aspek Hukum Perkawinan Beda Agama Dikaitkan Dengan Hak Asasi Manusia”. (Tesis Magister Kenotariatan Universitas Indonesia, Depok, 2008).

Website

Kabupaten Jember, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, “Pencatatan Perkawinan

Non Muslim, Begini Cara Mudah Mengurusnya”,

https://dispendukcapil.jemberkab.go.id/pencatatan-perkawinan-non-muslim- begini-cara-mudah-mengurusnya, diakses pada 4 Agustus 2023

Referensi

Dokumen terkait

Akibat Hukum Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Perkawinan Indonesia, berkaitan dengan status dalam perkawinan dimana suatu perkawinan yang sah sah harus memenuhi ketentuan dalam

Adapun permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana legalitas perkawinan campuran yang kelengkapan persyaratannya tidak sempurna, bagaimana akibat hukum

Adapun permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana legalitas perkawinan campuran yang kelengkapan persyaratannya tidak sempurna, bagaimana akibat hukum

Tesis ditulis untuk memenuhi sebagaian persyaratan Untuk memdapatkan gelar Magister Pendidikan Program Studi Pendidikan Teknologi dan Kejuruan. PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS

Permasalahan dalam tesis ini adalah aturan hukum antara Hukum Kanonik Katolik dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengenai pembatalan perkawinan dan akibat

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam penelitian ini, peneliti membahas tentang permasalahan yang sering muncul pada anak dalam perkawinan beda agama yang meliputi permasalahan ekonomi,

5  Dosen Pembimbing Wewenang :  Menyetujui Pelaksanaan Ujian Proposal Tesis bagi Mahasiswa Program Pasca Sarjana S2 Ilmu Ekonomi anggungjawab :  Memberikan tanda tangan

Penelitian ini difokuskan pada dua rumusan masalah, yaitu bagaimana pengaturan tentang perkawinan beda agama menurut Undang Undang Nomor 16 tahun 2016 tetang Perkawinan, dan apa akibat