• Tidak ada hasil yang ditemukan

Effects of Natural Rubber (Latex) on CPHMA Mixture with Varying Immersion Techniques

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "Effects of Natural Rubber (Latex) on CPHMA Mixture with Varying Immersion Techniques"

Copied!
185
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS AKHIR

PENGARUH PENAMBAHAN KARET ALAM (LATEKS) PADA CAMPURAN COLD PAVING HOT MIX ASBUTON (CPHMA)

DENGAN VARIASI PERENDAMAN

8

DISUSUN OLEH : HARIS MUNANDAR

4518 041 026

PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS BOSOWA MAKASSAR 2023

(2)
(3)
(4)
(5)

EFFECT OF NATURAL RUBBER (LATEX)

ADDITION TO COLD PAVING HOT MIX ASBUTON (CPHMA) MIXTURE WITH VARIATION OF SOKING

Haris Munandar 1, Abd Rahim Nurdin 2, Ahmad Yauri Yunus 3

1 Teknik Sipil, Mahasiswa S1 Universitas Bosowa

2, 3 Tenik Sipil Transportasi, Dosen Fakultas Teknik Prodi Sipil Universitas Bosowa.

[email protected]

Abstract. CPHMA (Cold Paving Hot Mix Asbuton) is a new breakthrough to meet the needs of remote areas where the asphalt mixing plant (AMP) is inadequate and is expected to add value to stability and durability. Natural Rubber (Latex) is a type of natural rubber that has high

resistance to cracking and has high adhesion. The purpose of this study was to determine how much influence the addition of natural rubber (latex) had on marshall characteristics in CPHMA mixtures with variations of immersion. This study used natural rubber (latex) additives with levels of 10%, 15% and 20%. 33 samples of test objects were made, 6 normal samples and 27 variations samples. The treatment of the specimens was carried out with variations of

immersion for 7, 14 and 21 days. Testing is done with the marshall test tool. The test results showed that Natural Rubber (Latex) as an added ingredient in CPHMA-type Buton asphalt mixture by immersion caused the value of the properties of the mixture to not meet

specifications and could not be used.

Keywords: CPHMA, Natural Rubber (LATEX), Variasi Perendaman;

(6)

PENGARUH PENAMBAHAN KARET ALAM (LATEKS) PADA CAMPURAN COLD PAVING HOT MIX ASBUTON (CPHMA)

DENGAN VARIASI PERENDAMAN

Haris Munandar 1, Abd Rahim Nurdin 2, Ahmad Yauri Yunus 3

1 Teknik Sipil, Mahasiswa S1 Universitas Bosowa

2, 3 Tenik Sipil Transportasi, Dosen Fakultas Teknik Prodi Sipil Universitas Bosowa.

[email protected]

Abstrak. CPHMA (Cold Paving Hot Mix Asbuton) atau campuran beraspal panas Asbuton dihampar dingin adalah sebuah trobosan baru untuk memenuhi kebutuhan dari daerah terpencil yang dimana asphalt mixing plant (AMP) kurang memadai dan diharapkan dapat menambah nilai stabilitas dan durabilitas. Karet Alam (Lateks) merupakan salah satu jenis karet alam yang memiliki sifat daya tahan yang tinggi terhadap keretakan dan mempunyai daya rekat yang tinggi. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui berapa besar pengaruh penambahan karet alam (lateks) terhadap karakteristik marshall pada campuran CPHMA dengan variasi perendaman. Penelitian ini menggunakan bahan tambah Karet Alam (Lateks) dengan kadar 10%,15%, dan 20%. Sampel benda uji dibuat sebanyak 33 sampel, 6 sampel normal dan 27 sampel variasi. Perawatan benda uji dilakukan dengan variasi perendaman 7, 14, dan 21 hari. Pengujian dilakukan dengan alat uji marshall test. Hasil pengujian menunjukkan bahwa Karet Alam (Lateks) sebagai bahan tambah pada campuran aspal buton tipe CPHMA dengan perendaman menyebabkan nilai dari sifat campuran tidak sesuai spesifikasi dan tidak bisa digunakan.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan berkat, kasih karunia yang berlimpah sehingga Penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang berjudul “Pengaruh Penambahan Karet Alam (Lateks) Pada Campuran Cold Paving Hotmix Asbuton (CPHMA) Dengan Variasi Perendaman”. Tugas akhir ini disusun berdasarkan hasil analisa dan pengamatan yang dilakukan di laboratorium aspal dan bahan jalan Universitas Bosowa. Tugas akhir ini merupakan salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Teknik pada Jurusan Sipil Fakultas Teknik Universitas Bosowa.

Penulisan Tugas Akhir ini tidak terlepas dari bantuan-bantuan pihak lain yang memberi bantuan dan bimbingan. Sehingga Penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan Tugas Akhir. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada:

1. Tuhan Yang Maha Esa tempat meminta dan memohon pertolongan.

2. Bapak Ir. H. Abdul Rahim Nurdin, MT. Selaku ketua Bidang Kajian Transportasi dan Dosen Pembimbing satu. Dosen Pembimbing dua Bapak Dr. Ir. Ahmad Yauri Yunus, ST.MT yang telah bersedia meluangkan waktu untuk membimbing dan mengarahkan saya hingga penyusunan Tugas Akhir ini terselesaikan.

(8)

3. Seluruh jajaran dosen dan staff Teknik Sipil Universitas Bosowa.

4. Kedua orang tua dan keluarga tercinta terima kasih atas doa dan nasehatnya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan Tugas Akhir ini terselesaikan.

5. Teman-teman satu angkatan Concrete’18 yang selalu memberikan dukungan, motivasi, sehingga saya dapat menjalani semua ini.

6. Teman-teman dekat saya, X-men Family yang banyak memberikan dukungan moral dan banyak mendengarkan keluh kesah kehidupan kuliah ataupun kehidupan pribadi.

7. Arinil Khaerah selaku partner saya dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini. Segala tutur kata yang pernah disampaikan menjadi dorongan agar tetap mengerjakan Tugas Akhir ini.

8. Serta semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu yang telah membantu dan memberikan dukungan selama penyusunan Tugas Akhir ini.

Makassar, Maret 2023

Haris Munandar

(9)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGAJUAN ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

ABSTRAK ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR NOTASI ... xvi BAB I PENDAHULUAN ... I-1 1.1 Latar Belakang ... I-1 1.2 Rumusan Masalah... I-3 1.3 Tujuan Penelitian ... I-4 1.4 Manfaat Penelitian ... I-4 1.5 Pokok Bahasan ... I-4 1.6 Batasan Masalah ... I-5 1.7 Sistematika Pembahasan ... I-6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... II-1 2.1 Jalan ... II-1 2.1.1 Perkerasan Jalan ... II-1 2.1.2 Fungsi Perkerasan ... II-2 2.1.3 Perkerasan Lentur ... II-2 2.1.4 Perkerasan Kaku ... II-3 2.1.5 Sturuktur Jalan ... II-4

(10)

2.1.6 Lapisan Pondasi Atas ... I-4 2.1.7 Lapisan Pondasi Bawah ... II-4 2.1.8 Lapisan Tanah Dasar ... II-5 2.1.9 Lapisan Permukaan ... II-6 2.2 Presevasi Jalan ... II-6 2.2.1 Lingkup Presevasi Jalan ... II-7 2.2.2 Tujuan Presevasi Jalan... II-11 2.3 Bahan Penyusun Perkerasan Jalan ... II-11 2.3.1 Agregat ... II-12 2.3.2 Sifat-Sifat Fisik Agregat ... II-21 2.3.3 Bahan Pengisi (filler)... II-24 2.4 Aspal... II-25 2.4.1 Fungsi Aspal ... II-26 2.4.2 Sifat Aspal ... II-27 2.4.3 Jenis – Jenis Aspal ... II-27 2.5 Aspal Buton ... II-29 2.5.1 Pengertian Aspal Buton... II-29 2.5.2 Lokasi Sumber Daya Asbuton ... II-29 2.5.3 Manfaat Asbuton Sebagai Bahan Campuran Aspal

... II-30 2.5.4 Keunggulan Asbuton ... II-31 2.5.5 Kelebihan Penggunaan Asbuton Secara Teknik .... II-32 2.5.6 Kelemahan Asbuton... II-33 2.6 Cold Paving Hotmix Asbuton (CPHMA)... II-34 2.6.1 Bahan CPHMA ... II-35

(11)

2.6.2 Sifat Campuran CPHMA ... I-36 2.7 Karet Alam (Lateks) ... II-37 2.8 Marshall Test ... II-39 2.8.1 Stabilitas... II-39 2.8.2 Kelelehan (Flow) ... II-41 2.8.3 Kerapatan (Density)... II-43 2.8.4 VIM (Void In The Mix) ... II-44 2.8.5 VFA (Void Filled With Asphalt)... II-46 2.8.6 VMA (Void In Mineral Aggregate)... II-47 2.8.7 Marshall Quentient (MQ) ... II-48 2.9 Penilitian Terdahulu... II-50 BAB III METODE PENELITIAN ... III-1 3.1 Metodologi Penelitian ... III-1 3.2 Diagram FlowChart ... III-3 3.3 Bahan Penelitian ... III-5 3.4 Peralatan Penelitian ... III-5 3.4.1 Alat Uji Karakteristik Campuran Agregat Aspal... III-7 3.4.2 Penentuan Jumlah Benda Uji... III-12 3.5 Pengetesan Benda Uji ... III-12 BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN ... IV-1 4.1 Penyajian Data... IV-1 4.1.1 Hasil Pemeriksaan Karakteristik Agregat ... IV-1 4.1.2 Hasil Pemeriksaan Kadar Aspal ... IV-3 4.1.3 Perhitungan Berat jenis dan Penyerapan ... IV-3 4.2 Komposisi Campuran ... IV-4

(12)

4.3 Data Hasil Uji Dengan Alat Marshall ... V-5 4.4 Analisis Hasil Pengujian Dengan Bahan Tambah Lateks Pada Campuran Aspal Buton CPHMA 10% Dengan Variasi Perendaman ... IV-13 4.5 Analisis Hasil Pengujian Dengan Bahan Tambah Lateks Pada

Campuran Aspal Buton CPHMA 15% Dengan Variasi Perendaman ... IV-22 4.6 Analisis Hasil Pengujian Dengan Bahan Tambah Lateks Pada

Campuran Aspal Buton CPHMA 20% Dengan Variasi Perendaman ... IV-31 4.7 Analisis Hasil Penurunan Dan peningkatan Pengujian Dengan

Bahan Tambah Lateks Pada Campuran Aspal Buton CPHMA Dengan Variasi Perendaman ... IV-39 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... V-1 5.1 Kesimpulan ... V-1 5.2 Saran ... V-1 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Tipikal Jalan ... I-3

Gambar 2.2 Struktur Jalan ...II-6

Gambar 2.3 Lokasi Asbuton ...II-30

Gambar 2.4 Skematis Berbagai Jenis Volume Beton Aspal...II-41

Gambar 2.5 Ilustrasi Pengertian VIM,Selimut Aspal,Aspal Terabsorbsi

...II-42 Gambar 2.6 Ilustrasi pengertian VMA dan VIM Campuran Beton Aspal....

...II-42 Gambar 3.1 Bitumen Asbuton CPHMA ...III-5

Gambar 3.2 Lateks...III-5

Gambar 3.3 Alat Uji Ekstraksi ...III-6

Gambar 3.4 Satu Set Saringan...III-6

Gambar 3.5 Timbangan ...III-7

Gambar 3.6 Kain Lap Dan kuas...III-7

Gambar 3.7 Cetakan Benda Uji Marshall ...III-8

Gambar 3.8 Alat Ejektor...III-8

(14)

Gambar 3.9 Batang Penumbuk ... I-9

Gambar 3.10 Landasan Penumbuk ...III-9

Gambar 3.11 Alat Uji Marshall ...III-10

Gambar 3.12 Termometer...III-10

Gambar 3.13 Spatula ...III-11

Gambar 3.14 Jangka sorong ...III-11

Gambar 3.15 Talam ...III-12

Gambar 4.1 Diagram hubungan variasi Lateks 10% dengan variasi perendaman terhadap kepadatan ...III-14 Gambar 4.2 Diagram hubungan variasi Lateks 10% dengan variasi

perendaman terhadap stabilitas ...III-15 Gambar 4.3 Diagram hubungan variasi Lateks 10% dengan variasi

perendaman terhadap flow ...III-16 Gambar 4.4 Diagram hubungan variasi Lateks 10% dengan variasi

perendaman terhadap VMA ...III-18 Gambar 4.5 Diagram hubungan variasi Lateks 10% dengan variasi

perendaman terhadap VIM ...III-19 Gambar 4.6 Diagram hubungan variasi Lateks 10% dengan variasi

perendaman terhadap VFB ...III-20

(15)

Gambar 4.7 Diagram hubungan variasi Lateks 10% dengan variasi perendaman terhadap MQ ... I-21 Gambar 4.8 Diagram hubungan variasi Lateks 15% dengan variasi

perendaman terhadap kepadatan ...III-22 Gambar 4.9 Diagram hubungan variasi Lateks 15% dengan variasi

perendaman terhadap stabilitas ...III-23 Gambar 4.10 Diagram hubungan variasi Lateks 15% dengan variasi

perendaman terhadap flow ...III-24 Gambar 4.11 Diagram hubungan variasi Lateks 15% dengan variasi

perendaman terhadap VMA ...III-26 Gambar 4.12 Diagram hubungan variasi Lateks 15% dengan variasi

perendaman terhadap VIM ...III-27 Gambar 4.13 Diagram hubungan variasi Lateks 15% dengan variasi

perendaman terhadap VFB ...III-28 Gambar 4.14 Diagram hubungan variasi Lateks 15% dengan variasi

perendaman terhadap MQ ...III-29 Gambar 4.15 Diagram hubungan variasi Lateks 20% dengan variasi

perendaman terhadap kepadatan ...III-31 Gambar 4.16 Diagram hubungan variasi Lateks 20% dengan variasi

perendaman terhadap stabilitas ...III-31

(16)

Gambar 4.17 Diagram hubungan variasi Lateks 20% dengan variasi perendaman terhadap flow ... I-33 Gambar 4.18 Diagram hubungan variasi Lateks 20% dengan variasi

perendaman terhadap VMA ...III-35 Gambar 4.19 Diagram hubungan variasi Lateks 20% dengan variasi

perendaman terhadap VIM ...III-36 Gambar 4.20 Diagram hubungan variasi Lateks 20% dengan variasi

perendaman terhadap VFB ...III-37 Gambar 4.21 Diagram hubungan variasi Lateks 20% dengan variasi

perendaman terhadap MQ ...III-38

(17)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Ketentuan Agregat Halus ... I-16

Tabel 2.2 Ketentuan Agregat Kasar...II-17

Tabel 2.3 Gradasi Agregat Gabungan Untuk Campuran Beraspal

...

II-18

Tabel 2.4 Gradasi Agregat CPHMA ...II-35

Tabel 2.5 Persyaratan Sifat Campuran CPHMA...II-36

Tabel 2.6 Persyaratan Kadar Aspal Dalam CPHMA...II-37

Tabel 4.1 Pemeriksaan Analisa Saringan Agregat ... IV-1

Tabel 4.2 Hasil Pemeriksaan Berat Jenis Agregat Kasar ... IV-2

Tabel 4.3 Hasil Pemeriksaan Berat Jenis Agregat Halus ... IV-3

Tabel 4.4 Kadar Aspal Hasil Ekstraksi CPHMA... IV-3

Tabel 4.5 Hasil Pemeriksaan Berat Jenis dan Penyerapan Agregat... IV-3

Tabel 4.6 Komposisi Campuran Dengan Karet Alam (lateks) 10% ... IV-4

Tabel 4.7 Komposisi Campuran Dengan Karet Alam (lateks) 15% ... IV-4

Tabel 4.8 Komposisi Campuran Dengan Karet Alam (lateks) 20% ... IV-5

Tabel 4.9 Hasil Uji Karakteristik Campuran CPHMA Menggunakan Karet Alam (Lateks) Dengan Variasi Perendaman ... IV-5

(18)

Tabel 4.10 Hasil Uji Karakteristik Campuran CPHMA Menggunakan Karet Alam (Lateks) 10% Dengan Variasi Perendaman ... V-6 Tabel 4.11 Hasil Uji Karakteristik Campuran CPHMA Menggunakan Karet Alam (Lateks) 15% Dengan Variasi Perendaman ... IV-6 Tabel 4.12 Hasil Uji Karakteristik Campuran CPHMA Menggunakan Karet Alam (Lateks) 20% Dengan Variasi Perendaman ... IV-7 Tabel 4.13 Analisis Penurunan Nilai Kepadatan... IV-40

Tabel 4.14 Analisis Penurunan Nilai Stabilitas ... IV-40

Tabel 4.15 Analisis Peningkatan Nilai Flow ... IV-41

Tabel 4.16 Analisis Peningkatan Nilai VMA... IV-42

Tabel 4.17 Analisis Peningkatan Nilai VIM ... IV-43

Tabel 4.18 Analisis Penurunan Nilai VFB ... IV-44

Tabel 4.16 Analisis Penurunan Nilai Marshall Quentient... IV-45

(19)

DAFTAR NOTASI a = Persentase aspal terhadap batuan ASTM = America Standard Testing Material AC = Aspal Concrete

AMP = Asphalt Mixing Plant

b = Persentase aspal terhadap campuran C = Berat Kering (gram)

CPHMA = Cold Paving Hot Mix Asbuton d = Berat benda uji jenuh air e = Berat benda uji dalam air f = Volume benda uji (cc)

F = Flow

g = Nilai Kepadatan (gr/cc) g = Persen Rongga Terisi Aspal

gr = Gram

i dan j = Rumus Subtitusi LPA = Lapis Pondasi Atas LPB = Lapis Pondasi Bawah MQ = Marshall Quentient S = Angka Stabilitas

SNI = Standar Nasional Indonesia SSD = Saturated surface dry TD = Tanah Dasar

(20)

Q = Angka Koreksi Benda Uji VIM = Void In The Mix

VMA = Void In Mineral Aggregate VFA = Void Filled With Asphalt

°C = Derajat Celcius

(21)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Kerusakan jalan yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia saat ini merupakan suatu permasalahan yang sangat kompleks. Dilansir dari fakta-fakta yang ada, penyebab awal dari kerusakan jalan adalah perencanaan dan mutu awal kualitas produk jalan yang belum memadai sehingga menjadi pemicu utama terjadinya kerusakan-kerusakan pada jalan, disamping itu juga penyebab lainnya adalah umur rencana jalan yang telah dilewati.

Aspal didefinisikan sebagai material berwarna hitam atau coklat tua, pada temperatur ruang berbentuk padat sampai agak padat. Jika dipanaskan sampai suhu temperatur tertentu aspal dapat menjadi lunak/cair.

CPHMA (Cold Paving Hot Mix Asbuton) atau campuran beraspal panas Asbuton dihampar dingin adalah sebuah trobosan baru dalam bidang perkerasan jalan. Aspal CPHMA di produksi dengan pencampuran yang dilakukan di pabrik secara panas kemudian dipasarkan dalam keadaaan siap dihampar dan dipadatkan secara dingin (temperatur udara) sebagai perkesan jalan beraspal. Aspal CPHMA diproyeksikan mampu untuk menggantikan peran dari Aspal Hotmix untuk memenuhi kebutuhan dari banyak wilayah yang jauh dari AMP.

(22)

Indonesia sebagai negara yang memiliki sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan sebagai perkerasan jalan Indonesia juga merupakan salah satu negara penghasil karet alam terbesar di dunia, dengan hasil yang berlimpah dan dengan harga yang fluktuatif, sehingga pada saat harga karet kurang menguntungkan untuk diperdagangkan sebagai komoditas atau secara kualitas kurang baik, maka kita harus mengambil inisiatif memanfaatkan bahan yang selalu dapat dihasilkan oleh hutan tropis kita.

Lateks merupakan salah satu jenis karet alam yang memiliki sifat daya tahan yang tinggi terhadap keretakan, mempunyai daya aus yang tinggi. Meningkatkan mutu campuran aspal dengan penambahan karet alam (Lateks) yang diharapkan bisa meningkatkan karakteristik dari perkerasan jalan.

Hal ini melatar belakangi penulis untuk melakukan sebuah penelitian dilaboratorium dan menuliskannya dalam bentuk tugas akhir yang berjudul: “PENGARUH PENAMBAHAN KARET ALAM (LATEKS) PADA CAMPURAN COLD PAVING HOT MIX ASBUTON (CPHMA) DENGAN VARIASI PERENDAMAN”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1.

Berapa besar pengaruh karet alam (lateks) terhadap karakteristik Marshall pada campuran CPHMA dengan variasi perendaman ?
(23)

2. Berapakah nilai karakteristik Marshall yang menggunakan bahan tambah karet alam (Lateks) pada campuran CPHMA dengan variasi perendaman yang memenuhi Spesifikasi Umum Bina Marga 2018?

1.3 Tujuan Penilitian

Adapun tujuan pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengidentifikasi pengaruh karet alam (lateks) terhadap karakteristik Marshall pada campuran CPHMA dengan variasi perendaman.

2. Untuk menganalisis nilai karakteristik Marshall yang menggunakan bahan tambah karet alam (Lateks) pada campuran CPHMA dengan variasi perendaman yang memenuhi Spesifikasi Umum Bina Marga 2018.

1.4 Manfaat Penilitian

1. Mengidentifikasi hubungan penambahan lateks terhadap parameter campuran CPHMA.

2. Untuk mendapatkan gambaran seberapa besar pengaruh penambahan karet alam (lateks) terhadap karakteristik Marshall pada campuran CPHMA dengan variasi perendaman.

1.5 Pokok Bahasan

Pokok bahasan pada penelitian ini adalah :

1. Membahas pengujian aspal buton tipe CPHMA.

(24)

2. Membahas pengujian karet alam (lateks) sebagai bahan tambah.

3. Pengujian dilakukan dengan metode Marshall.

1.6 Batasan Masalah

Masalah pada penelitian ini dibatasi pada sifat dan karakteristik campuran aspal buton tipe CPHMA dengan melakukan pengujian di Laboratorium Teknik Sipil, Fakultas Teknik Universitas Bosowa Makassar. batasan masalah pada penelitian ini adalah :

1. Bahan yang digunakan :

a. Karet Alam (Lateks) yang diambil dari Kabupaten Sidoarjo.

b. Aspal buton tipe Cold Paving Hot Mix Asbuton (CPHMA) yang diambil dari PT. Asbuton Jaya Abadi.

2. Lama variasi perendaman yaitu 7 hari, 14 hari, dan 21 hari.

3. Variasi Karet Alam (Lateks) yaitu 10%, 15%, dan 20%

4. Marshall Test seperi stabilitas, kelelehan, rongga dalam campuran (VIM), rongga antar mineral agregat (VMA), Rongga terisi aspal (VFA), Marshall Quotient (MQ) merupakan beberapa parameter yang digunakan pada penelitian ini.

(25)

1.7 Sistematika Pembahasan

BAB 1 PENDAHULUAN: Bab ini menyajikan pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, permasalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, pokok bahasan, batasan masalah dan sistematika penelitian.

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA: Bab ini membahas tentang landasan teori yang mencakup pengertian campuran aspal cold paving hotmix asbuton (CPHMA) dan karet alam (Lateks).

BAB 3 METODE PENELITIAN: bab ini membahas mengenai penentuan objek penelitian, metode pengumpulan data, kerangka penelitian dan analisis data.

Bab 4 Hasil dan pembahasan : Bab ini menyajikan tentang laporan hasil penelitian dan pembahasan dari penelitian sehingga data yang ada mempunyai arti dan menjadi acuan penelitian Penelitian berikutnya.

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN: Bab ini menyajikan kesimpulan hasil penelitian yang ditarik dari analisa data, hipotesis dan pembahasan serta saran yang memuat masukan-masukan dari penulis yang terkait dengan penelitian dan diuraikan kelemahan penelitian.

(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Jalan

Jalan adalah seluruh bagian jalan, bangunan pelengkap serta perlengkapannya yang ditujukan untuk lalu lintas umum, berada di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah atau air, serta di atas permukaan air, terkecuali untuk jalan rel serta jalan kabel.

2.1.1 Perkerasan jalan

Perkerasan jalan adalah segala jenis material konstruksi yang di hampar dan dipadatkan diatas tanah dasar. Perkerasan jalan raya adalah bagian jalan raya yang diperkeras dengan lapis konstruksi tertentu, yang memiliki ketebalan, kekuatan, dan kekakuan, serta kestabilan tertentu agar mampu menyalurkan beban lalu lintas diatasnya ke tanah dasar secara aman. Lapisan perkerasan yang terletak di antara lapisan tanah dasar dan roda kendaraan, yang berfungsi memberikan pelayanan kepada sarana transportasi dan selama masa pelayanannya diharapkan tidak terjadi kerusakan yang berarti. Agar perkerasan jalan yang sesuai dengan mutu yang diharapkan, maka pengetahuan tentang sifat, pengadaan dan pengolahan dari bahan penyusun perkerasan jalan sangat diperlukan (Silvia Sukirman, 2003 dalam skripsi Serli Carlina 2013 ).

(27)

Agar dapat memberikan rasa aman dan nyaman kepada pemakai jalan,dimana hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni:

1. Pengawasan pelaksanaan pekerjaan sesuai prosedur pengawasan yang ada.

2. Beban lalu lintas, 3. Keadaan lingkungan,

4. Masa pelayanan atau umur rencana

5. Karakteristik material pembentuk perkerasan jalan disekitar lokasi, 6. Daya dukung tanah

2.1.2 Fungsi Perkerasan

Fungsi Perkerasan Jalan terbagi yaitu :

1. Memberikan struktur yang kuat dalam mendukung beban lalu lintas 2. Memberikan permukaan rata bagi pengendara

3. Memberikan kekesatan atau tahanan gelincir (skid resistance) di permukaan perkerasan

4. Mendistribusikan beban kendaraan ke tanah dasar secara memadai, sehingga tanah dasar terlindung dari tekanan yang berlebihan 5. Melindungi tanah dasar dari pengaruh buruk perubahan cuaca 2.1.3 Perkerasan Lentur (Flexible Pavement)

Perkerasan lentur {flexible pavement) adalah perkerasan yang umumnya menggunakan bahan campuran beraspal sebagai lapis permukaan serta bahan berbutir sebagai lapisan di bawahnya. Sehingga lapisan perkerasan tersebut mempunyai flexibilitas/kelenturan yang dapat menciptakan

(28)

kenyaman kendaraan dalam melintas diatasnya. Perlu dilakuan kajian yang lebih intensif dalam penerapannya dan harus juga memperhitungkan secara ekonomis, sesuai dengan kondisi setempat, tingkat keperluan, kemampuan pelaksanaan dan syarat teknis lainnya, sehingga konstruksi jalan yang direncanakan itu adalah yang optimal.

Gambar 2.1 Tipikal Jalan 2.1.4 Perkerasan Kaku (Rigid Pavement)

Perkerasan kaku (Rigid pavement) merupakan konstruksi perkerasan dengan bahan baku agregat dan menggunakan semen sebagai bahan pengikatnya, sehingga mempunyar tingkat kekakuan yang relatif cukup tinggi khususnya bila dibandingkan dengan perkerasan aspal (perkerasan lentur), sehingga dikenal dan disebut sebagai perkerasan kaku atau rigid pavement. Modulus Elastisitas (E) merupakan salah satu parameter yang menunjukan tingkat kekakuan konstruksi disamping dimensinya; dan dapat dipergunakan sebagai acuan ilustrasi tingkat kekakuan konstruksi perkerasan. Pada perkerasan aspal (perkerasan lentur), modulus etastisitas sekitar (Ea) sekitar 4.000 MPa, sedangkan pada perkerasan kaku (beton semen) modulus elastisitas rata-rata (Eb) berkisar pada besaran 40.000 MPa atau 10 kali lipat dari perkerasan aspal.

(29)

2.1.5 Struktur jalan

Pada umumnya, perkerasan jalan terdiri dari beberapa jenis lapisan perkerasan yang tersusun dari bawah ke atas, sebagai berikut :

1. Lapisan pondasi atas (base course) 2. Lapisan pondasi bawah (subbase course) 3. Lapisan tanah dasar (subgrade)

4. Lapisan permukaan (surface course) 2.1.6 Lapisan pondasi atas (base course)

Lapis Pondasi atas adalah bagian perkerasan yang terletak antara lapis permukaan dengan lapis pondasi bawah (atau dengan tanah dasar bila tidak menggunakan lapis pondasi bawah).

Fungsi lapis pondasi atas antara lain:

a. Sebagai bagian perkerasan yang menahan beban roda,

b. Sebagai perletakan terhadap lapis permukaan.

2.1.7 Lapisan pondasi bawah (subbase course)

Lapis Pondasi Bawah adalah bagian perkerasan yang terletak antara lapis pondasi dan tanah dasar.

Fungsi lapis pondasi bawah antara lain:

a. Sebagai bagian dari konstruksi perkerasan untuk mendukung dan menyebarkan beban roda.

(30)

b. Mencapai efisiensi penggunaan material yang relatif murah agar lapisan-lapisan selebihnya dapat dikurangi tebalnya (penghematan biaya konstruksi).

c. Untuk mencegah tanah dasar masuk ke dalam lapis pondasi.

d. Sebagai lapis pertama agar pelaksanaan dapat berjalan lancar.

2.1.8 Lapisan tanah dasar (subgrade)

Tanah Dasar adalah permukaan tanah semula atau permukaan galian atau permukaan tanah timbunan, yang dipadatkan dan merupakan permukaan dasar untuk perletakan bagian-bagian perkerasan lainnya.

Kekuatan dan keawetan konstruksi perkerasan jalan sangat tergantung dari sifat-sifat dan daya dukung tanah dasar. Umumnya persoalan yang menyangkut tanah dasar adalah sebagai berikut:

a. Perubahan bentuk tetap (deformasi permanen) dari macam tanah tertentu akibat beban lalu lintas.

b. Sifat mengembang dan menyusut dari tanah tertentu akibat perubahan kadar air.

c. Daya dukung tanah yang tidak merata dan sukar ditentukan secara pasti pada daerah dengan macam tanah yang sangat berbeda sifat dan kedudukannya, atau akibat pelaksanaan.

d.

II-5

(31)

e.

Gambar 2.2. Struktur jalan 2.1.9 Lapisan permukaan (surface course)

Lapis Permukaan adalah bagian perkerasan yang paling atas. Fungsi lapis permukaan antara lain:

a. Sebagai bahan perkerasan untuk menahan beban roda

b. Sebagai lapisan rapat air untuk melindungi badan jalan kerusakan akibat cuaca.

c. Sebagai lapisan aus (wearing course).

2.2 Preservasi Jalan

Preservasi jalan adalah kegiatan pemeliharaan, rehabilitasi, rekonstruksi, dan pelebaran jalan menuju standar, yang berkelanjutan untuk mempertahankan jalan dalam kondisi mantap (SE Direktur Jenderal Bina Marga Nomor 9/SE/Db, 2015).

Preservasi Jalan adalah Kegiatan penanganan jalan, berupa pencegahan, perawatan, dan perbaikan yang diperlukan untuk mempertahankan kondisi jalan agar tetap berfungsi secara optimal melayani lalu-lintas sehingga umur rencana yang ditetapkan dapat tercapai.

2.2.1 Lingkup Preservasi Jalan

Pemeliharaan jalan meliputi kegiatan pemeliharaan rutin, pemeliharaan berkala, rehabilitasi jalan dan rekonstruksi jalan. (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 13/PRT/M/2011 Tentang Tata Cara

(32)

Pemeliharaan dan Penilikan Jalan, Pasal 18, 2011). Penanganan pemeliharaan jalan dilakukan secara preventif dan reaktif.

1. Lingkup pemeliharaan jalan

a. Pemeliharaan rutin jalan adalah kegiatan merawat serta memperbaiki kerusakan kerusakan yang terjadi pada ruas-ruas jalan dengan kondisi pelayanan mantap. Pemerliharaan rutin jalan meliputi :

 Pemeliharaan/pembersihan bahu jalan;

 Pemeliharaan sistem drainase (dengan tujuan untuk memelihara fungsi dan untuk memperkecil kerusakan pada struktur atau permukaan jalan dan harus dibersihkan terus menerus dari lumpur, tumpukan kotoran, dan sampah);

 Pemeliharaan/pembersihan;

 Pemeliharaan pemotongan tumbuhan/tanaman liar (rumput- rumputan, semak belukar, dan pepohonan) di dalam rumija;

 Pengisian celah/retak permukaan (sealing);

 Laburan aspal;

 Penambalan lubang;

 Pemeliharaan bangunan pelengkap;

 Pemeliharaan perlengkapan jalan; dan

Grading operation/Reshaping atau pembentukan Kembali

 Permukaan untuk perkerasan jalan tanpa penutup dan jalan tanpa perkerasan.

(33)

b. Pemeliharaan berkala jalan adalah kegiatan penanganan pencegahan terjadinya kerusakan yang lebih luas dan setiap kerusakan yang diperhitungkan dalam desain agar penurunan kondisi jalan dapat dikembalikan pada kondisi kemantapan sesuai dengan rencana. Pemerliharaan berkala jalan meliputi :

 Pelapisan ulang (overlay);

 Perbaikan bahu jalan;

 Pelapisan aspal tipis, termasuk pemeliharaan

 Pencegahan/preventive yang meliputi antara lain fog seal, chip seal, slurry seal, micro seal, Strain Alleviating Membrane Interlayer (SAMI),;

 Pengasaran permukaan (regrooving);

 Pengisian celah/retak permukaan (sealing);

 Perbaikan bangunan pelengkap;

 Penggantian/perbaikan perlengkapan jalan yang hilang/rusak;

 Pemarkaan (marking) ulang;

 Penambalan lubang;

 Untuk jalan tidak berpenutup aspal/ beton semen dapat dilakukan penggarukan, penambahan, dan pencampuran kembali material (ripping and reworking existing layers) pada saat pembentukan kembali permukaan; dan

 Pemeliharaan/pembersihan rumaja.

c. Rehabilitasi jalan adalah kegiatan penanganan pencegahan

(34)

terjadinya kerusakan yang luas dan setiap kerusakan yang tidak diperhitungkan dalam desain, yang berakibat menurunnya kondisi kemantapan pada bagian/tempat tertentu dari suatu ruas jalan dengan kondisi rusak ringan, agar penurunan kondisi kemantapan tersebut dapat dikembalikan pada kondisi kemantapan sesuai dengan rencana. Pemerliharaan berkala jalan meliputi :

 Pelapisan ulang;

 Perbaikan bahu jalan;

 Perbaikan bangunan pelengkap;

 Perbaikan/penggantian perlengkapan jalan;

 Penambalan lubang;

 Penggantian dowel/tie bar pada perkerasan kaku (rigid pavement);

 Penanganan tanggap darurat.

 Pekerjaan galian;

 Pekerjaan timbunan;

 Penyiapan tanah dasar;

 Pekerjaan struktur perkerasan;

 Perbaikan/pembuatan drainase;

 Pemarkaan;

 Pengkerikilan kembali (regraveling) untuk perkerasan jalan

 Perpenutup dan jalan tanpa perkerasan; dan

 Pemeliharaan/pembersihan rumaja.

(35)

d. Rekonstruksi adalah peningkatan struktur yang merupakan kegiatan penanganan untuk dapat meningkatkan kemampuan bagian ruas jalan yang dalam kondisi rusak berat agar bagian jalan tersebut mempunyai kondisi mantap kembali sesuai dengan umur rencana yang ditetapkan. Pemerliharaan berkala jalan meliputi :

 Perbaikan seluruh struktur perkerasan, drainase, bahu jalan, tebing, dan talud;

 Peningkatan kekuatan struktur berupa pelapisan ulang perkerasan dan bahu jalan sesuai umur rencananya kembali;

 Perbaikan perlengkapan jalan;

 Perbaikan bangunan pelengkap; dan

 Pemeliharaan/pembersihan rumaja 2. Reaktif bertujuan untuk :

Memperbaiki setiap kerusakan yang terjadi pada perkerasan jalan untuk mengembalikan ke kondisi sesuai umur rencana.

3. Preventif bertujuan untuk :

a. Membatasi jenis, tingkat dan sebaran kerusakan b. Menunda kerusakan lebih lanjut

c. Mengurangi jumlah kegiatan pemeliharaan rutin

d. Melindungi perkerasan dari pengaruh beban dan lingkungan

e. Mempertahankan kondisi jalan dalam tingkatan baik dan sedang sesuai rencana.

2.2.2 Tujuan Preservasi Jalan

(36)

 Mempertahankan Kondisi Jalan

Pemeliharaan jalan (rutin dan periodik) diprioritaskan pada jalan Nasional yang berkondisi baik dan sedang agar dapat memberikan pelayanan jasa transportasi yang optimal

 Menurunkan Biaya Transportasi

Kondisi jalan yang tetap terjaga dalam kondisi baik dapat memberikan manfaat bagi penurunan biaya transportasi

 Meningkatkan Pertumbuhan Ekonomi

Pelayanan prasarana transportasi jalan yang baik, akan mempengaruhi pengembangan ekonomi daerah melalui aktivitas-aktivitas ekonomi dan dapat meningkatkan iklim investasi

2.3 Bahan Penyusun Perkerasan Jalan

Tujuan menyusun agregat adalah menggunakan sumber daya manusia dan peralatan secara produktif. Kata agregat menunjukkan bahwa perencanaan dilakukan di tingkat kasar dan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan total seluruh produk dengan menggunakan seluruh sumber daya manusia dan peralatan yang ada pada fasilitas produksi tersebut. Rancan produksi agregat ini akan membutuhkan banyak tenaga kerja dengan keahlian bermacam-macam karena jumlah permintaan dari periode ke periode lainnya berfluktuatif. Pendekatan ini menggunakan laju produksi yang konstan namun memakan biaya yang sangat tinggi. Pendekatan

(37)

lainnya adalah dengan merekrut tenaga kerja tambahan pada saat permintaan tinggi dan memberhentikannya saat permintaan turun atau rendah.

Bahan lapis perkerasan jalan terdiri dari agregat dan bahan ikat aspal yang diikat menjadi suatu campuran aspal yang solid dan biasanya digunakan dalam konstruksi perkerasan jalan raya. Pada pekerjaan diperlukan bahan-bahan penyusun antara lain sebagai berikut :

2.3.1 Agregat

Agregat adalah butiran mineral alami yang berfungsi sebagai bahan pengisi dalam campuran beton atau mortar. Agregat dapat mengisi kurang lebih 70% hingga 75% volume beton atau mortar. Meskipun hanya sebagai bahan pengisi, akan tetapi agregat sangat berpengaruh terhadap sifat-sifat beton atau mortarnya, sehingga pemilihan agregat merupakan suatu bagian penting dalam pembuatan beton/mortar. Untuk membedakan jenis agregat yang sering dilakukan lalah dengan didasarkan pada ukuran butir- butirnya.

Agregat dengan ukuran butir-butir besar disebut agregat kasar, sedang yang berbutir kecil disebut agregat halus.

Secara umum jenis agregat digolongkan sebagai berikut : 1. Pasir

(38)

Pasir adalah material berbutir yang dihasilkan oleh pelapukan alami batuan atau pemecahan batuan pasir-batu. Terdapat beberapa jenis pasir dengan masing-masing gradasi tertentu.

a. Pasir Angin Pasir yang dibawa angin dan mengumpul di suatu tempat.

Umumnya berbutir halus dengan ukuran antara No.40 sampai No.100.

b. Pasir Danau atau Pantai Pasir berbutir halus dan bulat umumnya dicampur dengan pasir kasar. Umunya berukuran antara No.40 sampai No.200

c. Pasir Sungai Pasir yang dibawa oleh air dan menggelinding antar butiran sehingga tidak bersudut tajam. Umumnya bebas dari lumpur dan berbutir halus dengan ukuran butiran antara No.4 sampai No.100.

d. Pasir dari Pasir-Batu (Sirtu) Pasir yang diperoleh dari pengayakan pasir- batu lolos No.4. Kadang-kadang mengandung tanah dan berukuran antara No.4 sampai No.200

e. Pasir Gunung Pasir yang berasal dari deposit alami dengan sedikit atau tanpa kerikil. Umumnya berukuran antara ⅜“ sampai No.200

f. Pasir Buatan Pasir yang diperoleh dari pengayakan batu pecah mesin lolos No.4

2. Kerikil

(39)

Kerikil diperoleh dari pelapukan alami batuan, berukuran lebih besar dari pasir yang dianggap tertahan No.4 atau ¼“.

a. Kerikil Kacang Polong (Pea Gravel) Kerikil yang bersih, berasal dari kerikil sungai dengan ukuran antara ¼“ sampai ½“

b. Kerikil Sungai Kerikil yang dapat dijumpai pada hulu maupun hilir, terdiri dari butiran bulat berukuran diatas ¼“ dengan permukaan yang halus bercampur dengan pasir sungai, umumnya bebas dari tanah dan lanau.

Material yang lolos ¼“ ini termasuk paisr sungai.

c. Kerikil Gunung Kerikil yang berasal dari deposit alami, umumnya berbutir, terkadang bercampur dengan pasir halus dan tanah. Tergantung bercampur dengan material apa, maka disebut Tanah Berkerikil, Pasir Berkerikil, Kerikil berlempung, Kerikil berpasir.

3. Batu Pecah

Batu pecah dihasilkan dari pemecahan mekanik dari berbagai jenis batuan atau berangkal. Contoh : batu kapur, granite, batuan singkapan, quartzite, dsb.

a. Batu Pecah Bergradasi Batu pecah yang diproduksi pada gradasi yang diinginkan dengan pengayakan. Batu pecah yang lebih disukai adalah berbentuk cubical (persegi), akan tetapi beberapa jenis batuan berlapis mungkin akan memberikan bentuk yang agak pipih.

(40)

b. Batu Pecah Campuran Batu pecah tanpa pengayakan, umumnya hanya digunakan ayakan 2” sebagai scalping screen (diayak sebelum masuk secondary crusher)

c. Crusher Screenings Crusher screening adalah bagian dari batu pecah yang lolos ¼” atau No.4. Umumnya berukuran dari ¼” ke bawah termasuk 0 sampai 6% lolos No.200. Umunya bergradasi baik meskipun terdapat kekurangan pada No.40 sampai No.100.

d. Terak (Slag) Terak adalah bahan bukan logam yang diperoleh dari tungku pemanasan logam, mengandung silikat dan alumino silikat serta bahan dasar lainnya. Terak dengan mutu yang baik akan memberikan perkerasan yang baik meskipun seringkali terdapat terak yang porous dan menyerap banyak aspal.

Sedangkan menurut America Standard for Testing and Materials (ASTM) mendefinisikan agregat sebagai suatu bahan yang terdiri dari mineral padat, berupa massa berukuran besar ataupun berupa fragmen- fragmen. Agregat adalah bahan yang berbutir yang mempunyai komposisi mineral seperti pasir, kerikil, batu pecah, atau komposisi mineral-mineral lainnya, baik berupa hasil alam maupun hasil pengolahannya yang merupakan bahan utama untuk konstruksi jalan.

Secara umum agregat yang digunakan dalam campuran beraspal dibagi atas 2 (dua) fraksi, yaitu :

(41)

a. Agregat Halus

Agregat halus pasir alam merupakan hasil desintegrasi alami batuan atau pasir yang dihasilkan oleh industri pemecah batu. Agregat halus adalah material yang lolos saringan no.8 (2,36 mm). Agregat dapat menigkatkan stabilitas campuran dengan penguncian antara butiran. Selain itu agregat halus juga mengisi ruang antara butir Bahan ini dapat terdiri dari butir-butiran batu pecah atau pasir alam atau campuran dari keduanya. Agregat halus pada umumnya harus memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan yang ada, seperti tertera pada tabel

2.1 di bawah :

Tabel 2.1 Ketentuan agregat halus

Pengujian Standar Nilai

Nilai setara pasir SNI 03 – 4428 - 1997 Min 50%

Uji Kadar Rongga Tanpa Pemadatan SNI 03 - 6877 - 2002 Maks. 45 Gumpalan Lempung dan Butir-butir

Mudah Pecah dalam Agregat SNI 03 - 4141 - 1996 Maks 1%

Agregat Lolos Ayakan No.200 SNI ASTM C117: 2012 Min. 10%

Sumber : Spesifikasi Umum Bina Marga 2018 Divisi 6 Perkerasan Aspal

b. Agregat kasar

Agregat kasar adalah material yang tertahan pada saringan no.8 (2,36 mm). Agregat kasar untuk campuran aspal harus terdiri dari batu pecah yang bersih, kuat, kering, awet, bersudut, bebas dari kotoran lempung dan material asing lainnya serta mempunyai permukaan tekstur yang kasardan tidak bulat agar dapat dapat memberikan sifat interlocking yang baik yang baik dengan material yang lain. Tingginya kandungan

(42)

agregat kasar membuat lapis perkerasan lebih permeabel. Hal ini menyebabkan rongga udara meningkat dan menurunnya daya lekat bitumen, maka terjadi pengelupasan aspal dari batuan.

Agregat kasar pada umumnya harus memenuhi persyaratanya yang telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan yang ada, seperti tertera pada Tabel dibawah :

Tabel 2.2 Ketentuan agregat kasar Pengujian

Metode

Pengujian Nlai Kekekalan bentuk agregat

terhadap larutan

natrium sulfat

SNI 3407:2008

Maks.12 %

magnesium sulfat Maks.18 %

Abrasi dengan mesin Los

Angeles

Campuran AC Modifikasi dan SMA

100 putaran

SNI 2417:2008

Maks.6 %

500 putaran Maks.30 %

Semua jenis campuran beraspal bergradasi lainnya

100 putaran Maks.8 %

500 putaran Maks.40 %

Kelekatan agregat terhadap aspal SNI 2439:2011 Maks.95%

Butir Pecah pada Agregat Kasar

SMA

SNI 7619:2012

100/90*)

Lainnya 95/90 **)

Partikel Pipih dan Lonjong

SMA ASTM D4791-

10

Perbandingan 1 : 5

Maks.5 %

Lainnya Maks.10 %

Material lolos Ayakan No.200 SNI ASTM

C117:2012 Maks.1 % Sumber : Spesifikasi Umum Bina Marga 2018 Divisi 6 Perkerasan Aspal

(43)

c. Gradasi Agregat

Gradasi atau susunan butir adalah distribusi dari ukuran agregat.

Distribusi ini bervariasi dapat di bedakan menjadi tiga yaitu gradasi seragam (uniform grade), gradasi menerus (continous grade) dan gradasi sela (gap grade). Untuk mengetahui gradasi tesebut dilakukan pengujian melalui analisa saringan sesuai dengan standard dari SNI 03-1968-1990 dan ASTM C-33. Gradasi seragam (uniform grade) adalah gradasi yang terdiri dari ukuran agregat yang hampir sama sehingga akan membentuk grafik gradasi seragam dengan ciri garis vertikal yang mendominasi porsi gradasi agregat pada satu ukuran atau range/batas fraksi tertentu. Gradasi menerus (continous grade) adalah gradasi yang semua ukuran agregatnya ada dan terdistribusi dengan baik. Gradasi sela (gap grade) adalah salah satu atau lebih dari ukuran butir atau fraksi pada satu set ayakan tidak ada, maka grafik gradasi akan menunjukan garis horizontal dalam grafiknya.

Tabel 2.3 Gradasi Agregat Gabungan Untuk Campuran Beraspal Ukuran

ayakan

% Berat Yang Lolos Terhadap Total Agregat Lataston

(HRS) Laston ( AC )

ASTM (mm) WC Base WC BC Base

1 1 ⁄2 37,5 - - - - 100

1” 25 - - - 100 90-100

3⁄4” 19 100 100 100 90-100 76 – 90 1⁄2” 12,5 90-100 90-100 90-100 75 - 90 60 – 78 3⁄8” 9,5 75 - 85 65 – 90 77 - 90 66 - 82 52 – 71 No.4 4,75 - - 53 - 69 46 - 64 35 – 54 No.8 2,36 50 - 72 35 – 55 33 - 53 30 - 49 23 – 41 No.16 1,18 - - 21 - 40 18 - 38 13 – 30

(44)

Ukuran ayakan

% Berat Yang Lolos Terhadap Total Agregat Lataston

(HRS) Laston ( AC )

ASTM (mm) WC Base WC BC Base

No.30 0,600 35 - 60 15 – 35 14 - 30 12 - 28 10 – 22 No.50 0,300 - - 9 - 22 7 - 20 6 – 15 No.100 0,150 - - 6 - 15 5 - 13 4 – 10 No.200 0,075 6 - 10 2 – 9 4 - 9 4 - 8 3 – 7

Sumber : Spesifikasi Umum Bina Marga 2018 Divisi 6 perkerasan aspal Macam – macam Gradasi terdiri dari 3 yaitu :

1. Gradasi Menerus (Continous Graded)

Gradasi menerus adalah ukuran butir agregat dimana rongga antar butiran besar diisi oleh butiran yang lebih kecil dan rongga antar butiran yang lebih kecil ini diisi oleh butiran yang lebih kecil lagi demikian seterusnya. Disebut juga gradasi padat (dense graded) karena memadat akibat saling mengisi dan saling mengunci (interlocking).

Rentang toleransi gradasi menerus harus sempit sehingga interlockingnya dapat dipertahankan. Pengendalian toleransi dapat dilakukan dengan : a. Sumber dari masing-masing agregat dipilih dengan cermat.

b. Proses masing-masing agregat pada sumbernya diatur cermat.

c. Pencampuran berbagai agregat yang berbeda dilakukan di tempat pencampuran denagn cara mekanik.

d. Agregat yang sudah dicampur diayak ulang dan diatur kembali pro- porsinya setelah dikeringkan dan sebelum dicampur dengan aspal.

AMP modern telah dilengkapi perlengkapan untuk memenuhi kebutuhan pengendalian di atas. Ukuran agregat pada campuran akhir

(45)

umumnya berada dalam toleransi dengan perbedaan ± 5% untuk agregat kasar dan rentang toleransi yang lebih rapat untuk agregat halus.

Seringkali 3 atau 4 jenis agregat yang terpisah dicampur bersama untuk mencapai gradasi akhir yang mendekati gradasi yang diinginkan.

Umumnya, agregat pecah mesin diayak dalam 3 atau 4 ukuran agar segregasi selama transportasi dan penanganan dapat dihindari, kemudian 3 atau 4 ukuran agregat tersebut dicampur kembali di tempat pencampuran.

2. Gradasi Senjang (Gap Graded)

Gradasi senjang adalah ukuran butir agregat yang sedemikian hingga tidak ada atau hampir tidak ada suatu rentang ukuran “menengah”.

Perbedaan material lolos untuk ukuran butir menengah yang berurutan, jika diatas 10% disebut gradasi menerus, jika dibawah 10% baru disebut gradasi senjang.

Terdapat Spesifikasi yang menyebutkan bahwa persen lolos terhadap berat untuk No.30 minimum harus 80% dari No.8. Dari No.8 sampai No.30 terdapat No.16 di antaranya, sehingga aplikasi dari ketentuan yang disebutkan diatas masih relevan karena dari No.8 sampai No.16 sebesar 10% dan dari No.16 sampai No.30 sebesar 10%, jika dijumlah maka sebesar 20%.

3. Gradasi Tunggal (Single Graded)

Gradasi tunggal adalah butiran agregat yang mayoritas satu ukuran, biasanya masih terdapat sedikit butiran halus yang ikut terbawa. Gradasi ini

(46)

tidak rawan terhadap segregasi dan umumnya merupakan produk crusher yang dapat dengan mudah diatur proporsinya untuk mencapai gradasi yang diinginkan. Gradasi ini sering disebut gradasi terbuka (open graded), digunakan untuk Burtu (SST) atau Burda (DBST) dalam rangka memberikan texture baru pada permukaan aspal.

d. Ukuran Agregat

Ukuran agregat dalam suatu campuran beraspal terdistribusi dari yang berukuran besar sampai ke yang kecil. Semakin besar ukuran maksimum agregat yang dipakai semakin banyak variasi ukurannya dalam campuran tersebut.

2.3.2 Sifat-Sifat Fisik Agregat

Dalam hubungannya dengan kinerja campuran beraspal diperlukan pemeriksaan terhadap sifat-sifat fisik agregat. Untuk tujuan ini sifat pada agregat yang harus di periksa antara lain : ukuran butir, kebersihan, kekerasan bentuk partikel, tekstur permukaan, penyerapan dan kelekatan terhadap aspal (Modul 1 Bahan Campuran Beraspal, 2017)

a. Kekerasan

Agregat yang nantinya digunakan sebagai lapis permukaan haruslah lebih keras (lebih tahan) dari agregat yang digunakan pada lapisan dibawahnya. Hal ini disebabkan karena permukaan pekerasan akan menerima dan menahan tekanan dan benturan dari beban lalu lintas paling besar.

b. Ukuran Butir

(47)

Ukuran agregat dalam suatu campuran beraspal terdistribusi dari berukuran besar sampai yang terkecil. Semakin besar ukuran maksimum agregat yang di pakai semakin banyak variasi ukurannya dalam campuran tersebut. Mineral pengisi dan mineral abu dapat terjadi secara almiah atau dapat juga di hasilkan dari proses pemecahan batuan atau proses buatan.

Mineral ini penting artinya untuk mendapatkan campuran yang padat, berdaya tahan dan kedap air.

c. Tekstur permukaan agregat

Agregat dengan permukaan yang kasar memiliki koefisien gesek yang tinggi yang membuat agregat tersebut sulit untuk berpindah tempat sehingga akan menurunkan workabilitasnya. Oleh sebab itu, penggunaan agregat bertekstur halus dengan proporsi tertentukadang-kadang dibutuhkan untuk membantu meningkatkan workabilitasnya. Dilain pihak film aspal lebih mudah merekat pada permukaan yang kasar sehingga akan menghasilkan ikatan yang baik antara aspal dan agregat.

d. Kelekatan Agregat Terhadap Aspal

Kelekatan agregat terhadap aspal adalah kecenderungan agregat untuk menerima, meyerap dan menahan film aspal. Agregat hidrophobik (tidak menyukai air) adalah agregat yang memiliki sifat kelekatan terhadap aspal yang tinggi, contoh dari agregat ini adalah batu gamping dan dolomit.

Sebaliknya, agregat hidrophilik (suka air) adalah agregat yang memiliki kelekatan terhadap aspal yan rendah. Sehingga agregat jenis ini cenderung

(48)

terpisah dari film aspal bila terkena air. Kuarsit dan beberapa jenis granit adalah contohagregat hidrophilik.

e. Daya serap agregat

Keporusan agregat menentukan banyaknya zat cair yang dapat diserap agregat. Kemampuan agregat untuk menyerap air dan aspal adalah suatu informasi yang penting yang harus diketahui dalam pembuatan campuran beraspal. Jika daya serap agregat sangat tinggi, agregat ini akan terus menyerap aspal baik pada saat maupun setelah proses pencampuran agregat dengan aspal di unit pencampur aspal (AMP). Hal ini akan menyebabkan aspal yang berada pada permukaan agregat yang berguna untuk mengikat partikel agregat menjadi lebih sedikit sehingga akan menghasilkan film aspal yang tipis. Oleh karena itu, agar campuran yang dihasilkan tetap baik agregat yang porus memerlukan aspal yang lebih banyak dibandingkan dengan yang kurang porus.

f. Kebersihan Agregat

Dalam spesifikasi biasanya memasukkan syarat kebersihan agregat dengan memberikan suatu batasan jenis dan jumlah material yang tidak diperlukan, seperti lumpur, tanaman dan lain sebagainya, yang melekat pada agregat, karena akan memberikan pengaruh yang jelek pada perkerasan seperti berkurangnya ikatan antara aspal dan agregat.

g. Bentuk butir agregat

Dalam campuran beraspal, penggunaan agregat yang bersudut saja atau bulat saja tidak akan menghasilkan campuran beraspal yang baik.

(49)

Kombinasi penggunaan kedua bentuk partikel ini sangat dibutuhkan untuk menjamin kekuatan pada struktur perkerasan dan workabilitas yang baik dari campuran tersebut.

Agregat memiliki bentuk butir dari bulat (rounded) dan bersudut (angular). Bentuk butir agregat dapat mempengaruhi workabilitas campuran perkerasan pada saat penghamparan, yaitu dalam hal energi pemadatan yang dibutuhkan untuk memadatkan campuran, dan untuk kekuatan struktur perkerasan selama umur pelayanannya.

2.3.3 Bahan Pengisi (Filler)

Menurut Bina Marga (2010), filler adalah suatu agregat berbutir halus yang lolos saringan No.200 dan tidak kurang dari 75% terhadap beratnya.

Filler mempunyai fungsi sebagai pengisi rongga dalam campuran (void in mix) sehingga memberikan kontribusi untuk meningkatkan kepadatan.

Menurut Bina Marga (2007), filler merupakan material pengisi terdiri dari debu batu, abu kapur (limestone dust), abu terbang (PC) atau bahan non plastis lainnya yang harus kering dan bebas dari gumpalan-gumpalan dan bahan-bahan lain yang mengganggu.

Adapun fungsi filler dalam campuran adalah :

(50)

1. Mengisi ruang antara agregat halus dan kasar serta menigkatkan kepadatan dan kestabilan. Menurut Sukirman (2003), bahan pengisi (filler) juga harus memenuhi

2. Untuk memodifikasi agregat halus sehingga berat jenis campuran meningkat dan jumlah aspal yang diperlukan untuk mengisi rongga akan berkurang.

3. Filler dan aspal secara bersamaan akan membentuk suatu pasta yang akan membalut dan mengikat agregat halus untuk membentuk mortar.

2.4 Aspal

Aspal adalah bahan hidro Karbon yang bersifat melekat (adhesive), berwarna hitam kecoklatan, tahan terhadap air, dan Viskoelastis. Aspal sering disebut bitumen, bitumen merupakan bahan pengikat pada Campuran beraspal yang dimanfaatkan sebagai lapis perkerasan lentur.

Untuk menentukan penggunaan kadar aspal sesuai persyaratan yang ditetapkan Bina Marga digunakan rumus:

PB = 0,035 ( % CA ) + 0,045 ( % FA ) + 0,18 ( % Filler ) + K. .(2.1) PB = Perkiraan kadar aspal optimum

CA = Agregat kasar FA = Agregat halus K = Konstanta

(51)

2.4.1 Fungsi Aspal

Aspal yang digunakan sebagai material perkerasan jalan berfungsi sebagai:

1. Berfungsi untuk mengikat baru-batuan agar tidak terlepas dari permukaan Jalan, baik disebabkan oleh beban lalu lintas Maupun genangan air.

2. Aspal berfungsi sebagai bahar pelapis jalan dan, bahan pengikat agregat.

3. Aspal berfungsi sebagai bahan pengisi ruang kosong yang t erdapat di antara Susunan agregat Kasar, halus dan folder.

Penggunaan aspal memang sangat menentukan Kualitas dari proyek jalan. Selain dari material Aspal, kualitas Jalan juga sangat tergantung Metode pelaksanaan seperti Cara Pemadatan aspal.

Sebagai Informasi tambahan biasanya diproyek menggunakan 2 Jenis aspal yaitu aspal drum dan aspal curah. Aspal drum berbentuk drum seperti gambar di atas. Biasanya berat satu drum sekitar 170 -180 kg.

Sedangkan aspal curah berbentuk cairan. Masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan masing- masing.

2.4.2 Sifat Aspal

(52)

 Sifat Kimia

Ditentukan berdasarkan kandungan asplaten dan kandungan malten (resin, arumated, saturated)

 Sifat Fisik

Ditentukan berdasarkan durabilitasnya (penetrasi, titik lembek, dan daktilitas), Adhesi/kohesi, Kepekaan terhadap perubahan temperature, dan pengerasan.

2.4.3 Jenis – Jenis Aspal

1. Aspal Alam

Aspal alam adalah aspal yang berasal langsung dari alam tanpa melewati serangkaian proses pengolahan yang rumit. Aspal alam yang berbentuk batuan bisa diperoleh di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Aspal alam yang bersifat plastis bisa ditemukan di Danau Pitch, Republik Trinidad.

Sedangkan aspal yang memiliki wujud berada di sekitar perairan segitiga Bermuda. Berbeda dengan segitiga Bermuda yang mengandung aspal murni, kandungan aspal yang terdapat di Pulau Buton dan Danau Pitch tidak murni dan tercampur dengan mineral yang lain.

2. Aspal Buatan

(53)

Aspal buatan adalah aspal yang terbuat dari minyak bumi yang diproses dengan Metode tertentu Yang relatif rumit. proses pembuatan aspal biasa dilaksanakan di l industri khusus pembuatan aspal. Biasanya ada jenis aspal buatan yang sering digunakan di lndonesia antara lain:

 Aspal cair dihasilkan dengan melarutkan aspal keras dengan bahan pelarut berbasis minyak

- Aspal cair cepat mantap (RC = rapid curing) - Aspal cair mantap sedang (MC = medium curing) - Aspal cair lambat mantap (SC = slow curing)

 Aspal emulsi dihasilkan melalui proses pengemulsian aspal keras - Aspal emulsi anionik, yaitu aspal emulsi yang berion negatif.

- Aspal emulsi kationik, yaitu aspal emulsi yang berion positif.

- Aspal emulsi non-ionik, yaitu aspal emulsi yang tidak berion (netral).

 Aspal modifikasi dibuat dengan mencampur aspal keras dengan suatu bahan tambah

- Aspal Polymer Elastomer - Aspal Polymer Plastomer

2.5. Aspal Buton

(54)

2.5.1. Pengertian Aspal Buton

Aspal buton adalah aspal alam yang terdapat di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara yang selanjutnya dikenal dengan istilah asbuton.

Asbuton atau aspal batu Buton ini pada umumnya berbentuk padat yang terbentuk secara alami akibat proses geologi. Proses terbentuknya asbuton berasal dari minyak bumi uang terdorong muncul ke permukaan menyusup diantara batuan yang porous (Kementrian PU, 2006)

2.5.2. Lokasi Sumber Daya Asbuton

Lokasi sumber daya aspal terletak di Pulau Buton, secara administratif termasuk ke dalam Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara. (Gambar 2.5). Sumber daya aspal alam di Pulau Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara merupakan satu-satunya endapan aspal alam di Indonesia. Aspal alam di Pulau Buton ini telah diketahui sejak awal abad ke- 20. Penyelidikan pertama kali dilakukan oleh Elbert tahun 1909. Kemudian tahun 1922-1930 oleh Departemen Tambang Pemerintahan Belanda di Hindia Timur. Pada Tahun 1926 aspal Buton dikerjakan oleh

N.V. Meijnbouwen Cultuur Maatscappij Boeton sampai terjadinya perang Pasific atas dasar kerja borongan untuk pemerintah sampai tahun 1954.

(Buku 1 Pedoman Pemanfaatan Asbuton)

II-29

(55)

Gambar 2.3. Lokasi Asbuton

2.5.3. Manfaat Asbuton Sebagai Bahan Campuran aspal

Asbuton memiliki kelebihan, yaitu: kandungan Nitrogen dan Parameter Maltene yang relatif tinggi serta kandungan mineral kapur dan silika. Pengaruh dari sifat tersebut maka secara teknik apabila Asbuton digunakan sebagai bahan campuran beraspal, maka campuran beraspal tersebut akan meningkat sifat tekniknya. Sejalan dengan naiknya karakteristik campuran beraspal tersebut, maka secara finansial pun untuk wilayah-wilayah tertentu kemungkinan akan lebih ekonomis. Hal tersebut sangat tergantung terhadap harga aspal keras pada suatu wilayah.

Di bawah ini diuraikan kelebihan secara teknik penggunaan Asbuton sebagai bahan campuran beraspal panas dan diuraikan contoh

(56)

penggunaan Asbuton sebagai bahan campuran beraspal panas di daerah Jawa Barat yang mana secara finansial masih kompetitif (cukup ekonomis) bila dibandingkan dengan harga campuran beraspal yang tanpa menggunakan Asbuton (Buku 1 Pedoman Pemanfaatan Asbuton).

2.5.4. Keunggulan Asbuton

Deposit Asbuton dalam jumlah besar dapat menjamin pasokan kebutuhan akan aspal. Dari pengujian yang telah dilakukan, didapat hasil campuran beraspal yang ditambah asbuton menghasilkan campuran beraspal yang bermutu baik dengan kecenderungan sebagai berikut (Reza Fitra Sandi, 2013) :

a) Stabilitas Marshall campuran beraspal yang lebih tinggi b) Stabilitas dinamis campuran beraspal yang lebih tinggi

c) Meningkatkan umur konstruksi (dari hasil uji fatigue) d) Lebih tahan terhadap perubahan temperatur

e) Nilai modulus yang meningkat

Kecenderungan tersebut terjadi karena Asbuton mengandung bahan aromatik dan resin yang tinggi, sehingga di dalam campuran Asbuton mempunyai:

a) Daya lekat yang lebih tinggi (anti stripping) b) Kelenturan yang tinggi (fatigue life tinggi)

Dengan kelebihan-kelebihan tersebut, penentu kebijakan memberikan pernyataan bahwa Asbuton:

a) Cocok digunakan untuk lokasi temperatur tinggi (tropis) b) Cocok digunakan untuk heavy loaded highway.

(57)

2.5.5. Kelebihan penggunaan Asbuton secara teknik

Berdasarkan hasil kajian dilaboratorium, diperoleh bahwa untuk pembuatan campuran beraspal panas dengan menggunakan Asbuton Butir, Aspal yang imodifikasi Asbuton dan Bitumen Asbuton modifikasi memiliki kelebihan secara teknik yaitu sebagaimana ditunjukkan dengan besaran mekanistik, yaitu Modulus Resilien (MR) atau Modulus Elastisitas (E). Makin banyak penambahan Asbuton (khususnya untuk jenis Asbuton Butir) maka Modulus Resilien (MR) campuran beraspal makin tinggi.

Apabila membatasi penggunaan Asbuton Butir sehingga Modulus Resilien tidak terlampau tinggi yang dapat mengakibatkan campuran beraspal mudah patah karena tebal nominalnya hanya 4 cm (misal untuk ACWC), khususnya untuk lapis tambah (overlay). Untuk itu, Modulus Resilien campuran beraspal yang menggunakan Asbuton ditetapkan maksimum 2,5 kali Modulus Resilien lapis permukaan beraspal jalan existing (umumnya berkisar antara 1500 MPa). Jadi Modulus Resilien campuran beraspal yang menggunakan Asbuton maksimum sebesar 3750 MPa. Berdasarkan uraian di atas, maka pada Gambar 5.4 diperoleh bahwa proporsi maksimum masing-masing tipe Asbuton Butir adalah Tipe 5/20 sebanyak 5%, Tipe 15/20 sebanyak 7%, Tipe 15/25 sebanyak 8,5% dan Tipe 20/25 sebanyak 10,5%. Adapun untuk campuran beraspal panas yang menggunakan Aspal yang dimodifikasi Asbuton atau yang menggunakan Bitumen Asbuton Modifikasi apabila dibandingkan dengan campuran beraspal panas yang hanya menggunakan Aspal Pen 60, maka kedua campuran beraspal

(58)

tersebut memiliki Modulus Resilien (MR) sekitar 1,5 kali dari Modulus Resilien (MR) campuran beraspal panas yang hanya menggunakan Aspal Pen 60 (umumnya sebesar 2500 MPa). Untuk seluruh campuran beraspal panas yang menggunakan Asbuton memiliki ketahanan terhadap terjadinya alur dengan ditunjukkan dengan nilai Stabilitas Dinamis hasil pengujian dengan alat Wheel Tracking Machine dengan besaran > 2500 lintasan/mm (Buku 1 Pedoman Pemanfaatan Asbuton).

2.5.7. Kelemahan Asbuton

Meskipun telah melewati proses fabrikasi, Asbuton masih memiliki beberapa titik kelemahan sebagai berikut ( Mita, 2010):

a) Inkonsistensi kualitas produksi Asbuton b) Kandungan bitumen

c) Penetrasi bitumen d) Kadar air Asbuton

e) Belum terjaminnya ketersediaan Asbuton pada saat pelaksanaan di lapangan.

f) Ketidak sesuaian kemampuan supply oleh pabrik pengolah Asbuton dengan demand proyek pengguna yang ditunjang oleh kebijakan Ditjen Bina Marga.

g) Biaya transportasi pengiriman ke pengguna yang relatif mahal.

h) Pola kerjasama antara produsen dan konsumen yang belum menemukan titik harmonis.

i) Pembagian wilayah kerja pemasaran dari produsen.

j) Harga yang wajar, dengan perincian analisa biaya terhadap:

(59)

k) Harga bahan baku Asbuton

l) Biaya transportasi

m) Biaya pengolahan asbuton butir.

Selain kelemahan yang sudah disebutkan sebelumnya, pada beberapa kasus dijumpai kekurangpahaman pengguna Asbuton terhadap teknologi yang akan diterapkan. Disamping permasalahan tersebut, quality control dan quality assurance memang belum diimplementasikan secara optimal. Hal ini mengakitbatkan Asbuton di dalam lapisan beraspal ”dituduh” sebagai penyebab kerusakan dini.

2.6 Cold Paving Hotmix Asbuton (CPHMA)

CPHMA (Cold Paving Hot Mix Asbuton) adalah adalah campuran beraspal yang mengandung Asbuton dan bahan tambah lain, yang sudah dicampur dengan baik di pabrik dan dipasarkan dalam keadaan siap dihampar dan dipadatkan. Sebagai lapis permukaan, penghamparan CPHMA harus dilaksanakan di atas permukaan jalan lama atau lapis pondasi yang telah disiapkan.CPHMA yang dapat dipadatkan secara dingin memungkinkan untuk CPHMA dapat disimpan dalam bentuk kemasan 25 kg. Aplikasi CPHMA diperuntukkan untuk lapis permukaan perkerasan untuk jalan bervolume lalulintas rendah (volume lalulintas kurang atau sama dengan 500 SMP/hari) dengan ekivalen beban sumbu kendaraan kurang dari atau sama dengan 1.000.000 ESA. Produk CPHMA dapat digunakan sebagai lapis perata ataupun lapis permukaan dan dapat dihampar lebih

(60)

dari 1 lapis.

2.6.1 Bahan CPHMA

CPHMA memiliki gradasi campuran agregat yang diatur dalam spesifikasi sesuai pada Tabel 2. 9.

Tabel 2.4 Gradasi Agregat CPHMA

No

Ukuran ayakan

% Berat yang Lolos terhadap Total Agregat

ASTM (mm)

1 ¾’’ 19 100

2 ½’ 12.5 90 – 100

3 3/8’’ 9.5 -

4 No.4 4.75 45 – 70

5 No.8 2.36 25 – 55

6 No.50 0.300 5 – 20

7 No.200 0.075 2 – 9

Sumber: Ditjen Bina Marga (2018)

2.6.2 Sifat Campuran CPHMA

Sifat campuran CPHMA dipadatkan dengan alat pemadat Marshall sebanyak 2x75 tumbukan pada temperatur udara (sekitar 30°C).

Persayaratan campuran CPHMA mengacu pada pedoman pelaksanaan

(61)

CPHMA (2015) yang tertuang pada tabel berikut:

Tabel 2.5 Persyaratan Sifat Campuran CPHMA

Sifat campuran CPHMA CPHMA Padat

Jumlah tumbukan per bidang 75

Rongga dalam campuran (%) Min. 4

Maks. 10

Rongga dalam agregat (VMA) % Min. 16

Rongga terisi aspal (%) Min. 60

Stabilitas Marshall (kg), temperature udara Min. 500 Stabilitas sisa (%) setelah perendaman

selama 24, temperature udara

Min 60

Sumber: Ditjen Bina Marga (2018)

Pada campuran CPHMA persyaratan kadar dan sifat aspal dalam campuran diatur seperti pada Tabel 2. 11.

Tabel 2.6 Persyaratan Kadar dan Sifat Aspal dalam CPHMA No Kadar dan sifat aspal dalam

campuran

Standar Persyaratan

(62)

1

Kadar aspal dalam campuran; %

SNI 03 – 3640 – 1994

6-8 2 Karakteristik Bitumen Hasil Esktrkasi

- Penetrasi aspal pada temperatur 25°C, 100g, 5 detik: mm

SNI 2456:

2011

Minimum 100 No Kadar dan sifat aspal dalam

campuran Standar Persyaratan

- Titik lembek °c

SNI 2434:

2011 Minimum 40 - Daktilitas pada 25°C, 5 cm/menit ;

cm

SNI 2432:

2011

Minimum 100

Sumber: Ditjen Bina Marga (2018)

2.7 Karet Alam (Lateks)

Lateks merupakan suatu system kolod dimana terdapat partikel karet yang dilapis oleh protein dan fosofolipid yang terdispersi didalam serum.

Lateks terdiri dari 25-45% hidrokarbon karet selebihnya merupakan bahan- bahan bukan karet komposisi karet bervariasi tergantung jenis klon, umur tanaman, iklim, sistemderes, dan kondisi tanah.

Lateks didefinisikan sebagai getah kental yang diperoleh dari pohon yang disadap. Lateks sangat cocok digunakan untuk campuran aspal karena dapat meningkatkan kekentalan pada cairan aspal sehingga aspal lebih kuat terhadap deformasi, karena lateks memiliki daya tahan terhadap

(63)

eleastisitas yang tinggi. Putri (2019), menyimpulkan bahwa kinerja campuran aspal dapat ditingkatkan melalui modifikasi sifat aspal seperti penambahan bahan seperti limbah karet yang dapat meningkatkan elastisitas aspal, dan juga limbah karet dapat meningkatkan daya tahan aspal, meningkatkan kinerja dampak serta isolasi dan sebagainya.

Beberapa ketentuan yang harus dimiliki oleh Lateks yang baik, yaitu (Amal, 2011):

a. Mempunyai kadar karet kering dari 20%-28%.

b. Sebaiknya lateks tidak bersatu bersama bubur lateks, air maupun serum lateks.

c. Lateks sebaiknya memiliki bau karet segar.

d. Tidak ditemukan kotoran pada lateks.

Agar pembuatan aspal karet dapat digunakan dengan efektif. Maka bahan yang ditambahkan dengan aspal harus mempunyai sifat-sifat sebagai berikut (Amal, 2011):

a. Sifat baik dari aspal semula harus dipertahankan, seperti pada saat penyimpanan, pengeringan, d

Gambar

Gambar  4.7  Diagram  hubungan  variasi  Lateks  10%  dengan  variasi  perendaman terhadap MQ ............................................
Gambar 4.17 Diagram hubungan variasi Lateks 20% dengan variasi  perendaman terhadap flow ...........................................
Tabel 2.4 Gradasi Agregat CPHMA
Gambar 3.1. diagram flowchart A
+7

Referensi

Dokumen terkait

Effect of Aging on Mechanical Properties of Natural Rubber Latex Products Filled with Alkanolamide- Modified Cassava Peel Waste Powder

Effect of Drying Time on Mechanical Properties of Natural Rubber Products Filled with Modified Kaolin Prepared From Latex Dipping4. Hamidah Harahap 1, a* , Elmer Surya 2,b ,

Although most of plywood samples of Red meranti could pass the Exterior grade plywood standard, an addition of 10% phenol formaldehyde (PF) in NR latex- styrene would

Hasil penelitian menunjukkan bahwa torsi maksimum (S ), torsi minimum (S ), dan max min perbedaan torsi (S -S ) pada kompon karet max min alam dengan bahan pengisi

Pada penelitian ini dilakukan pencangkokan Anhidrid Maleat pada Karet Alam Siklis dalam fase leleh (molten state) di dalam pencampur internal pada suhu 150 o C

UNIVERSITI TEKNOLOGI MARA EFFECT OF NANOPOLYACRYLATE AND NATURAL RUBBER LATEX ON ASPHALT BINDER AND MIXTURE PERFORMANCE EKARIZAN BT SHAFFIE Thesis submitted in fulfillment of