BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Uraian Tentang Eigendom Verponding
Dahulu sebelum Undang-undang pokok agrarian diberlakukan, hak milik (khususnya yang tunduk pada hukum barat) penyebutannya lebih sering menggunakan Bahasa Belanda yang berarti Eigendom atau hak milik. Hal ini sesuai dengan dasar hukum pengaturannya yang bersumber dari hukum Belanda,yakni Burgelijk Wetboek (BW), tepatnya dalam buku II Bab 3. Definisi hak Eigendom sendiri terdapat dalam Pasal 570 BW yang menentukan bahwa Hak milik adalah hak untuk menikmati suatu barang secara lebih leluasa dan untuk berbuat terhadap barang itu secara bebas sepenuhnya, asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh kuasa yang berwenang dan asal tidak mengganggu hak-hak orang lain; kesemuanya itu tidak mengurangi kemungkinan pencabutan hak demi kepentingan umum dan penggantian kerugian yang pantas, berdasarkan ketentuan-ketentuan perundang- undangan
.
Istilah Verponding dalam Undang-Undang Nomor 72 Tahun 1958 tentang Pajak Verponding Untuk Tahun 1957 dan Berikutnya digunakan untuk menyebut salah satu jenis pajak yang dikenakan terhadap benda-benda tetap (tanah). Selain
itu, dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 2082 K/Pdt/2013 istilah Eigendom Verponding digunakan untuk menunjuk suatu hak milik terhadap suatu tanah.1
Pada masa Eigendom Verponding, golongan pribumi menggunakan hukum adat sehingga pada saat itu terdapat dualisme hukum kepemilikan tanah, yakni Hukum Tanah Barat dan Hukum Tanah Adat. Pemberlakuan konversi terhadap hak-hak barat dilakukan dengan pemberian batas jangka waktu sampai 20 tahun sejak pemberlakuan UUPA. Artinya, mensyaratkan terhadap hak atas tanah eigendom, Erfpacht, Opstal,dan sebagainya dilakukan konversi menjadi hak milik selambat-lambatnya tanggal 24 September 1980.2
1. Hak Eigendom (Recht van Eigendom)
Dalam pasal 570 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menyebutkan bahwa hak eigendom adalah hak untuk menikmati suatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bertentangan dengan undang-undanga atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak orang lain, kesemuanya itu tidak mengurangi akan pencabutan atas kebenda hak itu demi kepentingan umum berdasarkan atas ketentuan Undang-Undang dan dengan pembayaran ganti rugi.
1 Parlindunga A.P, Konversi Hak-Hak Atas Tanah. (Bandung: Mandar Maju 1991), hlm
1.
2 Yamin Lubis et.al. Hukum Pendaftaran Tanah. (Bandung: Mandar Maju, 2008), hlm
218.
2. Hak Erfpacht (Recht van Erfpacht)
Hak Erfacht, menurut Pasal 720 KUHPerdata adalah suatu hak kebendaan untuk menikmati sepenuhnya akan kegunaan suatu barang tak bergerak milik orang lain, dengan kewajiban akan membayar upeti tahunan kepada sipemilik sebagai pengakuan akan kepemilikannya, baik berupa uang maupun pendapatan lainnya.Disebutkan di dalamnya pula bahwa pemegang erfpacht mempunyai hak untuk mengusahakan dan merasakan hasil benda itu dengan penuh. Hak ini bersifat turun-temurun, banyak diminta untuk keperluan pertanian. Di Jawa dan Madura, hak erfpacht diberikan untuk pertanian besar, tempat-tempat kediaman di pedalaman, perkebunan, dan pertanian kecil. Sedangkan di daerah luar Jawa hanya untuk pertanian besar, perkebunan, dan pertanian kecil.
3. Hak Opstal (Recht van Opstal)
Hak Opstal adalah suatu hak kebendaan (zakelijk recht) untuk mempunyai rumah-rumah, bangunan-bangunan dan tanaman diatas tanah milik orang lain. Hak Opstal menurut Pasal 711 KUHPerdata merupakan hak numpang karang yaitu suatu hak kebendaan untuk mempunyai gedung-gedung, bangunan-bangunan dan penanaman diatas pekarangan orang lain.
Pada Tahun 1960 semua jenis hak atas tanah termasuk hak eigendom bukan dihapus,namun di ubah atau dikonversi menjadi jenis-jenis hak atas tanah tertentu, dengan suatu persyaratan tertentu yang harus dipenuhi. Misalnya, hak eigendom
menjadi hak milik, hak erfpacht menjadi hak guna usaha, hak opstal menjadi hak guna bangunan.3
Kaidah-kaidah pengaturan tanah hak barat bukanlah hanya hukum Belanda kuno dan hukum perdata (BW) saja, tetapi juga hukum administrasi.Hukum tanah barat yang berupa hukum tanah administratif adalah peraturan yang memberi wewenang kepada penguasa/Pemerintah kolonial Belanda untuk melaksanakan politik pertanahannya, yang diwujudkan dalam Agrarische Wet 1870 sebagai ketentuan dasar, dengan peraturan pelaksanannya yakni Agrarische Besluit (Staatsblad Nomor 118 tahun 1870)
yang mana dalam pasal 1 diatur tentang domeinverklaring yang intinya menyatakan bahwa semua tanah-tanah yang tidak dapat dibuktikan hak eigendomnya adalah milik Negara. Domeinverklaring menyimpulkan bahwa tanah di sini bukanlah merupakan bagian dari hukum publik melainkan hukum perdata, dimana Negara boleh mempunyai hak milik atas tanah dan bahkan hak milik Negara ini justru diutamakan.4
3 Ibid: hlm 221.
4 Prof Aminuddin et.al, Hukum Agraria, ( Makassar: AS Publish, 2011), hlm 34.
B. Tinjauan Kepemilikan Hak Atas Tanah 1. Hak-hak Atas Tanah
Hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegang haknya untuk menggunakan tanah dan/atau mengambil manfaat dari tanah yang dihendakinya. Perkataan “menggunakan” mengandung pengertian bahwa hak atas tanah itu digunakan untuk kepentingan bangunan (non-pertanian), sedangkan perkataan “mengambil manfaat” mengandung pengertian bahwa hak atas tanah itu digunakan untuk kepentingan pertanian, perikanan, peternakan, dan perkebunan.
Dasar hukum pemberi hak atas tanah kepada perseorangan atau badan hukum dimuat dalam pasal 4 ayat (1) UUPA, yaitu:
Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan- badan hukum.5
Konsep hak-hak atas tanah yang terdapat dalam Hukum Agraria Nasional membagi hak-hak atas tanah dalam dua bentuk. Yakni hak-hak atas tanah yang bersifat primer dan hak-hak atas tanah yang bersifat sekunder.
5 Ibid: hlm. 102
Pengertian hak-hak atas tanah bersifat primer adalah hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki atau dikuasai secara langsung oleh seorang atau badan hukum yang mempunyai waktu lama dan dapat dipindahtangankan kepada orang lain atau ahli warisnya.
Sedangkan pengertian hak-hak atas tanah yang bersifat sekunder adalah hak atas tanah yang berasal dari pihak lain.Macam-macam hak atas tanah ini adalah Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan, Hak Guna Bangunan atas Hak Milik, Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan, Hak Pakai atas tanah Hak Milik, Hak Sewa untuk Bangunan, Hak Gadai (Gadai Tanah), Hak Usaha Bagi Hasil (perjanjian Bagi Hasil), Hak Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian.6
Hak-hak atas tanah sebagaimana dikemukakan di atas dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Hak Milik
Hak milik menurut Pasal 20 ayat (1) UUPA adalah hak turun temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6. Turun-temurun artinya Hak Milik atas tanah dapat berlangsung terus selama pemiliknya masih hidup dan bila pemiliknya meninggal dunia, maka Hak Miliknya dapat dilanjutkan oleh warisnya sepanjang memenuhi syarat sebagai subjek Hak Milik. Terkuat artinya Hak Milik atas tanah lebih kuat bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain, tidak mempunyai
6 Supriadi, Hukum Agraria, (Jakarta: Sinar Grafika 2007),.hlm 64
batas waktu tertentu, mudah dipertahankan dari gangguan pihak lain,dan tidak mudah dihapus. Terpenuh artinya hak milik atas tanah memberi wewenang kepada pemiliknya paling luas bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain,dapat menjadi induk bagi hakatas tanah yang lain, tidak berinduk pada hakatas tanah yang lain,dan penggunaan tanahnya lebih luas bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain.7
b. Hak Guna Bangunan
Hak guna bangunan merupakan salah satu hak-hak atas tanah yang bersifat primer, selain Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Pakai atas tanah.Perkembangan HakGuna Bangunan merupakan hak primer yang mempunyai peranan penting kedua, setelah Hak Guna Usaha. Hal ini disebabkan Hak Guna Bangunan merupakan pendukung sarana pembangunan perumahan yang sementara ini semakin berkembang dengan pesat.8
Dalam Pasal 35 UUPA dinyatakan bahwa: Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama tiga puluh tahun atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan-bangunannya, jangka waktu tersebut dalam ayat (1) dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun. Pasal 37 UUPA menegaskan
7 Urip Santoso, Hukum Agraria, (Jakarta: Prenada Media Group 2012), hlm 92
8 Supriadi, op.cit. hlm 116
bahwa “Hak guna Bangunan terjadi pada tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain”.9
Salah satu yang paling mendasar dalam pemberian Hak Guna Bangunan adalah menyangkut adanya kepastian hukum mengenai jangka waktu pemberiannya. Sehubungan dengan pemberian perpanjangan jangka waktu apabila Hak Guna Bangunan telah berakhir, maka Hak Guna Bangunan atas tanah Negara, atas permintaan pemegang haknya dapat diperpanjang atau diperbarui.
c. Hak Guna Usaha
Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu paling lama 25 tahun atau 35 tahun yang bila diperlukan masih dapat diperpanjang lagi dengan 25 tahun, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan, luasnya paling sedikit 5 hektar (Pasal 28 ayat 1,2 dan Pasal 29 UUPA).10
Menurut pasal 28 ayat (1) UUPA, yang dimaksud dengan Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam Pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan, atau peternakan. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 menambahkan guna perusahaan perkebunan Luas tanah Hak Guna Usaha adalah untuk perseorangan luas minimal 5 hektar dan luas maksimalnya 25
9 Urip Santoso, op.cit. hlm 109
10 K. Wantjik Saleh, Hak anda atas tanah, (Jakarta: Ghalia Indonesia 1985). hlm 38
hektar. Adapun untuk badan hukum luas minimalnya 5 hektar dan luas maksimalnya ditetapkan oleh Kepala Badan Pertahanan Nasional.
d. Hak Pakai
Menurut Pasal 41 ayat (1) UUPA yang dimaksud dengan Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan miliki tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah.11
Berkaitan dengan jangka waktu Hak Pakai baik yang berasal dari tanah Negara dan tanah Hak Milik, maka khusus untuk Hak Pakai atas tanah
Hak Pengelolaan dapat diperpanjang atau diperbarui atas usul pemegang Hak Pengelolaan. Permohonan perpanjangan jangka waktu Hak Pakai pembaruan diajukan selambat-lambatnya dua tahun sebelum berakhirnya jangka waktu Hak Pakai tersebut.
Yang dapat mempunyai hak pakai adalah:
1. Warganegara Indonesia
2. Orang asing yang berdomisili di Indonesia
3. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
11 Prof Aminuddin et.al, op.cit hlm 132
berkedudukan di Indonesia
4. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilannya di Indonesia12 e. Hak Sewa Untuk Bangunan
Menurut Pasal 44 ayat 1 UUPA, seseorang atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah, apabila ia berhak mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai uang sewa. Hak Sewa Untuk Bangunan adalah hak yang dimiliki seseorang atau badan hukum untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah Hak Milik orang lain dengan membayar sejumlah uang sewa tertentu dan dalam jangka waktu tertentu yang disepakati oleh pemilik tanah dengan pemegang Hak Sewa Untuk Bangunan. Objek Hak Sewa Untuk Bangunan adalah hak milik dan objek yang disewakan oleh pemilik tanah kepada pihak lain (pemegang Hak Sewa Bangunan) adalah tanah bukan bangunan.
Menurut Pasal 45 UUPA, yang yang dapat mempunyai Hak Sewa Untuk Bangunan yaitu:
1. Warga Negara Indonesia (WNI)
2. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia
12 Bachsan Mustafa, Hukum Agraria dalam Perspektif , (bandung: remaja karya, 1984).
hlm 42
3. Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
4. Badan Hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
f. Hak Atas Tanah yang Bersifat Sementara
Hak-hak atas tanah ini diatur dalam UUPA dan diberi sifat sementara, dalam waktu yang singkat diusahakan akan dihapus dikarenakan mengandung sifat-sifat pemerasan dan bertentangan dengan jiwa UUPA. Kenyataannya sampai saat ini tidak dapat dihapuskan dan yang dapat dilakukan adalah mengurangi sifat-sifat pemerasan.
2. Bukti Kepemilikan Hak Atas Tanah
Dalam rangka pemberian jaminan kepastian hukum, kepada yang mendaftarkan tanahnya akan diberikan satu dokumen tanda bukti hak yang berfungsi sebagai alat pembuktian yang kuat. Dalam ketentuan Hukum Tanah Nasional dalam hal ini Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah hanya sertipikat hak atas tanah yang diakui secara hukum sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah yang menjamin kepastian hukum dan dilindungi oleh hukum. Penerbitan sertipikat dan diberikan kepada yang berhak dimaksudkan agar pemegang hak dapat dengan mudah membuktikan haknya.13 a. Sertifikat
13 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta, Djambatan, 2003), hlm 482
Salah satu tujuan pendaftaran tanah sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang PendaftaranTanah adalah untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun, dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan. Untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum, kepada pemegang hak yang bersangkutan diberikan sertifikat hak atas tanah.
Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kalinya menghasilkan surat tanda bukti hak, yang berupa sertifikat. Pegertian sertifikat menurut Pasal 1 angka 20 Peraturan Pemeritah Nomor 24 Tahun 1997 ialah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun, dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan.14
Dalam hal pembuktian hak atas tanah, sertifikat tanah berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan. Hal ini berarti
14 Ali Achmad Chomzah. Hukum Pertanahan-I Pemberian Hak Atas Tanah Negara dan
Seri Hukum Pertanahan II- Sertifikat dan Permasalahannya. (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2002).
hlm 123
bahwa selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya, maka data fisik dan data yuridis yang tercantum di dalam sertifikat harus diterima sebagai data yang benar, baik dalam melakukan perbuatan hukum sehari-hari maupun dalam berperkara di pengadilan.15
b) Alas Hak
Alas Hak adalah merupakan alat bukti dasar seseorang dalam membuktikan hubungan hukum antara dirinya dengan hak yang melekat atas tanah. Oleh karenanya sebuah alas hak harus mampu menjabarkan kaitan hukum antara subjek hak (individu atau badan hukum) dengan suatu objek hak (satu atau beberapa bidang tanah) yang ia kuasai. Artinya dalam sebuah alas hak sudah seharusnya dapat menceritakan secara lugas, jelas dan tegas tentang detail kronologis bagaimana seseorang dapat menguasai
suatu bidang tanah sehingga jelas riwayat atas kepemilikan terhadap tanah tersebut.
Apabila Anda mempunyai tanah yang tidak bersertifikat maka untuk memeriksa tanah tersebut adalah benar dikuasai oleh pihak yang berwenang mengklaimnya haruslah diperiksa ada atau tidaknya dokumen-dokumen yang membuktikan penguasaan tersebut.
15 Marihot Pahala Siahaan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, (Jakarta: PT
Raja Grafindo, 2003), hlm. 163
C. Sistem Pewarisan Berdasarkan Hukum Adat, Islam, dan Perdata 1. Sistem Pewarisan Berdasarkan Hukum Adat
Dibawah ini ada tiga sistem Pewarisan menurut hukum Adat Indonesia yaitu:
a. Sistem Pewarisan Individual
Ciri Sistem Kewarisan Individual, ialah bahwa harta peninggalan itu terbagi- bagi pemilikannya kepada para waris, sebagaimana berlaku menurut KUHPerdata (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), dan Hukum Islam, begitu pula berlaku di lingkungan masyarakat adat seperti pada keluarga-keluarga Jawa, atau juga pada keluarga-keluarga Lampung yang patrilineal. umumnya sistem ini cenderung berlaku di kalangan masyarakat keluarga mandiri, yang tidak terikat kuat dengan hubungan kekerabatan. belakangan ini dikalangan masyarakat adat yang modern, di mana kekuasaan penghulu-penghulu adat sudah lemah, dan tidak ada lagi milik bersama, sistem ini banyak berlaku.16
b. Sistem Pewarisan Kolektif
Ciri sistem kewarisan kolektif, ialah bahwa harta peninggalan itu diwarisi / dikuasai oleh sekelompok waris dalam keadaan tidak terbagi-bagi, yang seolah- olah merupakan suatu badan hukum keluarga kerabat (badan hukum adat). Harta peninggalan itu di sebut hartou menyayanak di Lampung, dalam bentuk bidang tanah kebun atau sawah, atau rumah bersama (di Minangkabau-Gedung).17
c. Sistem Kewarisan Mayorat
16 I.G.N. Sugangga, Hukum Waris Adat, (Semarang: UNDIP, 1995), hlm. 11
17 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat,(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003),hlm. 16
Ciri sistem kewarisan mayorat, adalah bahwa harta peninggalan orangtua atau harta peninggalan leluhur kerabat tetap utuh tidak dibagi-bagi kepada para waris, melainkan dikuasai oleh anak tertua laki-laki(mayorat laki-laki) dilingkungan masyarakat patrilineal Lampung dan juga Bali, atau tetap dikuasai anak tertua perempuan (mayorat wanita)di lingkungan masyarakat matrilineal semendo di Sumatera Selatan dan Lampung.18
2. Sistem Pewarisan Berdasarkan Hukum Islam
Dalam sistem Pewarisan Hukum Islam, baik laki-laki maupun perempuan sama-sama dapat menjadi pewaris dan ahli waris dari harta warisan ibu, bapak dan kaum kerabatnya, dengan tidak mengadakan pembedaan dari segi usia dan asal- usul silsilah kekerabatan bagi ahli waris. Pembedaan kedua jenis ahli waris ini, terletak pada jumlah perolehan mereka masing- masing, yakni bagian seorang anak laki- laki sama besar dengan bagian dua orang anak perempuan.19
3. Sistem Pewarisan Berdasarkan Hukum perdata (KUHPerdata)
Sistem hukum pewarisan menurut KUHPerdata tidak membedakan antara anak laki-laki dan anak perempuan, antara suami dan isteri, mereka berhak semua mewaris, dan bagian anak laki-laki sama dengan bagian anak perempuan, bagian seorang isteri atau suami sama dengan bagian anak. Apabila dihubungkan dengan sistem keturunan, maka KUHPerdata menganut sistem keturunan bilateral, dimana
18Ibid: hlm. 28
19 Rachmadi Usman, Hukum Kewarisan Islam Dalam Dimensi KHI, ( Bandung: CV.
Mandar Maju, 2009), Cet. I Hlm.37.
setiap orang itu menghubungkan dirinya dengan keturunan ayah maupun ibunya, artinya ahli waris berhak mewaris dari ayah jika ayah meninggal dan berhak mewaris dari ibu jika ibu meninggal, berarti ini ada persamaan dengan hukum Islam.
Persamaannya apabila dihubungkan antara sistem hukum waris menurut Islam dengan sistem kewarisan menurut KUH Perdata, baik menurut KUH Perdata maupun menurut hukum kewarisan Islam sama-sama menganut sistem kewarisan individual, artinya sejak terbukanya waris (meninggalnya pewaris) harta warisan dapat dibagi-bagi pemilikannya antara ahli waris. Tiap ahli waris berhak menuntut bagian warisan yang menjadi haknya.20
20 Subekti, Pokok-pokok hukum perdata, (Jakarta: Intermasa, 1992), hlm. 11.