• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of ESTIMASI CADANGAN KARBON BAWAH PERMUKAAN LAHAN GAMBUT DI DESA CATUR RAHAYU KECAMATAN DENDANG KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "View of ESTIMASI CADANGAN KARBON BAWAH PERMUKAAN LAHAN GAMBUT DI DESA CATUR RAHAYU KECAMATAN DENDANG KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

http://jtsl.ub.ac.id 285

ESTIMASI CADANGAN KARBON BAWAH PERMUKAAN LAHAN GAMBUT DI DESA CATUR RAHAYU KECAMATAN DENDANG

KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

Estimation of Subsurface Carbon Stock of Peatlands in Catur Rahayu Village, Dendang District, East Tanjung Jabung Regency

Anggi Septian, Heri Junedi*, Agus Kurniawan Mastur

Jurusan Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Jambi Jalan Raya Jambi, 36136

*Penulis korespondensi: heri_junedi@unja.ac.id

Abstrak

Salah satu fungsi lahan gambut adalah sebagai fungsi hidrologi dan berperan penting dalam sistem biosfer sebagai sumber karbon pengendali sirkulasi CO2 dan berpengaruh besar terhadap keseimbangan karbon di atmosfer bumi. Penelitian ini bertujuan untuk memprediksi besarnya cadangan karbon bawah permukaan pada lahan gambut di Desa Catur Rahayu, Kecamatan Dendang, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode survey dengan skala peta 1:25.000.

Penentuan pengambilan sampel dilakukan pada grid yang dibuat tegak lurus dengan saluran drainase. Grid dibuat dengan jarak 500 m x 250 m. Parameter yang diamati sebagai data utama meliputi pengukuran lapangan, yaitu luas lahan (peta dasar), ketebalan gambut (pengeboran), tingkat dekomposisi gambut (metode Van Post), C organik (metode loss on ignition), dan bobot volume (ring sample). Perhitungan stok karbon dilakukan pada kedalaman setiap lapisan tingkat dekomposisi gambut dengan perhitungan berdasarkan pemodelan spasial sistem informasi geografis (SIG). Hasil pengukuran cadangan karbon di dalam tanah pada penelitian ini terkait dengan penggunaan kombinasi pengukuran langsung di lapangan, hasil laboratorium, dan perhitungan berbasis pemodelan spasial GIS. Pendugaan cadangan karbon penelitian lahan masyarakat di Desa Catur Rahayu, total cadangan karbon yang tersimpan adalah 1.514.495,57 t atau setara dengan 1.552,53 t ha-1.

Kata kunci : cadangan karbon, lahan gambut, pemodelan spasial, sistem informasi geografis

Abstract

One of the functions of peatlands is as a hydrological function and plays an important role in the biosphere system as a carbon source controlling CO2 circulation and has a major influence on the balance of carbon in the earth's atmosphere. This study aimed to predict the magnitude of subsurface carbon stocks in peatlands in Catur Rahayu Village, Dendang District, East Tanjung Jabung Regency, Jambi Province. This study was carried out using a survey method with a map scale of 1: 25,000. Determination of sampling was in a grid that was made perpendicular to the drainage channel. The grid was made with a distance of 500 m x 250 m. Parameters observed as the main data included field measurements, namely land area (base map), peat thickness (drilling), peat decomposition level (van post method), organic C (loss on ignition method), and bulk density (ring sample). Calculation of carbon stocks was carried out at a depth of each layer of peat decomposition level with calculations based on geographic information system (GIS) spatial modeling. The results of measuring carbon stocks in the soil in this study were related to using a combination of direct measurements in the field, laboratory results, and GIS spatial modeling-based calculations. The estimation of carbon stocks community land research in Catur Rahayu Village, the total carbon stock stored is 1,514,495.57 t, equivalent to 1,552.53 t ha-1.

Keywords : carbon stocks, geographic information system, peatlands, spatial modeling

(2)

http://jtsl.ub.ac.id 286 Pendahuluan

Lahan gambut terbentuk dari bahan organik di bawah kondisi lingkungan dengan permukaan air dan kelembaban yang tinggi yang terendam secara terus menerus sehingga dekomposisi bahan organik lebih lambat dari laju pembentukan gambut (Page dan Hooijer, 2016). Luas lahan gambut di Indonesia saat ini mencapai 13,43 juta ha. Luas lahan gambut di Provinsi Jambi yaitu 496.766 ha (termasuk tanah mineral bergambut), merupakan lahan terluas ketiga di pulau Sumatera (Anda et al., 2021).

Rawa gambut merupakan ekosistem yang penting pada sistem biosfer karena fungsinya terutama terkait dengan hidrologi, sumber karbon pengendali sirkulasi CO2, dan keanekaragaman hayati mengenai spesies pohon dan satwa liar dan berkontribusi pada mitigasi perubahan iklim, sehingga mengurangi pemanasan global (Sefidi et al., 2015; Subhan et al., 2020).

Lahan gambut yang alami atau utuh merupakan penyimpan karbon yang penting karena mampu menyerap karbon dalam jumlah besar.

Diperkirakan 500-700 Gt karbon organik secara global disimpan di lahan gambut meskipun lahan gambut (termasuk lahan gambut berhutan) hanya menempati sekitar 3% dari luas lahan secara global (Page et al., 2011). Penelitian lain menunjukkan bahwa lahan gambut tropis adalah kumpulan karbon terestrial penting yang menyimpan 40 hingga 90 Gt C (Yu et al., 2010).Sekitar93% karbon tersimpan di bawah permukaan tanah gambut organik (Saragi-Sasmito et al., 2019).

Meskipun lahan gambut tropis merupakan penyimpan karbon yang sangat besar, keberadaan gambut terancam akibat perubahan iklim dan gangguan antropogenik (Hernández-Delgado, 2015). Perubahan penggunaan lahan dan pengelolaan air dalam produksi kelapa sawit di Malaysia mengintensifkan degradasi gambut yang mempengaruhi emisi CO2 dari lahan gambut (Tonks et al., 2017). Penebangan hutan, alih fungsi lahan, pemukiman, kebakaran hutan, dan saluran drainase berdampak negatif terhadap ekosistem lahan gambut (Dohong et al., 2017). Lahan gambut yang terdegradasi akibat drainase secara global melepaskan lebih kurang 1,91 Gt CO2 per tahun (Leifeld dan Menichetti, 2018). Pembangunan bendungan di sepanjang saluran drainase akibat aktivitas manusia di Indonesia menyebabkan peningkatan laju dekomposisi gambut dan emisi CO2 (Leng et al., 2019). Penelitian lain menunjukkan bahwa drainase serta konversi lahan gambut menjadi perkebunan kelapa sawit telah mengubah

sebagian besar lahan gambut tropis dari penampung CO2 dalam tanah menjadi sumber penyumbang gas rumah kaca (GRK) di atmosfer (Leifeld et al., 2019).

Desa Catur Rahayu di Provinsi Jambi, merupakan areal yang memiliki lahan gambut yang cukup luas. Kurangnya pemahaman masyarakat tentang siklus Karbon di daerah ini menyebabkan semakin meluasnya penggunaan lahan gambut yang tidak dikelola dengan tepat. Penggunaan lahan sebagai perkebunan dan pembuatan saluran drainase yang kurang tepat mengakibatkan kebakaran lahan gambut. Dampak langsung dari kejadian ini adalah semakin menurunnya cadangan karbon atas permukaan (above ground carbon stocks) yang selanjutnya mempengaruhi kepada penyusutan cadangan karbon bawah permukaan (below ground carbon stocks). Sehubungan dengan besarnya peranan gambut sebagai penyimpan cadangan karbon dan sebagai sumber emisi CO2, pengukuran pendugaan cadangan karbon pada lahan gambut menjadi sangat penting. Data hasil pengukuran tersebut dapat digunakan sebagai tolok ukur untuk keberlanjutan sistem pengelolaan lahan gambut.

Bahan dan Metode

Penelitian dilaksanakan di Desa Catur Rahayu, Kecamatan Dendang, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi, berada pada koordinat 1°15'0"- 1°18'0" LS dan 103°51'0"- 103°55'30" BT.

Lokasi penelitian, sebelah Utara berbatasan dengan Desa Sido Mukti, sebelah Timur berbatasan dengan Desa Jati Mulyo dan Desa Koto Kandis, sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Teluk Dawan, sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Londerang. Lokasi penelitian pada lahan gambut milik masyarakat dengan luas ± 975,5 ha dan tidak termasuk dalam kawasan hutan dan areal konsesi perusahaan di Desa Catur Rahayu.

Penelitian menggunakan metode survey dengan skala peta 1 : 25.000. Titik pengamatan ditetapkan secara grid, tegak lurus terhadap saluran drainase.

Grid dibuat dengan jarak 500 m x 250 m, sehingga setiap titik pengamatan mewakili 12,5 ha. Jumlah titik pengamatan sebanyak 86 titik.

Parameter yang diamati langsung di lapangan yaitu, ketebalan atau kedalaman gambut (pemboran), tingkat kematangan gambut (metode Van Post), dan tinggi muka air tanah (sumur pantau). Data hasil pengukuran kedalaman gambut, kematangan gambut, dan tinggi muka air diinterpretasikan dalam bentuk peta dengan menggunakan Geostatistical analyst dengan

(3)

http://jtsl.ub.ac.id 287 menggunakan metode kriging yaitu model ordinary

dengan tipe semi variogram (kedalaman gambut dan kematangan gambut), sedangkan metode inverse distance weighting untuk analisis peta (tinggi muka air tanah). Satuan lahan homogen dibuat menggunakan hasil overlay atau tumpang tindih dari ketiga peta yang telah diinterpolasi. Hasil overlay diperoleh sebanyak 20 satuan lahan homogen.

Pengambilan sampel tanah dilakukan pada masing-masing tingkat kematangan gambut pewakil (fibrik, hemik, dan saprik) pada kedalaman 200 cm.

Sampel tanah terganggu untuk data C organik diambil menggunakan bor gambut dan sampel tanah utuh untuk data bobot volume diambil menggunakan metode ring sample dengan ukuran diameter 8 cm dan tinggi 10,8 cm. Kedua sampel diambil berdasarkan Satuan Lahan Homogen.

Analisis kandungan C organik menggunakan metode loss on ignition dan bobot volume dengan

metode gravimetri. Berdasarkan naskah Peta Tanah Semi Detail pada Skala 1:50.000 jenis tanah di Desa Catur Rahayu, Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi didominasi oleh tanah Organosol. Penggunaan lahan di Desa Catur Rahayu selain pemukiman yang dominan adalah perkebunan sawit, pinang, dan semak belukar.

Menurut hasil wawancara dengan masyarakat setempat, pada tahun 1980-2005 merupakan hamparan lahan pertanian seperti tanaman nanas, sayur-sayuran dan palawija. Namun sejak 2005, hamparan tersebut berubah menjadi perkebunan sawit dan tanaman pinang yang menjadi sumber pendapatan utama.

Data yang dianalisis di laboratorium yaitu bobot volume (metode gravimetri), bahan organik (metode loss on ignition). Perhitungan bobot volume, kandungan bahan organik, dan C organik menggunakan rumus yang disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Analisis laboratorium

Analisis Rumus

Bobot Volume (BV) BV= ( )

( )

(1)

Bahan Organik (BO) BO = ( ) ( ) ( )x 100% (2)

C organik C organik = (%)

,!"#

(3)

Cadangan karbon bawah permukaan dihitung dengan menggunakan persamaan (Wahyunto et al., 2005) yaitu :

Cadangan Karbon = A x B x C x D (4) Keterangan:

A = Luas Lahan (m2)

B = Berat Volume (g cm-3 atau t m-3) C = Kadar Karbon (C organik) dalam

persen (%) D = Kedalaman (m)

Perhitungan cadangan karbon dilakukan pada setiap kedalaman lapisan tingkat kematangan gambut dengan perhitungan berbasis permodelan spasial GIS. Perhitungan cadangan karbon berdasarkan kedalaman gambut pada setiap lapisan tingkat kematangan gambut (saprik, hemik, fibrik) dengan menggunakan Softwere pengelolaan data spasial. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif, untuk memperoleh hasil estimasi cadangan karbon bawah permukaan pada lahan gambut. Data yang diperoleh baik pengukuran

langsung di lapangan maupun hasil analisis di laboratorium disajikan dalam bentuk peta dan tabel.

Hasil dan Pembahasan Karakteristik gambut

Karakteristik gambut yang diamati pada penelitian adalah kedalaman gambut, tingkat kematangan gambut, dan tinggi muka air gambut.

Kedalaman gambut

Data hasil pengukuran kedalaman gambut di lokasi penelitian menunjukkan bahwa terdapat 5 kelas kedalaman gambut yaitu bergambut (<50 cm), gambut dangkal (50-100 cm), gambut sedang (100- 200 cm), gambut dalam (200-300 cm), dan gambut sangat dalam (>300 cm) (Gambar 1). Berdasarkan data dan pengamatan sebaran kedalaman gambut di lokasi penelitian memiliki luasan yang bervariasi yaitu bergambut (±132,87 ha), gambut dangkal (182,09 ha), gambut sedang (201,03 ha), gambut dalam (155,12 ha), dan gambut sangat dalam (304,42 ha).

(4)

http://jtsl.ub.ac.id 288 Gambar 1. Peta sebaran kedalaman gambut.

Gambut di lokasi penelitian memiliki pola gambut semakin dalam atau semakin tebal, apabila menjauhi saluran primer. Saluran primer merupakan saluran yang berada pada posisi terdekat ke sungai bila dibandingkan dengan saluran sekunder dan tersier.

Artinya, gambut di Desa Catur Rahayu memiliki pola kedalaman yang semakin dalam seiring dengan bertambahnya jarak dari sungai atau saluran primer.

Berdasarkan hasil penelitian Rossie et al. (2012) menunjukan bahwa lahan gambut cenderung memiliki perbedaan kedalaman disetiap daerah. Hal ini disebabkan oleh perbedaan dari jarak sungai atau laut, yaitu semakin jauh dari sungai maka gambut cenderung semakin tebal. Menurut penelitian Adji et al. (2019) mengenai pengaruh jarak saluran drainase terhadap karakteristik gambut, bahwa kedalaman gambut hutan alam akan lebih tebal dibandingkan dengan lahan yang sudah dikonversi menjadi lahan perkebunan. Kondisi ini dipengaruhi oleh adanya pembuatan drainase, pengelolaan lahan, dan penggunaannya.

Tinggi muka air tanah

Tinggi muka air tanah sesaat diukur secara langsung setelah dilakukan pengeboran pada setiap titik pengamatan. Hasil pengukuran tinggi muka air tanah diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu

<-40 cm dan >-40 cm. Hasil pengukuran tinggi

muka air diinterpolasi menjadi peta Tinggi Muka Air Tanah (Gambar 2). Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa ketinggian muka air tanah sesaat pada saat penelitian menggambarkan sebaran TMAT≥-40 cm lebih mendominasi dibanding TMAT≤-40 cm. TMAT≥-40 cm mendominasi dengan luas ±760 ha sedangkan TMAT<-40 cm dengan luas ±215 ha. Curah hujan sangat mempengaruhi tinggi muka air. Penelitian dilakukan pada saat musim kemarau yaitu pada bulan Juni 2022.

Hasil penelitian Julita et al. (2019) menyatakan bahwa jumlah curah hujan kumulatif berhubungan secara linear dengan tinggi muka air tanah, karena apabila pada musim hujan kondisi saluran dan sungai akan tinggi. Sehingga secara tidak langsung curah hujan berpengaruh terhadap perubahan TMAT gambut.

Tingkat kematangan gambut

Hasil tingkat kematangan gambut diklasifikasikan dalam 3 tingkat kematangan atau dokomposisi yaitu fibrik, hemik, dan saprik. Data hasil pengamatan dianalisis pada setiap titik. Setiap titik pengamatan dilakukan pengambilan data kematangan hingga 200 cm, selanjutnya hasil data pengamatan kematangan yang digunakan untuk interpolasi data yaitu data kematangan dominan (Gambar 3).

(5)

http://jtsl.ub.ac.id 289 Gambar 2. Peta sebaran tinggi muka air tanah.

Gambar 1. Peta sebaran tingkat kematangan gambut.

(6)

http://jtsl.ub.ac.id 290 Peta sebaran kematangan gambut menunjukkan

bahwa tingkat kematangan gambut pada lokasi penelitian di dominasi oleh tingkat kematangan hemik. Tingkat kematangan hemik mendominasi dengan luas berkisar ±682,24 ha, tingkat kematangan saprik ±114,79 ha, dan tingkat kematangan fibrik ±178,47 ha dan sisanya merupakan hamparan tanah mineral. Kedalaman gambut dapat mempengaruhi tingkat kematangan gambut, sehingga gambut yang dangkal memiliki tingkat kematangan yang lebih matang dibandingkan gambut yang lebih dalam. Hasil penelitian Rossie et al. (2012) menunjukkan bahwa perbedaan ketebalan lapisan gambut merupakan gambaran proses dekomposisi yang dipengaruhi oleh bahan induk, iklim, waktu, dan topografi.

Selain kedalaman gambut, tinggi muka air tanah juga mempengaruhi tingkat kematangan gambut.

Menurut Page et al. (2011), penurunan muka air tanah meningkatkan kadar oksigen yang akan mempercepat laju dekomposisi bahan organik dan penyusun gambut sehingga mempengaruhi tingkat kematangan gambut. Kematangan gambut secara langsung mempengaruhi nilai BV, C organik, dan kadar air tanah gambut (Junedi et al., 2017).

Sifat fisik gambut Bobot volume

Bobot volume dipengaruhi oleh tingkat kematangan gambut. Pengaruh dari proses dekomposisi yang lebih lanjut akan mengakibatkan pemadatan sehingga menyebabkan meningkatnya bobot volume pada tanah gambut (Susandi et al., 2015). Bobot volume pada gambut saprik umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan gambut fibrik dam hemik. Bobot volume dapat tergambarkan dengan daya menahan beban tanah gambut. Gambut yang relatif lebih matang umumnya lebih padat sehingga daya menahan bebannya menjadi lebih tinggi. Gambut yang lebih padat umumnya memiliki nilai bobot volume yang lebih tinggi (Suwondo et al., 2012). Hasil penelitian menunjukan bahwa bobot volume di pengaruhi oleh tingkat kematangan gambut. Bobot volume rata-rata adalah bobot volume beberapa sampel yang mewakili kematangan masing-masing. Bobot volume rata-rata pada penelitian ini menunjukkan bahwa gambut saprik memiliki bobot volume yang lebih tinggi (0,19 g cm-³) dibandingkan dengan

bobot volume pada kematangan hemik (0,11 g cm-³) dan fibrik (0,10 g cm-³). Nilai tersebut

mendekati hasil penelitian Yuniawati dan Sona (2013) gambut dengan kandungan bahan organik

≥65% (≥38% C organik) memiliki bobot volume untuk gambut fibrik 0,11-0,12 g cm-³, hemik 0,14- 0,16 g cm-³, dan saprik 0,18-0,21 g cm-³. Bobot volume gambut pada umumnya berkisar 0,052- 0,399 g cm-³.

C organik

Gambut yang belum matang memiliki kandungan bahan organik yang lebih tinggi karena proses dekomposisi belum sepenuhnya terjadi. Sebaliknya gambut yang matang memiliki kandungan bahan organik yang lebih rendah karena proses dekomposisi sudah lebih lanjut dari gambut yang belum matang. Kandungan C organik pada penelitian ini menunjukan nilai pada kematangan fibrik lebih besar karena pada kondisi kematangan fibrik kandungan bahan organik yang sangat tinggi dengan tekstur tanah yang masih kasar karena kandungan serasah. Nilai C organik pada peneltian ini yaitu saprik 49,27%, hemik 54,82%, dan fibrik 56,65 %. Nilai tersebut tidak berbeda jauh dengan penelitian yang dilakukan Sitinjak (2020) mengenai estimasi cadangan karbon bawah permukaan pada lahan nenas, menunjukkan bahwa kandungan C organik pada tingkat kematangan fibrik 53,87%, hemik 50,93%, dan saprik 48,40%.

Cadangan karbon

Hasil pengukuran menunjukkan bahwa setiap kedalaman gambut memiliki cadangan karbon yang berbeda. Perbedaan kandungan karbon disebabkan oleh besarnya bobot volume tanah dan kandungan C organik tanah yang dihasilkan berbeda pada setiap kedalaman tergantung tingkat kematangannya. Kedalaman gambut sangat mempengaruhi besarnya cadangan karbon pada lahan gambut. Semakin dalam gambut maka semakin tinggi nilai cadangan karbon yang tersimpan didalamnya. Gambut yang lebih dalam membuat vegetasi gambut tumbuh optimal karena tanaman tersebut memiliki tinggi tingkat adaptasi.

Hasil ini sejalan dengan penelitian Suharnoto et al.

(2022) bahwa ada hubungan yang kuat antara kedalaman gambut dan cadangan karbon gambut.

Selain itu, tingkat kematangan gambut juga mempengaruhi besar cadangan karbon tanah gambut, semakin tinggi tingkat kematangan gambut, maka cadangan karbon per satuan volume gambut menjadi semakin tinggi. Menururt Dariah et al. (2009) besarnya karbon tersimpan dalam tanah gambut sangat dipengaruhi oleh ketebalan dan kematangan tanah gambut, serta kadar abu yang menentukan besarnya simpanan karbon dalam tanah gambut. Nilai bobot volume dan C organik

(7)

http://jtsl.ub.ac.id 291 sebagai indikator perhitungan cadangan karbon

tanah gambut dipengaruhi oleh tingkat kematangan gambut. Hasil perhitungan estimasi cadangan karbon di area penelitian lahan masyarakat di Desa

Catur Rahayu, total cadangan karbon yang tersimpan dalam luasan gambut ±975,5 ha adalah sebesar 1.514.495,57 ton atau setara 1.552,53 t ha-1. Peta sebaran gambut disajikan pada Gambar 4.

Gambar 2. Peta sebaran cadangan karbon.

Hasil perhitungan estimasi cadangan karbon ini sebanding dengan penelitian yang dilakukan oleh Prayitno et al. (2013) yang melakukan pendugaan cadangan karbon gambut pada lokasi agroekosistem kelapa sawit. Kondisi lahan sebelum merupakan lahan gambut terdegradasi akibat deforestasi dan kebakaran lahan dengan vegetasi semak belukar, rumput rawa dan tumbuhan pakisan. Penggunaan lahan saat ini adalah sebagai agroekosistem kelapa sawit, yaitu dengan cadangan karbon pada area penelitian berkisar dari 1.675,361 t ha-1 sampai 9.055,922 t ha-1. Tinggi nilai cadangan karbon adalah sangat ditentukan dari nilai bobot

volume dan kedalaman gambut pada masing- masing profil gambut. Perhitungan cadangan karbon berdasarkan tingkat kematangan gambut dengan berbasis permodelan spasial disajikan Tabel 2 yang menunjukkan bahwa cadangan karbon pada tingkat kematangan gambut tertinggi pada gambut fibrik yang memiliki cadangan karbon sebanyak 707.224,46 ton, sedangkan untuk tingkat kematangan hemik 416.837,15 ton dan saprik 390.433,95 ton. Faktor utama yang menyebabkan besarnya cadangan karbon pada lokasi penelitian adalah kedalaman gambut dan kandungan C organik.

Tabel 2. Cadangan karbon berdasarkan tingkat kematangan gambut.

Tingkat Kematangan

Volume Lapisan

(m3)

Nilai BV (t m-3)

C organik Pixel Total Cadangan Karbon

(ton)

Saprik 6.709,93 0,19 0,49 625 390.433,95

Hemik 11.023,79 0,11 0,55 625 416.837,15

Fibrik 19.851,91 0,10 0,57 625 707.224,47

Total 1.514.495,57

(8)

http://jtsl.ub.ac.id 292 Kedalaman gambut mempengaruhi volume total

pada pada lapisan tingkat kematangan gambut.

Tingginya kandungan C organik pada tingkat kematangan fibrik dibandingkan dengan tingkat kematangan hemik dan saprik diakibatkan C organik yang ada belum terdekomposisi lebih lanjut sehingga jumlahnya lebih tinggi. Sebaran cadangan karbon pada area penelitian selanjutnya dikelompokan berdasarkan beberapa zona pengelompokan dengan menggunakan zonal statistic as table dan kemudian diinterpretasikan dalam bentuk peta. Hal ini dilakukan agar dapat melihat jumlah cadangan karbon di area penelitian pada beberapa pengelompokan berdasarkan beberapa aspek pengelompokan. Sebaran cadangan karbon

dikelompokan berdasarkan penggunaan lahan, jenis tanah, kedalaman gambut, dan tinggi muka air tanah.

Sebaran cadangan karbon berdasarkan penggunaan lahan Penggunaan lahan pada area penelitian terbagi atas beberapa zona yaitu penggunaan lahan kelapa sawit, pinang, semak belukar dan sedikit pemukiman.

Gambar 5 menunjukkan bahwa pada area penggunaan lahan perkebunan kelapa sawit memiliki nilai cadangan karbon terbesar yaitu sebesar 1.290.464,55 ton, diikuti oleh lahan tanaman pinang yaitu 27.408,63 ton, semak belukar 194.910,12 ton, dan yang terkecil di lahan pemukiman 1.177,77 ton.

Gambar 5. Peta sebaran cadangan karbon pada penggunaan lahan.

Faktor yang menyebabkan besarnya cadangan karbon pada masing-masing penggunaan lahan adalah luasan lahan dimana perkebunan kelapa sawit milik masyarakat desa dengan luasan area sekitar 882,12 ha atau 90%, sedangkan untuk tanaman pinang 20,03 ha, semak belukar 72,08 ha, dan pemukiman 1,27 ha.

Sebaran cadangan karbon berdasarkan kedalaman gambut

Kedalaman gambut merupakan salah satu faktor yang menentukan besarnya cadangan karbon di

dalam tanah gambut. Berdasarkan peta sebaran cadangan karbon berdasarkan kedalaman gambut (Gambar 6) jumlah cadangan karbon akan semakin besar jumlahnya apabila pada kedalaman semakin dalam. Cadangan karbon pada gambut sangat dalam (>300 cm) memiliki jumlah tertinggi yaitu 889.470,13 ton dengan luas area sekitar 304,42 ha, kemudian diikuti untuk kedalaman gambut dalam (200-300 cm) yaitu 253.964,90 ton dengan luas area 155,12 ha, kedalaman gambut sedang (100-200 cm) yaitu 192.204,41 ton dengan luas area 201,03 ha, kedalaman gambut dangkal (50-100 cm) yaitu

(9)

http://jtsl.ub.ac.id 293 124.965,41 ton dengan luas area 182,09 ha, dan

kedalaman bergambut(<50 cm) yaitu 61.890,64 ton dengan luas area 132,87 ha. Menurut Gardesiasih et al. (2022), ketebalan gambut sangat menentukan karbon gambut karena ketebalan gambut yang lebih tinggi menunjukkan stok dan kerapatan karbon yang lebih luas.

Sebaran cadangan karbon berdasarkan TMAT

Tinggi muka air tanah sangat penting dalam ekosistem lahan gambut. Berdasarkan peta sebaran cadangan karbon pada tinggi muka air tanah (Gambar 7) yang diukur pada bulan Juni tahun 2022

(akhir musim kemarau), jumlah cadangan karbon pada area tinggi muka air tanah >-40 cm, jumlah cadangan karbon 1.260.672,24 ton dengan luas area 760 ha sedang cadangan karbon pada area tinggi muka air tanah <-40 cm adalah 253.823,33 ton dengan luas area sekitar 215,5 ha. Mengingat besarnya potensi cadangan karbon tersebut hal yang dapat dilakukan untuk menekan laju emisi ialah dengan melakukan restorasi hidrologi. Kegiatan restorasi hidrologi dilakukan dengan revegetasi tanaman asli. Kegiatan tersebut dilakukan setelah tata air di lahan gambut dibenahi seperti pembasahan gambut dan pembuatan sekat kanal.

Gambar 6. Peta sebaran cadangan karbon pada kedalaman gambut.

Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan dari hasil perhitungan estimasi cadangan karbon di area penelitian lahan masyarakat di Desa Catur Rahayu, total cadangan karbon yang tersimpan dalam luasan gambut ±975,5 ha adalah sebesar1.514.495,57 t atau setara 1.552,53 t ha-1. Cadangan karbon

tertinggi pada tingkat kematangan gambut fibrik dengan jumlah 707.224,46 t, diikuti tingkat kematangan hemik 416.837,15 t dan tingkat kematangan saprik 390.433,95 t. Nilai cadangan karbon terbesar pada lahan kelapa sawit yaitu sebesar 1.290.464,55 t, diikuti oleh lahan tanaman pinang 27.408,63 t, semak belukar 194.910,12 t, dan yang terkecil di lahan pemukiman 1.177,77 t.

(10)

http://jtsl.ub.ac.id 294 Gambar 7. Peta sebaran cadangan karbon pada tinggi muka air tanah.

Ucapan Terima Kasih

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Jambi atas bantuan dana penelitian melalui PKM PMB Universitas Jambi. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Kepala Desa Catur Rahayu atas fasilitas areal penelitian, serta Reza Tripura, M Ferry, dan Muhammad Riidho Muzammil atas bantuannya dalam kegiatan di lapangan

Daftar Pustaka

Adji, F.F., Damanik, Z., Teguh, R. dan Suastika, K.G.

2019. Pengaruh saluran drainase terhadap karakteristik lahan gambut pedalaman Kalimantan Tengah. Prosiding Seminar Nasional Lingkungan Lahan Basah 4(2):226-232.

Anda, M., Ritung, S., Suryani, E., Sukarman, Hikmat, M., Yatno, E., Mulyani, E., Subandiono, R., Suratman, and Husnain. 2021. Revisiting tropical peatlands in Indonesia: Semi-detailed mapping, extent and depth distribution assessment. Geoderma 402:115235, doi:10.1016/j.geoderma.2021.115235.

Dariah, A., Susanti, E., Surmaini, E. dan Agus, F. 2009.

Karbon tersimpan di lahan gambut dengan berbagai penggunaan di Kabupaten Kubu Raya dan Pontianak, Kalimantan Barat. Disampaikan pada Seminar Nasional Sumberdaya Lahan Pertanian.

Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian.

Badan Litbang Pertanian.

Dohong, A., Aziz, A.A. and Dargusch, P. 2017. A review of the drivers of tropical peatland degradation in South-East Asia. Land Use Policy 69:349-360, doi:10.1016/j.landusepol.2017.09.035.

Garsetiasih, R., Heriyanto, N.M., Adinugroho, W.C., Gunawan, H., Dharmawan, I.W.S., Sawitri, R., Yeny, I., Mindawati, N. and Denny. 2022. Connectivity of vegetation diversity, carbon stock, and peat depth in peatland ecosystems. Global Journal of Environmental Science and Management 8(3):1-20.

Hernández-Delgado, E.A. 2015. The emerging threats of climate change on tropical coastal ecosystem services, public health, local economies and livelihood sustainability of small islands: Cumulative impacts and synergies. Marine Pollution Bulletin 101:5-28.

Julita, Y.V., Sabiham, S., Pramudya, B. dan Las, I . 2019.

Identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi emisi karbon di lahan gambut tropis (Kasus pada Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten Siak.

Biospecies 12(2):20-27.

Junedi, H., Armanto, M.E., Bernas, S.M. dan Imanudin, M.I. 2017. Changes to some physical properties due to conversion of secondary forest of peat into oil palm plantation. Sriwijaya Journal of Environment 2(3):76-80.

Leifeld, J. and Menichetti, L. 2018. The under appreciated potential of peatlands in global climate change mitigation strategies. Nature

(11)

http://jtsl.ub.ac.id 295 Communocations 9:1071, doi:10.1038/s41467-018-

03406-6.

Leifeld, J., Wüst-Galley, C. and Page, S. 2019. Intact and managed peatland soils as a source and sink of GHGs from 1850 to 2100. Nature Climate Change 9:945-947.

Leng, L.Y., Ahmed, O.H. and Jalloh, M.B. 2019. Brief review on climate change and tropical peatlands.

Geoscience Frontiers 10:373-380, doi:10.1016/j.gsf.2017.12.018.

Page, S.E. and Hooijer, A. 2016. In the line of fire: the peatlands of Southeast Asia. Philosophical Transactions of the Royal Society B: Biological Sciences 371(1696):20150176.

Page, S.E., Rieley, J.O. and Banks, C.J. 2011. Global and regional importance of the tropical peatland Carbon Pool. Global Change Biology 17(2):798-818, doi:10.1111/j.1365-2486.2010.02279.x.

Prayitno, M.B., Sabaruddin, Setiawan, D. dan Yakup.

2013. Pendugaan cadangan karbon pada agroekosisitem kelapa sawit. Jurnal Agrista 17(3):83- 92.

Rossie, W.N., Sudarmaji, Djohan, T.S. dan Haryono, E.

2013. Kajian karbon dan hara tanah gambut akibat alih fungsi lahan gambut di Kalimantan Barat. Jurnal Pedon Tropikal 3:97-105.

Saragi-Sasmito, M.F., Murdiyarso, D., June, T. and Sasmito, S.D. 2019. Carbon stocks, emissions, and above ground productivity in restored secondary tropical peat swamp forests. Mitigation and Adaptatio Strategies for Global Change 24:521-533.

Sefidi, K., Copenheaver, C.A., Kakavand, M. and Behjou, F.K. 2015. Structural diversity within mature forests in Northern Iran: A case study from a relic population of persian ironwood (Parrotia persica CA Meyer). Forest Science 61(2):258-265, doi:10.5849/forsci.13-096.

Sitinjak, J.P. 2020. Estimasi cadangan karbon tanah gambut pada lahan nenas di Desa Tangkit Baru Kecamatan Sungai Gelam Kabupaten Muaro Jambi.

Jurusan Agroekoteknologi. Fakultas Pertanian.

Universitas Jambi. Jambi.

Subhan, E., Bunung, M.R. and Kornelis. 2020. Studi komperasi metode geolistik dengan bor tangan untuk estimasi cadangan karbon gambut. Jurnal Pertambangan 4(4):225-234.

Suharnoto, Y., Setiawan, B.I., Pribadi, A., Muslihat, L.

and Buchori, D. 2022. Assessments of underground carbon stocks in Merang-Kepahyang Peatlands, South Sumatra, Indonesia. Sustainability 14:5473, doi:10.3390/su14095473.

Susandi, S., Oksana, O. dan Arminudin, A.T. 2015.

Analisis sifat fisika tanah gambut pada hutan gambut di Kecamatan Tambang Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Jurnal Agroteknologi 5(2):23-28.

Suwondo, Sabiham, S., Sumardjo, Paramudya, B. 2012.

Efek pembukaan lahan terhadap karakteristik biofisik gambut pada perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Bengkalis. Jurnal Natur Indonesia 14(2):

143-149.

Tonks, A.J., Aplin, P., Beriro, D.J., Cooper, H., Evers, S., Vane, C.H. and Sjögersten, S. 2017. Impacts of conversion of tropical peat swampforest to oil palm plantation on peat organic chemistry, physical properties and carbon stocks. Geoderma 289:36-45, doi:10.1016/j.geoderma.2016.11.018.

Wahyunto, Ritung, S., Suparto, dan Subagjo, H. 2005.

Sebaran gambut dan kandungan karbon di Sumatera dan Kalimantan. Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia. Wetlands International- Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada.

Bogor.

Yu, Z., Loisel, J., Brosseau, D.P., Beilman, D.W. and Hunt, S.J. 2010. Global peatland dynamics since the last glacial maximum. Geophysical Research Letters 37, doi:10.1029/2010GL043584.

Yuniawati dan Sona, S. 2013. Peningkatan bobot isi tanah gambut akibat pemanenan kayu di lahan gambut. Jurnal Hutan Tropis 1(3):250-256.

Referensi

Dokumen terkait

The writer found a pattern of adjacency pairs in a home movie: preferred and dispreferred by investigating and analyze the home movie's transcript according to Levinson’s theory and the