• Tidak ada hasil yang ditemukan

etika berbicara perspektif al-qur'an dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "etika berbicara perspektif al-qur'an dan"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Rumusan Masalah

Tujuan

Manfaat

KERANGKA TEORITIK

Etika Berbicara

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi khazanah pengetahuan tentang etika berbicara dalam perspektif Al-Qur’an. Tafsir Ibnu Katsir mengartikannya sebagai perkataan yang baik, berupa perkataan dan doa yang baik bagi umat Islam (Ghoffar, 2004). Begitu pula dengan etika berbicara yang diatur dalam Al-Qur'an dan Hadits sebagai kaidah, prinsip atau etika komunikasi dalam Islam.

اميرك لاوق mengandung prinsip utama etika komunikasi Islam, yaitu saling menghormati dan komunikasi Islam harus menghormati orang lain. Sebagai umat Islam hendaknya kita berbicara dengan bahasa yang luhur dan menghindari penggunaan bahasa yang tidak senonoh seperti mengejek, mengolok-olok dan menyakiti perasaan orang lain (Ariani, 2016). Emosinya tenang, gembira dan gembira, jauh dari rasa cemas, karena tidak pernah menolak orang lain dengan kebohongan (A'yuni, 2018).

Hindari menggunakan kata-kata yang hanya akan menimbulkan kerugian, fitnah dan godaan kepada orang lain. Prinsip ini menjadi salah satu pedoman berkomunikasi dengan bahasa yang mudah dipahami dan meredakan emosi.

Redaksi Etika Berbicara dalam Al-Qur’an

Dalam keluarga, orang tua hendaknya menjaga cara berkomunikasi yang lembut dengan anak untuk menghindari kekerasan dan perilaku bermusuhan. Melalui komunikasi yang lembut, selain perasaan ramah yang akan merasuki hati anak, ia juga berusaha menjadi pendengar yang baik. Begitulah Islam mengajarkan kita cara berbicara atau berkomunikasi yang baik dan benar melalui ayat-ayatnya dan hadis Nabi ﷺ.

Era Digital

METODE PENELITIAN

  • Pendekatan dan Jenis Penelitian
  • Lokasi dan Waktu Penelitian
  • Sumber Data
  • Teknik Pengumpulan Data
  • Teknik Analisis Data

Quraish Shihab dalam Tafsir AL-Misbah, serta mengemukakan pemikirannya tentang etika bertutur dalam al-Quran dan menganalisis pelaksanaan etika. Terdapat empat ayat dalam tiga surah yang menyebut perkataan افورعم لاوق dalam al-Quran. Maka, janganlah kamu merendahkan suaramu (dengan berpura-pura lemah lembut) sehingga timbul nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya lalu berkata-kata yang baik. 2) Perspektif Tafsir Jalalain.

Maksudnya: Hendaklah manusia takut kepada orang-orang yang jika mereka (mati) meninggalkan anak-anak yang lemah (yang mereka bimbangkan). Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar. Seseorang yang mengeluarkan kata-kata yang boleh menyakiti orang lain menunjukkan bahawa orang itu mempunyai semangat yang tidak jujur.

Ada ayat yang menyebutkan kata اغيلب لاوق dalam Al-Qur'an yaitu ayat Q.S An-Nisa' 63. Dalam berbicara kita harus berpegang pada prinsip keluhuran budi yaitu perkataan yang memberikan penghargaan/hormat kepada lawan bicara kita. . /berkomunikasi dengan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Biografi Mufassir

Dilihat dari model tafsir, tafsir Jalalain cenderung mengetengahkan analisis linguistik atau nahwu dan sharraf, dari susunan kalimat dan asal kata, serta analisis tajwid dan qiraah atau tata cara membaca al-Quran. Berkaitan dengan al-Quran, penguasaan ilmu-ilmu tersebut merupakan prasyarat mutlak untuk dapat membaca dan memahami al-Quran dengan betul. Hubungan antara keduanya adalah guru dan murid, ketika Mahalli hanya mampu menulis separuh al-Quran ketika itu, as-Suyuthi meneruskan penyusunan kitab tafsir yang didahului oleh gurunya.

Selain pakar dalam bidang al-Quran, beliau juga pakar dalam bidang fiqh, tulisan tangan, nahwu dan manthiq. Selepas mentafsir surah terakhir, dia kembali ke muka surat pertama al-Quran dan mentafsir surah al-Fatihah. Sehingga kini Tafsir al-Qur'an al-Karim 10 bahagian ini masih menjadi bahan rujukan dalam dunia Islam.

Selain itu, ia juga menulis buku Fada'il Al-Qur'an (Prioritas Al-Qur'an) yang berisi rangkuman sejarah Al-Qur'an. Apalagi jika penafsiran Al-Qur'an tidak dapat dicapai dengan Al-Qur'an, maka Al-Qur'an harus ditafsirkan dengan hadis Nabi Muhammad SAW, karena menurut Al-Qur'an sendiri Nabi Muhammad SAW diperintahkan untuk menjelaskannya. . isi Alquran. Jika yang terakhir ini tidak dapat ditemukan, maka Al-Qur'an harus ditafsirkan menurut pendapat para sahabat, karena merekalah yang paling mengetahui konteks sosial di mana Al-Qur'an diturunkan.

Beliau kemudian melanjutkan pelajaran di fakulti yang sama, sehingga tahun 1969 beliau memperoleh ijazah MA dalam bidang kepakaran Tafsir al-Qur'an dengan gelaran al-I'jāz at-Tasyri' li al-Qur'ān al-Karīm. Ulasan ini ditulis dalam bahasa Indonesia dan mengandungi 30 juz ayat al-Quran, dibahagikan kepada 15 bahagian besar. Dengan itu beliau dapat meluaskan dan memasukkan keadaan sosial pada masa turunnya al-Quran dan pemahamannya.

Beliau menjelaskan ayat-ayat Al-Qur'an dengan editorial yang cermat dan kemudian menyusun isinya dengan editorial yang indah yang menonjolkan tuntunan Al-Qur'an dengan hukum alam yang terjadi di masyarakat. Penjelasan yang dijelaskan memperhatikan kata-kata atau ungkapan-ungkapan Al-Qur'an dengan menghadirkan pendapat para ahli bahasa, kemudian memperhatikan cara penggunaan ungkapan-ungkapan tersebut dalam Al-Qur'an. Tafsir Al-Mishbah menarik pembaca dan menggugah kecintaan terhadap Al-Qur'an, serta menumbuhkan motivasi untuk mendalami makna dan rahasia Al-Qur'an.

Etika Berbicara

Beberapa prinsip gaya Tafsir Al-Mishbah adalah beliau tidak pernah luput dari pembahasan ilmu munāsabah. Dalam penulisan tafsir Al-Mishbah, metode penulisan M. Quraish Shihab lebih bernuansa dibandingkan dengan model tafsir tahlili.

Redaksi ‘berbicara’ dalam Perspektif al-Qur’an

Ayat-ayat tentang Etika Berbicara dalam Perspektif Mufassir

Dalam perspektif tafsir Jalalain, tafsir ayat ini ialah: (kata-kata yang baik) atau ucapan yang manis dan penolakan yang baik terhadap pemohon (serta permohonan maaf kepadanya atas desakan atau tingkah lakunya (lebih baik daripada sedekah yang disertai dengan perasaan yang menyakitkan hati). ) . ) dengan mencela atau mencelanya (Dan Allah itu Maha Kaya) sehingga dia tidak mendapati (lebih belas kasihan) sedekah hamba-hambanya dengan menangguhkan hukuman terhadap orang yang mencerca dan menyakiti hati pengemis itu. Maksudnya: Janganlah kamu serahkan harta kamu (orang-orang yang berkuasa) yang Allah jadikan tunjang kehidupan kamu kepada orang yang belum sempurna akalnya. Dalam tafsir Jalalain, penjelasan ayat ini ialah: (Dan janganlah kamu menyerahkan) Wahai para wali (kepada orang yang bodoh), maksudnya orang.

Allah melarang orang-orang yang belum sempurna akalnya untuk melakukan tasarruf (penggunaan) harta yang diridhoi Allah melalui walinya, yaitu wali yang menjamin kehidupannya dengan hasil pengelolaan hartanya, baik melalui perdagangan atau cara lain. Sesuai dengan hadits tersebut, hadits riwayat Abu Hurairah juga menjelaskan: “Dan janganlah kamu memberikan hartamu (orang-orang yang berkuasa) kepada orang-orang yang kecerdasannya belum sempurna. Dalam tafsirnya tentang Al-Mishbah, Shihab menjelaskan: ‘Janganlah kamu menyerahkannya kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, yang belum mampu mengelola harta benda yang menjadi haknya.

Jika kamu bertakwa, maka janganlah kamu terlalu lemah lembut dan terlalu lembut dalam percakapan hingga menarik perhatian orang yang kotor hatinya. Ayat yang mulia ini mengandungi maksud berbuat baik kepada isteri (keluarga) dan orang yang di bawah jagaannya, iaitu berbuat baik secara nyata dengan memberi makanan berupa makanan disertai dengan perkataan yang baik dan akhlak yang mulia. 34 Ya Rasulullah, sesungguhnya aku mempunyai harta, sedangkan tidak ada yang mewarisiku kecuali anak perempuan.

Dan hendaklah orang-orang yang berbeza nasihat kepada pemilik harta, supaya membahagi-bahagikan hartanya sesama mereka sehingga anak-anaknya ditinggalkan, hendaklah mereka membayangkan sama ada mereka akan meninggalkannya, iaitu selepas kematiannya, anak-anak yang lemah kerana masih kecil atau telah tiada harta, mereka bimbangkan kebajikan atau penganiayaan mereka iaitu anak-anak yang lemah. Dalam tafsiran Jalalain, penjelasan ayat ini ialah: (Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan berkatalah benar), iaitu perkataan yang tidak menyinggung perasaan. Dalam konteks ayat di atas, perkataan qaulan sadida ditujukan kepada orang-orang yang beriman supaya sentiasa bercakap benar atau betul dalam situasi dan.

Dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa 'Mereka adalah orang-orang yang Allah mengetahui isi hatinya', yaitu orang-orang munafik. Adab berbicara dengan qaulan karima adalah untuk orang yang lebih tua, pendekatan yang digunakan adalah dengan kata-kata yang luhur, santun, penuh rasa hormat dan penghargaan, tidak merendahkan, tidak perlu retorika yang meledak-ledak. Dalam berbicara kita harus berpegang pada prinsip kebaikan, yaitu berbicara dengan baik hati, menggunakan bahasa yang sopan, pantas, tidak kasar, dan tidak melukai atau menyinggung perasaan lawan bicara.

Jika suatu saat kita bertemu dengan orang lain yang meminta bantuan, namun kita tetap tidak dapat membantunya atau meringankan permasalahan yang sedang dihadapinya karena kita sendiri tidak mempunyai atau tidak mempunyai sesuatu untuk diminta, maka kalimat penolakan yang harus kita ucapkan seharusnya adalah baik dan tidak menyinggung. /perasaan orang yang meminta bantuan. Kata-kata yang menghina tersebut tidak akan menimbulkan simpati pada orang, malah hanya akan menanamkan rasa dendam dan membuat orang yang tidak sependapat dengan kita semakin keras kepala. Bahkan, banyak orang yang harus berurusan dengan polisi karena mencemarkan nama baik dan menghina orang lain di media sosial.

Saat ini, di era media sosial, tidak ada batasan jumlah orang yang bisa kita ajak bicara.

PENUTUP

Referensi

Dokumen terkait

kedua, yang patut dipertimbang- kan dalam upaya mewujudkan etika bisnis untuk membangun tatanan bisnis yang Islami yaitu diperlukan suatu cara pandang baru dalam

Profil seorang guru ideal dalam perspektif Al-Qur‟an tidak hanya sekedar memiliki sifat-sifat yang baik saja sebagaimana konsep Al-Ghazali, tetapi harus memiliki

Dalam beberapa literatur lain, seperti dalam Tafsir Ilmi dengan tema “Hewan dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains” disebutkan bahwa al-bigal adalah hewan yang lahir dari

Yang mungkin menarik untuk dicatat adalah bahwa Al-Qur‟an- -- sejauh yang penulis ketahui--- tidak pernah memberikan „pujian‟ kepada kaum Yahudi tetapi beberapa kali

riwayat bacaan dari satu imam pada imam lainnya, perbedaan riwayat tersebut, serta tata cara pelafalannya. Selain jam‟ al-Qur‟an, kajian nuzulul al-Qur‟an juga membahas

Selanjutnya pada Bab kedua menjelaskan mengenai pengertian warna, faktor- faktor yang mempengaruhi warna, makna-makna yang terkandung dalam warna dalam perspektif al-Qur‟an

berbicara mengenai kondisi-kondisi dasar, teori-teori etika dan prinsip-prinsip moral dasar yang menjadi pegangan bagi manusia dalam bertindak serta tolak ukur dalam

Oleh karen itu, Al- Qur‟an mengungkapkanya menggunakan kata masoobiih ( خيثبصِ) yang diartikan sebagai lampu-lampu bukan menggunakan kalimat nujum (َىجٔ)