ABSTRAK
Perlindungan dan kepastian hukum menjadi suatu hal yang sangat penting dewasa ini, mengingat pola interaksi masyarakat yang semakin kompleks. Di Tengah tingginya interaksi masyarakat, notaris hadir sebagai salah satu profesi yang membantu masyarakat dalam melaksanakan kepentingan-kepentingannya dalam hubungan hukum dua orang atau lebih.
Dalam bentuk akta autentik, notaris memberikan kepastian hukum, juga perlindungan bagi para pihak yang saling mengikatkan diri dalam melakukan kesepakatan atau perjanjian.
Peran notaris yang cukup penting ini, seringkali juga menimbulkan banyak permasalahan, yang diakibatkan karena adanya penyalahgunaan kewenangan dan fungsi notaris, sehingga dalam perjalanannya, dibuat lah suatu badan pengawas yang menjadi pengawas notaris dalam menjalankan profesinya, yakni Majelis Pengawas Notaris.
Majelis Pengawas Notaris, sebagai badan yang mengawasi profesi notaris, turut terlibat apabila ada permasalahan terkait proses kerja notaris, dan dalam melakukan pengawasan, Majelis Pengawas juga dapat menjatuhi sanksi pada notaris. Namun dalam prakteknya, seringkali masalah terkait notaris menjadi sulit terpecahkan pada Majelis Pengawas, karena notaris yang terindikasi melakukan pelanggaran telah meninggal, seperti kasus pada notaris di Ambon dan Ponorogo, yang mana saat terjadi sengketa, notaris tersebut telah meninggal dunia, sehingga pemeriksaan dilakukan tanpa keterlibatan notaris yang bersangkutan.
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Kepastian hukum dewasa ini menjadi hal yang sangat penting dalam keberlangsungan kehidupan masyarakat Indonesia yang semakin kompleks. Kepastian hukum, dapat menjamin seseorang di dalam kehidupan masyarakat, untuk melakukan suatu perilaku yang sesuai dengan ketentuan dalam hukum yang berlaku dan begitu pula sebaliknya. Tanpa adanya kepastian hukum, maka seorang individu akan sulit menentukan kaidah mana yang benar dan salah untuk dilakukan. Sejalan dengan tujuan tersebut, Gustav Radbruch pun menjelaskan bahwa kepastian hukum merupakan salah satu tujuan dari hukum itu sendiri.
Gustav Radbruch menjelaskan1, ada empat hal mendasar yang memiliki hubungan erat dengan makna dari kepastian hukum itu sendiri, yaitu:
1. Hukum merupakan hal positif yang memiliki arti bahwa hukum positif ialah perundang-undangan.
2. Hukum didasarkan pada sebuah fakta, artinya hukum itu dibuat berdasarkan pada kenyataan.
3. Fakta yang termaktub atau tercantum dalam hukum harus dirumuskan dengan cara yang jelas, sehingga akan menghindari kekeliruan dalam hal pemaknaan atau penafsiran serta dapat mudah dilaksanakan.
4. Hukum yang positif tidak boleh mudah diubah.
Gustav Radbruch dalam teorinya, memperlihatkan bahwa kepastian hukum memberikan garis-garis dan pedoman yang jelas tentang bagaimana hukum positif dapat diselenggarakan dengan baik, meskipun hukum positif tersebut dinilai kurang adil.
Negara Indonesia sebagai negara Hukum, dalam hal terselenggaranya kepastian hukum, juga mengatur terkait apparat-aparat dan petugas hukum, yang salah satunya adalah Profesi Notaris. Profesi Notaris, oleh Negara Indonesia, dibuat untuk memberikan terjaminyanya kepastian hukum bagi masyarakat dalam melakukan kegiatan-kegiatan penunjang kehidupan, baik kegiatan Ekonomi, hukum, adat-istiadat dan lain sebagainya, yang
1 Satjipto Rahardjo, 2012, Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, hlm. 19
melibatkan lebih dari satu orang dalam menjalankan kegiatan-kegiatan tersebut, agar kegiatan-kegiatan tersebut dapat dilakukan sesuai denga napa yang sudah disepakati bersama, terutama dalam hal pembuatan akta otentik, yang sangat penting untuk melindungi kepastian hukum para pihak di dalamnya. Banyak aspek praktek hukum yang berhubungan dengan para Notaris berkaitan dengan akta otentik dan penggunaannya dalam proses pembuktian.2
Pentingnya peranan notaris dalam menciptakan kepastian dan perlindungan hukum bagi masyarakat, lebih bersifat preventif, atau bersifat pencegahan terjadinya masalah hukum, dengan cara penerbitan akta otentik yang dibuat dihadapannya terkait dengan status hukum, hak dan kewajiban seseorang dalam hukum, dan lain sebagainya, yang berfungsi sebagai alat bukti yang paling sempurna di pengadilan, dalam hal terjadi sengketa.3
Profesi Notaris, merupakan suatu profesi yang independent, di mana dalam melaksanakan tugasnya, Profesi Notaris tidak dibawahi oleh siapapun selain daripada undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum yang berlaku di masyarakat.
Ketidakbergantungan atas kemandirian Notaris walaupun tidak diatur secara khusus seperti pada ketidakmemihakkan, dianggap sudah dengan sendirinya merupakan ciri dan sifat yang essentiil harus ada pada jabatan ini agar notaris dapat melaksanakan jabatannya dengan sempurna.4
Kondisi Profesi Notaris yang memiliki peranan sangat penting dan sifat independent Profesi Notaris, membuat tidak banyak pula Profesi Notaris justru terlibat dalam kasus hukum, terkait proses pembuatan akta autentik itu sendiri, baik yang timbul dari ketidak sengajaan ataupun dari niat oknum-oknum notaris itu sendiri. Oleh karena itu, dibuat lah suatu badan pengawas notaris yang disebut Majelis Pengawas sesuai dengan pasal 67 Undang-Undang Nomor Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, guna mengawasi perilaku notaris dan pelaksanaan jabatan notaris.
2 Tan Thong Kie, 2007, Study Notariat & Serba Serbi Praktek Notaris, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, hal. 627
3 Sjaifurrachman, dkk, 2011 Aspek Pertanggungjawaban Notaris dalam Pembuatan Akta,Mandar Maju, Bandung, hal. 7
4 Herlien Budiono, 2010, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata Bidang Kenotariatan,Citra Aditya Bakti , Bandung, hal. 282
Oleh karena itu, maka tujuan pokok pengawasan agar segala hak dan kewenangan maupun kewajiban yang diberikan kepada Notaris dalam menjalankan tugasnya sebagaimana yang diberikan peraturan dasar yang bersangkutan senantiasa dilakukan di atas rambu-rambu hukum yang telah ditentukan, bukan saja jalur hukum tetapi juga atas dasar moral dan etika profesi demi terjaminnya perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat.5
Selain mengawasi jalanya kegiatan Profesi Notaris, Majelis Pengawas juga menjadi salah satu tempat perlindungan hukum bagi para notaris dalam menjalankan kegiatannya, karena Profesi Notaris juga memiliki wewenang menentukan apakah seorang notaris sudah menjalankan kegiatan sesuai dengan proses yang diatur oleh undang-undang, juga menjadi penghubung antara notaris dan para penegak hukum dalam hal terjadi dugaan adanya Tindakan melawan hukum. Tidak hanya itu, Majelis Pengawas notaris juga dapat memberikan sanksi kepada notaris yang dianggap telah melenceng dari aturan-aturan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini, dapat dilihat adanya dua sifat perlindungan hukum yang dilakukan Majelis Pengawas Notaris, yakni preventif dan Represif, yang bertujuan untuk melindungi dan menjaga hak-hak dan kewajiban notaris dalam menjalankan tugasnya.
Soetijipto Raharjo, seorang ahli hukum, berpendapat bahwa prinsip perlindungan hukum adalah untuk melindungi kepentingan seseorang dangan memberikan suatu kekuasaan tertentu kepadanya guna melindunginya dari ancaman yang akan menyerang kepentingannya tersebut.6 Teori perlindungan hukum yang dipaparkan diatas diperkuat dengan teori ahli hukum Muchsin, beliau berpendapat bahwa perlindungan hukum ialah suatu cara yang mana dengan cara-cara tersebut diharapkan dan dimaksudkan untuk melindungi subjek-subjek hukum melalui suatu peraturan tertentu yang ada dalam lingkungan masyarakat dan aturan tersebut dipatuhi dan dipaksakan berlakunya sekaligus memiliki sanksi tertentu bagi mereka yang melanggarnya. Muchsin melanjutkan bahwa perlindungan hukum terbagi menjadi dua, yaitu :7
5 Sjaifurrahman,opcit, hal 230
6 Soetijipto Raharjo dalam Philipus M. Hudson, 1983,Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Surabaya, Bina Ilmu, hlm 38
7 Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra, 1993, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung, Remaja Rusdakarya, hlm.118
1) Perlindunga Hukum Prefentif
Perlindungan ini diberikan oleh pemerintah atau penguasa setempat dengan tujuan untuk mencegah sebelum ada atau terjadinya suatu perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap hak orang lain. Cara ini ada dalam suatu peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk memberikan rambu- rambu atau warning terhadap seseorang sebelum mereka berbuat sesuatu.
Dengan cara ini dimaksudkan setiap orang berhati-hati dan lebih meghargai hak sesamanya.
2) Perlindungan Hukum Represif
Pada perlindungan hukum ini di titik beratkan kepada kejadian setelah
terjadinya pelanggaran terhadap aturan yang dibuat oleh perlindungan hukum prefentif. Seseorang yang telah dan sudah melanggar aturan maka akan mendapatkan hukuman atau sanksi yang telah disepakati. Perlindungan ini adalah final dari hukum untuk melindungi dan memberikan keadilan kepada korban. Bentuk perlindungan ini bisa berupa denda, pencabutan hak, kurungan maupun penjara hingga hukuman seumur hidup bahkan hukuman mati.8
Berdasarkan uraian pendapat para ahli hukum di atas, dapat kita lihat bahwa Majelis Pengawas notaris, dalam pelaksanaannya memberikan perlindungan hukum bagi notaris, jika dilihat dari tugas dan fungsinya sendiri. Peran Majelis Pengawas dalam melakukan perlindungan hukum bagi notaris, dapat kita liat dalam berbagai kasus yang ada di Indonesia saat ini. Banyak notaris, yang akhirnya ikut terseret atau dilaporkan oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan akibat akta autentik yang dibuat oleh notaris, sehingga di sinilah salah satu peran Majelis Pengawas dibutuhkan untuk memberikan perlindungan hukum bagi para notaris tersebut.
Dalam beberapa kasus, proses pemeriksaan bagi para notaris dapat berjalan lancer, namun berbeda apabila yang disangkakan melakukan pelanggaran kode etik adalah notaris yang telah meninggal dunia. Pada posisi ini, Majelis pengawas tidak secara tegas diatur dalam UUJN-P terkait dengan proses pemeriksaan notaris tersebut dan bagaimana bentuk
8 Ray Pratama Siadari, 2015, “Teori Perlindungan Hukum”, diunduh dari http://raypratama.blogspot.co.id/2015/04/teori-perlindungan- hukum.html , pada tanggal 22 April 2024 pukul 13:20 WIB.
pertanggungjawaban yang diminta dari notaris tersebut. Oleh karena itu, penulis tertarik membahas tentang dugaan kode etik notaris, yang saat dilakukan proses pemeriksaan, notaris tersebut telah terlebih dahulu meninggal.
1.2 Pokok Masalah
1. Bagaimana tugas dan Fungsi Majelis Pengawas?
2. Bagaimana peran Majelis Pengawasan dalam kasus dugaan pelanggaran kode etik notaris yang telah meninggal?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui apa itu Majelis Pengawas dan bagaimana kaitannya dengan Notaris di Inodneisa.
2. Memahami proses kerja Majelis Pengawas dalam kasus dugaan pelanggaran kode etik notaris yang telah meninggal.
1.4 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.9 Pada penelitian hukum jenis ini, seringkali hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundangundangan atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas.10
Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya pertama, bahan hukum primer yang diperoleh dari semua aturan hukum yang dibentuk secara resmi oleh suatu lembaga negara atau badan pemerintah.11 Kedua, bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer antara lain yaitu buku-buku, rancangan undang- undang, hasil penelitian, teks, dan berbagai jurnal.12 Ketiga, bahan hukum tersier yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus, ensiklopedia, dan indeks.
9 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada, Jakarta, 2010, hlm. 35.
10 Amiruddin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 118.
11 Soentandyo Wignjosoebroto, Hukum Konsep dan Metode, Setara Press, Malang, 2013, hlm. 67.
12 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif Dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hlm. 43.
Terkait pengumpulan data, penulis menggunakan teknik pengumpulan bahan hukum yaitu pertama, studi kepustakaan. Metode ini dapat diartikan sebagai cara pengumpulan data dengan cara memanfaatkan data-data berupa buku, catatan (dokumen), metode dokumenter sumber informasinya berupa bahan-bahan tertulis atau tercatat.13 selanjutnya dianalisis lebih lanjut dengan menggunakan metode induktif, yaitu suatu cara berfikir yang disandarkan fakta-fakta yang sifatnya umum kemudian dilakukan penarikan kesimpulan untuk memperoleh pernyataan yang bersifat khusus dari hasil penelitian, yang selanjutnya dari kesimpulan itu melahirkan saran-saran maupun rekomendasi untuk menjawab permasalahan yang berkaitan dengan topik penelitian.
13 Sanafiah Faesal, Dasar dan Teknik Penelitian Keilmuan Sosial, Usaha Nasional, Surabaya, 2002, hlm.42-43.
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Tugas dan Fungsi Majelis Pengawas
Sebelum berlakukannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris dan juga sebagaimana yang terdapat dalam Peraturan Jabatan Notaris di Indonesia Tahun 1860 Nomor 3 (Reglement op het Notaris-ambt in Indonesie), pengawasan dan penjatuhan sanksi dilakukan oleh pengadilan negeri yang pada waktu itu diatur dalam Pasal 50 Reglement op het Notaris-ambt in Indonesie. Seorang Notaris yang melakukan perbuatan dengan mengabaikan keluhuran martabat atau tugas jabatannya dan melanggar peraturan umum atau melakukan kesalahan-kesalahan lain baik di dalam maupun di luar lingkup jabatannya sebagai Notaris, akan dilaporkan kepada pengadilan negeri oleh penuntut umum yang di daerah hukumnya terletak tempat kedudukan notaris tersebut
Kemudian seiring perkembangan hukum Notariat maka pengawasan oleh Notaris dilakukan oleh Mahkamah Agung dan peradilan umum sebagaimana tersebut dalam Pasal 32 dan 54 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan dalam Lingkup Peradilan Umum dan Mahkamah Agung. Kemudian dibuat pula Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1984 tentang Tata Cara Pengawasan Terhadap Notaris, Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman Nomor KMA/006/SKB/VII/1987 tentang Tata Cara Pengawasan, Penindakan, dan Pembelaan Diri Notaris dan terakhir dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Lebih lanjut P. Nicolai berpendapat tujuan pengawasan merupakan langkah preventif untuk memaksakan kepatuhan.14
Setelah adanya reformasi birokrasi di lingkungan Mahkamah Agung dan berdasarkan aturan tersebut maka Mahkamah Agung hanya mempunyai kewenangan dalam lingkup peradilan saja. Maka sejak diadakannya pembatasan terhadap kewenangan Mahkamah
14 Ridwan H.R, Hukum Administrasi Negara (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 311.
Agung pengawasan terhadap Notaris yang semula diatur dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 dicabut melalui Pasal 91 Undang-Undang 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, sehingga kewenangan untuk melakukan pengawasan, pemeriksaan, penjatuhan sanksi dan pembinaan terhadap Notaris dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan cara membentuk Majelis Pengawas Notaris.15
Majelis pengawas notaris yang selanjutnya disebut Majelis Pengawas adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk melaksankan pembinaan dan pengawasan terhadap notaris.16 Menempatkan kata “pembinaan” didepan kata
“pengawasan”, terkandung maksud bahwa lebih menguta-makan pembinaan yang bersifat preventif dari pada pengawasan melalui pemeriksaan yang bersifat represif untuk menjatuhkan sanksi kepada Notaris yang ter-bukti melanggar jabatan dan/atau perilaku.17
Pengawasan atas notaris dilakukan oleh Menteri dan dalam melaksanakan pengawasan Menteri membentuk Majelis Pengawas. Keanggotaan Majelis Pengawas Notaris sesuai dengan Pasal 67 ayat (3) UUJN berjumlah 9 (sembilan) orang, terdiri dari unsur:
a. Pemerintah sebanyak 3 orang;
b. Organisasi Notaris sebanyak 3 orang;
c. Ahli atau Akademisi sebanyak 3 orang.
Susunan Organisasi Majelis Pengawas Notaris terdiri dari:
a. Majelis Pengawas Daerah, untuk selanjutnya disebut MPD, dibentuk dan berkedudukan di Kabupaten/Kota.
b. Majelis Pengawas Wilayah, untuk selan-jutnya disebut MPW, dibentuk dan berkedudukan di Ibukota Provinsi.
c. Majelis Pengawas Pusat, untuk selanjut-nya disebut MPP, dibentuk dan berkedudukan di Ibukota Negara.
2.1.1 Majelis Pengawas Daerah
15 Muhammad Luthfan Hadi Darus, Hukum Notariat dan Tanggungjawab Jabatan Notaris, Cetakan Pertama (Yogyakarta: UII Press, 2017), hlm.
116.
16 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 atas Perubahan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris Pasal 1 angka 6.
17 Majelis Pengawas Notaris Republik Indonesia, 2013, Rapat Koordinasi Majelis Pengawas Notaris di Hotel Harris Bandung, tanggal 23s/d25 Desember 2003, Materi Rakor Bidang Pembina dan Pengawasan, Hlm. 16.
Majelis Pengawas Daerah diatur dalam pasal 69-71 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 atas Perubahan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
Berdasarkan undang-undang ini, Majelis Pengawas Daerah dibentuk di Kabupaten/Kota dengan keanggotaan Majelis Pengawas Daerah terdiri atas unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (3) UUJN, dalam hal di suatu Kabupaten/Kota, jumlah Notaris tidak sebanding dengan jumlah anggota Majelis Pengawas Daerah, dapat dibentuk Majelis Pengawas Daerah gabungan untuk beberapa Kabupaten/Kota. Ketua dan Wakil Ketua Majelis Pengawas Daerah dipilih dari dan oleh anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal 69 UUJN, masa jabatan ketua, wakil ketua, dan anggota Majelis Pengawas Daerah adalah 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali. Majelis Pengawas Daerah dibantu oleh seorang sekretaris atau lebih yang ditunjuk dalam Rapat Majelis Pengawas Daerah.18
Majelis Pengawas Daerah memiliki wewenang antara lain :19
a) Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran pelaksanaan jabatan Notaris;
b) Melakukan pemeriksaan terhadap Protokol Notaris secara berkala 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau setiap waktu yang dianggap perlu;
c) Memberikan izin cuti untuk waktu sampai dengan 6 (enam) bulan;
d) Menetapkan Notaris Pengganti dengan memperhatikan usul Notaris yang bersangkutan; menentukan tempat penyimpanan Protokol Notaris yang pada saat serah terima Protokol Notaris telah berumur 25 (dua puluh lima) tahun atau lebih;
e) Menunjuk Notaris yang akan bertindak sebagai pemegang sementara Protokol Notaris yang diangkat sebagai pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4);
f) Menerima laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran ketentuan dalam Undang-Undang ini; dan g.
membuat dan menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a,
18 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 atas Perubahan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris pasal 69.
19 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 atas Perubahan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris pasal 70.
huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g kepada Majelis Pengawas Wilayah.
Majelis Pengawas Daerah memiliki kewajiban antara lain :20
a) Mencatat pada buku daftar yang termasuk dalam Protokol Notaris dengan menyebutkan tanggal pemeriksaan, jumlah akta serta jumlah surat di bawah tangan yang disahkan dan yang dibuat sejak tanggal pemeriksaan terakhir;
b) Membuat berita acara pemeriksaan dan menyampaikannya kepada Majelis Pengawas Wilayah setempat, dengan tembusan kepada Notaris yang bersangkutan, Organisasi Notaris, dan Majelis Pengawas Pusat;
c) Merahasiakan isi akta dan hasil pemeriksaan;
d) Menerima salinan yang telah disahkan dari daftar akta dan daftar lain dari Notaris dan merahasiakannya;
e) Memeriksa laporan masyarakat terhadap Notaris dan menyampaikan hasil pemeriksaan tersebut kepada Majelis Pengawas Wilayah dalam waktu 30 (tiga puluh) hari, dengan tembusan kepada pihak yang melaporkan, Notaris yang bersangkutan, Majelis Pengawas Pusat, dan Organisasi Notaris.
f) Menyampaikan permohonan banding terhadap keputusan penolakan cuti.
2.1.2 Majelis Pengawas Wilayah
Majelis Pengawas Wilayah diatur dalam pasal 72-75 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 atas Perubahan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
Majelis Pengawas Wilayah dibentuk dan berkedudukan di ibukota provinsi dengan keanggotaan Majelis Pengawas Wilayah terdiri atas unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (3). Ketua dan Wakil Ketua Majelis Pengawas Wilayah dipilih dari dan oleh anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Masa jabatan ketua, wakil ketua, dan anggota Majelis Pengawas Wilayah adalah 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali.
20 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 atas Perubahan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris pasal 70.
Majelis Pengawas Wilayah dibantu oleh seorang sekretaris atau lebih yang ditunjuk dalam Rapat Majelis Pengawas Wilayah.
Adapun wewenang Majelis Pengawas Wilayah adalah :21
a) Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan atas laporan masyarakatyang dapat disampaikan melalui Majelis Pengawas Daerah;
b) Memanggil Notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan atas laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c) Memberikan izin cuti lebih dari 6 (enam) bulan sampai 1 (satu) tahun;
d) Memeriksa dan memutus atas keputusan Majelis Pengawas Daerah yang menolak cuti yang diajukan oleh Notaris pelapor;
e) Memberikan sanksi baik peringatan lisan maupun peringatan tertulis;
f) Mengusulkan pemberian sanksi terhadap Notaris kepada Majelis Pengawas Pusat berupa: 1) pemberhentian sementara 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan; atau 2) pemberhentian dengan tidak hormat
Adapun wewenang Majelis Pengawas Wilayah adalah :22
a) Menyampaikan keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f kepada Notaris yang bersangkutan dengan tembusan kepada Majelis Pengawas Pusat, dan Organisasi Notaris; dan b) Menyampaikan pengajuan banding dari Notaris kepada Majelis Pengawas
Pusat terhadap penjatuhan sanksi dan penolakan cuti.
2.1.3 Majelis Pengawas Pusat
Majelis Pengawas Pusat diatur dalam pasal 76-81 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 atas Perubahan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
Majelis Pengawas Pusat dibentuk dan berkedudukan di ibukota negara dengan keanggotaan Majelis Pengawas Pusat terdiri atas unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal
21 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 atas Perubahan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris Lihat pada pasal 73.
22 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 atas Perubahan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris pasal 75.
67 ayat (3). Ketua dan Wakil Ketua Majelis Pengawas Pusat dipilih dari dan oleh anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan memiliki masa jabatan 3 tahun untuk ketua, wakil ketua, dan anggota Majelis Pengawas Pusat dan dapat diangkat kembali. Majelis Pengawas Pusat dibantu oleh seorang sekretaris atau lebih yang ditunjuk dalam Rapat Majelis Pengawas Pusat.
Majelis Pengawas Pusat memiliki wewenang antara lain :23
a) menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan dalam tingkat banding terhadap penjatuhan sanksi dan penolakan cuti;
b) Memanggil Notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c) Menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara; dan
d) Mengusulkan pemberian sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat kepada Menteri.
Majelis Pengawas Pusat memiliki kewajiban menyampaikan keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf a kepada Menteri dan Notaris yang bersangkutan dengan tembusan kepada Majelis Pengawas Wilayah dan Majelis Pengawas Daerah yang bersangkutan serta Organisasi Notaris.24
2.2 Peran Majelis Pengawasan dalam Kasus Dugaan Melawan Hukum Notaris yang Telah Meninggal Dunia.
Dewasa ini, ada beberapa kasus yang cukup banyak melibatkan notaris terkait dengan pembuatan Akta Autentik Notaris. Permasalahan yang timbul kemudian semakin terasa tidak jelas Ketika notaris yang terlibat didalamnya telah meninggal dunia. Lalu bagaimana proses penagannnya dan siapa yang berhak memberikan solusi dan putusan terkait hal tersebut?
Kasus pertama adalah kasus dugaan melawan hukum VJM, notaris di daerah Maluku.
Kronologi berawal dari adanya Akta No. 5 Tentang Pengakuan dan Pernyataan tanggal 18
23 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 atas Perubahan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris pasal 77.
24 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 atas Perubahan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris pasal 79.
Januari Tahun 2016. JWP, selaku penggugat merasa bahwa akta No. 5 dengan melanggar ketentuan UUJN-P,sehingga tidak memiliki kekuatan hukum sebagai akta autentik. Perlu diketahui bahwa Akta No. 5 tersebut, merupakan akta yang dibuat di hadapan Notaris JMT yang telah meninggal dunia, sehingga JWP membawa permasalahan ini ke Majelis Pengawas Daerah dan Kantor Wilayah Kemenkumham Kabupaten Maluku. Pada tanggal 2 Agustus 2009, JWP bersama dengan Kepala Kanwil Kemenkumham dan para pihak terkait, mengadakan musyawarah terkait hal ini dan kemudian setelah mendapat ijin dari ketua dan anggota MPD Kab/Kota Maluku untuk membuka Minuta Akta No. 5 pada tanggal 6 Agustus 2019. Ahli waris yang merupakan suami almarhumm membawa Protokol Notaris ke Kantor Wilayah Kemenkumham Provinsi Maluku, Kemudian pada siang harinya, Penggugat ditemani Tergugat II akhirnya bisa melihat langsung fisik Minuta Akta Nomor 5. Dan ternyata hanya Penggugat sendiri yang menandatangani Minuta Akta tersebut, sedangkan Notaris Pembuat Akta dan Saksi-Saksi tidak membubuhkan tanda tangan mereka. Setelah melihat fakta fisik Minuta Akta Nomor 5, tidak ada satupun dokumen yang diterbitkan untuk menyatakan fakta hukum terhadap Akta Nomor 5 yang telah menyimpang dari prosedur pembuatannya. Dengan kondisi seperti ini, penggugat mempertanyakan terkait fakta hukum dari akta Nomor 5 dan kemudian meminta solusi kepada Kepala Kanwil Kemenkumham dan MPD Kabupaten /Kota Maluku terkait dengan keabsahan akta tersebut dan tidak merasa puas dengan solusi yang ditawarkan MPD dan Kepala Kanwil Kemenkumham Provinsi Maluku. Kemudia notaris VJM ditunjuk sebagai penerima protokoler notaris dari Notaris JMT, sehingga JWP kemudian mendatangi VJM meminta solusi atas permasahalahn hukum tersebut dan meminta Salinan akta minuta, yang oleh VJM ditolak dengan alasan dalam pembuatan akta dibuat tidak sempurna dan tidak memberikan fakta hukum apapun serta sudah diperlihatkan kepada JWP di kanwil Kemenkumham Provinsi Maluku sebelumnya. Di samping itu, dikeluarkan pula surat keterangan Nomor : 049/NOT/VJM/V/2023 yang dikeluarkan tanggal 25 Mei 2023, menerangkan bahwa Minuta Akta Nomor 5 tidak ditandatangani oleh notaris dan para saksi. JWP kemudian mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Ambon karena merasa tidak jelasnya status Akta Nomor 5 yang dan para pihak yang berkaitan dengan permasalahan ini, saling lempar tangan tanpa ada solusi untuk legalitas dari Akta Nomor 5 tersebut. VJM dalam eksepsinya dipersidangan beranggapan bahwa gugatan JWP
mengandung unsur obscuur liber (gugatan kabur), karena tidak jelas apa perbuatan hukum terkait isi dari akta Nomor 5 yang dianggap merugikan JWP yang menjadi alasan gugatan dan adanya eror in persona, yang mana yang digugat adalah VJM yang dalam hal ini tidak terlibat dalam proses pembuatan Akta Nomor 5, sehingga tidak pernah ada hubungan hukum antara VJM selaku tergugat dan JWP selaku penggugat.
Pada kasus kedua, yakni kasus di Ponorogo, antara Notaris B melawan warga desa M,
dengan kronologis sebagai berikut :
Dalam keterangan pelapor, sekitar bulan November 2017 warga Desa M di Ponorogo bermaksud menjual tanah kepada PT. GSS Yogyakarta yang rencananya akan digunakan untuk perumahan. PT. GSS pada waktu itu membawa Notaris dan kemudian diketahui adalah staf Notaris B untuk melaksanakan Perjanjian Perikatan Jual Beli dan Kuasa Menjual yang ditandatangani oleh 15 orang warga Desa M. Ponorogo namun Perjanjian Perikatan Jual Beli dan Kuasa Menjual tersebut, untuk pihak pemberinya masih kosong demikian juga dengan harga yang juga masih kosong. Notaris membuat Surat Pernyataan Tidak Memiliki Nomor Wajib Pajak (NPWP) dan Surat Pernyataan Benar Menghadap Kepada Notaris yang disodorkan kepada warga untuk ditandatangani bersamaan dengan penyerahan uang panjar. Dari 15 berkas warga, ada 6 berkas yang telah lengkap persyaratannya dan telah dibuatkan PPJB nya yang ditandatangani di hadapan Terlapor.
Bahwa dari 6 berkas warga menyatakan baru pertama kali bertemu dengan Terlapor yaitu saat Sidang Pemeriksaan Majelis Pengawas Daerah Notaris Kota Yogyakarta pada 14 Agustus 2020. Pada 13 Juli 2021 Terlapor meninggal dunia karena Pandemi Virus Corona.
Majelis Pengawas Wilayah DIY sudah mengirim surat ke Majelis Pengawas Daerah Kota Yogyakarta Nomor; UM.MPWN Prov.DIY.08.21-10 tanggal 9 Agustus 2021 perihal penunjukan pemegang protokol Notaris B, perihal penunjukan pemegang protokol Notaris dan pada 29 November 2021 Majelis Pengawas Wilayah Notaris DIY telah memanggil ahli waris almarhum B dan saudara MF, sebagai pemegang protokol almarhum untuk dimintai keterangan.
Kedua kasus di atas memperlihatkan beberapa hal yang menjadi fokus perhatian, pertama kondisi yang muncul akibat notaris yang bersangkutan sudah meninggal dunia, bagi Majelis Pengawas untuk melakukan tugasnya. Dalam UUJNP-P dan aturan-aturan
lain, tidak secara tegas diatur terkait mengenai tata cara pemeriksaan yang dilakukan Majelis Pengawas terhadap notaris yang sudah meninggal dan diduga adanya pelanggaran kode etik. Pada kasus dugaan melawan hukum notaris VJM, Majelis Pengawas Daerah Kab/Kota Maluku tidak melakukan pemeriksaan mendetail tentang proses pembuatan akta Nomor 5 yang dibuat almarhum Notaris JMT, sedangkan pada kasus Almarhum Notaris B melawan Warga Desa di Ponerogo, Majelis Pengawas Daerah melakukan pemeriksaan mendetail terkait proses pembuatan akta yang dilakukan almarhum Notaris B. yang menyebabkan perbedaan pada cara penanganan Majelis Pengawas Daerah adalah berdasarkan gugatan dari pemohon. Pada kasus Notaris VJM, pihak penggugat hanya meminta kejelasan terkait autentik nya akta yang telah dibuat sebelumnya, sedangkan pada kasus Notaris B, warga meminta adanya ganti kerugian yang diderita akibat adanya dugaan pelanggaran kode etik dan dari hasil pemeriksaan Majelis Pengawas Daerah, ditemukan adanya pelanggaran Kode Etik yang dilakukan notaris B yakni tidak membacakan akta di depan seluruh pembuat dan pembuatan akta dilakukan di luar wilayah kedudukan Notaris B. Pada kasus Notaris VJM, sesuai dengan ketentuan pada UUN-P pasal
Dalam kasus perbuatan melawan hukum Notaris VJM, pada akta Nomor 5 tidak terdapat tanda tangan saksi-saksi dan notaris, hanya ada tanda tangan dari penghadap, dapat dikatakan bahwa tidak terdapat syarat yang membuat akta ini menjadi akta autentik, yakni sesuai dengan ketentuan Undang-Undang UUJN-P Pasal 16 ayat 9 ‘Jika salah satu syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m dan ayat (7) tidak dipenuhi, Akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan.’
Adapun ayat 1 huruf m ‘membacakan Akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan Akta wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris;’ dan ayat 7 ‘Pembacaan Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m tidak wajib dilakukan, jika penghadap menghendaki agar Akta tidak dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri, mengetahui, dan memahami isinya, dengan ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam penutup Akta serta pada setiap halaman Minuta Akta diparaf oleh penghadap, saksi, dan Notaris.’ Dan lebih lanjut dijelaskan pada ayat 12
‘Selain dikenai sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (11), pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf j dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita
kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris.’ Dalam eksepsinya, VJM selaku pemegang protokol almarhum Notaris JMT, mengatakan ‘Bahwa seharusnya Penggugat dalam dalil posita harus menguraikan tentang isi dari Akta Nomor. 5 tersebut yang dibuat oleh Notaris Almarhumah JMT sehingga jelas bagi Tergugat I apa yang dipermasalahkan oleh Penggugat tentang Akta Nomor. 5 tersebut diatas. Oleh karena Penggugat hanya berdalil dalam gugatan yang mana Akta Nomor. 5 tidak ditanda tangani oleh Notaris dan saksi- saksi sehingga menjadi pertanyaan apabila Akta Nomor : 5 tersebut diatas tidak ditanda tangani oleh Notaris dan saksi-saksi maka siapa yang menandatangani Akta Nomor : 5 tersebut di atas? Dalam gugatan Penggugat tidak menguraikan secara mendetail apa isi dari Akta Nomor : 5 yang dibuat dan ditanda tangani oleh Notaris Almarhumah Juliana Tahalele,SH.MKn. Oleh karena Penggugat sama sekali tidak menguraikan isi dari Akta Nomor : 5 tersebut dia atas maka gugatan yang diajukan oleh Penggugat adalah gugatan yang tidak jelas dan tidak berdasar sehingga gugatan Penggugat adalah kabur…’ Dalam kasus ini, JWP selaku penggugat hanya mempersoalkan kedudukan dari akta tersebut, yang dalam UUJ-N sudah dapat dijelaskan terkait kedudukan hukum akta tersebut, sehingga Majelis Pengawas Daerah tidak mendalami lebih jauh terkait dugaan pelanggaran kode etik, mengingat tidak ada kerugian yang dipersoalkan penggugat.
Pada kasus kedua, Majelis Pengawas Daerah melakukan pemeriksaan sesuai dengan kewenangannya berdasarkan pemeriksaan pada protokol almarhum Notaris B dan melakukan pemanggilan terhadap saksi-saksi dan penghadap. Berdasarkan fakta hukum pada kasus Notaris B, maka Majelis Pengawas Daerah Notaris Kota Yogyakarta menyatakan bahwa Notaris B. terbukti bersalah karena dalam menjalankan jabatannya Notaris berkewajiban membacakan akta dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris. Hal tersebut telah diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris. Oleh karena itu, Notaris Bekti dinyatakan terbukti bersalah karena telah meresmikan akta di luar wilayah jabatannya. Hal ini diatur dalam Pasal 17 huruf a Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Jo Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris bahwa Notaris dilarang menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya. Berdasarkan alasan tersebut di atas dan karena terlapor telah meninggal dunia maka proses pemeriksaan sesuai
ketentuan Undang-Undang tentang Jabatan Notaris tidak dapat dilanjutkan. Majelis Pengawas Wilayah Notaris merekomendasikan apabila masih terdapat permasalahan hukum agar diupayakan penyelesaiannya melalui musyawarah mufakat dengan ahli waris terlapor dan jika tidak diperoleh kesepakatan dapat menempuh jalur hukum melalui peradilan umum.25
Aspek kedua yang perlu menjadi perhatian juga terkait dengan ganti kerugian notaris dalam hal notaris tersebut telah meninggal. Dalam kasus ini, penyelsaian dilakukan dengan cara menempuh ljalur pengadilan dan kasus kedua diselsaikan dengan cara musyawarah sesuai arahan Majelis Pengawas Notaris dan memberikan ruang untuk ke pengadilan jika cara yang ditempu belum dapat memberikan rasa keadilan bagi para pihak, terutama terkait dengan kerugian. Terkait dengan meninggalnya notaris yang melakukan pelanggaran kode etik sehingga menyebabkan timbulnya kerugian para pihak yang menghadap, maka notaris wajib memberi ganti kerugian. Lalu bagaimana dengan notaris yang sudah meninggal?
Siapakah yang dituntut untuk memenuhi kewajiban notaris tersebut?
Terkait dengan kewajiban notaris yang telah meninggal, perlu kita merujuk terkait dengan permasalahan waris. Warisan adalah kekayaan yang berupa kompleks aktiva dan pasiva si pewaris yang berpindah kepada para ahli waris.26 Menurut Eman Suparman wujud harta peninggalan menurut hukum perdata Barat yang tercantum dalam KUH Perdata (BW) meliputi "seluruh hak dan kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang" sehingga harta peninggalan yang akan diwarisi oleh para ahli waris tidak hanya meliputi hal-hal yang bermanfaat berupa aktiva atau keuntungan, melainkan juga termasuk hutang-hutang si pewaris yang merupakan pasiva dari harta kekayaan yang ditinggalkan sehingga "kewajiban membayar hutang pada hakekatnya beralih juga kepada ahli waris"10 Hal tersebut diatur dalam Pasal 1100 BW yang menyebutkan “Para waris yang telah menerima suatu warisan diwajibkan dalam hal pembayaran utang, hibah wasiat dan lain-lain beban, memikul bagian yang seimbang dengan apa yang diterima masing-
25 Rizki Ryadika Rahman, 2022, “Penyelesaian Dugaan Pelanggaran Kode Etik Oleh Majelis Pengawas Notaris Terhadap Notaris Yang Telah Meninggal Dunia”, diunduh dari bing.com/ck/a?!
&&p=8ed73436a81e2e69JmltdHM9MTcxNDM0ODgwMCZpZ3VpZD0xMmRlNTkzNi04ZDRhLTZkM2MtMzk2OS00OWI4OGM0YTZjYm QmaW5zaWQ9NTM5OA&ptn=3&ver=2&hsh=3&fclid=12de5936-8d4a-6d3c-3969-
49b88c4a6cbd&psq=peran+majelis+pengawas+notaris+bagi+kasus+pelanggaran+kode+etik+notaris+yang+sudah+meninggal&u=a1aHR0cHM6 Ly9qb3VybmFsLnVpaS5hYy5pZC9KT04vYXJ0aWNsZS9kb3dubG9hZC8yNTA3Ny8xNDU2Ny84Mjg0OQ&ntb=1 , pada tanggal 24 April 2024 pukul 13:20 WIB.
26 J. Satrio, Hukum Waris, (Bandung: Alumni, 1992), hlm. 8
masing dan warisan”. Ter Haar Bzn menyatakan bahwa kewajiban-kewajiban untuk membayar hutang yang ada atau yang timbul pada waktu matinya atau karena matinya si peninggal warisan itu akhimya termasuk juga bagian-bagian daripada harta peninggalan walaupun sebagai bagian negatif.27 Dalam pasal 1100 BW disebutkan “Para waris yang menerima suatu warisan diwajibkan dalam hal pembayaran utang, hibah wasiat dan lain- lain beban, memikul bagian yang seimbang dengan apa yang diterima masing-masing dan warisan.” Utang berkaitan erat dengan perikatan bahkan Soedewi Masjchoen Sofwan menerjemahkan istilah hukum perikatan (verbitenissenrecht) itu dengan perutangan.
Menurutnya perutangan itu merupakan hubungan hukum yang atas dasar itu seseorang dapat mengharapkan suatu prestasi dari seseorang yang lain jika perlu dengan perantaraan hakim.28
Dari beberapa pendapat ahli di atas dan peraturan yang terdapat pada BW, dapat kita lihat bahwa pertanggungjawaban terhadap kerugian para pihak yang disebabkan kelalaian notaris yang telah meninggal, ditanggung seluruhnya oleh ahli waris notaris, berdasarkan dengan hukuman pembayaran gantirugi, biaya dan bunga yang dijatuhkan oleh Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap kepada ahli waris notaris.
KESIMPULAN
27 Ter Haar Bzn, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Terj. K. Ng. Soebakti Poesponoto, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1981), h. 252.
28 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata (Hukum Perutangan): Bagian A, (Yogyakarta: Seksi Hukum Perdata UGM, 1980), hlm. 1.
Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) adalah aturan yang mengatur mengenai pelaksanaan jabatan profesi Notaris juga sanksi bagi Notaris yang melakukan pelanggaran kode etik, namun pengaturan perlindungan dan kepastian hukum bagi para masyarakat yang merasa dirugikan hanya terdapat di beberapa pasal di dalam UUJN dan bersifat umum Perlindungan dan kepastian hukum yang didapatkan oleh masyarakat atau pihak yang dirugikan adalah perlindungan represif yang pelaksanaannya dapat dilihat pada Pasal 70 dan 73 Undang-Undang Jabatan Notaris yang menyebutkan bahwa Majelis Pengawas dapat menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran pelaksanaan jabatan Notaris dan menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan atas laporan masyarakat yang dapat disampaikan melalui Majelis Pengawas Daerah. Masyarakat pelapor juga dapat melaporkan Notaris tersebut ke Pengadilan Negeri untuk dituntut secara perdata maupun pidana maupun perdata. Masyarakat yang dirugikan oleh Notaris yang telah meninggal dunia dapat melaporkan kepada Majelis Pengawas Daerah berdasarkan laporan tersebut maka MPD dapat menyelenggarakan sidang untuk memeriksa pelanggaran kode etik, setelah keluar keputusan sidang maka MPD akan memberikan rekomendasi kepada Majelis. Pengawas Wilayah untuk menjatuhkan sanksi kepada Notaris yang bersangkutan yang berupa peringatan tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat dan pemberhentian dengan tidak hormat, akan tetapi dalam kasus ini dikarenakan Notaris telah meninggal dunia maka permasalahan ini diselesaikan dengan cara musyawarah mufakat antara para pihak yang dirugikan dan ahli waris Notaris yang dimediasi oleh pemegang protokol Notaris yang telah meninggal dunia dan masih dapat dilanjukan ke pengadilan apabila belum ditemukan kesepakatan antara para pihak yang terlibat di dalamnya.
SARAN
Sebaiknya ada aturan yang konkrit mengenai perlindungan hukum bagi klien Notaris agar dikemudian hari tidak terjadi lagi kerugian yang diderita oleh masyarakat/klien akibat dari perilaku Notaris yang menyimpang dari UUJN dan Kode Etik Notaris, dengan adanya aturan perlindungan hukum bagi klien dapat membuat Notaris semakin berhati-hati dalam bertindak dan membuat akta. Bagi para Notaris yang sudah praktik ataupun akan melakukan praktik hendaknya selalu mematuhi aturan yang terdapat di dalam Undang- Undang Jabatan Notaris serta Kode Etik Notaris karena itu adalah pedoman utama bagi Notaris dalam menjalankan jabatannya, dengan mematuhi dan mentaati UUJN serta kode etik Notaris niscaya tidak akan muncul masalah dikemudian hari yang dapat menyebabkan masalah bagi Notaris itu sendiri.
Daftar Pustaka
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006.
Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata Bidang Kenotariatan,Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010
J. Satrio, Hukum Waris, (Bandung: Alumni, 1992), hlm. 8
Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung, Remaja Rusdakarya, 1993.
Majelis Pengawas Notaris Republik Indonesia, Rapat Koordinasi Majelis Pengawas Notaris di Hotel Harris Bandung, tanggal 23s/d25 Desember 2003, Materi Rakor Bidang Pembina dan Pengawasan, 2013.
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif Dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010.
Muhammad Luthfan Hadi Darus, Hukum Notariat dan Tanggungjawab Jabatan Notaris, Cetakan Pertama Yogyakarta: UII Press, 2017.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada, Jakarta, 2010, hlm. 35.
43
Ray Pratama Siadari, “Teori Perlindungan Hukum”, diunduh dari http://raypratama.blogspot.co.id/2015/04/teori-perlindungan-hukum.html , pada tanggal 22 April 2024 pukul 13:20 WIB. 2015.
Rizki Ryadika Rahman, “Penyelesaian Dugaan Pelanggaran Kode Etik Oleh Majelis Pengawas Notaris Terhadap Notaris Yang Telah Meninggal Dunia”, diunduh dari bing.com/ck/a?!
&&p=8ed73436a81e2e69JmltdHM9MTcxNDM0ODgwMCZpZ3VpZD0xMmRlNTkz Ni04ZDRhLTZkM2MtMzk2OS00OWI4OGM0YTZjYmQmaW5zaWQ9NTM5OA&pt n=3&ver=2&hsh=3&fclid=12de5936-8d4a-6d3c-3969-
49b88c4a6cbd&psq=peran+majelis+pengawas+notaris+bagi+kasus+pelanggaran+kode +etik+notaris+yang+sudah+meninggal&u=a1aHR0cHM6Ly9qb3VybmFsLnVpaS5hYy 5pZC9KT04vYXJ0aWNsZS9kb3dubG9hZC8yNTA3Ny8xNDU2Ny84Mjg0OQ&ntb=
1 , 2015
Ridwan H.R, Hukum Administrasi Negara (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 311
Sanafiah Faesal, Dasar dan Teknik Penelitian Keilmuan Sosial, Usaha Nasional, Surabaya, 2002, hlm.4.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2012.
Sjaifurrachman, dkk, 2011 Aspek Pertanggungjawaban Notaris dalam Pembuatan Akta,Mandar Maju, Bandung, hal. 7
Ter Haar Bzn, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Terj. K. Ng. Soebakti Poesponoto, Jakarta:
Pradnya Paramita, 1981
Soetijipto Raharjo dalam Philipus M. Hudson, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Surabaya, Bina Ilmu, 1983.
Soentandyo Wignjosoebroto, Hukum Konsep dan Metode, Setara Press, Malang, 2013.
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata (Hukum Perutangan): Bagian A, Yogyakarta:
Seksi Hukum Perdata UGM, 1980.
Ter Haar Bzn, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Terj. K. Ng. Soebakti Poesponoto, Jakarta:
Pradnya Paramita, 1981.
Tan Thong Kie, Study Notariat & Serba Serbi Praktek Notaris, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2007.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 atas Perubahan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris pasal.