MATA KULIAH DOSEN PENGAMPU
STUDI AL QUR’AN DR. DZIKRI NIRWANA, M.AG
EVALUASI PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN
DISUSUN OLEH:
MALIDA 210211030063
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI
PROGRAM PASCASARJANA MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
BANJARMASIN 2021 Pendahuluan
Dalam dunia pendidikan secara umum telah dikenal berbagai macam bentuk kegiatan tentang upaya mencapai kesuksesan dalam mewujudkan pendidikan yang berkualitas dan melahirkan anak didik yang mampu menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupannya.
Diantara bentuk kegiatan itu adalah evaluasi terhadap kegiatan yang telah atau akan dilaksanakan dengan berbagai macam tujuan yang diinginkan.
Evaluasi adalah suatu proses yang dilalui seseorang untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Evaluasi dalam pendidikan islam merupakan cara atau teknik penilaian terhadap tingkah laku peserta didik berdasarkan standar perhitungan yang bersifat komprehensif dari seluruh aspek kehidupam mental-psikologis dan spiritual-religius. Hal ini dikarenakan manusia sebagai hasil pendidikan islam tidak hanya bersikap religius, melainkan juga berilmu dan berketerampilan yang sanggup beramal dan berbakti kepada tuhan dan masyarakatnya.
Evaluasi dalam proses pendidikan merupakan hal yang sangat penting. Evaluasi merupakan rangkaian akhir dari proses pendidikan. Evaluasi secara luas dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan kelemahan suatu proses pendidikan islam (dengan seluruh komponen yang terlibat di dalamnya) dalam mencapai tujuan pendidikan yang dicita-citakan.
Evaluasi merupakan komponen yang sangat pendting dalam pembelajaran. Jika pembelajaran diartikan kepada aktivitas pencarian dan transfer ilmu pengetahuan dn informasi yang bertujuan agar terjadi perubahan pada diri siswa dalam bentuk penambahan ilmu pengetahuan dan perubahan perilaku, maka evaluasi merupakan komponen yang akan mengukur penambahan dan perubahan perilaku tersebut.
Evaluasi, bagi seorang pendidik, bertujuan untuk mendapatkan data dan fakta tentang berbagai kekurangan proses pembelajaran, terutama kelemahan dan kekurangan diri sendiri.
Guru sebagai pendidik dituntut mampu menjadi cermin teladan bagi peserta didiknya. Ia juga harus mampu menjadi cermin bagi dirinya sendiri. Karenanya, evaluasi dimulai dari diri sendiri (guru).1
Al-Quran memandang bahwa pendidikan merupakan persoalan pertama dan utama dalam membangun dan memperbaiki kondisi umat manusia di muka bumi ini. Ajaran yang terkandung di dalamnya berupa akidah tauhid, akhlak mulia, dan aturan-aturan mengenai hubungan vertical dan horizontal ditanamkannya melalui pendidikan tersebut. Hal itu ditandai dengan gagasan awal Al-Qur’an mengenai pendobrakannya terhadap tabir kebodohan dan keterbelakangan melalui perintah membaca, di mana membaca itu merupakan aktivitas belajar yang tentu saja bagian dari kegiatan pendidikan. Dengan demikian, pendidikan kata kunci untuk kemajuan bangsa, pendidikan yang ditawarkan Al-Qur’an memperlihatkan perbedaan yang cukup berarti jika dibandingkan dengan pendidikan konvensional. Perbedaan itu terlihat jelas pada prinsip dasar bagunan pendidikan tersebut, pendekatan belajar, orientasi penyelenggaraannya, dan juga evaluasi terhadap suatu pendidikan, yang mana disini kami akan menjabarkan bagaimana evaluasi pendidikan yang terdapat dalam Al-Qur’an, evaluasi merupakan komponen yang penting dalam pembelajaran. Jika pembelajaran diartikan kepada aktivitas pencarian dan transfer ilmu pengetahuan dan informasi yang bertujuan agar terjadi perubahan pada diri siswa dalam bentuk penambahan ilmu pengetahuan dan perubahan perilaku, maka evaluasi merupakan komponen yang akan mengukur penambahan dan perubahan perilaku tersebut.
Karena begitu pentingnya evaluasi, maka al-qur’an banyak mengulang istilah yang berkaitan dengan evaluasi. Bahkan al-qur’an tidak hanya menggunakan satu istilah dalam perbincangan mengenai evaluasi, tetapi menggunakan banyak istilah. Di anatara istilah tersebut tertulis dalam beberapa ayat, adapun ayat yang menjuru pada istilah evaluasi adalah QS.
Al-‘ankabut (29); ayat 2 dan 3 dan QS. Al-Fajr (89) ayat 15-16.
Pembahasan
A. Ayat Al-Qur’an Yang Berkaitan Dengan Evaluasi Pendidikan 1. QS. Al-‘ankabut (29); ayat 2 dan 3.
1 Suteja, Tafsir Tarbawi, (Cirebon: CV. Pangger, 2012), h. 116.
Artinya : Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan hanya mengatakan: “kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji? Dan sungguh, kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka allah pasti mengetahuiorang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta (qs. Al-‘ankabuut (29) : 2-3).
2. QS. Al-Fajr (89) Ayat 15-16
Artinya: “Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: "Tuhanku telah memuliakanku"(15). Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: "Tuhanku menghinakanku"(16).
B. Kosa Kata Ayat Evaluasi Pendidikan
QS. Al-Fajr (89) Ayat 15-16
وُلبَي – َلَب Menguji
Qs. Al-‘ankabut 2-3.
َبِسَح
Menghitung
Secara etimologi, kata bala semakna dengan ikhtabara dan imtahana yang berarti menguji atau mencoba. Dari kata bala terbentuk kata bala yang berari cobaan. Dan fatana semakna dengan a;jaba yang artiya membingungkan atau mengheranlan. Selain itu, al-isfihani mengartikan pula fatana itu kepada “memasukkan emas ke dalam api agar jelas perbedaan antara emas yang baik maupun yang buruk”. Dari kata fatana terbentuk pula kata al-fitnah, yang sering
diartikan kepada musibah atau bencana, karena bencana yang Allah timpakan kepada manusia merupakan ujian atau evaluasi dari-Nya, sehingga dapat dibedakan antara manusia yang baik dan yang jahat. Jadi tujuan dari adanya al-fatana dan bala untuk mengetahui dengan jelas perbedaan karakterteristik keimanan atau ketaatan manusia. Sebagaimana juga evaluasi dalam pembelajaran bertujuan untuk mengetahui siswa yang menguasai materi pembelajaran atau tidak.
C. Asbabun Nuzul Dan Tafsir Ayat Evaluasi Pendidikan 1. Qs. Al-Ankabuut (29) Ayat 2-3
Ibnu Abbas menerangkan ayat ini diturunkan karena peristiwa yang dialami oleh keluarga muslim yang masih tinggal di Mekkah, di mana Rasulullah telah berhijrah ke Madinah. Orang-orang lemah dari keluarga orang yang beriman itu adalah Salamah Ibnu Hisyam, ‘Iyasy ibnu Abi Rabi’ah, Walid ibnu Walid dan lain-lain dimana mereka mendapat siksaan-siksaan mental dan fisik dari orang-orang yang tidak senang kepadanya karena menjadi pengikut nabi Muhammad SAW yang setia.
Maka untuk mengokohkan iman mereka kepada Allah SWT maka dihiburlah mereka dengan menurunkan ayat-ayat di atas. Muqati meriwayatkan pula bahwa ayat itu diturunkan pada seorang sahabat yang bernama Mihya’ Maulana Umar bin Khattab, yang mana dialah yang pertama kali syahid di medan perang Badar dimana seorang anggota pasukan musuh bernama Amir ibnu al-Hadhrami berhasil menombaknya dengan tombak beracun sehingga Mihya’ tewas bermandikan darah. Rasulullah selain mengetahui tewasnya Mihya’ sebagai syuhada pertama dihari itu mak beliau segera menyatakan pemimpin syuhada adalah Mihya’ karena dialah orang pertama yang dipanggil masuk syurga di antara umat ini. Berita tentang tewasnya Mihya’ diterima oleh kedua orang tuanya dengan hati sedih dan pilu begitu pula dengan isterinya yang tercinta, maka untuk menghibur kelurga Mihya’ yang ditinggalkan Allah menurunkan ayat di atas. Ibnu Abbas menerangkan ayat ini diturunkan karena peristiwa yang dialami oleh keluarga muslim yang masih tinggal di Mekkah, dimana Rasulullah telah berhijrah ke Madinah. Orang-orang lemah dari keluarga orang yang beriman itu adalah Salamah ibnu Hisyam, ‘Iyasy ibnu Abi Rabi’ah, Walid ibnu Walid dan lain- lain dimana mereka mendapat siksaan-siksaan mental dan fisik dari orang-orang yang
tidak senang kepadanya karena menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW yang setia.
Maka untuk mengokohkan iman mereka kepada Allah SWT maka dihiburlah mereka dengan menurunkan ayat-ayat di atas. Muqati meriwayatkan pula bahwa ayat itu diturunkan pada seorang sahabat yang bernama Mihya’ Maulana Umar bin Khattab, yang mana dialah yang pertama kali syahid di medan perang Badar dimana seorang anggota pasukan musuh bernama Amir ibnu al-Hadhrami berhasil menombaknya dengan tombak beracun sehingga Mihya’ tewas bermandikan darah. Rasulullah selain mengetahui tewasnya Mihya’ sebagai syuhada pertama dihari itu mak beliau segera menyatakan pemimpin syuhada adalah Mihya’ karena dialah orang pertama yang dipanggil masuk syurga di antara umat ini. Berita tentang tewasnya Mihya’ diterima oleh kedua orang tuanya dengan hati sedih dan pilu begitu pula dengan isterinya yang tercinta, maka untuk menghibur kelurga Mihya’ yang ditinggalkan Allah menurunkan ayat di atas.
Imam ibnu Hakim telah mengetengahkan sebuah hadits melalui Asy Sya’bi telah menceritakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang yang tinggal di Mekkah, mereka telah berikrar masuk islam. Kemudian para sahabat Rasulullah saw. Berkirim surat kepada mereka dari Madinah, bahwasanya Islam kalian tidak akan diterima melainkan kalian berhijrah. Maka mereka pada akhirnya berangkat dengan tujuan Madinah, kemudian orang-orang musyrik mengejar mereka sehingga tersusul, lalu mereka dikembalikan lagi ke mekkah. Setelah peristiwa itu turunlah Firman-Nya yaitu ayat yang telah disebutkan di atas, lalu para sahabat menulis surat kepada mereka bahwasanya telah diturunkan Firman Allah yang berkenaan dengan peristiwa yang alian alami.
Mereka yang berada di Mekkah berkata: Kami harus keluar berhijrah, jika ada seseorang mengejar kami, niscaya kami akan memeranginya, lalu mereka keluar dan orang-orang musyrik mengejar mereka, akhirnya terjadilah pertempuran dai antara kedua belah pihak. Sebagian kaum muslimin Mekkah gugur dan sebagiannya lagi selamat, sehubungan dengan perihal mereka maka Allah menurunkan Firman-Nya.
Sedangkan Abu Khatim telah mengetengahkan hadits lainnya melalui Qatadah yang menceritakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Ammar ibn Yazir, sebab ia disiksa oleh kaum musyrikin demi karena Allah.
Bahwasanya cobaan itu perlu untuk menguji keimanan seseorang dan usaha manusia itu manfaatnya untuk dirinya sendiri. Dan sudah menjadi Sunnatullah bahwasanya setiap manusia yang beriman itu belum akan tercapai hakikat iman yang sebenarnya kecuali dengan adanya cobaan-cobaan dan ujian-ujian dari Allah yang diberikan kepada kita dan dapat menempuh cobaan-cobaan yang ditimpakan kepada kita, karena semakin tinggi tingkat kesabaran ketika menempuh cobaan-cobaan itu maka semakin besar pula kemenangan dan ganjaran yang akan diperoleh.
Penafsiran Ayat
اوُُُُكَرْتُي نَأ ُساّنلا َب ُُُِس َحَأ (Apakah manusa itu mengira bahwa mereka dibiarkan saja) Setiap orang beriman harus diuji terlebih dahulu sehingga dapat diketahui sampai dimanakah mereka sabar dan tahan menerima ujian tersebut. Ujian yang mesti mereka tempuh itu bermacam-macam misalnya perintah berjihad (meninggalkan kampung halaman demi menyelamatkan iman dan keyakinan).
َنوُنَتْفُي َل (Tidak diuji) Semua cobaan itu dimaksudkan untuk menguji siapakah di antara mereka yang sungguh-sungguh beriman dengan ikhlas dan siapa pula yang berjiwa munafik serta untuk mengetahui apakah mereka termasuk orang yang kokoh pendiriannya atau orang yang masih bimbang dan ragu-ragu sehingga iman mereka masih rapuh.
اوُقَد َُُُص َنيِذّلا ُ ّا ّنَمَلْعَيَلَف ( maka sesungguhnya Allah mengetahui orang yang benar) (Orang-orang beriman dan berpegang teguh dengan keimanannya akan menghadapi berbagai macam penderitaan dan kesulitan, mereka sabar dan tabah menahan penderitaan itu dan sesungguhnya Allah Maha mengetahui).
2. QS. Al-Fajr (89) Ayat 15-16
Allah SWT Memberi tahukan tentang tabi’at manusia, yaitu bahwa dia bodoh dan zalim, tidak mengetahui akibat dan kesudahan sesuatu. Dia mengira bahwa keadaan yang ada padanya akan berlanjut dan tidak hilang, dan menyangka bahwa kemuliaan yang diberikan Allah kepadanya di dunia dan pemberian nikmat kepadanya menunjukkan kedudukannya di sisi Allah dan kedekatannya kepadanya (15) Dia juga menyangka bahwa jika Allah menyempitkan rizkinya, sehingga hanya cukup untuk
makan dan tidak ada lebihnya, itu menunjukan bahwa Allah menghinakannya (16) Maka Allah membantah anggapan dan keyakinan itu dengan firman-Nya;”Sekali-kali tidak demikian, yakni tidak setiap orang yang aku beri nikmat di dunia itu berarti dia mulia disisi-Ku, dan tidak setiap orang yang aku sempitkan rizkinya itu hina disisi- Ku. Kaya dan miskin, kelonggaran dan kesempitan hanyalah ujian dari Allah kepada hamba-Nya untuk melihat siapa yang bersyukur dan bersabar dan lalu diberi pahala, dan siapa yang tidak demikian, lalu disiksa.
Ibnu Katsir menafsirkan ayat tersebut, bahwa sesungguhnya Allah mengingkari penyataan orang-orang yang memandang bahwa ketika diluaskan rezeki, maka itu adalah kemuliaan. Sesungguhnya terkadang diluaskan rezeki sebagai bentuk ujian Allah pada hambanya. Apakah ia masih dalam sebuah ketaatan atau malah akan menjadikannya lupa pada-Nya.
Begitupun, ketika seseorang berada dalam terhimpitnya rezeki bukan berarti Allah ingin menghinakannya. Akan tetapi sebuah ujian apakah ia akan senantiasa bersabar atau tidak. Sesungguhnya, Allah melepangkan rezeki kepada siapa saja yang dikehendaki dan menyempitkan rezeki kepada siapa saja yang Ia hendaki.
Al-Qurthubi menjelaskan, bahwa sifat dalam ayat 15 dan 16 tersebut adalah sifat orang kafir yang tidak beriman pada hari bangkit, mereka hanya memandang kenikmatan adalah sesuatu yang ada pada banyaknya harta. Sedangkan kehinaan adalah sedikitnya harta. Berbeda dengan konsep seorang mukmin, kenikmatan adalah seseorang yang berada pada ketaatan pada Allah baik dalam keadaan banyak harta atau terhimpitnya harta.
Tuhan memberikan contoh sistem evaluasi seperti difirmankan dalam kitab suci- Nya, yang sasarannya adalah untuk mengetahui dan menilai sejumlah mana kadar iman, taqwa, ketahanan mental dan ketaguhan hati serta kesedihan menerima ajakan Tuhan untuk mentaati dan mematuhi segala perintah dan larangan-Nya kemudian setelah dinilai, maka Tuhan menetapkan kriteria-kriteria derajat kemulian hamba- Nya. Bagi yang berderajat disisi-Nya. Dia akan memberi hadiah atau pahala sesuai kehendak-Nya yang berpuncak pada pahala tertinggi yaitu surga. Dan yang berderajat rendah kerena ingkar terhdap ajakan-Nya, maka Dia akan memnerikan balasan siksa, dan siksa teringgi adalah neraka.
Penafsiran Ayat
ُناَسْنِ ْلآاّمَأَف (Adapun Manusia) Yang berada dalam kebimbangan di antara kebaikan dan ke kufuran.
ُُهّبَر ُه َلَتْبآ اَماَذِا (Ketika Rabbnya menguji) dan mencoba dengan kekayaan dan kemudahan.
ُُهَمَرْكَأَف (Lalu dimuliakan-Nya} dengan pangkat dan kekayaan)
ُُهَمّعَنَو (Dan diberinya kesenangan) dengan harta dan Anak-anak
ُلوُقَيَف (Maka ia berkata) sebagai bentuk rasa syukur atas kenikmatan dan kemuliaan yang diraihnya.
ِنَمَرْكَأ يّبَر (Rabbku telah memuliakanku) dan menganugrahiku dengan kebaikan dan kelembutan
ُه َلَتْبا اََََم اَذِإ اّمَأَو (Adapun ketika Rabbnya mengujinya) dengan kefakiran dan kesulitan setelah sebelumnya diberi kemudahan.
ُُهَق ْزِر ُِهْيَلَع َرَدَقَف (Lalu membatasi rizkinya) dan mengurang bahan makanan yang di butuhkannya di mana Allah SWT tidak menambahi kebutuhan hidupnya
ُلوُقَيَف (Maka ia berkata) dengan nada mengeluh yang mengobarkan kemarahan- Nya.
ِنَناَََََهَأ يّبَر (Rabbku menghinakanku) dan merendahkanku,karena Dia tidak memberikan kepadaku sesuatu yang Dia berikan kepada si fulan dan si fulanah.
Padahal kefakiran lebih baik dari kekayaan. Sebab seandainya kefakiran diiringi dengan perasaan menerima dengan lapang dada dan ridho, maka sikap semacam itu akan mengantarkan pelakunya menuju ke surga Ma’wa dan kekuasaan yang tidak akan pernah usam. Sebaliknya, kekayaan yang tidak diiringi dengan rasa syukur, berinfaq, dan berbuat baik, maka sikap semacam itu akan mengantarkan pelakunya menuju lapisan neraka terbawah, yakni neraka Jahim.
D. Analisis Ayat Evaluasi Pendidikan Dalam Al- Qur’an 1. QS. Al-‘Ankabut Ayat 2-3
Ayat ini dimulai dengan kata tanya, yaitu apakah manusia mengira mereka dibiarkan hanya berkata “kami beriman” sebelum diuji. Pertanyaan dalam ayat ini
termasuk katagori istifham ingkaari. Ungkapan itu pada hakikatnya bukan bertanya tetapi mengingkari, artinya ‘‘sepantasnya manusia jangan menganggap, bahwa keberimanannya cukup hanya dengan berkata beriman padahal ia belum diuji”.
Keabsahan iman seseorang mesti dapat ditandai, diukur, atau dinilai dengan indicator yang telah ditentukan yaitu berupa kesabaran atas apa yang menimpa dirinya. Allah telah memberikan penilaian dan pengukuran terhadap iman orang-orang terdhulu melalui cobaan atau ujian yang dia berikan kepada mereka. Dengan pengukuran tersebut, maka benar-benar dapat diketahui dan dibedakan antara orang yang benar- benar beriman dengan yang tidak. Allah telah mengajarkan kepda manusia ajaran agama-nya melalui rasul, kemudian dia melakukan evauasi terhadap manusia yang telah menerima ajaran tersebut guna untuk membedakan antara orang telah mengahayati ajaran-nya dengan yang tidak.
Di dalam ayat 3 surah al-‘ankabuut (29) di atas terdapat ungkapan “maka allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang berdusta”. Penggalan ayat tersebut menunjukkan tujuan dilaksanakannya evaluasi dalam pembelajaran, yaitu untuk mengukur dan mengetahui sejauh mana dan sedalam apa materi pembelajaran telah dikuasai siswa. Dalam hal ini, manusia sebagai peserta didik dievaluasi oleh Allah guna untuk mengetahui dengan jelas sehingga tidak hanya Allah yang tahu, tetapi juga manusia terutama para penyampai risalah-nya, apakah tujuan pembelajaran ilahiyah telah tercapai atau belum. Sehingga dapat dibedakan peserta didik yang telah mencapai tujuan pembelajaran dan peserta didik yang belum mencapai tujuan. Orang-orang yang telah berhasil mencapai tujuan pembelajaran layak diberikan hadiah dan bagi yang belum layak diberikan perbaikan pembelajaran.
Dalam QS. Al-Ankabuut ayat 2-3 menerangkan bahwasanya seorang pendidik harus mengeevaluasi seluruh peserta didiknya, walaupun terdapat peserta didik yang sangat pintar dan jika diberi ujian pasti akan mendapat nilai yang bagus, peserta didik tetap harus dievaluasi sama seperti peserta didik lainnya. Dan diberi evaluasi dalam tingkatan yang sama, tidak ada perbedaan di dalamnya. Dari cara evaluasi yang seperti itu, pendidik akan mengetahui mana yang bersungguh-sungguh dan mana yang tidak.
2. QS. Al-Fajr (89) Ayat 15-16
Allah SWT memberitahukan tentang tabiat manusia dari sisi kemanusiaannya yaitu bahwa ia (manusia itu) jahil (tidak tahu)dan zalim; ia tidak mengetahui akibat dari sesuatu. Ia mengira bahwa keadaannya itu akan tetap langgeng dan tidak akan berubah, dan mengira bahwa nikmat yang diberikan Allah kepadanya menunjukkan kemuliaannya di sisi-Nya dan dekat dengan-Nya. Sebaliknya, ketika ia dibatasi rejekinya, menurutnya Allah telah menghinakanny. Maka ayat selanjutnya Allah membantah prasangka tersebut. Allah SWT menyalahkan orang-orang yang mengatakan bahwa kekayaan itu adalah suatu kemuliaan dan kemiskinan adalah suatu kehinaan seperti yang disebut ayat 15 dan 16, padahal sebenarnya kekayaan dan kemiskinan itu adalah ujian dari Allah kepada hamba-hamba-Nya. Demikian bahwa kemuliaan dan kemiskinan bukanlah tergantung pada kaya atau miskin. bahkan tergantung pada taat (takwa) atau tidaknya seseorang, namun kebanyakan manusia tidak mengerti.
Jika dihubungkan dengan pendidikan, evaluasi seperti yang disebutkan dalam surah al-fajr tersebut adalah seorang guru harus menjelaskan kepada muridnya jangan terlalu berbesar hati dan sombong jika pintar dan dan mudah paham dalam belajar, demikian juga siswa yang mengalami kesulitan pemahaman dalam belajar jangan berkecil hati. Jangan berprasangka buruk. Hal tersebut sesuai dengan hadts Nabi yang berbunyi:
ْنِكٰلَو ْمُكِرَو ََُص ىَلِا َلَو ْمُكِماَسْجَا ىَلِا ُرُظْنَي َل َا ّنِا :م.ص ا لوسر لاق :َلاَق ُُهْنَع ُا َيِضَر َةَرْيَرُه ْيِبَا ْنَع (ملسم هاور) ْمُكِل اَمْعَاَو ْمَكِب ْوُلُق ىَلِا َرُظْنَي
Artinya: “Dari Abu Hurairah RA, beliau berkata: Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidak memandang dan menilai dari tubuh dan gambarmu (kuantitas), akan tetapi Allah memandang dan menilai dari hati dan amalmu” (H.R.
Muslim).
E. STUDI KASUS
Pendidikan dapat memberikan pengaruh yang besar untuk mewujudkan tercapainya tujuan nasional pembangunan jika terdapat karakter manusia yang kuat. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mendapatkan pendidikan sudah pasti dengan bersekolah. Saat berada di sekolah, pembelajaran yang dilakukan secara langsung atau tatap muka antara pendidik dengan siswa, sehingga dapat langsung mentransferkan ilmunya dengan metode pembelajaran yang digunakan setiap guru. Sehingga peluang siswa untuk memahai materi jauh lebih dapat dimengerti. Tetapi seiring berjalannya waktu dan kecanggihan teknologi dan informasi, pendidikan di indonesia juga mengajarkan untuk pembelajaran dengan jarak jauh (online atau daring). Pembelajaran daring yaitu pembelajaran yang dilakukan dengan memanfaatkan jaringan internet dengan konektifitas, flesibilitas, dan sebagai upaya pengembangan metode mengajar (sadikin & hamidah, 2020). Hal ini biasanya digunakan oleh beberapa guru yang tidak bisa mengajar secara langsung atau tidak bisa hadir di hari tersebut untuk mengajar sehingga menjadikan pembelajaran daring perlu dilakukan di waktu tertentu. Melihat kondisi pendidikan di indonesia, saat ini pemerintah mewajibkan seluruh siswa, bahkan mahasiswa untuk belajar jarak jauh (daring) yang dilakukan dalam kurun waktu tertentu.
Hal ini dilakukan sebagai salah satu bentuk upaya negara indonesia dalam mencegah penularan covid-19 dan tetap meningkatkan kualitas pendidikan di tengah pandemi covid-19. Perlunya penguasaann teknologi mau tidak mau harus dilakukan baik bagi siswa maupun bagi pendidik. Hal tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi guru untuk memaksimalkan proses evaluasi secara daring. Sehingga dalam hal ini, membuat kendala yang sulit dilakukan dalam penilaian terutama pada sikap. Sebagaimana diketahui bahwa penilaian sikap peserta didik harus dilakukan secara individu dan langsung bertatap muka. Sehingga, keterbatasan waktu yang dimiliki menjadi penghambat bagi guru.
Berkenaan dengan masalah pada masa sekarang, maka perlu tindakan yang dilakukan dalam mengatasi hal tersebut. Untuk mengatasi kendala yang dihadapi pendidik, mungkin dapat melakukan beberapa tindakan, yaitu guru melakukan konsultasi dengan guru lainnya (guru di kelas sebelumnya) yang sudah mengetahui banyak tentang siswa.
Sehingga, guru mendapatkan informasi yang rinci mengenai sikap siswa. Selain itu, guru juga melakukan kerjasama dengan orang tua. Khususnya siswa yang memiliki sikap yang belum sesuai dengan tujuan pembelajaran. Siswa yang lebih tertutup dan tidak aktif di
kelas. Kerjasama dengan orang tua dilakukan agar anak bisa mendapatkan bimbingan langsung dari kedua belah pihak, baik guru maupun orang tua.