DAKWAH BERBASIS MULTIKULTURAL AL-QUR’AN
Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah ESENSI AL-QUR’AN
Disusun Oleh : Fawwaz Akmal Muhana
1214040032
PROGRAM STUDI PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2024
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Islam, sebagai agama yang menekankan pentingnya dakwah, mendorong umatnya untuk aktif dalam menyebarkan ajarannya. Aktivitas dakwah menjadi indikator kemajuan atau kemunduran umat Islam, karena melalui dakwahlah nilai-nilai Islam disebarluaskan dan dipahami oleh masyarakat luas (Hamka Haq, 2009: 25). Indonesia, dengan masyarakatnya yang majemuk, mencerminkan keragaman budaya, bahasa, suku, ras, dan agama yang beragam. Keanekaragaman ini merupakan cerminan dari masyarakat multikultural, di mana setiap kelompok sosial memiliki norma dan kebudayaannya sendiri.
Dengan populasi yang besar dan tersebar di ribuan pulau, Indonesia mengalami berbagai perbedaan yang meliputi agama, suku, ras, dan bahasa. Keragaman ini, meskipun memperkaya budaya bangsa, juga memiliki potensi menimbulkan konflik jika tidak dikelola dengan bijak.
Dalam perspektif Islam, keragaman ini adalah bagian dari kehendak Allah yang menginginkan keberagaman dalam kehidupan manusia sebagai sebuah kenyataan yang harus diterima dan dihormati (Mega Hidayati, 2008: 24-26).
Dalam konteks masyarakat multikultural, dakwah tidak hanya berfungsi untuk menyampaikan ajaran agama, tetapi juga harus mempertimbangkan sensitivitas budaya dan norma yang ada. Kurangnya pemahaman atau penghargaan terhadap keragaman ini dapat memicu ketegangan sosial dan konflik. Oleh karena itu, pendekatan multikultural dalam dakwah menjadi penting untuk memastikan bahwa pesan agama dapat diterima dengan baik oleh berbagai kelompok masyarakat yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda.
Sebagaimana dijelaskan oleh Hefner, dalam masyarakat modern- demokratis, ancaman terbesar terhadap kohesi sosial adalah perpecahan etnis, religius, dan linguistik. Dalam konteks ini, dakwah yang berbasis multikultural dapat menjadi alat penting untuk mempromosikan
pemahaman dan toleransi antar kelompok, menghindari konflik, dan menciptakan harmoni dalam masyarakat (Robert W. Hefner, 2009: 25).
Dakwah multikultural juga berperan dalam menjawab tantangan-tantangan mendesak seperti kemiskinan, diskriminasi, dan ketidakadilan, dengan menekankan pentingnya kerja sama lintas budaya dan agama.
Dengan demikian, makalah ini akan mengkaji pendekatan multikultural dalam dakwah berdasarkan pandangan Islam, dengan fokus pada bagaimana nilai-nilai tersebut diintegrasikan dalam Al-Quran dan diterapkan dalam kehidupan masyarakat yang beragam.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut maka rumusan masalah yang menjadi fokus kajian pada makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan multikulturalisme?
2. Bagaimana Al-Qur'an memandang keragaman budaya dan agama dalam konteks dakwah?
3. Bagaimana penerapan pendekatan dakwah berbasis multikultural dalam konteks masyarakat Indonesia yang beragam?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diidentifikasi, tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi dan menjelaskan konsep multikulturalisme, termasuk pemahaman umum tentang multikulturalisme dan bagaimana konsep ini relevan dalam konteks dakwah Islam.
2. Menjelaskan pandangan Al-Qur'an terhadap keragaman budaya dan agama, serta bagaimana pandangan ini dapat diterapkan dalam strategi dakwah yang inklusif dan menghargai keberagaman.
3. Menguraikan penerapan pendekatan dakwah berbasis multikultural di Indonesia, dengan fokus pada bagaimana prinsip-prinsip
multikultural dalam Al-Qur'an dapat diintegrasikan dalam praktek dakwah di masyarakat yang majemuk, serta menilai tantangan dan peluang yang ada dalam konteks ini.
BAB II PEMBAHASAN A. Multikulturalisme
Multikulturalisme, secara etimologi, berasal dari dua kata yaitu "multi"
yang berarti banyak dan "kultur" yang berarti kebudayaan. Oleh karena itu, multikulturalisme dapat diartikan sebagai keberadaan berbagai kebudayaan dalam satu wilayah atau masyarakat (Hujair AH. Sanaky, 2016: 186). Konsep ini mencakup lebih dari sekadar perbedaan budaya; ia juga meliputi keberagaman agama, ras, dan etnis. Dalam konteks ini, multikulturalisme menjadi dasar pemahaman yang mengakui dan merayakan perbedaan tersebut.
Asumsi dasar dari multikulturalisme adalah bahwa setiap budaya memiliki nilai yang sama dan pantas dihormati. Menurut Abdullah, multikulturalisme adalah pemahaman yang menekankan pada kesetaraan budaya lokal tanpa mengabaikan hak dan eksistensi budaya lainnya (Abdullah, 2006). Ini berarti bahwa dalam masyarakat multikultural, tidak ada budaya yang dianggap superior atau inferior, melainkan semua budaya dihargai setara.
Asumsi lain yang mendasari multikulturalisme adalah pengakuan akan martabat setiap individu yang hidup dalam komunitas dengan identitas budaya yang unik. Konsep ini menekankan pentingnya menghormati dan memahami perbedaan sebagai bagian dari kehidupan bersama yang damai dan harmonis (Choirul Mahfud, 2013: 75). Ini mengimplikasikan bahwa masyarakat multikultural harus terbuka terhadap perbedaan dan melihatnya sebagai kekayaan daripada ancaman.
Konsep multikulturalisme didasarkan pada relativisme budaya, yaitu pandangan bahwa nilai-nilai dan kebiasaan budaya adalah relatif terhadap lingkungan sosial dan historis di mana mereka berkembang.
Dengan kata lain, tidak ada budaya yang dapat diklaim sebagai satu- satunya yang benar atau superior, karena semua budaya memiliki nilai dan makna bagi masyarakat yang menghayatinya. Multikulturalisme mendorong penghargaan terhadap keberagaman ini dan mengajak
masyarakat untuk mengembangkan toleransi dan penghormatan terhadap perbedaan budaya (Choirul Mahfud, 2013: 75).
Dalam penerapannya, multikulturalisme berupaya menciptakan sebuah masyarakat di mana perbedaan budaya dihargai dan dipelihara. Ini mencakup upaya untuk melindungi hak-hak budaya minoritas dan mempromosikan kesetaraan dalam akses terhadap sumber daya dan kesempatan. Dengan demikian, multikulturalisme tidak hanya berfokus pada pengakuan keberagaman, tetapi juga pada penciptaan lingkungan di mana setiap kelompok budaya dapat berkembang dan berkontribusi secara setara terhadap kehidupan sosial.
B. Dakwah Multikultural dalam Al-Qur-an
Islam mengajarkan bahwa semua manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah, yaitu dalam keadaan suci dan alami, yang berarti bahwa setiap individu secara intrinsik memiliki kecenderungan untuk mengenal dan beriman kepada Allah (Muhammad Imarah, 1999: 31). Fitrah ini adalah sunnatullah atau hukum alam yang telah ditetapkan oleh Allah, yang mencakup keberagaman dalam berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk agama, budaya, dan etnis. Dalam pandangan Islam, pluralitas dan perbedaan di antara manusia bukanlah hal yang kebetulan, tetapi merupakan bagian dari rencana Ilahi yang harus dihormati dan diakui.
Al-Qur’an mengakui keberagaman sebagai sebuah kenyataan yang alami dan fitrah yang tidak dapat dihindari. Dalam Surah Hud (11:118- 119), Allah berfirman :
ْ وَل َو
َْءاَش
َْكُّبَر
َْلَعَجَل
َْساَّنلا
ْ ةَّمُأ
ْ ةَد ِحا َو
َْل َو
َْنوُلاَزَي
َْنيِفِلَت خُم
َّْلِإ ()
ْ نَم
َْم ِحَر
َْكُّبَر
َْكِلَذِل َو
ْ مُهَقَلَخ
ْ تَّمَت َو
ُْةَمِلَك
َْكِ بَر
َّْنَ َلَ مَ َلَ
َْمَّنَهَج
َْنِم
ِْةَّن ِج لا
ْ ِساَّنلا َو
َْنيِعَم جَأ
Artinya :
“Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia jadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih (pendapat);
kecuali orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat (keputusan) Tuhanmu telah tetap, “Aku pasti akan memenuhi neraka Jahanam dengan
jin dan manusia (yang durhaka) semuanya.” (QS. Hud [11]: 118- 119) (Kementerian Agama RI, 2012: 235).
Hal ini menunjukkan bahwa Islam memandang perbedaan sebagai sesuatu yang alami dan positif, yang seharusnya diterima dan dihormati oleh semua umat manusia.
Dakwah dalam konteks Islam bukan hanya tentang menyebarkan ajaran agama, tetapi juga mencakup penyebaran nilai-nilai toleransi, penghormatan terhadap perbedaan, dan pengakuan atas keberagaman sebagai bagian dari fitrah manusia. Rasyid Ridha menekankan bahwa keberagaman dalam hal ilmu pengetahuan, sikap, pendapat, dan pilihan hidup adalah sesuatu yang wajar dan mengandung manfaat yang tidak tampak jika keberagaman tersebut tidak ada (Muhammad Rasyid Ridha, t.th: 19, 22). Oleh karena itu, dakwah yang efektif harus menghargai perbedaan ini dan berusaha untuk membangun kesepahaman dan harmoni di tengah-tengah keragaman.
Menurut Thaba'thabai, perbedaan sifat dan karakter fisik dan psikis adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari dan merupakan bagian dari kebijaksanaan Ilahi. Perbedaan ini tidak hanya menciptakan variasi dalam kebiasaan, etika, dan tujuan hidup, tetapi juga membentuk masyarakat yang dinamis dan beragam (Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Ahmad, 1967:
114-115). Dalam dakwah multikultural, ini berarti bahwa pendekatan dakwah harus fleksibel dan adaptif terhadap kebutuhan dan konteks budaya yang berbeda.
Dengan demikian, dakwah dalam konteks multikultural harus mempromosikan pemahaman, toleransi, dan penghormatan terhadap semua kelompok budaya dan agama. Dakwah yang berlandaskan pada nilai-nilai Al-Qur’an tentang pluralitas dan fitrah manusia ini dapat menjadi sarana untuk menciptakan masyarakat yang damai, inklusif, dan harmonis, di mana perbedaan dihargai sebagai bagian dari keindahan ciptaan Allah.
C. Pendekatan Dakwah Multikulturalisme
Pendekatan dakwah multikulturalisme adalah sebuah pemikiran baru yang berupaya menanggapi tantangan zaman dan dinamika masyarakat yang semakin plural. Meski ide ini menghadapi skeptisisme dan bahkan penolakan dari beberapa kalangan, ia tetap mendapatkan dasar legitimasi dari doktrin fundamental Islam, meskipun interpretasi dapat bervariasi (Nurkholis Madjid, 1999: 19). Dakwah multikultural bukanlah sekadar alat untuk mengislamkan orang, melainkan sebuah pendekatan untuk memajukan kualitas umat dan mendorong dialog antar agama dan budaya.
Salah satu ciri khas dakwah multikultural adalah pergeseran fokus dari konversi agama sebagai tujuan utama ke pemberdayaan umat dalam konteks internal dan promosi kerjasama lintas agama dan budaya dalam konteks eksternal. Dalam pendekatan ini, fenomena konversi agama dilihat sebagai efek samping dari proses dakwah, bukan tujuan akhirnya. Ini sejalan dengan prinsip bahwa keragaman adalah bagian dari sunnatullah yang tidak bisa diubah (Q.S. Yunus/10: 99). Dakwah multikultural menekankan aspek kualitas, seperti keadilan, kesetaraan, dan kesejahteraan global, daripada sekadar peningkatan jumlah penganut (Nurkholis Madjid, 1999: 19).
Dalam ranah kebijakan publik dan politik, pendekatan dakwah multikultural berfokus pada promosi kesetaraan hak bagi semua warga negara, termasuk kelompok minoritas. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa semua kelompok etnis dan keyakinan diakui secara hukum oleh negara dan terlindungi dari penindasan mayoritas. Dakwah ini juga mendukung budaya politik demokrasi yang dianggap paling mampu mengakomodasi hak-hak sipil dan kelompok minoritas dalam masyarakat yang multikultural (Rachman, 2010: 674).
Pendekatan dakwah multikultural lebih menekankan pada pendekatan kultural daripada pendekatan harakah (gerakan). Hal ini didasari oleh pandangan bahwa konflik antar keyakinan seringkali merupakan akibat dari perebutan kekuasaan politik, bukan perbedaan keyakinan itu sendiri. Oleh karena itu, dakwah ini lebih memilih strategi
sosialisasi Islam sebagai bagian integral dari masyarakat, bukan sebagai entitas yang asing. Pendekatan ini berusaha untuk mengembangkan gagasan Islam sebagai sistem moral yang inklusif dan kompatibel dengan masyarakat global yang plural (Abdul Munir Mulkan, 2003: 195).
Dalam konteks pergaulan global, dakwah multikultural mengusulkan dialog antar budaya dan keyakinan untuk merespons globalisasi yang menghapus batas-batas budaya dan agama. Ini termasuk menafsir ulang teks-teks agama yang mungkin memiliki bias eksklusivis dengan pendekatan hermeneutika. Tujuan utamanya adalah membangun
"etika global" yang didasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan universal yang terdapat dalam semua ajaran agama (Rachman, 2010: 508).
Pendekatan dakwah multikultural juga mendorong reinterpretasi dan rekonstruksi doktrin Islam klasik. Ini penting untuk memastikan bahwa ajaran Islam tetap relevan dengan perkembangan masyarakat global yang multikultural. Pendekatan ini menekankan keseimbangan antara orisinalitas tradisi dan keterbukaan terhadap ide-ide kontemporer. Ini adalah proses yang inklusif, dinamis, dan progresif, yang bertujuan untuk memajukan umat Islam menuju masa depan yang lebih baik.
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan
Dalam konteks masyarakat multikultural seperti Indonesia, pendekatan dakwah berbasis multikulturalisme menjadi sangat relevan dan penting.
Islam sebagai agama yang mengakui keragaman dan menghargai perbedaan, menyediakan landasan teologis yang kuat untuk dakwah yang inklusif dan toleran. Melalui pendekatan ini, dakwah tidak hanya berfungsi untuk menyebarkan ajaran agama, tetapi juga untuk mempromosikan pemahaman, toleransi, dan keharmonisan antar kelompok. Dakwah multikultural mengakui bahwa keragaman adalah bagian dari sunnatullah, dan oleh karena itu, strategi dakwah harus disesuaikan dengan konteks budaya dan sosial masyarakat yang berbeda. Dengan demikian,
pendekatan ini dapat mengurangi potensi konflik, mendukung dialog antar agama, dan menciptakan masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, A. (2006). Multikulturalisme: Perayaan Keragaman. Jakarta: Kompas.
Choirul, M. (2013). Pendidikan Multikultural di Pesantren. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hamka, H. (2009). Dakwah Islam: Konsep dan Praktik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Hidayati, M. (2008). Pluralitas dalam Islam: Telaah Perspektif Al-Quran.
Yogyakarta: UII Press.
Kementerian Agama RI. (2012). Al-Quran dan Terjemahannya. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran.
Madjid, N. (1999). Islam Agama Kemanusiaan. Jakarta: Paramadina.
Mahfud, C. (2013). Pendidikan Multikultural: Konsep dan Aplikasi. Yogyakarta:
Nuansa Aulia.
Mulkan, A. M. (2003). Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma ke Praksis. Yogyakarta: LKiS.
Rachman, B. (2010). Reorientasi Pembaharuan Islam, LSAF, Jakarta..
Ridha, M. R. (n.d.). Tafsir Al-Manar. Kairo: Dar Al-Manar.
Sanaky, H. A. H. (2016). Pendidikan Multikultural: Konsep dan Realita.
Yogyakarta: Kaukaba Dipantara.