• Tidak ada hasil yang ditemukan

Geologi Regional Cekungan Sumatera Selatan

N/A
N/A
Sui Sui

Academic year: 2024

Membagikan "Geologi Regional Cekungan Sumatera Selatan "

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Geologi Regional Cekungan Sumatera Selatan

Geologi Cekungan Sumatera Selatan serng diartikan sebagai salah satu produk dari aktivitas tektonik yang berhubungan langsung dengan pergerakan Lempeng Indo- Australia menuju arah Utara hingga Timurlaut, bergerak melawan Lempeng Eurasia yang cenderung tidak bergerak. Cekungan ini terbentuk karena adanya pengurangan (depression) yang bersinggungan langsung dan kitarin oleh struktur ketinggian batuan Pra-Tersier. Pada akhir periode Kapur, terjadi pengangkatan Pegunungan Barisan bersamaan dengan terjadinya block faulting.

II.1.1 Fisiografi Cekungan Sumatera Selatan

Gambar II. 1 Fisiografi Cekungan Sumatera Selatan (Bishop, 2001)

(2)

5

Dari segi fisiografi, wilayah penelitian ini terletak dalam cekungan Sumatera Selatan (Gambar II.1). Cekungan Sumatera Selatan memiliki arti sebagai sebuah cekungan geologi pada era Tersier yang memiliki arah Barat Laut hingga Tenggara.

Cekungan yang berada di Sumatera Selatan ini dibatasi oleh Bukit Barisan dan Sesar Semangko di Baratdaya, Timurlaut terdapat Paparan Sunda, Tenggara berupa Tinggian Lampung. Dimana kedua letak tempat tersebut memisahkan cekungan ini dari Cekungan Sunda, bukan hanya itu saja, Baratlaut mewakili Pegunungan Tiga Puluh dan Dua Belas yang menjadi batasan dua cekungan antara Cekungan Sumatera Tengah dengan Sumatera Selatan (Blake, 1989).

Menurut Pulunggono dkk. (1992), proses terjadinya Cekungan Sumatera Selatan mempunyai persamaan dengan Cekungan Sumatera Tengah. Pada dua cekungan ini memiliki garis batas yang membentang dari arah Timutlaut menuju Baratdaya dengan menghampiri bagian Uatara Pengunungan Tigapuluh. Sedangkan tepatnya di daerah sebelah Timurlaut, cekungan Sumatera Selatan ini memiliki pembatasa yang cukup siginifikasi yakni terdapat formasi-formasi sedimen dari arah Paparan Sunda. Untuk daerah yang berbatasan dengan cekungan ini yakni di bagian Selatan dan bagian Timur Cekungan ini memiliki batasan yang terdiri dari tinggian Pegunungan Tigapuluh. Baik Pegunungan Tigapuluh maupun Paparan Sunda pernah terendapkan oleh laut dangkal selama awal hingga pertengahan periode Miosen. Dalam hal ini, ada juga yang disebut dengan Cekungan Tersier yang terbentang menuju arah Barat dan bersinggungan langsung dengan Samudra Hindia. Penjelasan mengenai fisiografi regional berdasarkan tektonik oleh Cekungan Sumatera Selatan yakni terdiri dari daerah yang memiliki ketinggian cukup tinggi dan daerah yang memiliki depresi yang cukup, diantaranya adalah:

1. Tinggian Meraksa, merupakan bagain unsur tektonik berupa Kuang, Tinggian Palembang, daerah yang memiliki Tinggian Tamiang, daerah Tinggian Palembang bagian Utara dan Tinggian Sembilang. Tinggian-tinggian ini merupakan daerah-daerah yang lebih tinggi secara topografi dalam cekungan 2. Daerah yang memiliki Depresi Lematang (Muara Enim Dalam), merupakan

area depresi atau cekungan yang memiliki kedalaman di daerah cekungan Sumatera Selatan.

(3)

6

3. Antiklinorium Pendopo Limau atau Antiklinorium Palembang Utara.

Daerah yang disebut fisiografi tersebut akan mengklasifikasikan Cekungan Sumatera Selatan ini menjadi dua sub-Cekungan yang saling berhubungan yakni Sub-Cekungan Jambi dan Palembang. Sub-Cekungan yang berada di Palembang diklasifikasikan menjadi dua kategori yakni Sub-Cekungan yang letaknya di sebelah Utara dan sebelah Selatan. Sedangkan untuk Sub-Cekungan di daerah Jambi terdiri atas tiga klasifikasi yakni Sub Cekungan menuju Timur Laut atau yang disebut dnegan NE, kemudian Barat Daya (SW), dan untuk Sub-Cekungan Palembang menuju Baratlaut (NNW) – Tenggara (SSE).

II.1.2 Stratigrafi Cekungan Sumatera Selatan

Stratigrafi dari Cekungan Sumatera Selatan, sebagaimana disajikan oleh Ginger &

Fielding (2005), dapat digambarkan sebagai siklus sedimentasi yang terdiri dari fasa awal transgresi dan diakhiri fasa regresi. Permulaan siklus dari proses fase non- marine, yang melibatkan pengendapan Formasi Lahat pada awal Oligosen.

Kemudian, di atasnya, secara tidak selaras, terbentuk Formasi Talang Akar. Ini menunjukkan bahwa dalam perkembangan stratigrafi cekungan ini, siklus dimulai dengan pengendapan batuan non-marine (tidak berasosiasi dengan lingkungan laut), yang kemudian diikuti oleh pengendapan Formasi Talang Akar yang mungkin berasosiasi dengan lingkungan laut. Siklus transgresi (pertumbuhan laut) dan regresi (penarikan laut) ini dapat menghasilkan berbagai jenis endapan, dan pemahaman tentang mereka penting dalam penilaian potensi hidrokarbon dan geologi regional di cekungan ini. Berikut penjelasam fase-fase tersebut.

1. Fasa Transgresi, selama transgresi pada Miosen Awal, terbentuk Formasi Baturaja yang terdiri dari batuan karbonat di lingkungan back reef, fore reef, dan intertidal. Pada puncak transgresi, Formasi Gumai bagian bawah terdiri dari shale yang berasal dari laut dalam mengendap secara bersamaan dengan Formasi Baturaja. Pada fase ini sedimentasi lebih lambat prosesnya dibandingkan dasar cekungan yang mengalami penurunan, menghasilkan urutan fasies yang meliputi non-marine, transisi, laut dangkal, dan laut dalam.

(4)

7

2. Fasa Regresi, saat pengendapan bagian atas Formasi Gumai yang diikuti oleh Formasi Airbenakat yang mengendap secara bersamaan. Formasi Airbenakat yakni batupasir dominan dan lingkungan pembentuk di delta dan pantai.

Pendangkalan laut awal Pliosen karena ada dataran delta dan lingkungan non- marine. Di sini, kita melihat batupasir dan claystone yang berselang-seling dengan lapisan batubara. Selama awal Pliosen ini, Formasi Muaraenim terbentuk dan berlanjut hingga Pliosen Akhir. Pengendapannya mencakup batuan konglomerat, batu apung, dan lapisan batupasir tuff. Selama fase ini, prosesnya sedimentasi lebih lambat dibandingkan dasar cekungan yang mengalami penurunan, menjadikan urutannya adalah fasies laut dangkal, transisi, dan non-marine, berkebalikan dengan apa yang terjadi selama fase transgresi.

Agrakoesoemah dan Kamal (2004) membagi urutan stratigrafi dari tua ke muda Cekungan Sumatera Selatan (Gambar II.2), yaitu:

Gambar II. 2 Stratigrafi Cekungan Sumatera Selatan (Agrakoesoemah dan Kamal, 2004)

a. Batuan Dasar

Batuan dasar merupakan batuan kompleks dari Paleozoikum dan Mesozoikum, batuan tersebut bersifat metamorf, beku, dan karbonat. Pada Kapur Akhir

(5)

8

terdapat hasil deformasi kuat seperti granit, vulkanik, dan metamorf melingkupi bagian lainnya dari daerah Cekungan Sumatera Selatan.

b. Formasi Lahat

Formasi Lahat merupakan hasil dari susunan konglomerat, breksi vulkanik, tuff, batupasir, lava, dan endapan lahar akibat aktivitas vulkanik, erosi, dan tektonik. Formasi ini mengalami pengendapan secara tidak selaras yang letaknya di bagian dasar matemorfik dan batuan yang bersifat beku pada pra- Tersier di awal Eosen – Tengah Eosen.

c. Formasi Lemat

Formasi Lemat terendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Lahat pada Akhir Eosen. Tersusun dari batupasir, batulempung, breksi, lapisan tipis batubara, dan tuff.

d. Formasi Benakat

Formasi Benakat terendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Lemat pada Awal Oligosen – Tengah Oligosen. Terjadi pengisian graben oleh sedimen yang tersusun atas perselingan batupasir, batulempung, dan lanau.

e. Formasi Talangakar

Formasi Talangakar terendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Benakat pada Akhir Oligosen – Miosen Awal. Formasi ini tersusun atas lapisan sedimen dengan tebal hingga 1100 m berupa perselingan batulanau dan batupasir serta sisipan batubara yang terendapkan pada lingkungan laut dangkal.

f. Formasi Baturaja

Formasi Baturaja menglami pengendapatan dengan tidak wajar yang letaknya berada di atas Formasi Talangakar tepatnya di lingkungan laut dangkal menuju kala Miosen. Formasi baturaja memiliki susunan yang unik dan khusus letaknya di atas batugamping yang bersifat pasiran (serpiham napal), dan serpih gampingan yang letaknya di tinggian cekungan.

g. Formasi Gumai

Formasi Gumai mengalami pengendapan di daerah lingkungan neritik menuju laut dala, pada kala akhir Miosen Awal – Miosen Tengah. Formasi Gumai memiliki susunan yang tidak laras berada diatas Formasi Talangkar yang

(6)

9

tersusun dari atas serpih- gampingan dan pirit selin itu terdapat juga batupasri kemudian gampingan yang bersamaan dengan sisipan batulempung dan napal.

h. Formasi Airbenakat

Formasi Airbenakat mengendap selaras setelah Formasi Gumai yang berusia Miosen Tengah - Miosen Akhir dalam lingkungan laut dangkal. Tersusun atas batulempung, batupasir, konglomerat gampingan, dan juga mengandung sisipan batubara.

i. Formasi Muara Enim

Formasi Formasi Muara Enim terbentuk secara selaras di atas Formasi Airbenakat dan memiliki usia dari akhir Miosen - Pliosen. Formasi Muara Enim tersusun atas batupasir, batulempung, lempung pasiran, dan lapisan batubara sehingga formasi ini dikenal sebagai formasi pembawa batubara.

j. Formasi Kasai

Formasi Kasai mengendap pada awal Pliosen secara selaras di daratan setelah Formasi Muara Enim. Formasi ini terdiri dari batuan vulkanoklastik berupa tuff sisipan batulempung – pasir tufaan, serta konglomerat.

II.1.3 Tektonik Cekungan Sumatera Selatan

Cekungan Sumatera Selatan terbentuk karena pergerakan tektonik antara lempeng India-Australia dan Eurasia. Pembentukan cekungan ini dimulai selama periode ekstensi antar lempeng pada akhir pra-Tersier hingga Tersier Awal tersebut dengan arah Timur-Barat. Dari perspektif geologi, cekungan tersebut termasuk dalam jenis cekungan foreland basin atau back arc basin, sebagaimana dijelaskan oleh (Daly, 1987).

Pola khas yang muncul selama proses subduksi antara lempeng India-Australia dan Eurasia dalam pembentukan Sumatera melibatkan perubahan penunjaman serta gerakan rotasi searah jarum jam. Akibatnya arah dari penunjaman menjadi dasar pergerakan geologi. Subduksi ini menyebabkan pembentukan struktur sesar cenderung mendatar seiring dengan rotasi yang bergerak dalam arah yang miring.

Akibatnya, sistem sesar di Sumatera menyebabkan kompleksnya dalam regime

(7)

10

stress dan pola deformasi di wilayah tersebut, seperti yang dijelaskan oleh Darman dkk. (2000).

Ginger dan Fielding (2005) membagi tektonik dan stratigrafi Cekungan Sumatera Selatan secara umum dalam tiga bagian yang disajikan dalam Gambar II. 3, yaitu:

Gambar II.3 Struktur utama dari Cekungan Sumatera Selatan (Ginger dan Fielding, 2005)

1. Fase Syn-Rift

Syn-rift berlangsung saat 29 - 40 Ma, subduksi yang berada di daerah sepanjang Sumatera tepatnya dibagian Barat berdampak pada area Sumatera Selatan yang akan dijadikan sebagai subjek utama. Pada fase ini terjadi gaya ekstensional yang tinggi dimulai dari Eosen hingga Oligosen yang diawal. Hasil dari gaya ekstensional mendapatkan sejumlah half-graben dengan geometri dan orientasi terbentuk dari perbedaan jenis litologi batuan dasar yang beragam jenisnya.

Gaya ekstensional ini yang berasal dari Barat menuju ke Timur terdapat rangkaian horst dan graben pada Utara - Selatan. Cekungan Sumatera Selatan yang berasal dari 15 derajat mengalami perubahan arah jarum jam dimana saat

(8)

11

miosen melakukan produksi graben yang berasal dari Utara menuju Selatan dan Timurlaut menuju Baratdaya.

2. Fase Post-Rift

Rifting merupakan hasil akhir yang berada di sekitaran 29 Ma yang sudah berlalu. Dalam fase ini terdapat kerak benua yang letaknya di daerah Sumatera Selatan tepatnya di subside yang mana disebabkan oleh lithospheric thermal.

Pada bagian cekungan di fase ini yakni Sub-Cekungan yang berada di Palembang Tengah berada di ketebalan 13.00 kaki. Tentu hal ini berada di ketinggian laju oleh subsidence dan kenaikan muka air laut yang relatif tinggi memperoleh transgresi tepatnya di cekungan dengan maksimal di 16 Ma yang sudah berlalu dan berpotensi mengalami banjir di daerah cekungan sekitarnya.

Seiring dengan terjadinya pelamabatan laju subsidence berdampak pada meningkatnya suplai sedimen menuju cekungan 16 Ma sehingga mengalami penimbulan regresi.

3. Fase Syn-Orogenic/Invertion

Orogenesa besar adalah sebuah orogenesa letaknya pada bentangan Bukit Barisan di daerah Sumatera Selatan tepatmya diketinggian 5 Ma. Pada fase ini terdapat Lipatan transpresional yang sifanynya mengalami pemanjangan tepatnya di orientasi Baratlaut – Tenggar. Selain itu, pada fase ini terdapat di sekitaran cekungan yang kemudian terpotong secara terstruktur pada saat syn- tift. Ditengah-tengah cekungan ini terdapat hidrokarbon yang terbentuk pada saat yang bersamaan. Pada lipatan transpresional basin subsidence mengalami suplai sedimen yang cukupa siginifikan kenaikannya, hal ini terjadi akibat adanya erosi yang berasal dari Bukit Barisan di daerah pegunungan menuju ke arah Selatan dan barat.

II.2 Batuan Induk

Miles (1989) menyatakan bahwa batuan induk sebagai jenis batuan dengan kandungan materi organik yang mencukupi untuk pembentuk serta melepaskan hidrokarbon. Materi organik yang ada dalam batuan ini meliputi kerogen dan bitumen. Waples (1985) memberikan definisi kerogen dan bitumen sebagai berikut:

(9)

12

1. Kerogen adalah bagian dari materi organik pada batuan sedimen dan tidak terlarut di pelarut organik.

2. Bitumen adalah komponen materi organik pada batuan dan terlarut di pelarut organik biasa.

Berdasarkan kemampuan batuan induk dalam menghasilkan hidrokarbon, Waples (1985) mengkategorikan batuan induk ke dalam tiga tipe:

1. Batuan induk yang efektif adalah jenis batuan induk yang telah menghasilkan dan melepaskan hidrokarbon.

2. Batuan induk yang potensial merujuk pada batuan sedimen yang belum mencapai tingkat kematangan, tetapi memiliki potensi untuk menghasilkan dan melepaskan hidrokarbon.

3. Batuan induk yang mungkin merupakan batuan sedimen yang belum dinilai potensinya, namun memiliki peluang untuk menghasilkan dan melepaskan hidrokarbon.

Amitama dkk. (2019) mengelompokkan penggunaan parameter pada analisis karakteristik batuan induk menggunakan data geokimia menjadi beberapa aspek seperti berikut:

1. Kualitas: Dalam hal ini, mereka menggunakan Hydrogen Index (HI) untuk menentukan tipe kerogen yang terdapat dalam batuan induk. Hal ini membantu dalam memahami jenis produk hidrokarbon yang dapat dihasilkan saat batuan mencapai puncak kematangannya.

2. Kuantitas: meliputi Total Organic Carbon (TOC) dan Rock Eval Pyrolysis (REP) untuk mengukur jumlah materi organik dalam batuan sedimen. Hal ini membantu dalam menentukan sejauh mana kandungan organik ada dalam batuan.

3. Kematangan: Dalam aspek ini, parameter yang dianalisis meliputi Tmax dan Vitrinite Reflectance (Ro) untuk menentukan tingkat kematangan batuan induk. Informasi ini berguna untuk mengevaluasi kemampuan batuan induk dalam menghasilkan minyak dan gas alam.

(10)

13 II.3 Analisis Geokomia Batuan Induk

Analisis geokimia batuan induk untuk mengukur kemampuan suatu batuan induk melakukan generasi hidrokarbon dan juga mengetahui karakteristik batuan induk serta kandungan hidrokarbonnya, sehingga diperlukan beberapa parameter untuk mengetahuinya, antara lain:

II.3.1 Total Organic Carbon (TOC)

Menurut Peters dan Cassa (1994), Total Organic Carbon (TOC) didefinisikan sebagai jumlah materi organik yang terdapat dalam sebuah batuan induk. Materi organik kemudian mengalami proses pematangan kerogen yang disebut sebagai katagenesis, dan pada akhirnya menjadi hidrokarbon. Batuan induk diklasifikasikan sebagai berkualitas baik untuk menghasilkan hidrokarbon jika nilai TOC-nya melebihi 1% seperti dalam Tabel II.1.

Tabel II.1 Kualitas batuan induk dari nilai TOC (Peters & Cassa, 1994)

II.3.2 Tipe Kerogen / Material Organik

Kerogen merupakan materi organik pada batuan sedimen dan tidak terlarut dalam pelarut organik sederhana akibat besarnya ukuran molekulnya. Kerogen terdiri dari maseral atau mineral organik, dan setiap jenis kerogen akan berbeda jenis hidrokarbon setelah mengalami katagenesis. Waples (1985) mengklasifikasikan empat tipe kerogen (Tabel II. 2) berdasarkan asal material organiknya, yaitu:

a. Kerogen Tipe I

Material lemak dari lingkungan danau yang kurang mengandung oksigen dan memiliki kecenderungan untuk penghasil minyak.

b. Kerogen Tipe II

Terbentuk di lingkungan laut yang mengalami reduksi dan memiliki berbagai ragam jenis kerogen.

(11)

14 c. Kerogen Tipe III

Berasal dari materi organik darat dengan kandungan sedikit lilin dan lemak, serta selulosa dan lignin. Tipe ini cenderung menghasilkan gas.

d. Kerogen Tipe IV

Mengandung material yang telah mengalami oksidasi dari berbagai sumber, sehingga potensinya untuk menghasilkan hidrokarbon sangat rendah.

Tipe kerogen dan jenis hidrokarbon dapat ditentukan menggunakan Hydrogen Index (HI), dengan analisis batuan asal. HI sebagai ukuran kadar atom H dalam kerogen yang ada dalam batuan asal. Menurut Peters & Cassa (1994), HI dalam kisaran 50-200 menunjukkan bahwa tipe kerogen III cenderung menghasilkan hidrokarbon jenis gas, sedangkan HI antara 200-300 menandakan bahwa kerogen tipe II lebih mungkin menghasilkan hidrokarbon tersebut (Tabel II. 3).

Tabel II. 2 Tipe kerogen berdasarkan asal material organik (Waples, 1985)

Tabel II. 3 Perbandingan nilai HI, tipe kerogen, dan produk hasil(Peters & Cassa, 1994)

(12)

15 II.3.3 Maturasi / Tingkat Kematangan

Pematangan (maturity) adalah proses di mana zat organik berubah menjadi hidrokarbon, dan ini dipicu dari peningkatan suhu di dalam bumi. Tingkat kematangan batuan asal juga memiliki peran penting dalam menentukan kualitas hidrokarbon yang terbentuk. Terdapat tiga tingkat pematangan batuan asal:

1. Immature terjadi ketika batuan asal belum adanya perubahan menjadi hidrokarbon.

2. Mature terjadi ketika batuan asal saat mengalami perubahan menjadi hidrokarbon.

3. Overmature terjadi ketika batuan asal telah mencapai tingkat kematangan maksimal dan telah menjadi hidrokarbon.

Adapun nilai dari tingkat kematangan batuan induk seperti pada Tabel II.4 berikut.

Tabel II. 4 Tingkat kematangan batuan induk (Peters dan Cassa, 1994)

II.3.4 Rock-Eval Pyrolisis (REP)

Rock-Eval Pyrolysis (REP) adalah teknik analisis untuk identifikasi komponen hidrokarbon dalam batuan asal. Teknik ini melibatkan pemanasan perlahan sampel pada lingkungan tanpa oksigen dengan kondisi atmosfer yang tidak bereaksi terhadap program suhu. Proses pemanasan ini digunakan untuk memisahkan komponen organik lepas (bitumen) dan yang terikat batuan asal (kerogen) (Espitalie dkk., 1977).

Pada analisis Rock-Eval Pyrolisis menghasilkan parameter:

a. S1 (Free Hydrocarbon)

S1 adalah indikator jumlah hidrokarbon bebas yang dapat menguap tanpa mengalami proses pemecahan kerogen. Nilai S1 mencerminkan jumlah hidrokarbon bebas yang terbentuk di lokasi asalnya (indigeneous

(13)

16

hydrocarbon), baik karena proses kematangan termal maupun akumulasi hidrokarbon dari sumber lain (migrated hydrocarbon).

b. S2 (Pyrolisable Hydrocarbon)

S2 mengindikasikan jumlah hidrokarbon yang dihasilkan melalui pemecahan kerogen, mencerminkan jumlah hidrokarbon yang dapat dihasilkan oleh batuan selama proses pematangan alami. Nilai S2 menggambarkan kapasitas materi organik dalam batuan untuk berubah menjadi petroleum. S1 dan S2 diukur dalam satuan mg hidrokarbon per gram batuan (mg HC/g Rock).

c. S3

S3 mencerminkan jumlah CO2 pada batuan. Jumlah CO2 dihubungkan dengan jumlah oksigen dalam kerogen karena mengindikasikan tingkat oksidasi yang terjadi selama proses diagenesis

d. Tmax

Pada Tmax terdapat nilai yang disebut dengan salah satu parameter geomikia yang akan digunakan untuk melakukan klasifikasi untuk tingkat kematangan yang terjadi apda batuan sumber. Dalam hal itu terdapat harga Tmax yang akan terdeteksi pada pengaruh jenis material organiknya. Pada type I Kerogem mengalami pembentukan hidrokarbon yang terakhir jika dibandingkan Type III pada saat kondisi temperatur yang sama. Pada harga Tmax disebut juga sebagai salah satu kategori yang sudah matang dan memiliki batasan yang khusus contohnya adalah terdapat batuan yang bersifat TOC yang paling rendah yakni kurang dari 0,5 dan HI kurang 50. Harga Tmax menggambarkan tingkat kematangan yang jauh lebih kecil pada tingkat yang lebih matang berada pada batuan sumber yang didalamnya terdapat resinit yang jauh dari kata khusus, selain itu terdapat juga batuan sumber dengan sifat yang kerogen Tipe II (Peters, 1986).

Gabungan dari beberapa pembatas-pemabatasan yang diperoleh dari Rock-Eval Pyrolisis dapat digunakan sebagai indikator dalam mengetahui kategori serta kualitas batuan induk, diantaranya:

a. Potential Yield (S1 + S2)

Potential Yield (PY) menggambarkan seberapa banyak hidrokarbon yang terdapat di dalammya baik yang bersifat komponen volatile (bebas) dan

(14)

17

kerogen. Rumus ini digunakan untuk menunjukkan besar total hidrokarbon yang lebih banyak yang akan dilepaskan pada saat terjadi proses pematangan batuan sumber. Besar jumlah hidrokarbon akan menjelaskan terakit generation potential batuan induk.

b. Production Index (PI)

Nilai PI menggambarkan seberapa besar hidrokarbon yang bersifat bebas secara relatif (S1) terhadap besar hidrokarbon yang tersedia (S1 + S2). Nilai PI dapat berfungsi sebagai salah satu indikator yang akan menjelaskan tingkat kematangan pada setiap aspek batuan sumber. Nilai PI yang mengalami kenaikan terjadi karena adanya kerogen yang pecah (S2) dan berubah menjadi S1

c. Hydrogen Index (HI) dan Oxygen Index (OI)

HI sering disebut juga sebagai hasil dari perkalian S2 x 100/TOC dan OI adalah S3 x 100/TOC. Kedua pembatas ini akan mengalami tingkat kematangan yang tinggi jika harganya cenderung berkurang. Besar harga HI yang cenderung lebih tinggi menjelaskan bahwa batuan sumber akan terdominasi oleh material organik yang bersifat oil prone. Pada nilai OI yang berada di ketinggian lebih akan terindikasi sebagai material organik gas prone. Waples (1985) menjelaskan bahwa nilai HI berguna dalam menjelaskan kategori hidrokarbon yang lebih khusus serta banyaknya relatif dari hidrokarbon yang diperoleh yang kemudian akan ditampilkan dalam Tabel II. 5.

Tabel II. 5 Potensi batuan induk berdasarkan HI (Waples, 1985)

Berdasarkan analisis Rock-Eval Pyrolisis untuk penempatan tipe kerogen dapat dilakukan dengan memasukkan nilai HI dan OI pada diagram “pseudo” atau modifikasi van Krevelen, atau dapat dilakukan dengan plot HI – Tmax.

(15)

18 II. 4 Penelitian Terdahulu

Penelitian Ginger dan Fielding (2005) menjelaskan bahwa potensi batuan induk yang terletak pada serpih yang berasal dari laut di Formasi Gumai tepatnya di sumur bagian Utara menggambarkan bahwa nilai TOC mencapai 8% dan HI (Hydrogen Index) mencapai 350 mgHC/g. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa batuan induk belum matang atau immature. Namun batuan sumber ini memiliki potensi dalam proses pembentukan dapur sumber yang efektif jika letaknya berada pada bagian Depresi Palembang Tengah dan Dalaman Lematangan dengan potensi hidrokarbon berupa minyak bumi di wilayah terbatas di Selatan cekungan.

Penelitian yang dilakukan oleh Hermiyanto dan Ningrum (2009) dengan menggunakan petrologi organik dan karakteristik Rock-Eval Pyrolisis pada sampel permukaan Formasi Tersier, Cekungan Sumatera Selatan pada batuan induk menjelaskan bahwa nilai TOC Formasi Gumai sebesar 0,34-0,39% yang artinya dapat berpotensi menghasilkan hidrokarbon berupa gas-minyak. Hasil tersebut diperoleh dengan menggunakan analisis Rock-Eval. Penelitian ini menggambarkan bahwa nilai Tmax Formasi Gumai sebesar 316°C-359°C yang menunjukkan kualitas buruk dalam menghasilkan hidrokarbon. Sedangkan nilai HI Formasi Gumai sebesar 11,87-40,82 mendeskripsikan bahwa tipe kerogen pada Formasi Gumai adalah keroge tipe III memiliki potensi yang cukup baik untuk menghasilkan gas. Jika menggunakan diagram Tmax vs HI, menjelaskan bahwa Formasi Gumai mempunyai tingkat kematangan belum matang (Immature) hingga matang (Mature).

Patra dkk. (2012) juga melakukan penelitian di Cekungan Sumatera Selatan berkaitan dengan evolusi tektonik pada Tinggian Musi dan bagaimana pengaruhnya terhadap Formasi Gumai yang berperan sebagai source rock yang aktif di lapangan Sopa. Hasil analisis geokimia yang dilakukan pada penelitian ini menggambarkan bahwa batuan sumber yang telah diendapkan di lingkungan transisi menghasilkan minyak sumur Sopa yang telah termigrasi.

Referensi

Dokumen terkait

Formasi yang bertindak sebagai pembawa batubara di dalam cekungan Sumatera Selatan adalah Formasi Talang Akar, Air Benakat, Muara Enim dan Kasai.. Akan tetapi endapan batubara

Batubara yang terdapat pada Formasi Muaraenim di daerah Kungkilan diendapkan di lingkungan rawa atau cekungan limpah banjir yang terbentuk di atas dataran pantai. Endapan

Formasi Bulu memiliki rasio planktonik – bentonik 30 - 40 %, diendapkan pada lingkungan batimetri Neritik Tengah dengan kedalaman 50 – 100 meter, didasarkan pada fosil

Facies ini merupakan bagian paling bawah dari Formasi Tanjung yang diendapkan tidak selaras diatas batuan alas Pra-Tersier, tebalnya berkisar antara 8 meter dan

Permana dan Panggabean (2011) telah mengkaji lingkungan pengendapan batubara Formasi Muara Enim pada Subcekungan Palembang Bagian Tengah, Cekungan Sumatera Selatan

Penyebab kurangnya endapan gambut tersebut adalah, tidak didukungnya pembentukan cekungan, dengan ditandai kontak antara batuan dasar dengan endapan gambut, yaitu Formasi

Batubara yang terdapat pada Formasi Muaraenim di daerah Kungkilan diendapkan di lingkungan rawa atau cekungan limpah banjir yang terbentuk di atas dataran pantai.. Endapan

v INTISARI IDENTIFIKASI FORMASI BATURAJA DAN TALANG AKAR SERTA PENENTUAN ZONA RESERVOAR BERDASARKAN ANALISIS PETROFISIK PADA LAPANGAN “dhans”, CEKUNGAN SUMATERA SELATAN Oleh :